Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label sunrise. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sunrise. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 November 2016

Basah di Pantai Klayar

View pantai Klayar dari perbukitan
View pantai Klayar dari atas perbukitan
Air naik dengan cepat sesaat setelah aku mendengar bunyi ombak besar menghantam dinding batu bukit batu di depanku. Semua terjadi di luar perhitungan saat mataku masih asyik menunggu rana kamera merekam alur air jatuh di bebatuannya. Refleks aku mengangkat tripod kamera tinggi-tinggi dan berharap buncah air yang menghantam karang itu tidak akan mencapainya. Aku berusaha tegak saat air terus naik melewati dada, berusaha untuk tidak terbanting di pasir pantainya. Aku merasakan pasir melewati mata kaki membantuknya berdiri lebih kokoh. Sesaat setelah arus balik selesai aku segera berlari ke tempat yang lebih tinggi. Aku melihat salah satu orang pengunjung terbanting saat mencoba lari menghindari ombak tadi. Untung tidak ada satupun pengunjung yang sampai terseret air. Beberapa orang yang tengah bermain di dekat karang pun harus rela basah kuyup termasuk kamera yang mereka miliki.

Gelobang pecah selaksa air terjun di pantai Klayar
Gelombang pecah berubah selaksa air terjun
Dan pagi itu sempurna basah sudah seluruh badanku. Aku masuk ke sebuah lopo dengan lincak (tempat duduk dari susunan batang bambu yang selain untuk duduk-duduk santai) milik salah satu warung kecil yang berdiri di tepi pantai.
bahkan pasir-pasir pun bebas masuk ke kantong samping tas kamera. Beruntung kameraku hanya terkena cipratan air, namun tidak demikian dengan tas kamera yang basah seluruhnya. Bahkan aku menemukan pasir diseluruh lipatan tas. Memang lensa di dalam tas tidak langsung terkena air namun hanya terkena rembesan karena lapisan busa yang cukup tebal. Tapi tetep saja bikin ketar-ketir, belum lagi batere aku letakkan di bagian tas paling depan yang tidak berlapis. Akhirnya terpaksa bongkar seluruh isi tas kamera dan lap satu demi satu semua pernak-pernik yang terkena rembesan air laut. Untuk tas backpack sempet aku titipkan di ibu pemilik warung sebelum memotret.


Hari ini aku merasakan dampak dari kejadian di atas. Aku harus merelakan lensa Tamron SP AF 90mm f/2.8 DI Macro mengalami ERR01. Biasanya ini error yang berkaitan dengan kabel fleksibel.

................................................................
"Kenapa mas itu tasnya di taruh di pagar?" tanya mas Teguh, salah satu pengrajin batu akik saat berbincang-bincang denganku. Mas Teguh baru datang belakangan sehingga tidak tahu alasanku menatuh tas di pagar pembatas di atas bukit. Di bukit ini sekarang total ada tiga pedagang yang menggelar barang dagangan batu akik di tempat ini termasuk mas Teguh. Mas Wito lah yang datang paling pagi sehingga dia yang tahu kondisiku dan menyarankan aku menjemur tas. FYI, daerah Pacitan memang terkenal salah satu kabupaten yang memiliki sentra pengrajin batu terutama batu-batu akik. Jadi saat boom batu akik beberapa waktu lalu, pengrajin batu akik dari Pacitan seperti mendapatkan durian runtuh karena harga batu akik yang melonjak tajam. Sekarang kalau kalian ke sana, kalian bisa mendapatkan batu akik dengan harga yang tidak mahal.

Sejoli berjalan di pantai Klayar
Sejoli berjalan-jalan di pantai Klayar
Sambil menunggu peralatanku kering dan dapat kupakai lagi, merekalah jadi teman ngobrolku di sana. Aku memasang hammock di rerimbunan batang pandan pantai supaya bisa bersantai. Sebenarnya ada beberapa papan yang dipasang pak Esdi untuk tempat duduk tapi kurang nyaman untuk tiduran.Untung tidak terlalu banyak yang datang ke atas bukit ini. Serombongan anak muda yang tampaknya semalam nge-camp di atas bukit ini juga sudah bersiap-siap mau kembali. Suasana yang tidak terlalu ramai akhirnya membuat aku bisa memejamkan mata beberapa saat menghilangkan kantuk yang masih tersisa.

Bukit ini terletak persis di samping bebatuan karang yang langsung menghadap ke Seruling Samudera. Bukit ini dimiliki dan dikelola pak Esdi, orang Madura namun telah lama tinggal di sini. Untuk naik ke atas bukit, ada jalan kecil menanjak dari dari sisi samping. Biasanya pak Esdi sendiri yang menjaga pintu masuk ke arah bukit.

Seruling Samudera di pantai Klayar Pacitan
Semburan air di titik Seruling Samudera
Saat ini bukit ini menjadi satu-satunya lokasi bagi yang ingin melihat Seruling Samudera. Di bagian bebatuan karang di lokasi telah dipasang papan penghalang dan papan larangan melewati daerah itu. Denger-denger sih sudah ada kasus pengunjung yang meninggal terseret ombak.
Seruling Samudera itu sebenarnya terjadi saat lubang di bebatuan mengeluarkan bunyi akibat tekanan air di bawahnya yang naik ke atas akibat gelombang. Jadi setelah bunyi suara akan disusul dengan semburan air ke atas beberapa meter. Semakin besar gelombang yang akan datang akan menimbulkan suara yang makin keras. Tapi itu dulu, kata pak Esdi sekarang bunyi yang keluar lebih banyak hanya berupa desisan keras karena beberapa lubang telah menjadi lebih besar. Mungkin akibat ombak terus menerus yang menggerusnya.

Suasana pantai Klayar saat sunset
Suasana pantai Klayar saat senja hari
Karena seharian di atas bukit, aku sekalian menjadi guide dadakan beberapa pengunjung yang ingin tahu Seruling Samudera. Cie..cie.. padahal aku cuma menyampaikan ulang apa yang aku denger dari pak Esdi. Asyik juga jadi guide gratisan sambil nungguin tas kamera kering dijemur. Bahkan kadang ikutan mas Wito dan Teguh komentar-komentar nakal kalau ada wisatawan cewe cantik dengan pakaian yang aduhai menggoda. Paling heboh kalau udah nemu pasangan beda usia jatuh kayak opa dan cucu yang asyik berpacaran di atas bukit. Tapi bukan menggoda mereka langsung lho ya, cuma celetukan nakal antar kami dan disambung dengan tawa terbahak-bahak.

..........................................................
Pantai Klayar sekarang tidak semenantang dulu, lokasi sekarang juga mudah dijangkau. Kondisi jalan bisa dibilang mulus lah, walau pun ada beberapa ruas jalan yang tergolong kecil tapi umumnya masih bisa dilewati bus besar. Tapi entah ada perjanjian tertentu. Sepertinya bis-bis besar yang mengangkut rombongan tidak bisa diijinkan sampai ke pantai hanya sampai di halte depan lokasi wisata Gua Gong. Di sana akhir bis-bis besar harus berhenti dan berganti naik sejenis omprengan untuk masuk ke dalam lokasi Pantai Klayar. Hanya kendaraan pribadi dan mini bis yang bisa masuk sampai ke lokasi pantai.

View pantai Klayar saat pagi
Penginapan dan warung-warung makan juga bisa dibilang cukup banyak. Walau pun jika bukan hari Minggu akan menghadapi kontradiksi, penginapan bisa ditawar dengan harga murah namun tempat makan jarang yang buka. Kemudahan-kemudahan inilah kenapa pada hari-hari libur bisa dibilang pantai ini akan padat pengunjung dari yang sekedar jalan-jalan sampai yang mau main off-road-an. 
Kendaraan roda tiga dengan ban tahu jika hari Minggu memang banyak bersliweran di sepanjang pantai menciptakan alur-alur panjang bekas roda. Bagi wisatawan, tentu fasilitas ini akan mempermudah mereka menikmati pantai. Apalagi kalau bareng hore-hore, fasilitas pantai ini akan membuat liburanmu di pantai tambah ceria.
Jika kalian adalah orang yang menyukai pantai yang tenang, lupakan pantai ini untuk didatangi di hari Minggu. Atau jika terlanjur mendatangi tempat ini, coba lah menunggu saat senja biasanya jumlah pengunjung sudah banyak berkurang. Apalagi saat bulan seperti ini posisi matahari posisinya condong ke selatan membuat penampakan matahari tampak jatuh tenggelam di horison laut.
Di antara waktu itu kalian bisa saja menyusuri beberapa titik lokasi yang masih jarang didatangi orang karena menurutku titik kumpul orang ke pantai ini yang disekitaran bukit batu itu. Ada beberapa lokasi yang cukup keren dan jarang yang didatangi karena lokasinya yang cukup sulit karena harus menuruni tebing menggunakan kayu sebagai tangga darurat.

Malemnya aku nginep di homestay punya pak Esdi yang dikelola sama anaknya mas Isni. Homestaynya terletak di bagian dalam paling dekat dengan bukit Klayar sebenarnya belum selesai pembangunannya. Hanya ada dua kamar, satu kamar sudah ditempati oleh sepasang suami istri yang sudah bermalam sejak Sabtu kemarin. Seperti halnya homestay di daerah wisata, umumnya mahal saat hari libur. Tapi kalau mau menginap bukan di hari libur harganya cenderung masih gampang ditawar. Tentu cara ini tidak cocok untuk orang yang liburannya bersamaan dengan hari libur.
Cara lain supaya tidak mendapatkan penginapan mahal ya menyewa satu homestay. Biasanya harga satu homestay ini akan dihitung lebih murah, dan pemilik juga biasanya gak repot menghitung berapa orang yang mau tinggal di dalamnya. Pinter-pinter kalian mengurus pembagian kamarnya saja.

...............................................................
Hari Senin aku baru balik kembali melanjutkan perjalanan setelah mampir dulu di Tanjung Klayar yang sudah aku tulis di tulisan sebelumnya.
Ternyata kembali harir Senin membawa kesulitan tersendiri. Tak ada satu pun kendaraan yang ada, bahkan satu motor ojek pun. Aku mencoba menunggu terminal yang juga menjadi tempat parkir angkutan omprengan dari dan ke pantai Klayar. Nihil, hanya ada satu dua kendaraan pribadi, itu pun baru sampai ke pantai ini bukan mau kembali. Bahkan dari pagi belum ada satu tempat makan pun yang buka untuk sekedar ngopi.

View pantai Klayar dari jalan masuk (dipotret dengan Blackview BV6000)
Akhirnya dengan menggendong ransel yang cukup berat aku berjalan keluar gerbang masuk tempat wisata. Sambil berharap ada kendaraan apa saja yang bisa aku tumpangi. Penjaga tiket pun bingung saat aku bertanya angkutan apa yang bisa mengantar aku kembali, dia malah bertanya balik bagaimana aku bisa sampai kesini. Karena mereka tahunya di luar hari libur kebanyakan yang kesini menggunakan kendaraan pribadi minimal motor karena semua kendaraan omprengan tidak ada yang masuk ke pantai Klayar kecuali hari libur itu pun statusnya dicanter dari awal.

Tunggu-tunggu-tunggu, eh ada orang naik motor masuk ke pantai Klayar menggoncengkan ibu-ibu. Waktu dia balik lagi, aku coba cegat tanya. Eh ternyata dia sedang memboncengkan istrinya yang berjualan di pantai. Dengan sedikit jujur memelas akhirnya mas Wanto mau mengantarku, malahan tanya kalau mau ditemeni masuk ke gua Gong.
Ternyata mas Wanto ini punya homestay di Klayar, lokasinya persis setelah gerbang masuk pembayaran tiket pantai Klayar. Dia sendiri punya penyewaan kendaraan off-road yang seperti aku tulis di depan, cuma dia bawa ke pantai Klayar saat hari Minggu atau hari libur saja

Karena lokasi untuk ganti kendaraan omprengan tepat di sebelah lokasi Gua Gong, jadilah aku mampir ke tempat ini. Sama seperti pantai Klayar, Gua Gong saat bukan hari libur seperti ini juga tergolong sepi. Beberapa guide yang biasanya agak agresif menawarkan jasa mengelilingi Gua Gong juga tidak terlalu antusias hari ini. Ah nanti saja kalau udah semangat lagi aku tuliskan tentang Gua Gong.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 25 September 2016

Pagi di Tanjung Klayar

Suasana pagi di tanjung Klayar, ombak tak pernah berhenti
Di bawah kakiku, ombak dari pantai selatan menerobos masuk ke dalam lubang yang terbentuk dibawah bukit yang berdiri tanjung. Suara kemerosok air yang menerobos masuk terdengar samar, dan beberapa detik disusul bunyi air yang keras menghantam karang. Bagian ombak yang tidak masuk ke dalam lubang menghantam dinding dan menyemburkan air ke atas. Pantai selatan seperti tak pernah berhenti mendatangkan gelombang demi gelombang ke arah pantai.

Matahari masih belum beranjak menampakkan sinarnya, sementara aku harap-harap cemas melihat awan yang bergerak dari ujung selatan. Tak ada minuman sekedar air dingin apalagi kopi panas, pun juga camilan. Aku hanya duduk saja menunggu siapa yang lebih dulu, matahari atau awan selatan itu. Tak ada pula teman ngobrol karena aku memang hanya pergi sendiri.

Perjalanan Pagi
Lupakan kopi pagi, sepagian aku berjalan menyusuri sepanjang jalan pantai Klayar ini warung-warung belum ada yang buka satu pun. Sebenarnya minum kopi pagi di teras homestay pak Isni nikmat sekali apalagi saat belum ramai begini. Sayang mungkin karena obrolan semalam yang sampai hampir jam 12 malam membuat mereka terkapar semua.
Aku bahkan harus mengurungkan niatku membeli sekedar air kemasan untuk perjalanan menuju tanjung Klayar karena tak tega membangunkan pak Isni. Sebenarnya pak Isni sudah memberitahu kalau mau butuh apa-apa di warungnya ketok pintu saja. Tapi siapa yang tega membangunkan, lha sepagian aku mondar-mandir ke belakang saja tidak ada yang bangun satu pun.

Matahari terbit dari Tanjung Klayar
Homestay pak Isni sebenarnya masih belum selesai, itu pun hanya 2 kamar saja yang dibangun, persis di samping warung kelontong miliknya. Letaknya persis di pinggir pantai di seberang bukit di pantai Klayar. Nanti di tulisan lain aku ceritakan bagaimana aku sampai terdampar di homestay ini.
Rencana mendatangi tanjung Klayar ini muncul setelah aku mempertimbangkan tidak akan mendapatkan gambar yang bagus di pantai Klayar saat pagi-pagi. Mungkin aku masih bisa mendapatkan matahari terbit walaupun tidak muncul dari balik horison laut.

Aku menelusuri jalan di pinggir pantai Klayar sampai di pintu masuk berharap ada satu dua warung yang buka. Tapi semua nihil. Di depan tempat parkir kendaraan aku melihat beberapa orang pengunjung yang baru datang. Aku coba bertanya jika mereka tahu jalan menuju ke tanjung Klayar. Eh mereka justru bertanya balik, Taanjung Klayar dimana? Hahaha rupanya aku salah bertanya.
Sudah nekad saja, aku coba menelusuri jalan di pinggir tebing. Untung di warung terakhir ada seorang ibu yang tampaknya baru selesai solat subuh. Dari beliau aku disuruh ikut jalan kecil di samping pematang sawah yang mengering.


