Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 09 Februari 2012

Akhirnya: Foto Kelimutu dari Atas


Akhirnya hari yang tepat datang, suara sang pilot dari ruang kokpit pesawat milik Wings Air memberitahukan bahwa sekarang sedang terbang di atas danau Kelimutu yang bisa dilihat dari sebelah kiri. 
Mata yang lagi sentengah mengantuk langsung byar terbuka terang. Cuma posisi duduk lagi di sebelah kanan bukan posisi yang tepat untuk mengambil gambar. Padahal cuaca sedang bagus-bagusnya, danau kelimutu yang sedang berwarna hijau dan biru tosca mengintip dari jendela kiri. 
Waktu menengok ke deretan kursi belakang ternyata posisi sebelah kiri sedang kosong, langsung dengan secepat kilat aku langsung berlari ke kursi kedua dari belakang. Pesawat yang terbang memutar dua kali memberikan kesempatan aku dan beberapa penumpang mengabadikan danau. Pagi tadi sebenarnya langit tidak sedang benar-benarcerah, awan tipis kelabu masih menyelimuti langit yang seharusnya biru tapi matahari masih bisa bersinar dari dari balik awan tipis itu.
Setelah beberapa kali aku kembali ke tempat dudukku, karena aku merasakan perasaan tidak enak di lambung. Maklum penerbangan pagi memang sering bikin insiden seperti ini, ditambah harus merasakan pesawat melakukan manuver putaran seperti ini.
Tiba-tiba setelah sesaat pesawat menjauh pesawat berbalik dan kembali memutari danau kelimutu namun kali gantian dari sisi kanan pesawat tetap di posisi tempat dudukku sekarang.
Kali ini posisi terbangnya lebih rendah dari posisi terbang putar sebelumnya. Kali ini kameraku bisa menjangkau lebih terang danau Kelimutu. Namun aku hanya bisa memotret beberapa kali karena lambung makin terasa tidak enak ditambah kepala yang tiba-tiba terasa menegang. Hah, aku hampir mendekati mabuk. Terpaksa aku memejamkan mata membiarkan pilot menyelesaikan putaran terakhir.
Aku bahkan tidak berani mengintip beberapa lama untuk memastikan telah sampai di daerah mana selama beberapa menit. Hanya aku sempat mengintip sebentar melihat pesawat sedang melintasi daratan flores dari sebelah utara.
Setelah kepala dan lambungku mau sedikit berkompromi barulah aku bisa melihat hasil fotoku, ternyata semua foto yang kuambil dari jendela sebelah kiri tidak ada yang tajam. Aku rupanya lupa membersihkan jendela yang mungkin kotor oleh tangan penumpang sebelumnya.
Untungnya aku masih mendapatkan gambar-gambar yang cukup bagus yang aku ambil dari sisi kanan karena jendela sudah aku bersihkan semenjak berangkat dari Kupang. sayangnya di foto sebelah sini, tempat dudukku persih di deret yang dekat dengan bagian belakang pesawat sehingga semua foto-fotoku pasti meninggalkan jejak sayap pesawat. Wah harus di crop lagi deh :D
Sebenarnya ini kali ketiga aku dapet kesempatan melihat danau Kelimutu dari atas, cuma kesempatan sebelumnya aku cuma melihat tidak mengambil gambar. Yang aku ingat, waktu kedua kali, waktu itu sudah sore dan suasana sudah agak gelap dan ada seorang perempuan muda Jepang yang ada di pesawat yang saat itu berada di sisi yang tidak bisa melihat danau. Karena mungkin ini kesempatan langka baginya, maka aku memberikan kursiku sementara supaya dia bisa mengabadikan danau Kelimutu. Biar foto itu menjadi kenangan mengesankan tentang alam Flores. Aku masih ingat habis itu beberapa kali dia menngangguk sambil ngomong apa aku gak paham dengan senyum lebar, matanya yang sipit jadi tambah sipit hahahaha.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 02 Februari 2012

Ende-Nagekeo Part III



Segelas Kopi di Tengah Rintik Gerimis
"Tidak sedang terburu-buru kan? Kita mampir minum kopi ya", ucapan yang tak usah diulang dua kali kukira. Siapa akan menolak ajakan ini. Gerimis lebih sering menemani sepanjang jalan namun di pertengahan tanjakan melewati Nangaroro tiba-tiba titik air mulai bertambah banyak. Untung kami lebih dulu sampai di kedai sebelum hujan datang lebih lebat.
Kopi panas segera memenuhi meja yang kami duduki. Aku yang biasanya tidak minum kopi melupakan kebiasaan itu. Segelas kopi di tengah rintik gerimis seperti ini terlalu sayang dilewatkan. Posisi kedai ini cukup menyenangkan, sayang sekarang tidak ada jagung rebus padahal aku berharap sekali itu menjadi teman minum kopi.
Kopi yang disajikan agak terlalu manis, tapi tak mengapa. Aku tiba-tiba teringat suguhan kopi di rumah pak Ndus waktu mampir rumahnya setelah foto-foto. Kopinya yang nikmat membuat aku lupa telah duduk di kursinya lebih dari tiga jam.
Masing-masing larut dengan cerita masing-masing, tapi diseberang sana seorang laki-laki nenghisap sebatang rokok dengan asyiknya. Peminum kopi yang tahu cara menikmati kopi, tangannya sendiri lincah berpindah-pindah dari sebuah handphone dan ipad. Sepanjang jalan aku memang sempat memperhatikan matanya yang gelisah mencari sinyal karena di sepanjang jalan sering terjadi blank spot. Sekarang dia baru menikmati kegembiraannya, lelaki yang tak bisa sejenak melepaskan informasi. Aku tidak sedang menilainya tapi sedang mengamati caranya menikmati kopi dan hidupnya.
Aku tak perlu menilainya lebih jauh karena kopi terlalu sayang dibiarkan. Beberapa pohon Cendana yang berbuah telah matang buah-buahnya berwarna hitam kecil memenuhi seluruh ujung ranting. Kupikir aku bisa mencoba menanamnya saat kakiku sigap menuruni turunan di bawah bangunan kedai.
Segelas kopi hari ini kehilangan teman setianya: jagung rebus dan ubi goreng.


Nangateke Masih Sama
Hujan hampir saban hari mengguyur kota Mbay, menyisakan pantulan-pantulan kala malam. Hari pertama, hari kedua dan hari ketiga masih sama semua punya alasan yang sama untuk tidak keluar atau dengan kata lain tak ada alasan untuk keluar. 
Rumput-rumput di perbukitan Mbay memang sudah hijau tapi belum cukup rata hijau seperti biasanya. Tapi tampaknya bukit-bukit itu akan segera berubah. Pagar-pagar kayu yang biasanya tidak sekarang mulai ditanam mengelilingi bukit-bukit itu. Ah, seandainya bukit-bukit itu tidak ada yang punya.
Mungkin masih ada bukit yang lama baru akan dipikirkan pemiliknya untuk menambahkan pagar. Dan sekarang arah tujuanku dan Eddy melesatkan motor, Nangateke. 
Ini hari ke empat untukku, mendung masih tampak setia memenuhi langit. Tapi kata para maestro foto, siapa yang bisa menebak senja bahkan pada 10 detik berikutnya. 
Motor melewati kawasan hutan bakau yang makin terbuka, sepertinya bakal diubah menjadi tambak. Tampak menyedihkan seolah tak ada tempat lain yang bisa mengantikan. Motor terus melaju melewatkan jembatan batu di pantai Nangateke. Jembatan batu memang bisa sangat menarik apalagi untuk memotret orang tapi bukan itu tujuanku sekarang.
Di arah ujung tanjakan yang menikung aku dan Eddy memarkirkan motor. Langit belum berubah masih setia kelabu dengan sedikit aksen alur awan akibat angin namun binatang-binatang kecil yang hinggap di semak-semak memancing mata.
Benar perbukitan ini belum berubah, rumputnya pun masih sombong tegak menghijau entah kapan akan memudar kuning memanjang dan menunduk. Aku bahkan terkesan saat rumputnya mengering bukan coklat tapi memutih, hanya kadang harus adu cepat karena saat itu padang-padang rumput seperti ini sering kali dibakar. Supaya tumbuh rumput baru lebih cepat, katanya.
Langit tidak seperti kata maestro masih dengan warna yang sama, tidak juga 10 detik atau 10 menit. Jika ada nyala merah sesaat itupun hanya tersisa sesaput angin untuk memberitahukanku malam mulai merangkak. Nyamuk-nyamuk berpesta pora memenuhi kakiku yang bercelana pendek.


It's an Accident or Something: Bola
Bulan-bulan begini ombak sedang kencang, di beberapa tempat kadang tak menyisakan jeda tenang. Tidak mengherankan di wilayah timur seperti ini, BMKG dengan mudah bisa mengeluarkan peringatan badai dan larangan melakukan pelayaran. Aku jadi ingat Pantai Nangapanda, karang yang menjorok ke daratan itu menarik perhatianku. Sepertinya saat ini waktu yang tepat untuk melihat ombak yang terhempas tinggi membentuk karang.
Aku dan Eddy memulai perjalanan kembali ke Ende dengan motor sekaligus menjadikan suatu memori yang tak pernah hilang.
Selepas tikungan belum lebih dari sepertiga perjalanan saat lepas dari tanjakan aku melewati jalan di samping lapangan. Saat itu Eddy agak melambatkan motor karena di sepanjang jalan banyak kendaraan. Tampaknya bakal ada keramaian sebuah gereja di seberang lapangan.  Tiba-tiba seorang anak menendang bola dan terlepas ke tengah jalan. 
Entah apa hubungannya aku sama bola tapi aku cuma berharap roda kami tidak mengenai bola atau jika harus kena maka bola yang kami lindas tak lebih dari bola plastik.
Saat aku merasakan perasaan menekan sesuatu yang lunak dan berikutnya terasa melampung aku menyadari bahwa semua harapanku salah. Semua sudah terjadi, motor terbanting setelah sesaat menyentuh tanah.
Aku masih sadar sepenuhnya bahkan saat dunia tampak berputar-putar dan aku terhenti di seberang jalan sementara aku melihat Eddy jatuh tertelungkup di bawah motor. Tangan dan lututku terasa kebas tapi aku tidak terluka sedikitpun. Eddy yang harus rela mendapat luka di lutut dan tangan. Tas kamera pun tergores panjang tapi justru membantu dia terhindar dari luka yang lebih banyak. Orang-orang mengerumuni kami tapi sayang tak ada satupun memiliki apa saja untuk membantu luka Eddy, akhirnya seseorang yang dikenal Eddy membantu mengurangi lukanya dengan menyiramkan bensin di tangan dan lututnya.
Sekarang giliran aku di depan, menerobos hujan menuju ke rumah bapak kecil Eddy yang rumahnya ada di kampung sebelah. Aku dan Eddy sampai di rumah dalam kondisi cukup basah. Untung ada tanaman Pinahong di depan rumah, aku membantunya menggerus daun-daun merambat itu untuk di tempel di lukanya.
Sekarang aku di antara dua pilihan menunggu kendaraan untuk menjemput (menunggu sampai malam) atau meneruskan perjalanan. Karena langit sudah berubah menjadi gerimis kecil akhirnya aku dan Eddy memutuskan melanjutkan perjalanan. Sekarang luka-luka itu menjadi lengkap: bensin, pinahong, air hujan dan angin.
Sampai sekarang ada yang mengganjal di benak Eddy, kenapa kami jatuh karena bola. Apa hubungannya dengan bola? Satu-satunya yang jelas sampai saat ini adalah kami berdua bukan maniak bola.


Pantai Nangapenda: Ini Seharusnya
Kenekatan aku dan Eddy ternyata masih membawa hasil. Belum terlalu gelap sampai di Nangapenda walaupun dalam perjalanan sebenarnya masih banyak was-was mengingat motor habis jatuh dan medan jalan sedang ada pekerjaan sehingga jalan penuh dengan lumpur. Gak keren kalau aku dan Eddy harus jatuh kedua kali.
Aku dan Eddy sampai sekitar jam enam sore lewat sepuluh menit, posisi matahari yang sedang condong ke selatan memang membuat bulan-bulan ini siang lebih panjang. Jalan menuju ke bawah yang sangat curam biasanya membuat kami harus turun pelan-pelan tapi sekarang harus jauh lebih hati-hati karena Eddy tidak memungkinkan memegang tanaman di sekitarnya untuk berpegangan.
Langit memang masih menyisakan mendung yang cukup menghalangi matahari untuk sedikit berbagi sinar terakhirnya ke kami. Jadi aku harus merela mendapatkan sisa sinar yang masih cukup terang di ujung barat.
Cuaca tidak sedang badai namun tinggi ombak lumayan, beberapa kali hempasan ombak melenting melampaui kepala mungkin lebih dari 4 meter.
Memotret dalam kondisi ombak besar memang menyenangkan sekaligus menegangkan, walaupun perhitungan awal ombak tidak akan naik setinggi itu tiba-tiba saja bisa muncul ombak yang datangnya hampir dua kali lipat. Saat itu aku harus merelakan tripod terkena air laut, hanya kamera yang harus segera dilindungi.
Dengan tangan terluka dan dibalut kain, Eddy juga tetep mencoba memotret padahal memegang kamera saja tampaknya setengah mati. 
Hanya beberapa jepretan karena memotret ombak memang butuh waktu menunggu antar satu shot dengan shot berikutnya dengan baik, memboroskan shutter malah kadang jadi bumerang. Bisa jadi momen penting karena kamera malah sedang memproses gambar sebelumnya.
Aku melanjutkan jalan tapi kecepatan jauh menurun, lampu motor depan Eddy ternyata suka mati sendiri walhasil aku hanya bisa menggunakan lampu jarak pendek. 
Kerlip-kerlip lampu di kota Ende yang tampak di kejauhan baru kami capai dalam satu setengah jam perjalanan, tak apa asyik juga. Setidaknya kami punya cerita hahahaha
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 19 Januari 2012

Pantai Air Cina, Kupang

Tahun 2012 sudah merayap ke angka hari ke-19. Belum ada target, belum ada rencana dan belum ada harapan besar seperti juga tahun-tahun sebelumnya. Satu-satunya rencana adalah bagaimana supaya Januari ini blog tidak kosong, tapi bingung sendiri. Gara-gara sering melakukan perjalanan ulangan ke tempat sama jadi bingung mana yang sudah aku tulis mana yang belum. Jadi setelah baca kembali seluruh judul tulisan baru ingat kalau pantai Air Cina belum aku tuliskan disini. Jadi ini anggaplah tulisan pembuka untuk 2012, tak banyak foto tapi banyak momen.

Pantai Air Cina sudah banyak dikenal orang Kupang terutama yang biasa memancing dengan perahu, menurut mereka di daerah itu banyak sekali ikan-ikan ukuran besar. Di bagian yang disebut daerah Ujung Lampu, 

Perjalanan yang aku lakukan saat itu masih ada di bulan November, yang biasanya Kupang sedang dalam puncak panasnya. Berdua dengan sahabat dan juga istriku, kami menggunakan motor menuju ke sana. Berangkat sekitar jam empat sore, setengah jam kemudian baru kami sampai ke depan sebuah sekolah dimana terdapat pertigaan. Sesuai petunjuk arah beberapa orang yang kami temui, setelah melewati sekolah kami harus berbelok ke kanan memasuki kawasan perkampungan. Jalan menuju Air Cina punya jalur jalan dari tanah sehingga pada musim hujan harus hati-hati karena jalan bisa berubah menjadi kubangan-kubangan.

Beruntung sekarang baru musim kering, sehingga kami hanya berhadapan dengan debu-debu yang beterbangan terlindas roda kendaraan. Sekitar sepuluh menit kami sampai ke kawasan Pantai Cina yang biasa digunakan penduduk sekitar untuk bertanam rumput laut. Kawasan ini cukup sepi, hanya ada satu-dua nelayan yang pulang. Entah mereka habis memperbaiki dan mengecek tanaman rumput laut mereka ataukah pulang dari mencari ikan.

Kami memutuskan untuk mencari Pantai Air Cina yang terdapat lampu mercusuar, istilah penduduk sini adalah ujung lampu. Dari kawasan pantai ini tidak ada jalan pasir karena langsung berhadapan dengan karang-karang yang terjal dan runcing. Satu-satunya jalan kami harus mengikuti jalan menuju ke perkampungan di depan kami.

Perjalanan berikutnya walau tidak jauh tapi justru lebih sulit karena jalan menanjak banyak yang  berupa batu lepasan dan batu-batu karang runcing menganga dimana-mana. Dua kali tanjakan terpaksa istriku harus turun supaya kendaraan bisa naik ke atas. Kami juga harus menerobos jalan kecil disamping rumah penduduk yang dipenuhi belukar untuk sampai pinggir pantai. Ternyata kami hanya bisa sampai di ujung dua buah pohon Beringin besar, karena jalan di depan tampaknya makin sulit.

Akhirnya kami memarkirkan kendaraan di bawah pohon dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Lima menit kemudian kami baru sampai ke pinggir pantai. Walaupun di sekeliling disuguhi batu-batu karang yang terjal, namun kondisi pantainya yang berpasir putih dan masih asli punya potensi yang menjanjikan. Seandainya semak-semak di sepanjang jalur ini dibersihkan, pantai ini akan memiliki view pasir yang makin menarik.
Pantani di depan landai dan berombak pelan karena beberapa ratus meter dari pantai terdapat barrier karang yang menhadang ombak sehingga ombak yang sampai ke pantai tidak kencang.
Pohon-pohon asam tampak unik berdiri karena daun dan batanya tumbuh berkembang ke arah darat layaknya bonsai yang dibentuk. Di genangan air yang terjebak di batu-batu karang beberapa anak lobster lari bersembunyi saat merasakan kehadiran kami. Di sepanjang pantai ini juga dengan mudah ditemukan tanaman laut dengan terumbu-terumbu kecil.

Beberapa ratus meter ke arah barat, kami melihat sebuah bangunan tinggi mercusuar. Di sini kami menemukan kawasan pasir yang bukan terdiri dari pasir tapi batu-batu bulat sebesar merica. Sayang matahari masih asyik bersembunyi di balik awan sampai senja tenggelam, hanya bias-bias kuning merah dan bayangan kemilau di air yang kami dapatkan hari ini.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya