Kamis, 09 Februari 2012
Akhirnya: Foto Kelimutu dari Atas
Akhirnya hari yang tepat datang, suara sang pilot dari ruang kokpit pesawat milik Wings Air memberitahukan bahwa sekarang sedang terbang di atas danau Kelimutu yang bisa dilihat dari sebelah kiri.
Mata yang lagi sentengah mengantuk langsung byar terbuka terang. Cuma posisi duduk lagi di sebelah kanan bukan posisi yang tepat untuk mengambil gambar. Padahal cuaca sedang bagus-bagusnya, danau kelimutu yang sedang berwarna hijau dan biru tosca mengintip dari jendela kiri.
Waktu menengok ke deretan kursi belakang ternyata posisi sebelah kiri sedang kosong, langsung dengan secepat kilat aku langsung berlari ke kursi kedua dari belakang. Pesawat yang terbang memutar dua kali memberikan kesempatan aku dan beberapa penumpang mengabadikan danau. Pagi tadi sebenarnya langit tidak sedang benar-benarcerah, awan tipis kelabu masih menyelimuti langit yang seharusnya biru tapi matahari masih bisa bersinar dari dari balik awan tipis itu.
Setelah beberapa kali aku kembali ke tempat dudukku, karena aku merasakan perasaan tidak enak di lambung. Maklum penerbangan pagi memang sering bikin insiden seperti ini, ditambah harus merasakan pesawat melakukan manuver putaran seperti ini.
Tiba-tiba setelah sesaat pesawat menjauh pesawat berbalik dan kembali memutari danau kelimutu namun kali gantian dari sisi kanan pesawat tetap di posisi tempat dudukku sekarang.
Kali ini posisi terbangnya lebih rendah dari posisi terbang putar sebelumnya. Kali ini kameraku bisa menjangkau lebih terang danau Kelimutu. Namun aku hanya bisa memotret beberapa kali karena lambung makin terasa tidak enak ditambah kepala yang tiba-tiba terasa menegang. Hah, aku hampir mendekati mabuk. Terpaksa aku memejamkan mata membiarkan pilot menyelesaikan putaran terakhir.
Aku bahkan tidak berani mengintip beberapa lama untuk memastikan telah sampai di daerah mana selama beberapa menit. Hanya aku sempat mengintip sebentar melihat pesawat sedang melintasi daratan flores dari sebelah utara.
Setelah kepala dan lambungku mau sedikit berkompromi barulah aku bisa melihat hasil fotoku, ternyata semua foto yang kuambil dari jendela sebelah kiri tidak ada yang tajam. Aku rupanya lupa membersihkan jendela yang mungkin kotor oleh tangan penumpang sebelumnya.
Untungnya aku masih mendapatkan gambar-gambar yang cukup bagus yang aku ambil dari sisi kanan karena jendela sudah aku bersihkan semenjak berangkat dari Kupang. sayangnya di foto sebelah sini, tempat dudukku persih di deret yang dekat dengan bagian belakang pesawat sehingga semua foto-fotoku pasti meninggalkan jejak sayap pesawat. Wah harus di crop lagi deh :D
Sebenarnya ini kali ketiga aku dapet kesempatan melihat danau Kelimutu dari atas, cuma kesempatan sebelumnya aku cuma melihat tidak mengambil gambar. Yang aku ingat, waktu kedua kali, waktu itu sudah sore dan suasana sudah agak gelap dan ada seorang perempuan muda Jepang yang ada di pesawat yang saat itu berada di sisi yang tidak bisa melihat danau. Karena mungkin ini kesempatan langka baginya, maka aku memberikan kursiku sementara supaya dia bisa mengabadikan danau Kelimutu. Biar foto itu menjadi kenangan mengesankan tentang alam Flores. Aku masih ingat habis itu beberapa kali dia menngangguk sambil ngomong apa aku gak paham dengan senyum lebar, matanya yang sipit jadi tambah sipit hahahaha.
Baca keseluruhan artikel...
Kamis, 02 Februari 2012
Ende-Nagekeo Part III
Segelas Kopi di Tengah Rintik Gerimis
"Tidak sedang terburu-buru kan? Kita mampir minum kopi ya", ucapan yang tak usah diulang dua kali kukira. Siapa akan menolak ajakan ini. Gerimis lebih sering menemani sepanjang jalan namun di pertengahan tanjakan melewati Nangaroro tiba-tiba titik air mulai bertambah banyak. Untung kami lebih dulu sampai di kedai sebelum hujan datang lebih lebat.
Kopi panas segera memenuhi meja yang kami duduki. Aku yang biasanya tidak minum kopi melupakan kebiasaan itu. Segelas kopi di tengah rintik gerimis seperti ini terlalu sayang dilewatkan. Posisi kedai ini cukup menyenangkan, sayang sekarang tidak ada jagung rebus padahal aku berharap sekali itu menjadi teman minum kopi.
Kopi yang disajikan agak terlalu manis, tapi tak mengapa. Aku tiba-tiba teringat suguhan kopi di rumah pak Ndus waktu mampir rumahnya setelah foto-foto. Kopinya yang nikmat membuat aku lupa telah duduk di kursinya lebih dari tiga jam.
Masing-masing larut dengan cerita masing-masing, tapi diseberang sana seorang laki-laki nenghisap sebatang rokok dengan asyiknya. Peminum kopi yang tahu cara menikmati kopi, tangannya sendiri lincah berpindah-pindah dari sebuah handphone dan ipad. Sepanjang jalan aku memang sempat memperhatikan matanya yang gelisah mencari sinyal karena di sepanjang jalan sering terjadi blank spot. Sekarang dia baru menikmati kegembiraannya, lelaki yang tak bisa sejenak melepaskan informasi. Aku tidak sedang menilainya tapi sedang mengamati caranya menikmati kopi dan hidupnya.
Aku tak perlu menilainya lebih jauh karena kopi terlalu sayang dibiarkan. Beberapa pohon Cendana yang berbuah telah matang buah-buahnya berwarna hitam kecil memenuhi seluruh ujung ranting. Kupikir aku bisa mencoba menanamnya saat kakiku sigap menuruni turunan di bawah bangunan kedai.
Segelas kopi hari ini kehilangan teman setianya: jagung rebus dan ubi goreng.
Nangateke Masih Sama
Hujan hampir saban hari mengguyur kota Mbay, menyisakan pantulan-pantulan kala malam. Hari pertama, hari kedua dan hari ketiga masih sama semua punya alasan yang sama untuk tidak keluar atau dengan kata lain tak ada alasan untuk keluar.
Rumput-rumput di perbukitan Mbay memang sudah hijau tapi belum cukup rata hijau seperti biasanya. Tapi tampaknya bukit-bukit itu akan segera berubah. Pagar-pagar kayu yang biasanya tidak sekarang mulai ditanam mengelilingi bukit-bukit itu. Ah, seandainya bukit-bukit itu tidak ada yang punya.
Mungkin masih ada bukit yang lama baru akan dipikirkan pemiliknya untuk menambahkan pagar. Dan sekarang arah tujuanku dan Eddy melesatkan motor, Nangateke.
Ini hari ke empat untukku, mendung masih tampak setia memenuhi langit. Tapi kata para maestro foto, siapa yang bisa menebak senja bahkan pada 10 detik berikutnya.
Benar perbukitan ini belum berubah, rumputnya pun masih sombong tegak menghijau entah kapan akan memudar kuning memanjang dan menunduk. Aku bahkan terkesan saat rumputnya mengering bukan coklat tapi memutih, hanya kadang harus adu cepat karena saat itu padang-padang rumput seperti ini sering kali dibakar. Supaya tumbuh rumput baru lebih cepat, katanya.
Langit tidak seperti kata maestro masih dengan warna yang sama, tidak juga 10 detik atau 10 menit. Jika ada nyala merah sesaat itupun hanya tersisa sesaput angin untuk memberitahukanku malam mulai merangkak. Nyamuk-nyamuk berpesta pora memenuhi kakiku yang bercelana pendek.
It's an Accident or Something: Bola
Bulan-bulan begini ombak sedang kencang, di beberapa tempat kadang tak menyisakan jeda tenang. Tidak mengherankan di wilayah timur seperti ini, BMKG dengan mudah bisa mengeluarkan peringatan badai dan larangan melakukan pelayaran. Aku jadi ingat Pantai Nangapanda, karang yang menjorok ke daratan itu menarik perhatianku. Sepertinya saat ini waktu yang tepat untuk melihat ombak yang terhempas tinggi membentuk karang.
Aku dan Eddy memulai perjalanan kembali ke Ende dengan motor sekaligus menjadikan suatu memori yang tak pernah hilang.
Selepas tikungan belum lebih dari sepertiga perjalanan saat lepas dari tanjakan aku melewati jalan di samping lapangan. Saat itu Eddy agak melambatkan motor karena di sepanjang jalan banyak kendaraan. Tampaknya bakal ada keramaian sebuah gereja di seberang lapangan. Tiba-tiba seorang anak menendang bola dan terlepas ke tengah jalan.
Entah apa hubungannya aku sama bola tapi aku cuma berharap roda kami tidak mengenai bola atau jika harus kena maka bola yang kami lindas tak lebih dari bola plastik.
Saat aku merasakan perasaan menekan sesuatu yang lunak dan berikutnya terasa melampung aku menyadari bahwa semua harapanku salah. Semua sudah terjadi, motor terbanting setelah sesaat menyentuh tanah.
Aku masih sadar sepenuhnya bahkan saat dunia tampak berputar-putar dan aku terhenti di seberang jalan sementara aku melihat Eddy jatuh tertelungkup di bawah motor. Tangan dan lututku terasa kebas tapi aku tidak terluka sedikitpun. Eddy yang harus rela mendapat luka di lutut dan tangan. Tas kamera pun tergores panjang tapi justru membantu dia terhindar dari luka yang lebih banyak. Orang-orang mengerumuni kami tapi sayang tak ada satupun memiliki apa saja untuk membantu luka Eddy, akhirnya seseorang yang dikenal Eddy membantu mengurangi lukanya dengan menyiramkan bensin di tangan dan lututnya.
Sekarang giliran aku di depan, menerobos hujan menuju ke rumah bapak kecil Eddy yang rumahnya ada di kampung sebelah. Aku dan Eddy sampai di rumah dalam kondisi cukup basah. Untung ada tanaman Pinahong di depan rumah, aku membantunya menggerus daun-daun merambat itu untuk di tempel di lukanya.
Sekarang aku di antara dua pilihan menunggu kendaraan untuk menjemput (menunggu sampai malam) atau meneruskan perjalanan. Karena langit sudah berubah menjadi gerimis kecil akhirnya aku dan Eddy memutuskan melanjutkan perjalanan. Sekarang luka-luka itu menjadi lengkap: bensin, pinahong, air hujan dan angin.
Sampai sekarang ada yang mengganjal di benak Eddy, kenapa kami jatuh karena bola. Apa hubungannya dengan bola? Satu-satunya yang jelas sampai saat ini adalah kami berdua bukan maniak bola.
Pantai Nangapenda: Ini Seharusnya
Kenekatan aku dan Eddy ternyata masih membawa hasil. Belum terlalu gelap sampai di Nangapenda walaupun dalam perjalanan sebenarnya masih banyak was-was mengingat motor habis jatuh dan medan jalan sedang ada pekerjaan sehingga jalan penuh dengan lumpur. Gak keren kalau aku dan Eddy harus jatuh kedua kali.
Aku dan Eddy sampai sekitar jam enam sore lewat sepuluh menit, posisi matahari yang sedang condong ke selatan memang membuat bulan-bulan ini siang lebih panjang. Jalan menuju ke bawah yang sangat curam biasanya membuat kami harus turun pelan-pelan tapi sekarang harus jauh lebih hati-hati karena Eddy tidak memungkinkan memegang tanaman di sekitarnya untuk berpegangan.
Langit memang masih menyisakan mendung yang cukup menghalangi matahari untuk sedikit berbagi sinar terakhirnya ke kami. Jadi aku harus merela mendapatkan sisa sinar yang masih cukup terang di ujung barat.
Cuaca tidak sedang badai namun tinggi ombak lumayan, beberapa kali hempasan ombak melenting melampaui kepala mungkin lebih dari 4 meter.
Memotret dalam kondisi ombak besar memang menyenangkan sekaligus menegangkan, walaupun perhitungan awal ombak tidak akan naik setinggi itu tiba-tiba saja bisa muncul ombak yang datangnya hampir dua kali lipat. Saat itu aku harus merelakan tripod terkena air laut, hanya kamera yang harus segera dilindungi.
Dengan tangan terluka dan dibalut kain, Eddy juga tetep mencoba memotret padahal memegang kamera saja tampaknya setengah mati.
Hanya beberapa jepretan karena memotret ombak memang butuh waktu menunggu antar satu shot dengan shot berikutnya dengan baik, memboroskan shutter malah kadang jadi bumerang. Bisa jadi momen penting karena kamera malah sedang memproses gambar sebelumnya.
Aku melanjutkan jalan tapi kecepatan jauh menurun, lampu motor depan Eddy ternyata suka mati sendiri walhasil aku hanya bisa menggunakan lampu jarak pendek.
Kerlip-kerlip lampu di kota Ende yang tampak di kejauhan baru kami capai dalam satu setengah jam perjalanan, tak apa asyik juga. Setidaknya kami punya cerita hahahaha Baca keseluruhan artikel...
Kamis, 19 Januari 2012
Pantai Air Cina, Kupang
Tahun 2012 sudah merayap ke angka hari ke-19. Belum ada target, belum ada rencana dan belum ada harapan besar seperti juga tahun-tahun sebelumnya. Satu-satunya rencana adalah bagaimana supaya Januari ini blog tidak kosong, tapi bingung sendiri. Gara-gara sering melakukan perjalanan ulangan ke tempat sama jadi bingung mana yang sudah aku tulis mana yang belum. Jadi setelah baca kembali seluruh judul tulisan baru ingat kalau pantai Air Cina belum aku tuliskan disini. Jadi ini anggaplah tulisan pembuka untuk 2012, tak banyak foto tapi banyak momen.
Pantai Air Cina sudah banyak dikenal orang Kupang terutama yang biasa memancing dengan perahu, menurut mereka di daerah itu banyak sekali ikan-ikan ukuran besar. Di bagian yang disebut daerah Ujung Lampu,
Perjalanan yang aku lakukan saat itu masih ada di bulan November, yang biasanya Kupang sedang dalam puncak panasnya. Berdua dengan sahabat dan juga istriku, kami menggunakan motor menuju ke sana. Berangkat sekitar jam empat sore, setengah jam kemudian baru kami sampai ke depan sebuah sekolah dimana terdapat pertigaan. Sesuai petunjuk arah beberapa orang yang kami temui, setelah melewati sekolah kami harus berbelok ke kanan memasuki kawasan perkampungan. Jalan menuju Air Cina punya jalur jalan dari tanah sehingga pada musim hujan harus hati-hati karena jalan bisa berubah menjadi kubangan-kubangan.
Beruntung sekarang baru musim kering, sehingga kami hanya berhadapan dengan debu-debu yang beterbangan terlindas roda kendaraan. Sekitar sepuluh menit kami sampai ke kawasan Pantai Cina yang biasa digunakan penduduk sekitar untuk bertanam rumput laut. Kawasan ini cukup sepi, hanya ada satu-dua nelayan yang pulang. Entah mereka habis memperbaiki dan mengecek tanaman rumput laut mereka ataukah pulang dari mencari ikan.
Kami memutuskan untuk mencari Pantai Air Cina yang terdapat lampu mercusuar, istilah penduduk sini adalah ujung lampu. Dari kawasan pantai ini tidak ada jalan pasir karena langsung berhadapan dengan karang-karang yang terjal dan runcing. Satu-satunya jalan kami harus mengikuti jalan menuju ke perkampungan di depan kami.
Perjalanan berikutnya walau tidak jauh tapi justru lebih sulit karena jalan menanjak banyak yang berupa batu lepasan dan batu-batu karang runcing menganga dimana-mana. Dua kali tanjakan terpaksa istriku harus turun supaya kendaraan bisa naik ke atas. Kami juga harus menerobos jalan kecil disamping rumah penduduk yang dipenuhi belukar untuk sampai pinggir pantai. Ternyata kami hanya bisa sampai di ujung dua buah pohon Beringin besar, karena jalan di depan tampaknya makin sulit.
Akhirnya kami memarkirkan kendaraan di bawah pohon dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Lima menit kemudian kami baru sampai ke pinggir pantai. Walaupun di sekeliling disuguhi batu-batu karang yang terjal, namun kondisi pantainya yang berpasir putih dan masih asli punya potensi yang menjanjikan. Seandainya semak-semak di sepanjang jalur ini dibersihkan, pantai ini akan memiliki view pasir yang makin menarik.
Pantani di depan landai dan berombak pelan karena beberapa ratus meter dari pantai terdapat barrier karang yang menhadang ombak sehingga ombak yang sampai ke pantai tidak kencang.
Pohon-pohon asam tampak unik berdiri karena daun dan batanya tumbuh berkembang ke arah darat layaknya bonsai yang dibentuk. Di genangan air yang terjebak di batu-batu karang beberapa anak lobster lari bersembunyi saat merasakan kehadiran kami. Di sepanjang pantai ini juga dengan mudah ditemukan tanaman laut dengan terumbu-terumbu kecil.
Beberapa ratus meter ke arah barat, kami melihat sebuah bangunan tinggi mercusuar. Di sini kami menemukan kawasan pasir yang bukan terdiri dari pasir tapi batu-batu bulat sebesar merica. Sayang matahari masih asyik bersembunyi di balik awan sampai senja tenggelam, hanya bias-bias kuning merah dan bayangan kemilau di air yang kami dapatkan hari ini.
Baca keseluruhan artikel...
Pantai Air Cina sudah banyak dikenal orang Kupang terutama yang biasa memancing dengan perahu, menurut mereka di daerah itu banyak sekali ikan-ikan ukuran besar. Di bagian yang disebut daerah Ujung Lampu,
Perjalanan yang aku lakukan saat itu masih ada di bulan November, yang biasanya Kupang sedang dalam puncak panasnya. Berdua dengan sahabat dan juga istriku, kami menggunakan motor menuju ke sana. Berangkat sekitar jam empat sore, setengah jam kemudian baru kami sampai ke depan sebuah sekolah dimana terdapat pertigaan. Sesuai petunjuk arah beberapa orang yang kami temui, setelah melewati sekolah kami harus berbelok ke kanan memasuki kawasan perkampungan. Jalan menuju Air Cina punya jalur jalan dari tanah sehingga pada musim hujan harus hati-hati karena jalan bisa berubah menjadi kubangan-kubangan.
Beruntung sekarang baru musim kering, sehingga kami hanya berhadapan dengan debu-debu yang beterbangan terlindas roda kendaraan. Sekitar sepuluh menit kami sampai ke kawasan Pantai Cina yang biasa digunakan penduduk sekitar untuk bertanam rumput laut. Kawasan ini cukup sepi, hanya ada satu-dua nelayan yang pulang. Entah mereka habis memperbaiki dan mengecek tanaman rumput laut mereka ataukah pulang dari mencari ikan.
Kami memutuskan untuk mencari Pantai Air Cina yang terdapat lampu mercusuar, istilah penduduk sini adalah ujung lampu. Dari kawasan pantai ini tidak ada jalan pasir karena langsung berhadapan dengan karang-karang yang terjal dan runcing. Satu-satunya jalan kami harus mengikuti jalan menuju ke perkampungan di depan kami.
Perjalanan berikutnya walau tidak jauh tapi justru lebih sulit karena jalan menanjak banyak yang berupa batu lepasan dan batu-batu karang runcing menganga dimana-mana. Dua kali tanjakan terpaksa istriku harus turun supaya kendaraan bisa naik ke atas. Kami juga harus menerobos jalan kecil disamping rumah penduduk yang dipenuhi belukar untuk sampai pinggir pantai. Ternyata kami hanya bisa sampai di ujung dua buah pohon Beringin besar, karena jalan di depan tampaknya makin sulit.
Akhirnya kami memarkirkan kendaraan di bawah pohon dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Lima menit kemudian kami baru sampai ke pinggir pantai. Walaupun di sekeliling disuguhi batu-batu karang yang terjal, namun kondisi pantainya yang berpasir putih dan masih asli punya potensi yang menjanjikan. Seandainya semak-semak di sepanjang jalur ini dibersihkan, pantai ini akan memiliki view pasir yang makin menarik.
Pantani di depan landai dan berombak pelan karena beberapa ratus meter dari pantai terdapat barrier karang yang menhadang ombak sehingga ombak yang sampai ke pantai tidak kencang.
Pohon-pohon asam tampak unik berdiri karena daun dan batanya tumbuh berkembang ke arah darat layaknya bonsai yang dibentuk. Di genangan air yang terjebak di batu-batu karang beberapa anak lobster lari bersembunyi saat merasakan kehadiran kami. Di sepanjang pantai ini juga dengan mudah ditemukan tanaman laut dengan terumbu-terumbu kecil.
Beberapa ratus meter ke arah barat, kami melihat sebuah bangunan tinggi mercusuar. Di sini kami menemukan kawasan pasir yang bukan terdiri dari pasir tapi batu-batu bulat sebesar merica. Sayang matahari masih asyik bersembunyi di balik awan sampai senja tenggelam, hanya bias-bias kuning merah dan bayangan kemilau di air yang kami dapatkan hari ini.
Jumat, 30 Desember 2011
Tanah Lot, Uluwatu dan Dream Land
Lebih dari setahun lalu perjalanan ini aku lakukan, menurut catatan album foto yang aku buat perjalanan ini aku lakukan pada tanggal 3-4 November 2010. Awalnya aku pikir sudah menuliskan perjalanan ini ternyata setelah aku telusuri di blog tidak ada, rupanya perjalanan yang ini terlewatkan.
Bali... bukanlah hal asing bagi orang Indonesia bahkan orang dari luar pun lebih mengenal Bali dibanding Indonesia sendiri. Mungkin itu pula yang membuat aku agak ragu menuliskan tempat ini, karena banyak orang yang sudah mengenalnya bahkan mungkin lebih tahu daripada aku yang cuma mampir tak lebih dari seminggu.
Kalau bukan karena bareng teman dari Bali, belum tentu aku sampai ke tempat-tempat ini. Nyoman yang kebetulan mendapatkan penugasan tugas bareng aku ke Denpasar. sebagai orang Bali yang tentu mengenal baik seluk beluk Bali, Nyoman dengan mudah bisa mencarikan waktu yang tepat untuk berjalan-jalan tanpa harus menggangu penugasan.
Dalam waktu dua hari perjalanan, aku sempat mengunjungi tiga lokasi yang cukup dikenal. Bukan kesempatan yang buruk mengingat waktu itu di Bali sendiri hujan sudah turun.
Pura Tanah Lot
Rabu sore, sepeda motor yang aku naiki bersama Nyoman meliuk-liuk menerobos kesesakan jalan Denpasar menuju ke arah Tabanan. Untung kami menggunakan motor karena mobil-mobil tampaknya harus rela bergerak pelan-pelan seperti gerakan naga yang malas.
Setelah sekitar 40 menit duduk di atas jok motor, akhirnya aku bisa bernafas lega setelah sampai. Sedikit terkejut karena di depan lokasi parkir aku sendiri nyaris tidak bisa mengenali lagi. Bangunan tempat pedagang pakaian, minuman dan cindera mata memenuhi sepanjang areal perparkiran. Lagi-lagi keberadaan Nyoman sangat membantu, dengan lincah dia mengajakku menelusup di antara bangunan para pedagang.
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 30, namun cuaca yang agak mendung membuat suasana terasa temaram waktu aku sampai di Pura Penyawang. Dari samping Pura tampak view Pura Tanah Lot yang saat itu airnya sedang naik agak tinggi sehingga ora tidak bisa sampai ke sana.
Sebenarnya yang dimaksud Pura Tanah Lot adalah Pura yang berdiri sendiri di atas batu karang yang terpisah sendiri. Sedangkan kawasan wisata Pura Tanah Lot sendiri terdiri beberapa pura, salah satunya ya Pura Penyawang yang berada di bibir pantai.
Ada juga Pura Jero Kandang yang menurut kepercayaan digunakan untuk masyarakat yang ingin berdoa bagi tanaman atau binatangnya. Atau Pura Enjung Galuh yang letaknya di puncak bukit karang sebelah kanan dari Pura Tanah Lot, yang menurut informasi digunakan sembahyang masyarakat yang menginginkan kekayaan/kesejahteraan.
Sayang waktunya tidak tepat untuk turun ke bawah, padahal aku sudah mendengar tentang keberadaan gua-gua yang ada dibagian bawah Pura Tanah Lot yang dipenuhi dengan ular laut yang sangat beracun. Ular laut yang berbentuk tipis dengan warna hitam berstrip kuning ini dipercayai sebagai penjaga Pura Tanah Lot dari roh jahat dan penganggu.
Waktu memotret Pura Tanah Lot dari bagian atas aku bertemu dengan Alex, orang Bali peranakan China yang saat itu sedang jalan-jalan. Dia menyapaku lebih dulu, dan dari perkenalan baru kutahu kalau dia tertarik dengan kamera Fuji S200 EXR yang aku bawa karena dia juga sedang memegang kamera Fuji HS10 EBC. Alex agak surprise dengan beberapa peralatan yang aku bawa, karena menurutnya selama ini kamera seperti itu tidak bisa ditambah apa-apa lagi. Beberapa kali dia minta aku memotret dengan menggunakan memori dia, juga dia sempat meminjam beberapa filter yang aku bawa. Dari Alex aku diajak ke sisi selatan dari Pura Tanah Lot, rupanya dia mengajakku ke arah Nirwana Resort. Dari sini memang aku mendapatkan view yang cukup berbeda walaupun jaraknya agak jauh dari Pura Tanah Lot.
Legian, Ground Zero dan Pantai Kuta
Malam setelah dari Pura Tanah Lot aku dan Nyoman sempat berjalan-jalan memutari kawasan Legian. Awalnya memang sekedar mau mengunjungi Monumen Bom Bali yang terletak di daerah Ground Zero. Monumen yang biasa disebut dengan Monumen Bom Bali, didirikan di bekas tanah yang pernah menjadi pusat ledakan bom Bali. Di monumen itu tertulis daftar nama-nama orang yang tewas menjadi korban ledakan. Tampak beberapa bunga-bunga segar yang diletakkan di depan monumen yang ditaruh orang-orang yang mengunjungi tempat ini sebagai tanda ikut berduka.
Sekarang kawasan ini sudah tampak ramai kembali, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya paska peledakan yang nyaris meruntuhkan kebesaran Bali sebagai daerah destinasi wisata. Tapi tentu saja keramaiannya belum pulih benar. Kawasan ini hampir dipenuhi klub dan cafe yang bertebaran di sepanjang jalan berhimpitan dengan beberapa bangunan kecil yang menjajakan souvenir dan cendera mata khas Bali. Aku sendiri nyaris bingung apakah sekarang masih di Indonesia atau tidak, karena kawasan Legian sudah lebih didominasi bule, suasana hingar bingar dan dentuman musik terdengar memekakkan telinga.
Di pertigaan jalan menuju Pantai Kuta, beberapa orang mendatangi aku dan Nyoman dan menawarkan sesuatu. Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, dari Nyoman kutahu kalau mereka menawarkan barang-barang haram semacam heroin, ekstasi dan sejenisnya. Rupanya di kawasan Legian ini transaksi seperti ini hal yang biasa, istilahnya illegal namun secara terselubung dibiarkan. Menurut informasi, transaksi seperti dibiarkan salah satunya untuk mendongkrak pariwisata entah benar atau tidak, namun jangan coba-coba bertransaksi di luar kawasan ini.
Berbeda dengan kawasan Legian, Pantai Kuta justru malam ini terasa sangat tenang. Musik hanya sayup-sayup terdengar dari Planet Hollywood di seberang jalan.
Kesanku tentang kawasan Legian ini bukanlah kawasan menarik, terutama backpacker yang menyukai keunikan dan keindahan Bali. Disini justru serasa didamparkan pada wajah asing di tanah Indonesia.
Pura Uluwatu dan Pantai Dreamland
Setelah esoknya dari Pura Tanah Lot, hari Kamis kami memiliki waktu lebih longgar karena siang sudah dilakukan penutupan acara. Karena setelah hari ini kami harus membiayai biaya penginapan kami sendiri, aku memutuskan untuk berpindah hotel. Selain faktor tarif hotel yang terlalu tinggi aku juga memikirkan faktor kemudahan untuk bergerak.
Siang setelah meletakkan tas bawaan di hotel, aku dan Nyoman kembali meluncur. Kali ini arah tujuanku adalah ke Dreamland. Searah dengan pantai Dreamland dan masih berada di lokasi Jimbaran, karena masih agak siang aku memutuskan meneruskan perjalanan ke daerah Uluwatu.
Aku sampai di Pura Luhur Uluwatu selepas lewat jam dua siang, suasana terasa sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang sibuk dipakaikan selendang. Katanya, semua orang yang masuk ke dalam pura harus menggunakan selendang sehingga aku pun ikut memakainya. Begitu masuk pertama ke dalam, serombongan monyet menyambut mataku tapi mereka tidak mengganggu hanya melihat kami dari pinggir beton pembatas. Sekali dua melintas monyet yang sedang menggendong anaknya.
Pura Luhur Uluwatu didirikan di atas karang yang sangat tinggi. Dari pinggir pagar, tampak deburan ombak pantai Selatan yang keras menghantam batu-batu karang jauh di bawah. Karena tertarik view yang menarik, aku nekad saja keluar dari pagar. Nyoman geleng-geleng saja dengan tingkahku, apalagi penjaga pura juga membiarkanku cuma mengatakan kalau berani keluar pagar risiko ditanggung sendiri.
Sebenarnya cukup bikin ngeri juga berdiri di tepi tebing karang yang begitu tinggi, apalagi karang ini berupa rekahan yang aku tidak tahu bisa terlepas atau tidak. Menelusuri sisi samping tebing kami sampai di bagian terakhir pura, ada sebuah warung tenda kecil, sebuah kebetulan saat kami sudah merasa demikian kehausan. Maklum kami kelupaan membawa bekal padahal tidak ada pedagang di depan pura.
Setelah mulai sore, aku dan Nyoman meluncur ke arah Pantai Dreamland. Ternyata untuk ke Dreamland kami harus masuk ke arah resort yang dibangun dengan meratakan perbukitan di sini. Perjalanan menjadi mudah, karena informasi awal bahwa untuk ke Dreamland kita harus berjalan kaki menaiki bukit yang cukup lama.
Pantai Dreamland memang indah, pasir putih membentang di sepanjang pantai. Sayang pada bulan-bulan ini ombak tidak terlalu besar padahal salah satu yang menarik disini adalah ombaknya yang besar sehingga pantai Dreamland salah satu favorit untuk surfing. Sayang ada bangunan hotel dan club yang berdiri di pinggir pantai dengan jarak sangat dekat. Baca keseluruhan artikel...
Bali... bukanlah hal asing bagi orang Indonesia bahkan orang dari luar pun lebih mengenal Bali dibanding Indonesia sendiri. Mungkin itu pula yang membuat aku agak ragu menuliskan tempat ini, karena banyak orang yang sudah mengenalnya bahkan mungkin lebih tahu daripada aku yang cuma mampir tak lebih dari seminggu.
Kalau bukan karena bareng teman dari Bali, belum tentu aku sampai ke tempat-tempat ini. Nyoman yang kebetulan mendapatkan penugasan tugas bareng aku ke Denpasar. sebagai orang Bali yang tentu mengenal baik seluk beluk Bali, Nyoman dengan mudah bisa mencarikan waktu yang tepat untuk berjalan-jalan tanpa harus menggangu penugasan.
Dalam waktu dua hari perjalanan, aku sempat mengunjungi tiga lokasi yang cukup dikenal. Bukan kesempatan yang buruk mengingat waktu itu di Bali sendiri hujan sudah turun.
Pura Tanah Lot
Rabu sore, sepeda motor yang aku naiki bersama Nyoman meliuk-liuk menerobos kesesakan jalan Denpasar menuju ke arah Tabanan. Untung kami menggunakan motor karena mobil-mobil tampaknya harus rela bergerak pelan-pelan seperti gerakan naga yang malas.
Setelah sekitar 40 menit duduk di atas jok motor, akhirnya aku bisa bernafas lega setelah sampai. Sedikit terkejut karena di depan lokasi parkir aku sendiri nyaris tidak bisa mengenali lagi. Bangunan tempat pedagang pakaian, minuman dan cindera mata memenuhi sepanjang areal perparkiran. Lagi-lagi keberadaan Nyoman sangat membantu, dengan lincah dia mengajakku menelusup di antara bangunan para pedagang.
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 30, namun cuaca yang agak mendung membuat suasana terasa temaram waktu aku sampai di Pura Penyawang. Dari samping Pura tampak view Pura Tanah Lot yang saat itu airnya sedang naik agak tinggi sehingga ora tidak bisa sampai ke sana.
Sebenarnya yang dimaksud Pura Tanah Lot adalah Pura yang berdiri sendiri di atas batu karang yang terpisah sendiri. Sedangkan kawasan wisata Pura Tanah Lot sendiri terdiri beberapa pura, salah satunya ya Pura Penyawang yang berada di bibir pantai.
Ada juga Pura Jero Kandang yang menurut kepercayaan digunakan untuk masyarakat yang ingin berdoa bagi tanaman atau binatangnya. Atau Pura Enjung Galuh yang letaknya di puncak bukit karang sebelah kanan dari Pura Tanah Lot, yang menurut informasi digunakan sembahyang masyarakat yang menginginkan kekayaan/kesejahteraan.
Sayang waktunya tidak tepat untuk turun ke bawah, padahal aku sudah mendengar tentang keberadaan gua-gua yang ada dibagian bawah Pura Tanah Lot yang dipenuhi dengan ular laut yang sangat beracun. Ular laut yang berbentuk tipis dengan warna hitam berstrip kuning ini dipercayai sebagai penjaga Pura Tanah Lot dari roh jahat dan penganggu.
Waktu memotret Pura Tanah Lot dari bagian atas aku bertemu dengan Alex, orang Bali peranakan China yang saat itu sedang jalan-jalan. Dia menyapaku lebih dulu, dan dari perkenalan baru kutahu kalau dia tertarik dengan kamera Fuji S200 EXR yang aku bawa karena dia juga sedang memegang kamera Fuji HS10 EBC. Alex agak surprise dengan beberapa peralatan yang aku bawa, karena menurutnya selama ini kamera seperti itu tidak bisa ditambah apa-apa lagi. Beberapa kali dia minta aku memotret dengan menggunakan memori dia, juga dia sempat meminjam beberapa filter yang aku bawa. Dari Alex aku diajak ke sisi selatan dari Pura Tanah Lot, rupanya dia mengajakku ke arah Nirwana Resort. Dari sini memang aku mendapatkan view yang cukup berbeda walaupun jaraknya agak jauh dari Pura Tanah Lot.
Legian, Ground Zero dan Pantai Kuta
Malam setelah dari Pura Tanah Lot aku dan Nyoman sempat berjalan-jalan memutari kawasan Legian. Awalnya memang sekedar mau mengunjungi Monumen Bom Bali yang terletak di daerah Ground Zero. Monumen yang biasa disebut dengan Monumen Bom Bali, didirikan di bekas tanah yang pernah menjadi pusat ledakan bom Bali. Di monumen itu tertulis daftar nama-nama orang yang tewas menjadi korban ledakan. Tampak beberapa bunga-bunga segar yang diletakkan di depan monumen yang ditaruh orang-orang yang mengunjungi tempat ini sebagai tanda ikut berduka.
Sekarang kawasan ini sudah tampak ramai kembali, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya paska peledakan yang nyaris meruntuhkan kebesaran Bali sebagai daerah destinasi wisata. Tapi tentu saja keramaiannya belum pulih benar. Kawasan ini hampir dipenuhi klub dan cafe yang bertebaran di sepanjang jalan berhimpitan dengan beberapa bangunan kecil yang menjajakan souvenir dan cendera mata khas Bali. Aku sendiri nyaris bingung apakah sekarang masih di Indonesia atau tidak, karena kawasan Legian sudah lebih didominasi bule, suasana hingar bingar dan dentuman musik terdengar memekakkan telinga.
Di pertigaan jalan menuju Pantai Kuta, beberapa orang mendatangi aku dan Nyoman dan menawarkan sesuatu. Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, dari Nyoman kutahu kalau mereka menawarkan barang-barang haram semacam heroin, ekstasi dan sejenisnya. Rupanya di kawasan Legian ini transaksi seperti ini hal yang biasa, istilahnya illegal namun secara terselubung dibiarkan. Menurut informasi, transaksi seperti dibiarkan salah satunya untuk mendongkrak pariwisata entah benar atau tidak, namun jangan coba-coba bertransaksi di luar kawasan ini.
Berbeda dengan kawasan Legian, Pantai Kuta justru malam ini terasa sangat tenang. Musik hanya sayup-sayup terdengar dari Planet Hollywood di seberang jalan.
Kesanku tentang kawasan Legian ini bukanlah kawasan menarik, terutama backpacker yang menyukai keunikan dan keindahan Bali. Disini justru serasa didamparkan pada wajah asing di tanah Indonesia.
Pura Uluwatu dan Pantai Dreamland
Setelah esoknya dari Pura Tanah Lot, hari Kamis kami memiliki waktu lebih longgar karena siang sudah dilakukan penutupan acara. Karena setelah hari ini kami harus membiayai biaya penginapan kami sendiri, aku memutuskan untuk berpindah hotel. Selain faktor tarif hotel yang terlalu tinggi aku juga memikirkan faktor kemudahan untuk bergerak.
Siang setelah meletakkan tas bawaan di hotel, aku dan Nyoman kembali meluncur. Kali ini arah tujuanku adalah ke Dreamland. Searah dengan pantai Dreamland dan masih berada di lokasi Jimbaran, karena masih agak siang aku memutuskan meneruskan perjalanan ke daerah Uluwatu.
|
Pura Luhur Uluwatu didirikan di atas karang yang sangat tinggi. Dari pinggir pagar, tampak deburan ombak pantai Selatan yang keras menghantam batu-batu karang jauh di bawah. Karena tertarik view yang menarik, aku nekad saja keluar dari pagar. Nyoman geleng-geleng saja dengan tingkahku, apalagi penjaga pura juga membiarkanku cuma mengatakan kalau berani keluar pagar risiko ditanggung sendiri.
Sebenarnya cukup bikin ngeri juga berdiri di tepi tebing karang yang begitu tinggi, apalagi karang ini berupa rekahan yang aku tidak tahu bisa terlepas atau tidak. Menelusuri sisi samping tebing kami sampai di bagian terakhir pura, ada sebuah warung tenda kecil, sebuah kebetulan saat kami sudah merasa demikian kehausan. Maklum kami kelupaan membawa bekal padahal tidak ada pedagang di depan pura.
Setelah mulai sore, aku dan Nyoman meluncur ke arah Pantai Dreamland. Ternyata untuk ke Dreamland kami harus masuk ke arah resort yang dibangun dengan meratakan perbukitan di sini. Perjalanan menjadi mudah, karena informasi awal bahwa untuk ke Dreamland kita harus berjalan kaki menaiki bukit yang cukup lama.
Pantai Dreamland memang indah, pasir putih membentang di sepanjang pantai. Sayang pada bulan-bulan ini ombak tidak terlalu besar padahal salah satu yang menarik disini adalah ombaknya yang besar sehingga pantai Dreamland salah satu favorit untuk surfing. Sayang ada bangunan hotel dan club yang berdiri di pinggir pantai dengan jarak sangat dekat. Baca keseluruhan artikel...
Kamis, 29 Desember 2011
Ritual Adu Fisik Ala Nagekeo
Pertarungan fisik selalu selalu diidentikan dengan simbol keperkasaan seseorang. Mungkin jika ada yang kalah , lantas berdarah-darah, semua orang mencemoohkannya. Atau jika sang pemenang mengangkat kedua tangan sebagai tanda kemenangan, sontak yang menonton langsung bertepuk tangan, semuanya larut dalam suasana saling cibir, atau saling mengangungkan sang jagoan. Cerita selanjutnya bisa jadi yang kalah akan menyimpan dendam yang teramat sangat, atau sebaliknya malah penonton yang saling bertarung.
Namun,cerita seperti itu tidak akan terjadi jika sang jagoan berlaga dalam arena “Etu”, tinju adat di masyarakat Nagekeo, sebuah kabupaten baru mekaran dari kabupaten Ngada pada tahun 2006 silam. Bagi masyarakat suku Nagekeo yang berada tepat ditengah pulau Flores - Nusa Tenggara Timur ini, etu adalah simbol keakrabaan dan persaudaraan.
‘Etu adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya. Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat Nagekeo.
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.
Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan purnama.
Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut “kisa nata”. Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa adat disebut “mada” Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian. Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen. Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian.
Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai.
Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dan mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan disetiap rumah.
Kedua petinju pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya digumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.
Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena, sang petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.
Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi. Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri.
Seorang petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian. Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago tinju dari masing-masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam- macam, mulai dengan membujuk secara baik-baik, memanas-manasi bahkan kadang-kadang dipaksa dan diseret ke “ring”.
Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu beristirahat.
Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan satu tempurung air ke tengah-tengah arena sebagai tanda orang harus bubar dan kembali ke kampung masing-masing untuk nonton lagi ke kampung-kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah ditentukan sesuai peredaan bulan.
Selamat Menyaksikan!
Terimakasih buat warga kampung Boawae dan Bapak Cyrilus Bau Engo atas semua informasi dan penjelasannya mengenai "ETU".
Seluruh isi tulisan dan photo telah mendapatkan persetujuan dari pihak penyelenggara ETU untuk di publikasikan. Foto-foto diambil oleh Yanto Mana Tappi pada bulan Oktober 2011 saat ETU dikampung Boawae-Kabupaten Nagekeo-Nusa Tenggara Timur
Baca keseluruhan artikel...
Selamat Menyaksikan!
Terimakasih buat warga kampung Boawae dan Bapak Cyrilus Bau Engo atas semua informasi dan penjelasannya mengenai "ETU".
Seluruh isi tulisan dan photo telah mendapatkan persetujuan dari pihak penyelenggara ETU untuk di publikasikan. Foto-foto diambil oleh Yanto Mana Tappi pada bulan Oktober 2011 saat ETU dikampung Boawae-Kabupaten Nagekeo-Nusa Tenggara Timur
Rabu, 28 Desember 2011
"Sorongi'is" Ritual Pendewasaan Perempuan Suku Nagekeo
Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini disebut “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.
Dua orang anak perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring di apit oleh sang nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di gosok berulang-ulang kali.
Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.
Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari, bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.
Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas Nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.
Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit, acara tandak pun bubar.
Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.
Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan diayun oleh ayahnya sebanyak lima kali di atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima, anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
Salah satu petugas pencatat bingkisan dari sanak keluarga
Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi, pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.
Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan, walaupun secara ekonomis biaya yang dikeluarkan cukup besar.
Bermain kartu adalah salah satu menjalin keakraban.
Terimaksih buat warga suku Dhawe,dan khususnya keluarga besar Bapak Vinsen Dhoma yang telah berkenan mengijinkan saya untuk meliput secara langsung ritual Sorongi’is kedua puterinya.
Semua tulisan dan foto hasil liputan Yanto Mana Tappi,dan telah mendapat persetujuan dari pihak suku Dhawe untuk diterbitkan,
Langganan:
Postingan (Atom)