Setelah mencoba masuk mengikuti petunjuk ibu tadi ternyata mentok juga semua jalan justru hilang tanpa jejak begitu sampai di daerah kebun kelapa. Akhirnya aku nekad saja masuk ke arah pinggir tebing walaupun kemungkinan memakan waktu lebih lama. Untung sebagian sawah sedang kering jadi lebih mudah dilewati. Tidak terlalu mudah juga karena kondisi tanah yang tidak rata membuat kaki sangat mudah terperosok apalagi sebagian besar pematang sawah yang ada hanya segaris tempat kaki menginjak.

Karang Bolong di Tanjung Klayar
Perjalanan lebih dari setengah jam ternyata tidak sia-sia. Tanjung Klayar ini menjadi lokasi terbaik untuk mendapatkan view matahari terbit walau saat ini posisi matahari masih terbit dari balik daratan. Bahkan menurutku tempat ini jauh lebih keren daripada pantai Klayar.
Lokasi tanjung klayar ini berubah bukit karang yang menjorok ke lautan yang dibawahnya terdapat lubang, ada dua lubang besar yang sepertinya tembus. Aku tidak tau persis karena dari sisi manapun aku tidak mendapatkan bukti apakah dua lubang yang tampak dari sisi kiri atau kanan itu terhubung atau sebatas cerukan saja. Tinggi tanjung Klayar mungkin lebih dari sepuluh meter.

Entah sudah lama cerukan itu terbuat dan sampai kapan tanjung Klayar ini mampu bertahan. Pak Esdi, ayah dari pak Isni bilang kalau tanjung itu lubangnya tidak pernah berubah dari dulu. Tapi siapa yang tahu? di sisi barat setelah tanjung klayar aku melihat sebuah bukit yang telah hancur menyisakan satu lubang. dari sisa hancuran itu aku bisa melihat kalau sebelumnya ada setidaknya satu lubang lagi. Mungkin itu dulu yang disebut karang bolong, entahlah.

Tidak ada pepohonan besar di tanjung ini, hanya ada beberapa pohon kecil dan pandan laut. Sebagian besar tanjung dipenuhi rerumputan dan tanaman perdu yang sebagian telah berubah mengering. Sepertinya tahun ini memang musim panas datang lebih cepat. Tanaman perdu menjalar yang biasa tumbuh di tepi pantai lebih kuat bertahan. Aku melihat tanaman-tanaman perdu ini basah oleh embun semalam. Walau ada di tepi pantai, rupanya di tanjung ini masih ada embun makanya banyak pepohonan yang masih menghijau.

Menemukan Air Terjun Kecil
Dari tanjung aku mencoba menyusuri lebih jauh ke arah utara. Sayang jejak jalan terputus oleh pepohonan yang tumbang. Setelah mencoba mencari jalan baru aku menemukan jalan becek di samping tebing. Harus hati-hati karena tebing di tanjung ini tegak 90 derajat. Dari bawah, gelombang yang bergulung-gulung seperti bergantian menghajar dinding bukit memuncratkan buih putih ke udara.

Air terjun kecil yang langsung jatuh ke laut
Di bagian turunan, aku tidak sengaja menemukan sebuah aliran air seperti sungai kecil yang airnya jatuh langsung ke laut sehingga membentuk air terjun kecil. Tidak terlalu besar sih, sepertinya sungai ini hanya sungai untuk air hujan lewat. Mungkin paling pas kalau datang saat musim hujan, mungkin akan menjadi air terjun yang langsung jatuh ke laut. Air terjun ini mengingatkanku pada cerita Cader tentang air terjun Toroan di Madura yang langsung jatuh ke laut. Ah, tapi air terjun ini sangat-sangat kecil dibanding Toroan.

Karena tidak bawa minuman sama sekali, air di sungai kecil ini menjadi alternatif untuk menutup rasa hausku. Airnya bersih walau aku tidak tahu dari mana asal aliran air itu. Aku coba minum sedikit airnya dan beristirahat sekalian untuk melihat reaksi air di perutku. Setelah beberapa saat tidak ada reaksi, aku baru mulai minum lebih banyak. Aku nekat? Gak lah, aku sudah terbiasa minum air di lokasi seperti ini. Aku memegang beberapa parameter air dan sedikit pengujian kecil untuk memastikan air yang aku konsumsi aman. Rasanya lebih nikmat lho minum langsung seperti ini.

Hanya beberapa meter saat aku mencoba masuk lebih dalam, akhirnya aku memutuskan berhenti dan kembali. AKu melihat jalur ke depan makin rapat dengan tumbuhan pandan laut yang menyisakan jalan setapak yang makin rapat dengan tebing.
Saat kembali aku bertemu dengan dua orang yang naik ke arah tanjung dengan motor trail. Berarti ada jalan lain menuju tempat ini selain jalan yang tadi kutempuh. Saat kembali, pak Esdi memberitahu kalau ada jalan dengan kendaraan tapi harus memutar lebih jauh. Untung aku kembali lewat jalan yang sebelumnya bukan jalan yang digunakan kedua motor itu menuju tanjung.

Catatan
Cerita ini merupakan penggalan-penggalan dari perjalananku seminggu menelusuri Jawa dengan kendaraan umum yang aku ceritakan per lokasi. Nanti setelah seluruh bagian cerita aku ceritakan barulah aku tutup dengan cerita keseluruhan project seminggu perjalanan ke Jawa lewat jalur selatan.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 08 September 2016

Matahari Pagi dari Puncak Sikunir

Puluhan orang berjubel menunggu matahari terbit
Seperti pertaruhan menunggu matahari apakah akan terbit atau tertutup awan di puncak Sikunir hari ini. Sementara jam sudah menunjukkan jam enam lewat sepuluh menit, namun matahari tak kunjung muncul dari balik kabut yang justru makin tebal.Kemarin memang hampir seharian lebih sering gerimis dan hujan, hanya beberapa jam saja matahari muncul itu pun saat telah siang hari. Wajar saja jika aku masih diselumuti keraguan akan cuaca hari ini. Tapi keraguan itu langsung terpatahkan saat cahaya kuning memerah yang muncul diantara kabut benar-benar berubah menjadi bulatan kuning terang di balik selimut kabut.

Seakan berlomba, serangkaian bunyi tombol kamera saling bersahutan berlomba mengabadikan matahari pertama pagi ini. Beberapa cahaya blitz dari belakang tampak menyala. Itu masih ditingkahi dengan suara-suara 'centil' yang berteriak minta segera difoto. 

Dengan bertonggak batang bambu sebagai pengganti tripod, pengambilan foto dari puncak Sikunir pagi ini jadi agak merepotkan. Aku harus berjongkok setengah memiringkan kepala untuk menjangkau lubang bidik. Tak ada cara untuk mengatur ketinggian bambu sebagaimana jika aku menggunakan tripod.Untung posisiku dari awal sudah berada di pinggir tebing sehingga tidak mungkin diganggu mahluk-mahluk centil yang begitu 'heboh' berpose dan lalu lalang penuh semangat. Aku harus mengalah pada semangat muda mereka, merekalah produk 'kekinian' itu.

Saat Lokasi Wisata Menjadi 'Kekinian'

"Hei aku Wanda, dan mereka temen-temenku," sambil memutar tongkat selfie ke arah teman-temannya. Beberapa anak muda yang baru sampai di atas langsung mengerumuni 'Wanda' ini. Ada yang mengangkat tangan mengacungkan jari membentuk V sambil memajukan bibir, ada yang menyipitkan mata dengan mulut yang sama. Setelah itu aku mendengar celoteh 'Wanda' dengan segala cerita serunya perjuangan mereka menuju kesini layaknya host acara petualangan yang berhasil menaklukkan salah satu tantangan. Keriuhan itu berlanjut dengan rombongan lain yang dipenuhi suara teriakan-teriakan untuk foto selfie. Wabah tahun ini sejak hape yang menjadi 'smart' lengkap dengan kamera yang diklaim hasilnya jago. Tak berapa lama lampu kilat dari semua jenis kamera menyala untuk menerangi 'obyek centil' dalam foto.

Hilang sudah kesyahduan menikmati matahari terbit. Sikunir tetap menawarkan warna pagi yang luar biasa. Namun keheningan, ketertegunan karena rasa takjub, dan rasa kecil menjadi bagian dari semesta seakan hilang ditelan keriuhan suara-suara nan 'centil'. Entah mereka sedang membanggakan pencapaian mereka naik ke puncak Sikunir, atau sekedar kebanggaan karena bakalan bisa memajang foto diri entah di mana saja dengan wajah yang sama hanya berganti latar belakangnya.

Aku mungkin terlalu tua untuk pesta-pesta penuh teriakan seperti ini, aku juga mungkin datang di waktu yang tidak tepat karena Sikunir sekarang telah berubah menjadi tempat 'kekinian' yang didatangi untuk ajang pembuktian seperti kalimat sakti para host MTMA. Aku sendiri bukan mau mengkritik acara yang sudah kadung digandrungi banyak anak muda di negeri ini. Itulah 'kekinian' saat ini yang tidak dapat dipungkiri. Mungkin aku yang harus sedikit mengalah memberi ruang kegembiraan mereka yang 'kekinian' itu.

Perjuangan di Pagi Yang Beku
Menembus pagi menggunakan motor sungguh membuat jari-jari tanganku serasa membeku, apalagi aku hanya bersarung tangan kain. Sebenarnya Gita sudah menawarkan tumpangan aku dengan mobilnya hanya saja SMS yang dia kirim jam empat pagi tidak terbaca. Tidak mudah untuk bangun sepagi ini apalagi semalaman suhu udara di Dieng benar-benar dingin sekali. Aku bahkan selepas Maghrib sudah masuk ke dalam sleeping bag sebelum berlapis selimut di atas tempat tidur. Hawa bulan Juli memang membuat malas, untuk sekedar cuci muka saja.

Mengendarai motor pagi buta menembus kabut membuat gigiku bergemeretak. Stang motor serasa baru keluar dari freezer membuat sendi jari tanganku terasa ngilu saat memegangnya terlalu lama. Walhasil dalam perjalananku menuju desa Sembungan, aku harus berhenti tak kurang dari lima kali untuk melepaskan rasa dingin ngilu di tangan.
Untung jalan yang aku lewati mulus walau tidak lebar. Jarak dari Dieng Plateau Homestay (tempat aku menginap) sampai ke desa Sembungan memakan waktu hampir setengah jam dengan jarak tak lebih dari 9 km (kalau menurut peta sih cuma 8,1 km).


Untungnya kondisi jalan masih sepi, ada beberapa kendaraan yang searah. Aku pikir yang sedang berkendara saat ini satu tujuan denganku untuk ke desa Sembungan.
Desa Sembungan adalah desa terakhir dan start point untuk naik ke puncak Sikunir. Menurut informasi, desa Sembungan adalah desa tertinggi di pulau Jawa. Suhunya? Jangan ditanya deh. Kedatanganku di bulan Juli memang tergolong salah waktu karena saat ini memang lagi puncak dinginnya kawasan Dieng.


Di pelataran parkir Telaga Cebongan, aku melihat mobil Gita. Mungkin mereka telah naik terlebih dahulu. Di pintu masuk, aku tertarik dengan kentang kecil-kecil yang mengepul di atas meja. Ternyata kentang rebus itu dijual 5 ribu saja per bungkus. Cukuplah untuk mengisi tenaga sebelum naik ke atas. Ternyata baru beberapa meter aku berjalan selepas gerbang masuk, aku berpapasan dengan Gita CS yang lagi asyik makan di dalam warung.
Just info, rombongan Gita ini ada 3 orang termasuk dia. Gita ini teman yang baru temui karena kebetulan menginap di tempat yang sama. Gita barengan 2 orang cewek, satu istrinya yang baru dinikahinya (ceritanya mereka penganti baru) dan satunya temen dia waktu kerja di Batam.


Akhirnya aku bareng mereka berjalan menuju puncak Sikunir. Sayang si Tiara (istri Gita) ini ternyata punya riwayat asma sehingga baru di pertengahan jalan dia kepayahan. Hawa pagi yang sangat dingin dan medan menanjak membuat dia kesulitan bernafas. Sayangnya dia justru menggunakan celana jeans yang membuat hawa dingin tembus ke badan. Dia mencoba tetep bertahan untuk terus naik walaupun aku sendiri kasihan melihatnya. Jalanan dari tanah dengan sekat-sekat kayu memang tidak mudah dilewati apalagi kalau sedang basah. Apalagi saat itu kabut tebal basah seperti gerimis membuat kita harus lebih hati-hati melangkah.
Akhirnya Gita dan istrinya memilih berhenti di titik pandang pertama. Aku sendiri memilih naik terus sampai di titik pandang kedua. Temannya Gita sendiri memilih ikut aku naik sampai ke puncak kedua.


Golden Sunrise
Berbeda dengan titik pandang pertama yang sempit sehingga tidak dapat menampung orang banyak, di puncak pandang kedua kondisinya lebih lapang. Banyak orang yang telah berdiri di atas puncak bukit menunggu pagelaran matahari terbit.

Sikunir ini memang salah satu tempat terkenal untuk melihat matahari terbit yang terkenal dengan warnanya keemasannya. Cerita tentang warna dramatis matahari terbit itulah yang mungkin menarik mereka untuk mendatanginya. Deretan pegunungan dari Sindoro, Merbabu, Merapi, Ungaran, Telomoyo, Pakuwaja dan deretan pegunungan Nganjir berjajar menunggu panggilan sang matahari.

Seandainya aku tidak mendengar celoteh para 'centil' ini, mungkin keindahan puncak Sikunir makin lengkap. Suara burung-burung yang berciut nyaring pun harus berkelahi dengan teriakan-teriakan mereka.
Untung ada beberapa perbukitan lain yang tidak segaduh di puncak yang ada bangunan pandang itu. Di titik itulah aku lebih nyaman karena tidak lagi mendengar suara-suara 'centil. Walaupun di sana ada beberapa tenda yang dipasang, namun mereka cenderung tidak ramai. Penjelajah sungguhan memang lebih bisa menyatu dengan alam.


Aku sempat berkenalan dengan dua orang bule kakak dan adik dari Selandia Baru saat minta bantuan aku memotretnya. Yang besar punya nama Satria dan satunya Nanggala. Nah lho, ternyata mereka berdua itu bule namun bapaknya masih asli Indonesia.

Waktu kembali aku sudah tidak bertemu lagi dengan Gita cs, mungkin mereka telah turun terlebih dahulu. Aku menyempatkan mampir di sebuah kedai terbuka yang menjual kopi dan mie rebus. Bapak tua penjual makanan itu memang setiap pagi berjualan ke sini. Hari ini dia datang tidak terlalu pagi. Hanya kalau pas hari libur beliau biasa datang lebih pagi karena antrian yang mau naik lebih banyak. Sebenarnya aku berharap mendapatkan secangkir purwaceng panas, pasti akan sanggup mengusir dinginnya udara Sikunir. 

Banyak yang sudah turun, aku mungkin termasuk rombongan terakhir yang turun. Lucunya justru saat turun aku bertemu rombongan beberapa orang tua dan keluarganya yang baru mau naik. Mereka tentu kesulitan mengajak anak-anak datang pagi-pagi buat sehingga mengalah mendatangi Sikunir saat matahari sudah terang benderang.

Sampai di bawah, aku baru menyadari jika motor yang aku parkir ada di dekat sebuah telaga. Namanya telaga Cebongan. Ada beberapa tenda yang terpasang di pinggir danau. Aku menyempatkan memutari danau Cebongan beberapa saat sebelum kembali.

Catatan:
  1. Puncak Sikunir adalah spot favorit di Dieng untuk melihat matahari terbit. Jika ingin mendapatkan tempat datangnya pagi-pagi sekali. Sebaiknya sudah sampai di lokasi ini pagi sebelum jam setengah lima atau kurang. Hindari datang saat liburan panjang karena sangat mungkin terjadi antrian panjang.
  2. Jika memungkinkan naiklah sampai ke puncak kedua karena tempatnya lebih lapang untuk menikmati matahari terbit. Jika di puncak pertama, daerah untuk bisa melihat matahari terbatas.
  3. Jika tidak menggunakan jaket yang tahan air, sebaiknya membawa persediaan jas ponco atau sejenis. Kadang-kadang kabut yang tebal membawa air yang membuat pakaian kita basah tidak terasa. Di Dieng, hujan tidak dapat diprediksi. Kalau bisa hindari menggunakan celana berbahan jeans karena lebih mudah menyerap dingin.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 28 Februari 2015

Menyapa Pagi di Kalabahi


Keheningan teluk Kalabahi dalam bingkai suasana pagi
Menyesap nikmatnya kopi pagi disebuah warung kecil di samping kiri pelabuhan ditemani semangkuk mie rebus yang asapnya masih mengepul. Tidak banyak aku temukan tempat minum kopi yang buka di pagi seperti ini di NTT, tidak seperti di Jawa yang dengan mudah kita temui warung-warung yang buka di pagi hari menunggu pembeli memesan kopi. Tapi bukankah kadang yang sulit dicari jadi nikmat sekali jika kita temui. Ah, aku jadi ingat teman yang pernah sampai ke kota ini dan berkata, sering merindui untuk datang kembali di kota ini. Jika sebagian orang ada yang datang sebentar menjadi jenuh, aku jadi ingat kata mantan bupati Alor, Ans Takalapeta: "Alor itu indah jika kita bisa menikmatinya". 

Perahu bertambat di dermaga
Bayangan pagi yang hening

Ya benar, jika kamu bisa berdiri disini menikmati terjebak dalam suasana kota lama, menikmati keheningan yang ada mungkin kamu akan mengangguk setuju pada sebuah spanduk pemda "Alor - Heaven on Earth". Aku sedang tak bicara tentang indahnya terumbu karang di perairan Alor yang menjadi incaran turis dari mancanegara bahkan para dive master level dunia. Aku juga tidak sedang berbicara tentang indahnya panorama pantai di sepanjang Alor. Tak perlu jauh-jauh teman, menikmati kopi di pagi hari atau sekedar mencangkungkan kaki di pinggir dermaga saja cukup alasan untuk menemukan sebuah keindahan jika kau paham maksudku.
Kota lama di depan pelabuhan
Suasana pertokoan dengan arsitektur gaya lama

Beberapa hari ini aku memang jadi rajin bangun lebih pagi karena bunyi adzan Subuh terdengar dari hotel yang jaraknya tak jauh dari hotel mungkin tak lebih dari 100 meter dan disusul oleh 2 masjid lainnya yang hampir bersamaan. Sebelum adzan sendiri biasanya aku mendengar lantunan qiro'ah mengalun dari pengeras masjid. Saat mataku bangun setengah terbuka aku serasa kembali ke kampung halaman dimana musholla hampir bisa ditemui disetiap gang kampung dan saat subuh suara-suara adzan itu terdengar susul menyusul. Aku jadi rindu kampung, masih kuingat saat puasa kami pagi-pagi dengan sarung terkalung di leher berangkat sholat Subuh dan dilanjutkan acara 'ngeceng' di alun-alun kota. Aku ingat, para gadis muda juga keluar bangun subuh. Mereka tidak keluar untuk sholat subuh tapi untuk jalan-jalan, dan alun-alun kadang menjadi tempat 'ngeceng' waktu subuh. Sekarang istilah 'ngeceng' sudah jarang dikenal, mungkin sebagian kalian yang masih dibawah 30 tahun tidak lagi mengenal istilah itu.
Asap tipis tanda aktivitas pagi dimulai
Menimba air laut dari perahu
Mungkin baru kali ini aku leluasa berjalan-jalan pagi di pinggir pantai bahkan saat langit masih gelap. Pagi masih hening selepas Subuh, hanya beberapa orang tua yang keluar agak telat dari masjid karena lebih lama berdzikir. Pun kesibukan di dermaga tak seberapa, hanya beberapa orang yang sibuk mengisi air bersih ke tong-tong perahu. Sepertinya mereka mau berangkat pagi ini. Beberapa kru kapal yang enggan bangun memilih menutup badannya dengan sarung dan meringkuk di pinggiran dermaga.

Patung Perjuangan Rakyat
Kalabahi adalah sebuah kota lama, salah satu kota yang terbentuk sejak awal berdirinya provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku bisa mengenali wajah kotanya yang mengingatkanku pada kota lama di Jawa, pun demikian pula dengan kesibukannya. Toko-toko biasanya hanya buka sampai jam tiga sore dan jika buka lagi biasanya selepas jam lima sore. Toko-toko yang berdiri di sekitar pelabuhan masih menjadi pusat keramaian di Kalabahi, suasananya tidak banyak berubah dibanding lima belas tahun lalu.
Lautnya pun begitu tenang, nyaris tanpa gelombang. Jika kalian lihat peta, Kalabahi berada jauh di dalam teluk yang dikenal dengan nama teluk Mutiara. Air laut yang bagai pantulan kaca memantulkan bayangan hitam tanah Alor Besar yang dipenuhi bukit-bukit. Aku saat duduk di dermaga kadang suka membayangkan jika teluk ini adalah sebuah kota pasti malam hari akan melihat pemandangan yang luar biasa, mandi cahaya dari seberang yang yang bayangannya memantul bagai kaca di air laut.
Namun dibalik ketenangannya lautnya, pagi yang kedua aku duduk sendiri di dermaga aku tahu bahwa laut tetap menyimpan bahayanya sendiri. Dan pagi ini aku mendengar dari corong masjid yang memberikan kabar bahwa seorang anak yang masih kecil berumur 7 tahun meninggal tenggelam, seingatku bernama Raihan sekitar jam 19.00. Malam sebelumnya aku memang mendengar percakapan ibu-ibu saat ada kesibukan di dermaga bahwa mereka sedang mencari seorang anak yang hilang tenggelam dan belum ditemukan. Katanya anak itu bersama ibu bapaknya yang sedang memancing di dermaga. Selamat jalan Raihan, sepertinya Tuhan lebih menyayangimu nak walaupun kepergianmu tentulah menyakitkan hati bapak ibumu.

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 11 Desember 2013

Pecicilan di Kawah Putih

Danau yang berasal dari kawah berwarna kuning kehijauan: Kawah Putih
Gerimis mulai turun saat aku keluar dari gerbang Situ Patengang, kumasukkan tanganku ke saku sweater hijau kutarik lebih dalam sambil melangkah lebih cepat. Dari tadi tak satu pun ada angkutan yang berjalan balik ke arah Ciwedey. Jika sial, berarti aku harus berjalan kaki tak kurang dari lima km untuk sampai ke Kawah Putih. Sebenarnya ke dua tempat, Kawah Putih dan Situ Patengang, sempat membuatku bimbang. Dimanakah di antara keduanya yang ingin kunikmati saat kabut pagi masih tebal. Akhirnya aku memang memilih Situ Patengang karena lebih mudah dijangkau dengan angkutan umum, sedangkan ke Kawah Putih hanya bisa dijangkau dengan angkutan dari pengelola yang pasti belum ada pagi-pagi begini. Dengan jarak tempuh sekitar lima km, paling sedikit aku membutuhkan waktu setengah jam dan bisa jadi aku kehilangan momen kabut pagi.

Tangga menurun menuju Kawah Putih
Untung sampai di pertigaan ada seorang pengendara motor melintas. Karena arah yang sama mau ke Kawah Putih akhirnya aku ikut dengannya. Melintasi jalan sepanjang jalur Situ Patengang sampai ke Kawah Putih ternyata cukup membuat aku kedinginan. Apalagi di daerah Rancawalini sempat ada kabut berair yang membuat sweater-ku basah sehingga terasa lembab. Untung juga aku tak membawa dua lensa, sehingga tak iseng gonta ganti lensa yang dalam situasi seperti ini punya kans buat kamera cepet almarhum. Perjalanan seperti ini memang biasanya aku lebih suka membawa satu lensa Tamron 17-55mm f/2.8 supaya aku tidak ribet dengan alat-alat fotografi. Termasuk tripod yang biasanya selalu aku bawa, kali ini absen. Bukan karena aku gak mau, tapi karena hilang hehehe. Wal hasil aku memang harus menghindari penggunaan kecepatan rendah.
Dibelakang view ini terdapat gua Belanda
Sekitar sepuluh menit kemudian aku sampai ke area Kawah Putih. Tak ingin terburu-buru jalan, aku memilih mampir dulu ke sebuah warung yang ada disekitaran gerbang masuk Kawah Putih. Warung masih tampak sepi, mungkin belum lama buka sehingga permintaan semangkuk soto ayam dan teh panas segera tersaji beberapa menit kemudian. Sambil makan, aku mengamati suasana sekitar
Suasana sudah tampak ramai, beberapa bis wisata mulai masuk ke area. Ada juga rombongan motor yang datang, kalau gak salah sih motor Honda CBR. Sebenarnya aku salah tas ransel, seharusnya aku membawa tas ransel yang lebih kecil. Namun entah kenapa, kemarin aku justru memilih tas ransel yang agak besar untuk kubawa dan menitipkan tas yang lebih kecil ke Rey untuk dibawa pulang. Padahal aku hanya membawa sedikit barang.
Batang pohon santigi yang mati mengering
Tiga puluh ribu rupiah, itu biaya yang harus dibayar per orang untuk masuk ke Kawah Putih. Gak mahal lho, karena itu sudah termasuk harga ontang-anting (angkutan khusus untuk mengangkut pengunjung ke dan dari Kawah Putih). Tapi bagi yang hendak foto pre-wedding disini, tercantum biaya sebesar 500ribu rupiah, cukup mahal atau sangat mahal?
Aturan di sini, selain mobil pribadi semua pengunjung harus menggunakan jasa ontang-anting untuk naik ke atas termasuk juga bis-bis wisata harus menggunakan jasa ini. Ontang-anting ini sepertinya angkutan dengan tiga lajur tempat duduk plus satu penumpang di bagian depan. Masing-masing lajur punya bisa diisi sampai dengan tiga orang, jadi jumlah penumpang penuhnya sekitar 10 orang. Yang berbeda, ontang-anting ini tidak punya pintu seperti halnya bajaj kecuali untuk penumpang yang di depan (sebelah sopir).
Rupanya naik ontang-anting menjadi sensasi tersendiri, dengan kondisi jalan yang naik turun berliuk-liuk justru sopir sering dengan sengaja melarikan kencang sehingga di beberapa tikungan dan turunan yang tiba-tiba beberapa penumpang menjerit, antara ketakutan dan senang. Tapi jangan tanya penumpang yang duduk di persis pintu, mereka akan mencengkeram kuat besi pegangan bahkan saat ontang-anting melaju di tempat yang lurus. Saranku bagi yang takut, sebaiknya jangan duduk di ujung pintu. Bisa-bisa perjalanan menyenangkan itu malah menjadi trauma. Jaraknya memang tidak jauh, seperti lain kali aku bisa memilih untuk berjalan kaki.
Kumpulan pohon santigi di dekat Kawah Putih yang mati terbakar
Akhirnya ontang-anting sampai di pelataran luas, ujung dari perjalanan naik ke Kawah Putih. Pengunjung sudah sangat banyak sehingga aku cukup mengikuti arah jalan mereka. Papan penunjuk sebenarnya cukup jelas terbaca tapi kadang kita malas membacanya. Padahal sebenarnya itu diperlukan sekali, apalagi di tempat-tempat yang punya potensi bahaya seperti disini. Aku lihat ada papan petunjuk bertuliskan arah "Evakuasi", papan ini menjadi urgen sekali untuk diketahui karena memang ada kondisi tertentu dimana kawasan Kawah Putih menjadi sangat berbahaya terutama jika ada aktivitas berlebihan dari kawah Gunung Patuha ini. Yang paling umum adalah naiknya kandungan kadar belerang di udara yang dapat menyebabkan rasa pusing, mual bahkan jika dalam kandungan berlebihan dan tidak segera ditangani bisa mengakibatkan kematian. Sebaiknya baca papan petunjuk jalur evakuasi, ini akan bermanfaat jika tiba-tiba Kawah Putih iseng menjadi tidak bersahabat sehingga bisa menolong diri sendiri atau orang-orang disekitarnya.
Hanya beberapa meter setelah melewati tangga menurun, telaga kawah berwarna kuning pucat kehijauan menyapaku. Itulah warna dari telaga Kawah Putih ini. Tidak ada warna putih saat itu, warnanya lebih ke warna belerang, sementara warna kebiruan lebih karena pantulan warna langit. Bau belerang telah muncul saat mulai turun tangga. Banyak orang telah datang ke tempat ini, dengan lokasi yang mudah dicapai seperti ini tentu banyak orang yang ingin mengujungi tempat ini.
Selain pohon-pohon mengering, longsor juga rawan terjadi
Aku memilih berbelok ke kiri setelah melewati ujung tangga karena memang tidak banyak orang yang menuju ke arah itu. Beberapa pohon santigi yang dekat telaga telah menjadi onggokan batang kering. Batang-batang kering ini bahkan bukan hanya di tempat yang dekat dengan kawah, bahkan di tanah-tanah tinggi beberapa meter dari telaga juga tidak luput dari sergapan belerang sehingga juga menjadi mati meninggalkan kayu kering yang menghitam. Hanya ada dua rombongan lain yang mengikuti arah kesini, sementara banyakan yang lain lebih memilih berada di kawasan di dekat tangga turun, setidaknya mereka cepat untuk dievakuasi. Mungkin hanya aku pejalan sendirian disini, sementara yang lain berombongan atau paling tidak berpasangan. Beberapa pakis baru tumbuh di areal bekas pohon-pohon santigi yang terbakar, pertanda beberapa waktu tidak ada aktivitas kawah yang terlalu berbahaya. 
Sayangnya selain kabut yang sudah tidak ada lagi, matahari juga lebih sering bersembunyi di balik awan kelabu. Ini lah risiko datang di bulan-bulan saat hujan mulai datang. Sepertinya memang datang ke tempat ini pagi hari menjadi pilihan tepat, tentunya jika menggunakan kendaraan pribadi atau kalau rela mau berjalan kaki. Karena menurut informasi, kawasan wisata Kawah Putih mulai dibuka setelah jam tujuh, kadang juga lebih. Tentu saja belum ada ontang-anting yang bisa kita gunakan, entah kalau kita sewa.

Narsis menjadi hal yang tidak pernah dilupakan para pelancong
Satu jam kemudian aku kembali ke arah tangga turun dan coba melihat ke sisi kanan tangga. Beberapa meter baru melangkah aku melihat gua belanda, begitu yang tertulis di papan petunjuk. Bau menyengat belerang keluar dari gua itu, sangat menyengat. Pantas saja di depan gua terdapat petunjuk agar tidak berlama-lama di depan gua. Sebenarnya dari areal ini dapat melakukan trekking hutan namun aku memutuskan menunda untuk kesempatan lain karena berburu dengan waktu.
Keindahan danau Kawah Putih memang tidak diragukan, pantas saja walau biaya untuk foto prewedding di tempat ini cukup mahal namun banyak yang menginginkan bisa foto prewedding di tempat ini. Kalau kata teman, bahkan sang calon mempelai wanita bisa berpose dengan baju dengan bahu terbuka dipagi hari. Padahal yang menggunakan jaket dengan dua lapisa baju di dalamnya saja masih merasa kedinginan. Untung foto, kalau video pasti ketahuan kalau setelah pemotretan mereka bakalan menggigil ketakutan.
Kembali dari Kawah Putih, aku sempetin beli buah strawberry yang ada di tempat ini, katanya lebih manis walau ukurannya lebih kecil. Tapi setelah mencoba, menurutku strawberry yang pernah aku beli di SoE, NTT jauh lebih manis.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 28 November 2013

Ciwedey dan Situ Patenggang

Situ Patenggang yang lenggang pagi itu, hanya kesibukan kru-kru film
Sore itu aku ditemani segelas teh panas, setongkol jagung bakar, dan kesendirian. Kulipat satu kakiku sementara kaki satunya bergantung diatas kursi panjang dari bambu. Rancaupas meremang, bayangan pohon-pohon tinggi memudar seiring warna langit yang menggelap. Kabut tipis pelahan-lahan turun menyelimuti tanah urang Sunda ini. Beberapa kali aku harus merapatkan sweater yang aku pakai untuk mengusir dingin. Dengan ketinggian 1.703 mdpl pastilah dingin di Ciwedey menjadi hawa yang sudah biasa dinikmati warga disini. Di depan warung, pemilik warung, teh Rina sibuk mengipasi bara api dari potongan kayu untuk membakar jagung pesanan sepasang muda-mudi yang baru datang, tampaknya dari Jakarta. Teh Rina melakukannya sambil mengendong anaknya yang baru berumur dua tahun karena adiknya yang paling bungsu - Lita sedang disuruh ke warung membeli mie instan yang telah habis.
Suasana pagi di Bandung: berselimut kabut
Suhu makin dingin, bahkan teh pun dengan segera kehilangan panasnya tapi aku masih enggan beranjak dari tempatku duduk. Dingin namun masih banyak suasana yang bisa kunikmati. Tidak ada suara tivi, tidak juga radio, hanya celoteh Sunda kental dari beberapa orang yang saling bertegur sapa, suara-suara yang mengingatkan pada tanah lama yang begitu bersahaja. Dua orang bapak-bapak datang, mereka duduk ngobrol dan memesan kopi di warung sebelah saat aku memutuskan masuk ke kamar istirahat melepas lelah, mengurangi beban dingin yang makin tak tertahankan. Rasa capek akhirnya membawa saya pulas melupakan rasa dingin di luar.

Sweater Baru dari Ciwidey
Aku belum memutuskan hendak kemana saat selesai mengantar Rey ke Bandara Husein Sastranegara. Perjalanan ke Bandung untuk tugas menyisakan gerutu yang belum habis sampai sekarang. Hari ini, aku dan Rey harus check out dari hotel karena ternyata dari kantor pusat mengatakan kalau jadwal kami hanya dua hari. Preet, tanpa pemberitahuan yang jelas kami harus kehilangan sehari dan itu harus ditanggung kami sendiri. Rey lebih beruntung karena waktu reschedule tiket pesawat ternyata masih ada, sayangnya masih tersisa satu saja.
Selesai dari ATM mengambil uang secukupnya aku memutuskan berjalan kaki keluar dari bandara. Masih belum jelas mau kemana hari ini, apakah mau muter semalaman di kota Bandung dilanjutkan tidur dimana saja ataukah ada tempat yang bisa aku tuju. Untung aku sudah menitipkan tas komputer ke Rey sehingga aku cuma bawa tas ransel satu tipis saja, satu tas kamera yang ukurannya kecil hanya cukup satu body + lensa.
Cemara di daerah Rancawalini (perkebunan teh)
Satu dua tawaran ojek aku tolak sambil terus berjalan. Saat seorang tukang ojeg menawarkan jasa hendak mengantar, tiba-tiba aku iseng tanya kalau mau ke Kawah Putih lewat mana? Mang ojeg tadi bilang kalau kesana berarti harus ke Ciwedey, dan itu bisa naik travel yang biasanya lewat di Kalapa atau terminal Leuy Panjang. Kalau turun ke Kalapa dia tawari dengan biaya 40rebu. Namun dia menyarankan menggunakan jasanya sekalian sampai ke Ciwedey dengan biaya 150rebu dengan alasan saat ini hari Sabtu pasti jalur ke Ciwedey sibuk banget sehingga bisa dipastikan untuk sampai kesana butuh waktu bisa sampai 3 jam lebih. Setelah kupikir-pikir dengan waktu sekarang yang sudah mendekati jam empat sore, akhirnya aku setuju naik ojek sampai ke Ciwedey.
Ternyata benar, perjalanan ke Ciwedey udah dipenuhi dengan antrian kemacetan di beberapa titik. Untungnya dengan motor kami mudah saja masuk dari celah-celah kendaraan lain sebagaimana motor-motor lainnya. Memang kadang-kadang agak ngeri saat masuk di celah kendaraan-kendaraan berat macam truk atau bis besar, rasanya kayak kena gencet aja.
Ternyata untuk ke Ciwedey harus masuk ke Kabupaten Bandung. Setelah masuk ke Soreang, perjalanan mulai terasa menanjak dan berbelok-belok. Walaupun jalanan ke arah Ciwedey seperti itu dan bukan jalan besar namun bis-bis yang lewat daerah sini adalah bis-bis pariwisata yang berukuran besar.
Perkebunan teh di Situ Patenggang
Aku minta mang ojeg berhenti di sebuah toko baju apapun selewat daerah Soreang karena aku mulai merasakan dingin sementara jam tanganku menunjukkan ketinggian 700 mdpl. Rupanya Ciwedey berada di ketinggian makanya suhu udara semakin terasa dingin sementara aku cuma memakai rompi yang tentu saja tak bisa menahan dingin. Di sebuah toko, aku berhasil mendapatkan sebuah sweater dengan harga 80rebu warna hijau. Lumayan setelah aku memakai sweater ini, perjalanan dengan motor tidak terlalu terasa dingin. Sekitar satu jam lebih sedikit, akhirnya kami memasuki daerah Ciwedey. 
Aku berhenti di depan pintu masuk kawasan wisata Kawah Putih. Begitu turun dari ojek, beberapa orang langsung datang menawarkan jasa penginapan. Ternyata pada hari Sabtu seperti ini, kamar-kamar hotel, villa dan penginapan rata-rata harganya naik dua kali lipat lebih. Dengan harga setidaknya  menguras kantorng 400rebu, itu pun banyak yang hampir penuh. Aku memutuskan mampir di warung memesan kopi dan jagung bakar supaya punya waktu menimbang-nimbang apakah perjalanan sekali ataukah menginap di sini.
Perahu melintasi bukit Cinta di Situ Patenggang
Dari pemilik warung, ternyata ada beberapa tempat wisata yang cukup menarik perhatianku untuk aku datangi. Kalau untuk ke Kawah Putih, aku disarankan besok pagi saja karena biasanya kawasan itu sudah tutup jam lima sore. Lagian kalau sudah sore sering kali sudah tertutup kabut. Segelas kopi panas dan sweater hijau ini lumayan membantuku berfikir dari otak yang membeku akibat suhu di tempat ini. Setelah cari-cari informasi penginapan murah (camping aku coret karena jelas aku gak punya tenda), akhirnya aku ikut seorang tukang ojeg yang menawarkan tempat tidur disebuah warung. Aku dibawa tukang ojeg ke kawasan warung di depan kawasan wisata hutan Cimanggu. 
Setelah tawar menawar, akhirnya aku sepakat dengan harga 175rebu semalam. Sebenarnya kalau hari-hari biasa sih dengan 100rebu udah pasti dapet, tapi karena hari libur begini harga segitu sudah susah untuk ditawar lagi. Warung ini tidak punya kamar sendiri, jadi kalau kita mau nginep mereka baru siapkan bagian belakang menjadi tempat menginap. Yah hanya sebuah tempat tidur dan selimut panas sih, tapi lumayan lah, toh kita juga cuma numpang tidur doang.
Dinginnya Ciwedey baru terasa saat malam, walaupun selimut sudah aku gulung ke seluruh tubuh plus sweater yang tetep membalut tutup dari sore tadi tetep saja aku berjuang untuk melawan dingin supaya bisa tidur. Untungnya aku bisa tertidur beberapa jam, namun mulai terbangun lagi saat tengah malam karena keramaian di luar. 
Akhirnya aku keluar lagi ke teras warung. Sambil duduk santati aku memesan secangkir kecil kopi panas ke teh Rina (inilah kesalahan yang aku sesali belakangan, karena gara-gara kopi itu akhirnya aku tidak bisa tidur lagi semalaman). Teh Rina masih sibuk bakar jagung, karena beberapa orang dari Jakarta malah justru baru sampai. Kata teh Rina, kalau hari Sabtu-Minggu begini memang biasa buka sampai pagi.
Di depan kawasan wisata Cimanggu malahan beberapa bis baru masuk ke dalam selain juga motor. Kata orang di sini, mereka ke Cimanggu untuk mandi air panas (rupanya selain hutan wisata juga ada sumber air panas). Waduh, malam-malam begini mandi air panas. Enak sih enak, cuma sepertinya bukan hal baru yang ingin aku lakukan. Masih aneh saja mandi air panas di tengah malam seperti ini. Tapi siapa peduli, mereka jauh-jauh dari Jakarta untuk menikmati tempat ini kan.
Segelas kopi panas pun dengan segera menjadi dingin, ampun dah. Mau nambah lagi tapi aku malah takut gak bisa tidur. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur lagi, walaupun akhirnya cuma bolak-balik doang gak bisa tidur lagi.

Situ Patenggang, Pagi yang Sunyi
Jam setengah lima aku bangun. Asli aku gak ingin mandi sama sekali walaupun tadi sore pun belum mandi. Air di bak dingin sekali, sehingga aku cuma bisa sikat gigi dan cuci muka. Selesai beres-beres, aku rencana langsung mau jalan sekalian bawa tas ransel jadi gak perlu bolak-balik sini.
Para kru film telah mempersiapkan properti
Ternyata pagi masih terasa sepi, sementara suhu pagi terasa dingin menggigit jari-jari. Dengan jarak sekitar lima kilometer dari sini, aku mencoba berjalan turun ke bawah sambil menunggu siapa tahu ada ojeg atau mobil angkutan yang lewat.
Beberapa ratus meter aku berjalan sampai di Rancawalini, ada sebuah mobil angkutan warna kuning yang lewat. Aku cegat dan naik, walaupun menurut akang yang nyetir hanya sampai di pintu masuk saja tidak sampai ke dalam. Aku sih oke-oke saja, lumayan menghemat waktuku karena hari ini aku selain ke Situ Patenggang juga harus bis sampai ke Kawah Putih.
Setelah tak berapa lama angkutan kuning ini meliuk-liuk melintasi kawasan perkebunan teh akhirnya sampai aku di depan gerbang masuk Situ Patenggang. 
Ternyata Situ Patenggang kalau di papan petunjuk aslinya bernama Situ Patengan, yang asal katanya dari pateangan-teangan yang artinya mencari-cari. Kalau mau tahu asal muasal dan dongeng cinta yang melingkupi situ itu silahkan goggling sendiri aja ya.
Ternyata petugas jaga tempat ini tidak ada, karena rupanya mereka baru mulai berjaga di atas jam setengah delapan. Lumayan lah, bisa menghemat lima ribu rupiah. Yee, sebenarnya bukan karena ingin berhemat sih, tapi karena pengalamanku memotret danau biasanya paling mengambil saat pagi sekali atau sore sekalian karena ada kemungkinan mendapatkan view yang tidak biasa dilihat oleh pengunjung biasa yang seringnya datang jika sudah siang.
Ternyata masuk ke dalam kawasan situ, di kanan kiri jalan dipenuhi perkebunan teh milik PTP Nusantara, perusahaan BUMN di Indonesia.
Pagi yang sepi dan tenang di Situ Patenggang
Hijau teh yang sekarang keluar pucuknya, hawa dingin, dan kabut tipis yang sesekali turun ke bawah menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan. Dada dipenuhi kelegaan menghirup udara yang masih sangat segar ini.
Alih-alih lewat jalan masuk, aku memilih masuk ke situ Patenggang lewat jalan-jalan sela yang dibuat para petani teh. Cukup licin sebenarnya dan karenanya aku beberapa kali tergelincir olah daun-daun kering yang membasah oleh embun. Untung batang-batang teh masih sanggup menahan berat tubuhku sehingga tidak tergelincir jauh turun ke bawah. 
Situ Patenggang masih sepi, hanya ada beberapa orang yang datang itu pun tampaknya karena mereka ada pembuatan film, entah film apa (aku jarang nonton sinetron Indonesia sih). Semoga saja mereka tidak sedang membuat film horor seronok ya hehehe.
Keberadaan mereka sebenarnya keuntungan tersendiri bagiku. Saat mereka menyewa perahu-perahu itu aku punya kesempatan untuk mengabadikan momen itu. Selebihnya aku lebih membiarkan kakiku melangkah kemana aku suka, menyusuri pinggir situ, meliuk diantara batang-batang cemara yang enggan merunduk.
View salah satu sudut Situ: jajaran cemara
Banyak warung yang ada disekitar situ, namun pagi itu sebagian masih tutup. Hanya ada beberapa warung yang sigap menjemput rejeki sehingga pagi-pagi buta begini sudah mulai buka. Perahu-perahu teronggok tanpa ada pemiliknya, mungkin sedang lelap dibuai hangat kain sarung dan selimut tebal.
Siapapun yang datang pada pagi ini tak akan menemukan keramaian khas tempat wisata, namun menemukan lebih daripada itu. Rasa tenang, sunyi yang begitu melegakan. Air situ pun seperti malas beriak, membiarkan bayangan-bayangan pepohonan menjadi sempurna tergambar di airnya. Kabut tipis bergerak pelan di atas permukaan air seperti membentuk uap tipis di permukaan.
Satu demi satu orang mulai berdatangan, di tengah ada beberapa pulau kecil yang biasa ditawarkan pemilik perahu untuk didatangi. Saat jam sudah menunjuk angka setengah delapan aku bergegas naik kembali ke atas. Sekarang saatnya mereka yang ingin berwisata dengan segala keriuhannya.
Aku memilih naik dari kebun teh seperti sebelumnya tanpa perlu melihat apakah ada angkutan kuning yang bisa aku tumpangi. Di depan gerbang mulai ada dua petugas jaga, aku pura-pura gak tau dan lewat begitu saja. 
Setelah ini waktunya mengunjungi Kawah Putih.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya