Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label wisata budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Juni 2013

Kota Tua, Monas dan Pelabuhan Sunda Kelapa

Museum Bank Indonesia di seberang kanan halte busway Kota
Bukan bosen nulis tentang wisata-wisata alam, tapi sekali-kali boleh dong nulis kampungnya bang Pitung, jagoan dari Betawi. Bahan tulisan ini emang asli gak disengaja, ya anggep aja berkah mau ditugasin sebentar ke Jakarta. Gara-gara acara yang dipadetin, gara-gara batal mau diajak temen cari peralatan komputer akhirnya malah aku terdampar di Kota Tua.

Gedung Dasaadmusin Conoern yang sudah rusak terbengkalai
Karena aku nginepnya di daerah Pramuka, aku milih pake busway.. busway dong, orang kampung kalau kesini yang dicari dan dicoba busway. Gak taksi bang? Kagak neng, taksi udah biasa di sini tapi taksi roda dua alias ojek hehehehe...

Sebenarnya mau nyobain monorel, kayaknya keren banget tuh. Tapi tanya-tanya orang di Jakarta gak ada yang tau dimana kalau mau naik monorel. Usut punya usut ternyata kalau mau nyobain monorel naiknya di depan Monas (itu tuh lagi ada pameran monorel).

Dengan ongkos 3.500, aku udah bisa naik busway nyampai Kota tapi turun sekali buat pindah jalur di Dukuh Atas. Gak terlalu penuh walau gak dapat tempat duduk, maklum masih belum jam pulang.

Kota Tua, Jakarta
Museum Mandiri dari sisi dalam halte busway
Jam empat aku sampai di halte busway Kota. Sebenarnya dari sejak pertengahan jalan di daerah Glodok sudah tampak bangunan-bangunan tua yang berdiri di pinggir jalan. Sebagian dibiarkan dalam kondisi yang sudah memprihatinkan, sebagian sudah berubah banyak walau masih tampak sisa-sisa sebagai bangunan tua.

Bangunan tua di depan halte sebagian sudah digunakan sebagai museum, yaitu museum Mandiri (gak usah ditanya juga pasti tau kalau bangunan itu punya Bank Mandiri) dan museum Bank Indonesia. Sayang jam bukanya hanya sampai jam empat, jadi waktu aku datang sudah ditutup. Diujung tikungan jalan museum Bank Indonesia, terdapat bola-bola besar dari semen yang digunakan untuk menutup jalan. Ternyata sedang acara Jakarta Fair dalam rangka menyambut ulang tahun Jakarta yang jatuh tanggal 22 Juni ini. 

Kantor Pos Indonesia yang masih aktif berlatar senja
Pantesan saja di sini ramai orang berjualan, dari makanan sampai tukang bikin tato, dari pedagang buku bekas sampai penjual lukisan/gambar foto. Disitu ditulis per wajah 40rebu, jadi kalau sebaiknya jangan minta bikin gambar dari foto ramai-ramai 40 orang sekaligus ya. Macam-macamlah pokoknya, sampai aku bingung ngeliatnya. Lihat penjual angkringan yang sedang membalik loyang berisi seperti telur dadar dibalik ke arah arang langsung, langsung lidah ngiler pengen ngicipi. Ternyata mahluk itu namanya kerak telor, makanan khas asli Betawi. Unik juga bahannya, ternyata bahannya ada ketan yang dimasak dulu baru setelah tanak ditambah telur dan bumbu-bumbu baru di bikin rata kayak telur dadar. Nah bagian akhir setelah masak ternyata loyang dibalik lalu ditaruh di arang, jadi seperti di bakar begitu. Rupanya bagian terakhir itu yang bikin aroma gurih kelapa makin terasa. Disajikan pake taburan kelapa goreng dan bawang goreng. Rasanya enak tapi cepet bikin kenyang.

Gedung museum keramik
Sebenarnya waktu lihat tukang bikin tato pengen juga bikin, karena disitu ditulis "Sedia Tato Permanen dan Non Permanen". Mau bikin tato tapi abangnya gak punya persediaan gambar buat burung emprit atau tokek (abangnya stres pengen bikin tato gratis di atas jidatku liat orang gak punya duit sok mau bikin tato)

Masuk ke arah dalam ternyata di tengah lapangan gedung Museum Fatahillah lagi dipasang panggung pertunjukan, juga ada tenda-tenda putih yang mau dibuat jadi tempat pameran. Beberapa bangunan tampak masih berdiri bagus, walaupun sebagian sudah tinggal bangunan kosong yang telah rusak. Disebelah kiri ada museum Wayang yang masih terawat, di bagian depan musem Fatahillah ada bangunan kantor Pos dan Giro yang masih digunakan sampai sekarang, disebelahnya ada sebuah cafe dengan bangunan yang masih mempertahankan bentuk bangunan lama namanya cafe Batavia. Suasananya sepertinya menyenangkan untuk digunakan bernostalgia jaman dulu. Kalau mau muter-muter seputar sini bisa juga pakai jasa penyewaan sepeda. Sepeda-sepeda model jaman jadul yang sudah dicat warna-warna jreng khas Betawi dan topi ala kompeni jaman dulu berjajar beberapa meter di depan cafe Batavia.

Gedung Museum Fatahillah sendiri sayangnya juga tutup hari ini karena pintu masuknya kehalang sama panggung yang dipenuhi kain-kain dekor warna hitam. Padahal aku sebenarnya pengen coba masuk kesana pas malemnya begitu. Kan sudah banyak tuh yang bikin cerita-cerita seru tentang angkernya museum Fatahillah ini kalau malam. Sayang aku datang terlalu sore sehingga seluruh bangunan sudah tutup, bahkan bangunan gagah bercat putih dengan pilar-pilar besar di seberang kanan yang merupakan museum keramik juga sedang tutup. Kata penjaganya buka setiap hari kecuali hari Jumat.

Bangunan-bangunan ini sekarang menjadi salah satu tempat favorit untuk pemotretan prewedding, biar serasa kembali ke masa lalu kayaknya. Untung mereka membayangkan masa lalu 50-60 tahun yang lalu. Coba kalau bayanginnya 500 tahun yang lalu berarti pakaian gak lengkap tuh hahahaha... 

Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa dipenuhi deretan moncong kapal
Nah, karena sudah disana aku akhirnya memutuskan sekalian mau ke pelabuhan Sunda Kelapa siapa tahu gak jauh dari sini. Memang kata abang tempat aku beli otak-otak, tinggal jalan lurus ke utara, cuma jaraknya lumayan jauh jadi aku disarankan pakai ojek sepeda. Karena mau test kaki, jadi aku putuskan jalan kaki saja. Ternyata jaraknya gak terlalu jauh, jadi bagi yang doyan jalan kaki silahkan coba jalan kaki dari Kota ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Justru dari pinggir pelabuhan sampai ke ujung pelabuhan yang lumayan jauh.

Ternyata Pelabuhan Sunda Kelapa bisa dibilang sebagai pelabuhan peti kemas yang masih tergolong tradisional. Kapal-kapal yang berlabuh disepanjang bibir pantai tempat pelabuhan adalah kapal-kapal kayu berbentuk seperti kapal pinisi.

Perahu-perahu pengangkut minyak di pelabuhan Sunda Kelapa
Hampir di sepanjang garis dermaga berjejer moncong panjang ujung kapal-kapal yang dipenuhi kesibukan bongkar muat barang dari truk-truk besar hilir mudik keluar masuk dermaga. Yang aku juga baru tahu, ternyata dermaga dari kapal-kapal ini sebenarnya adalah sungai bukan laut seperti di dermaga lainnya.

Sambil berjalan menelusuri dermaga sampai ke ujung, aku beberapa kali harus menahan napas melewati pekerja-pekerja yang menurunkan barang-barang yang berdebu seperti semen dan tepung-tepungan. 

Menurut sejarah, nama asli Jakarta justru dulunya adalah Sunda Kelapa yang kini hanya menjadi salah satu nama dari kawasan ini saja. Disinilah bermulanya pusat perdagangan Jakarta masa lalu. Jejak-jejak keberadaan kapal-kapal pinisi yang masih setia menaik turunkan barang disini menadakan bahwa disini dulunya adalah pusat perdagangan dimana jalur laut menempati posisi penting.

Aku kembali dari pelabuhan Sunda Kepala saat matahari mulai tenggelam. Tempat yang tepat untuk menikmati sunset, hanya banyak terhalang oleh aktivitas-aktivitas tak henti dari kapal-kapal ini. Sebenarnya ada cara lebih mudah, naik saja dari salah satu perahu nelayan yang biasa singgah di bibir dermaga dari celah-celah kapal. 

Monumen Nasional
Permainan cahaya dari panggung hiburan di Monas
Monas yang menjadi simbol kebanggaan Jakarta sebenarnya tak pernah benar-benar terbersit untuk aku singgahi, padahal kata orang tak lengkap orang mengaku pernah ke Jakarta kalau tidak mengunjungi Monas. Ah, kata siapa? Biniku kalau ke Jakarta yang dipikirin untuk didatangi ya mall-mall itu hehehehe.

Bukan berarti Monas gak menarik sih, tapi karena memang keberadaan Monas yang mudah dijangkau yang kadang membuat orang tak benar-benar menjadi Monas untuk dikunjungi. Hayo, siapa orang Jakarta yang belum pernah menginjakkan kakinya di Monas pasti jawabannya banyak banget.

Berawal saat kembali dari Bandung tengah malam, mobil travel yang aku tumpangi dari
Cahaya laser dari Monas menerangi langit tampak dari Dukuh Atas
Bandung ternyata hanya turun sampai kawasan Sarinah. Saat aku memutuskan berjalan kaki dari Sarinah sampai ke stasiun kereta api Gambir, ternyata aku melihat cahaya-cahaya terang menerangi langit. Tugu Monas yang menjulang dengan bentuk api menyala di bagian atas yang katanya terbuat dari emas menyala terang, demikian juga dengan dinding-dindingnya.


Ternyata setelah aku mendekat, nyala sinar-sinar itu memang berasal dari sinar laser yang dipancarkan lampu-lampu panggung yang berdiri megah di depan tugu Monas. Panggung besar yang dibangun ini ternyata akan digunakan besok Minggu yang menjadi puncak perayaan ulang tahun Jakarta, yang untuk di Monas disebut dengan Jakarta Night Fair atau malam muda-mudi Jakarta.

Ribuan watt lampu laser bergerak liar dengan cahaya warna-warni yang menerangi langit Jakarta yang sedikit kelabu malam itu. Jam dua dini hari cahaya-cahaya itu tetap berpendar-pendar memamerkan kecantikan Monas. Rupanya cahaya-cahaya ini sedang diuji coba, karena aku juga sempat mendengar sebuah lagu dari Slank dinyanyikan disertai petikan gitar elektrik berulang-ulang pada lagu yang sama untuk proses cek sound.

Sayang aku kembali sehari sebelum acara akbar ini digelar jadi hanya mendapatkan situasi ini. Yah tak apalah, paling tidak aku bisa memfoto Monas dalam kondisi lenggang. Coba kalau pas acaranya, boro-boro bisa memfoto situasi Monas. Bisa-bisa cuma dapat gambar kepala orang yang berdesak-desakan.

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 31 Mei 2013

Nostalgia Wayang Orang Bharata

“Nonton yuk”, ajak kakakku sambil memamerkan brosur Wayang Orang Bharata. ”Wah ada Mase,” seruku ketika melihat salah seorang pemain yang menjadi bintang pertunjukan di brosur itu. Kebetulan Mase berperan sebagai tokoh Arjuna. Mase, sebutan kesayanganku pada bintang yang aku kagumi sejak aku masih duduk di bangku SMP. Nama lengkapnya Teguh “Kenthus” Ampiranto, selain sebagai pemain, sekarang beliau juga sebagai sutradara pertunjukan. Biasanya aku nonton acara wayang orang bersama Mbah Cokro Putri yang ditayangkan di TVRI Yogyakarta. Tiap kali Mase muncul Mbah Cokro Putri bilang padaku, “nek nggolek bojo kaya kuwi, gagah lan bagus”, sambil menunjuk kepada Mase. Aku hanya bisa senyam-senyum saja.


Tibalah saatnya menonton Wayang Orang Bharata. Kami menuju Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata, yang ada di Jalan Kalilio No.15. Mudah untuk mencapai lokasinya karena berdekatan dengan Terminal Senen. Sejak tahun 2004 Gedung Kesenian ini telah selesai dipugar demi kenyamanan penonton. Harga tiketnya pun terjangkau dari Rp40.000 – Rp75.000.



Lakon wayang orang malam ini “Abimanyu Gugur”.Mengambil penggalan dari cerita Perang Bharatayudha. Sepeninggal Resi Bisma, Resi Durna diangkat menjadi Senopati Kerajaan Astina sebagai Bala kurawa untuk melawan Pandawa. Dalam pertempuran Pasukan Pandawa terdesak oleh Pasukan Kurawa sehingga menyebabkan Abimanyu, putra dari Arjuna gugur di medan perang.  Menurutku yang paling unik selama pertunjukan berlangsung adalah suasana santai, akrab dan kekeluargaan antara pemain dan penonton saat dagelan,guyonan,celotehan tokoh Petruk, Gareng dan Bagong beraksi. 


Penonton sering melempar bingkisan ke atas panggung, berupa barang dan uang saat dagelan berlangsung. Dan tentu saja penonton dapat mengambil posisi duduk ternyamannya (bisa mengangkat kaki/menekuk kaki di atas bangku), menikmati makanan dan minuman yang bisa dipesan dari para pedagang di luar gedung. Semua itu hanya ada dan ditemukan di Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata.

Foto dan teks oleh Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 29 Januari 2013

Melihat Kembali Gasing "Mainan Yang Nyaris Hilang"

Seorang anak melemparkan gasing ke arah gasing yang ada, yang terlempar dan berhenti kalah.
Bulan November kemarin aku mengunjungi kembali kota Waikabubak, ibukota dari kabupaten Sumba Barat. Sebenarnya tujuan tugasku kali ini adalah ke Waibakul, kota dari kabupaten Sumba Tengah. Sayang di Sumba Tengah baru ada satu tempat menginap yaitu wisma pemda yang saat itu baru penuh karena sedang digunakan untuk acara diklat. Akhirnya aku harus mencari hotel di Waikabubak. Untungnya jarak ke dua tempat itu tak terlalu jauh hanya setengah jam perjalanan dengan kendaraan. Jalannya pun tak banyak tikungan tajam.

Cuaca seminggu ini juga kurang mendukung, nyaris mendung tiap hari menyelimuti kota Waikabubak praktis aku tidak bisa keluar berjalan-jalan seperti biasa. Alasan utama kenapa dua bulan ini mandek menulis.

Tapi dua hari terakhir tampaknya awan tidak semendung biasanya jadi aku mencoba berjalan sedikit jauh ke arah luar kota. Tapi lagi-lagi cuaca memang tidak bisa diduga. Keruan saja aku harus kembali balik ke hotel saat tiba-tiba rintik-rintik hujan turun begitu saja padahal awan tidak terlalu tebal.

Dalam perjalanan balik aku memutuskan untuk singgah sebentar ke arah kampung Tarung, karena hujan mulai berhenti lagi. Kampung Tarung sendiri juga cukup rimbun dengan pohon-pohon besar di sekeliling kampung jadi mudah bagiku untuk berteduh sekiranya hujan datang lagi. Kali ini aku sengaja berjalan tidak masuk ke dalam perkampungan tapi berjalan mengitari kampung. Berbeda dengan jalan masuk ke kampung yang tidak boleh dilewati sembarangan, jalan melingkar mengitari kampung masuk jalan umum. Setahuku kemarin saat pertama kesini, jalan melingkar ini tembus ke arah pasar Waikabubak. Jalan ini menanjak naik. Sekedar informasi, kampung-kampung adat asli Sumba dibangun di atas bukit sementara sawah-sawah dan gembalaanlah yang ada di padang-padang datar.

Di sebuah jalan setengah perjalanan aku berhenti, dari tempat aku berdiri tampak pemandangan persawahan di bawah sampai dengan di kejauhan. Cukup luas juga sawah di Waikabubak. Sayang matahari senja masih senang bersembunyi di balik gumpalan awan-awan berwarna kelabu.

Beberapa kerbau tampak digiring masuk pemiliknya masuk ke atas kampung Tarung. Sepertinya hendak dimasukkan kandang. Kerbau-kerbau bertanduk besar merupakan ternak kebanggaan bagi orang Sumba. Upacara-upacara penting seperti perkawinan, kematian, acara bangun rumah adalah acara-acara yang akan melibatkan kerbau baik sebagai daging untuk dimakan atau dipersembahkan sebagai alat tukar (belis dalam adat perkawinan Sumba). Dari ukuran tanduk-tanduk yang besar menjulanglah dapat dihitung kira-kira berapa nilai jual kerbau itu.

Beberapa puluh meter terdengar keramaian anak-anak. Saat aku naik ke atas kampung tampak beberapa anak berkumpul di tengah lapangan kampung. Tampak benda berwarna kuning kayu berputar di tengah mereka. Lalu seorang anak yang memegang sebuah benda berbentuk kerucut di bawah dan sebuah lekukan untuk menggulung tali melemparkan benda itu sambil menarik ujung tali sehingga benda itu berputar cepat meluncur ke arah benda berputar diam. Sayang lemparan itu hanya nyaris mengenai sehingga sekarang di arena tampak tiga buah benda berputar.

Inilah permainan "gasing", sebuah permainan yang nyaris tidak akan ditemui lagi di kota-kota besar. Namun di sini, gasing masih menjadi permainan yang sering dimainkan anak-anak. Gasing di sini berbahan kayu yang rata-rata dibuat oleh mereka sendiri. Setelah memilih kayu dengan ukuran yang sesuai mereka akan meruncingkan ujung kayu hingga berbentuk kerucut dengan membuat lekukan ke dalam untuk tempat memutar tali. Tali yang sebagian dibuat dari tali nilon dan sebagian dibuat sendiri dengan akar kayu digunakan sebagai alat yang akan membuat gasing ini berputar.

Mereka makin semangat waktu aku mengabadikan permainan mereka. Masing-masing mencoba menunjukkan kemampuannya untuk membuat gasing lawan terpental. Ada seorang anak yang tidak berbaju yang tampaknya paling jago, gerakan tangannya cepat sehingga membuat gasing yang terlempar berputar sangat  cepat sehingga saat gasing dengan telak menghantam gasing lawan langsung membuat gasing lawan terlempar dan berhenti berputar.

Aku menikmati momen melihat mereka asyik bermain gasing. Sebuah permainan yang juga pernah kumainkan waktu kecil. Sepertinya tahun 95-an permainan ini sudah sulit di temui terutama di daerah Jawa kecuali mungkin di desa-desa yang masih jauh dari kota.

Suatu ketika nanti mungkin permainan gasing juga akan hilang disini, mungkin generasi berikutnya akan lebih suka bermain yang lebih berteknologi dan gasing tiba-tiba saja menjadi benda aneh.

Ah, tiba-tiba saja aku ingin bernostalgia ke kampungku dulu.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 Januari 2013

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam raya nusantara. 

Seperti halnya suku Mbare di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu. Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.

 Salah satu tradisi suku Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka. Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat, Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.

Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak jauh berbeda.
Pada setiap ajang pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah babak belur.

Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena
Arena Mbela. Disinilah aksi sang ksatria lelaki Mbare mempertahankan warisan leluhur
 Penulis: Yanto Mana Tappi
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 30 Desember 2011

Tanah Lot, Uluwatu dan Dream Land

Lebih dari setahun lalu perjalanan ini aku lakukan, menurut catatan album foto yang aku buat perjalanan ini aku lakukan pada tanggal 3-4 November 2010. Awalnya aku pikir sudah menuliskan perjalanan ini ternyata setelah aku telusuri di blog tidak ada, rupanya perjalanan yang ini terlewatkan.
Bali... bukanlah hal asing bagi orang Indonesia bahkan orang dari luar pun lebih mengenal Bali dibanding Indonesia sendiri. Mungkin itu pula yang membuat aku agak ragu menuliskan tempat ini, karena banyak orang yang sudah mengenalnya bahkan mungkin lebih tahu daripada aku yang cuma mampir tak lebih dari seminggu.
Kalau bukan karena bareng teman dari Bali, belum tentu aku sampai ke tempat-tempat ini. Nyoman yang kebetulan mendapatkan penugasan tugas bareng aku ke Denpasar. sebagai orang Bali yang tentu mengenal baik seluk beluk Bali, Nyoman dengan mudah bisa mencarikan waktu yang tepat untuk berjalan-jalan tanpa harus menggangu penugasan.
Dalam waktu dua hari perjalanan, aku sempat mengunjungi tiga lokasi yang cukup dikenal. Bukan kesempatan yang buruk mengingat waktu itu di Bali sendiri hujan sudah turun.


Pura Tanah Lot
Rabu sore, sepeda motor yang aku naiki bersama Nyoman meliuk-liuk menerobos kesesakan jalan Denpasar menuju ke arah Tabanan. Untung kami menggunakan motor karena mobil-mobil tampaknya harus rela bergerak pelan-pelan seperti gerakan naga yang malas.
Setelah sekitar 40 menit duduk di atas jok motor, akhirnya aku bisa bernafas lega setelah sampai. Sedikit terkejut karena di depan lokasi parkir aku sendiri nyaris tidak bisa mengenali lagi. Bangunan tempat pedagang pakaian, minuman dan cindera mata memenuhi sepanjang areal perparkiran. Lagi-lagi keberadaan Nyoman sangat membantu, dengan lincah dia mengajakku menelusup di antara bangunan para pedagang. 
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 30, namun cuaca yang agak mendung membuat suasana terasa temaram waktu aku sampai di Pura Penyawang. Dari samping Pura tampak view Pura Tanah Lot yang saat itu airnya sedang naik agak tinggi sehingga ora tidak bisa sampai ke sana.
Sebenarnya yang dimaksud Pura Tanah Lot adalah Pura yang berdiri sendiri di atas batu karang yang terpisah sendiri. Sedangkan kawasan wisata Pura Tanah Lot sendiri terdiri beberapa pura, salah satunya ya Pura Penyawang yang berada di bibir pantai.
Ada juga Pura Jero Kandang yang menurut kepercayaan digunakan untuk masyarakat yang ingin berdoa bagi tanaman atau binatangnya. Atau Pura Enjung Galuh yang letaknya di puncak bukit karang sebelah kanan dari Pura Tanah Lot, yang menurut informasi digunakan sembahyang masyarakat yang menginginkan kekayaan/kesejahteraan.
Sayang waktunya tidak tepat untuk turun ke bawah, padahal aku sudah mendengar tentang keberadaan gua-gua yang ada dibagian bawah Pura Tanah Lot yang dipenuhi dengan ular laut yang sangat beracun. Ular laut yang berbentuk tipis dengan warna hitam berstrip kuning ini dipercayai sebagai penjaga Pura Tanah Lot dari roh jahat dan penganggu.
Waktu memotret Pura Tanah Lot dari bagian atas aku bertemu dengan Alex, orang Bali peranakan China yang saat itu sedang jalan-jalan. Dia menyapaku lebih dulu, dan dari perkenalan baru kutahu kalau dia tertarik dengan kamera Fuji S200 EXR yang aku bawa karena dia juga sedang memegang kamera Fuji HS10 EBC. Alex agak surprise dengan beberapa peralatan yang aku bawa, karena menurutnya selama ini kamera seperti itu tidak bisa ditambah apa-apa lagi. Beberapa kali dia minta aku memotret dengan menggunakan memori dia, juga dia sempat meminjam beberapa filter yang aku bawa. Dari Alex aku diajak ke sisi selatan dari Pura Tanah Lot, rupanya dia mengajakku ke arah Nirwana Resort. Dari sini memang aku mendapatkan view yang cukup berbeda walaupun jaraknya agak jauh dari Pura Tanah Lot.


Legian, Ground Zero dan Pantai Kuta
Malam setelah dari Pura Tanah Lot aku dan Nyoman sempat berjalan-jalan memutari kawasan Legian. Awalnya memang sekedar mau mengunjungi Monumen Bom Bali yang terletak di daerah Ground Zero. Monumen yang biasa disebut dengan Monumen Bom Bali, didirikan di bekas tanah yang pernah menjadi pusat ledakan bom Bali. Di monumen itu tertulis daftar nama-nama orang yang tewas menjadi korban ledakan. Tampak beberapa bunga-bunga segar yang diletakkan di depan monumen yang ditaruh orang-orang yang mengunjungi tempat ini sebagai tanda ikut berduka.
Sekarang kawasan ini sudah tampak ramai kembali, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya paska peledakan yang nyaris meruntuhkan kebesaran Bali sebagai daerah destinasi wisata. Tapi tentu saja keramaiannya belum pulih benar. Kawasan ini hampir dipenuhi klub dan cafe yang bertebaran di sepanjang jalan berhimpitan dengan beberapa bangunan kecil yang menjajakan souvenir dan cendera mata khas Bali. Aku sendiri nyaris bingung apakah sekarang masih di Indonesia atau tidak, karena kawasan Legian sudah lebih didominasi bule, suasana hingar bingar dan dentuman musik terdengar memekakkan telinga.
Di pertigaan jalan menuju Pantai Kuta, beberapa orang mendatangi aku dan Nyoman dan menawarkan sesuatu. Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, dari Nyoman kutahu kalau mereka menawarkan barang-barang haram semacam heroin, ekstasi dan sejenisnya. Rupanya di kawasan Legian ini transaksi seperti ini hal yang biasa, istilahnya illegal namun secara terselubung dibiarkan. Menurut informasi, transaksi seperti dibiarkan salah satunya untuk mendongkrak pariwisata entah benar atau tidak, namun jangan coba-coba bertransaksi di luar kawasan ini.
Berbeda dengan kawasan Legian, Pantai Kuta justru malam ini terasa sangat tenang. Musik hanya sayup-sayup terdengar dari Planet Hollywood di seberang jalan. 
Kesanku tentang kawasan Legian ini bukanlah kawasan menarik, terutama backpacker yang menyukai keunikan dan keindahan Bali. Disini justru serasa didamparkan pada wajah asing di tanah Indonesia.


Pura Uluwatu dan Pantai Dreamland

Setelah esoknya dari Pura Tanah Lot, hari Kamis kami memiliki waktu lebih longgar karena siang sudah dilakukan penutupan acara. Karena setelah hari ini kami harus membiayai biaya penginapan kami sendiri, aku memutuskan untuk berpindah hotel. Selain faktor tarif hotel yang terlalu tinggi aku juga memikirkan faktor kemudahan untuk bergerak.
Siang setelah meletakkan tas bawaan di hotel, aku dan Nyoman kembali meluncur. Kali ini arah tujuanku adalah ke Dreamland. Searah dengan pantai Dreamland dan masih berada di lokasi Jimbaran, karena masih agak siang aku memutuskan meneruskan perjalanan ke daerah Uluwatu.

Aku sampai di Pura Luhur Uluwatu selepas lewat jam dua siang, suasana terasa sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang sibuk dipakaikan selendang. Katanya, semua orang yang masuk ke dalam pura harus menggunakan selendang sehingga aku pun ikut memakainya. Begitu masuk pertama ke dalam, serombongan monyet menyambut mataku tapi mereka tidak mengganggu hanya melihat kami dari pinggir beton pembatas. Sekali dua melintas monyet yang sedang menggendong anaknya.
Pura Luhur Uluwatu didirikan di atas karang yang sangat tinggi. Dari pinggir pagar, tampak deburan ombak pantai Selatan yang keras menghantam batu-batu karang jauh di bawah. Karena tertarik view yang menarik, aku nekad saja keluar dari pagar. Nyoman geleng-geleng saja dengan tingkahku, apalagi penjaga pura juga membiarkanku cuma mengatakan kalau berani keluar pagar risiko ditanggung sendiri.
Sebenarnya cukup bikin ngeri juga berdiri di tepi tebing karang yang begitu tinggi, apalagi karang ini berupa rekahan yang aku tidak tahu bisa terlepas atau tidak. Menelusuri sisi samping tebing kami sampai di bagian terakhir pura, ada sebuah warung tenda kecil, sebuah kebetulan saat kami sudah merasa demikian kehausan. Maklum kami kelupaan membawa bekal padahal tidak ada pedagang di depan pura.
Setelah mulai sore, aku dan Nyoman meluncur ke arah Pantai Dreamland. Ternyata untuk ke Dreamland kami harus masuk ke arah resort yang dibangun dengan meratakan perbukitan di sini. Perjalanan menjadi mudah, karena informasi awal bahwa untuk ke Dreamland kita harus berjalan kaki menaiki bukit yang cukup lama.
Pantai Dreamland memang indah, pasir putih membentang di sepanjang pantai. Sayang pada bulan-bulan ini ombak tidak terlalu besar padahal salah satu yang menarik disini adalah ombaknya yang besar sehingga pantai Dreamland salah satu favorit untuk surfing. Sayang ada bangunan hotel dan club yang berdiri di pinggir pantai dengan jarak sangat dekat. 
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 Desember 2011

Ritual Adu Fisik Ala Nagekeo

Pertarungan fisik selalu selalu diidentikan dengan simbol keperkasaan seseorang. Mungkin jika ada yang kalah , lantas berdarah-darah, semua orang mencemoohkannya. Atau jika sang pemenang mengangkat kedua tangan sebagai tanda kemenangan, sontak yang menonton langsung bertepuk tangan, semuanya larut dalam suasana saling cibir, atau saling mengangungkan sang jagoan. Cerita selanjutnya bisa jadi yang kalah akan menyimpan dendam yang teramat sangat, atau sebaliknya malah penonton yang saling bertarung.
Namun,cerita seperti itu tidak akan terjadi jika sang jagoan berlaga dalam arena “Etu”, tinju adat di masyarakat Nagekeo, sebuah kabupaten baru mekaran dari kabupaten Ngada pada tahun 2006 silam. Bagi masyarakat suku Nagekeo yang berada tepat ditengah pulau Flores - Nusa Tenggara Timur ini, etu  adalah simbol keakrabaan dan persaudaraan.
Etu  adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya. Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat Nagekeo.
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.
Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan purnama.
Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut “kisa nata”. Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa adat disebut “mada”  Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian.  Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen.  Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian.
Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai.
Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dan mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan disetiap rumah.
Kedua petinju pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya digumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.
Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena, sang petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia  berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.
Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi. Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri. 

Seorang petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian. Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago tinju dari masing-masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam- macam, mulai dengan membujuk secara baik-baik, memanas-manasi bahkan kadang-kadang dipaksa dan diseret  ke “ring”.
Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu  beristirahat. 
Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan satu tempurung air ke tengah-tengah arena sebagai tanda orang harus bubar dan kembali ke kampung masing-masing untuk nonton lagi ke kampung-kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah ditentukan sesuai peredaan bulan.


Selamat Menyaksikan!


Terimakasih buat warga kampung Boawae dan Bapak Cyrilus Bau Engo atas semua informasi dan penjelasannya mengenai "ETU".


Seluruh isi tulisan dan photo telah mendapatkan persetujuan dari pihak penyelenggara ETU untuk di publikasikan. Foto-foto diambil oleh Yanto Mana Tappi pada bulan Oktober 2011 saat ETU dikampung Boawae-Kabupaten Nagekeo-Nusa Tenggara Timur 
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 28 Desember 2011

"Sorongi'is" Ritual Pendewasaan Perempuan Suku Nagekeo




Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini disebut  “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.

Dua orang anak perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring di apit oleh sang nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di gosok berulang-ulang kali.

Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.

Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah  merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari,  bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.

Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas Nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.

Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit,  acara tandak pun bubar. 

Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.

Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan diayun oleh ayahnya sebanyak lima kali di atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima,  anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
 Salah satu petugas pencatat bingkisan dari sanak keluarga

Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi,  pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.

Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,  walaupun secara ekonomis  biaya yang dikeluarkan cukup besar.

 Bermain kartu adalah salah satu menjalin keakraban.

Terimaksih buat warga suku Dhawe,dan khususnya keluarga besar Bapak Vinsen Dhoma yang telah berkenan mengijinkan saya untuk meliput secara langsung ritual Sorongi’is kedua puterinya.

Semua tulisan dan foto hasil liputan Yanto Mana Tappi,dan telah mendapat persetujuan dari pihak suku Dhawe untuk diterbitkan,
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya