Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label pantai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pantai. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Januari 2018

Danau Oemenu: Gelombang Tinggi

Danau Oemenu I yang airnya berwarna kehitaman dan banyak batang pohon tumbang

Aku terus bergerak menerobos, aku mulai tidak bisa membedakan jalan karena jalur yang coba aku ikuti bisa tiba-tiba menghilang tertutup belukar. Saat aku memilih jalur lain hal yang sama kembali terjadi. Atau saat aku memaksa menerobos belukar, beberapa meter kemudian tiba-tiba aku menemukan jalan lagi.

Aku sesekali menengok ke belakang memastikan Obet dan Adis tidak jauh tertinggal di belakang. Semakin mendekati suara gelombang aku semakin bersemangat menaiki tebing karang sehingga beberapa saat lupa tidak menengok ke belakang sampai kemudian aku menyadari Obet sudah berada persis di belakangku namun tidak dengan Adis.

Adis berdiri diam terpaku beberapa meter dengan pandangan ke arah bawah tebing. "Dis!" aku memanggilnya pelan tapi dia seperti tidak menyadari. Aku memutuskan kembali untuk membantunya,
"Bet kamu di sini aku mau nyusul Adis".
"Dis, aku kesana ya" Tanpa menunggu persetujuannya aku kembali turun.
Baru beberapa langkah aku kembali, seperti menyadari sinar senterku yang mengarah kepadanya Adis seperti tersentak menengok ke arahku. "Tidak usah, lanjut" teriaknya.

Melewati tebing menuju ke danau Oemenu II
Di atas tebing terbuka barulah aku bisa melihat ada laut di depan kami. Ah, ada kelegaan di dada kami yang tidak terungkapkan. Setidaknya kami lebih mudah mencari jalan kembali dari pinggir laut. Kami pelahan mencari jalan pelan menyusuri karang terjal menuju ke arah pantai.

Tapi kelegaan kami hanya sebentar, ternyata tebing karang ini tidak memiliki pantai. Dan aku benar-benar tidak mengenal daerah ini. Entah di pantai mana sekarang kami berada. Hanya dalam gelapnya laut mata kami masih bisa melihat adanya sebuah pulau di depan yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Nantinya kami akan tahu bahwa kami sampai di depan Pulau Tubafu (ada yang menyebutnya Tubuafu yang artinya tugu batu).

Kami terduduk lemas di salah satu tebing karang. Jam sebelas malam, kelelahan, kehausan, tidak ada sinyal dan tak ada arah yang harus kami tuju. Empat jam lebih kami berjalan, akhirnya kami memutuskan akan bermalam di atas tebing yang kebetulan ada pasir-pasir pantai yang menutupinya sehingga dapat kami gunakan untuk sekedar duduk bersandar. Pertimbanganku dengan kondisi seperti ini, mencoba berjalan kembali justru akan banyak menguras tenaga.

Suasana siang hari di danau Oemenu II
Sayangnya kondisi tebing yang kami pakai tidak dapat untuk tidur rebahan juga masih cukup terbuka. Kondisi ini selain menyulitkan untuk istirahat juga sulit melindungi kami sekiranya ada angin kencang.

Aku berinisiatif mencari tempat yang lebih layak, karena aku lihat muka Adis dan Obet yang sudah tampak kecapekan, akhirnya aku memutuskan mencari sendiri. Pelahan aku mencari jalan ke arah pantai berharap ada daerah turunan yang cukup tersembunyi dan rata untuk kami bermalam.  
Pelahan aku mendekati ke ujung karang, namun tampaknya tidak ada tempat yang cukup rata atau pantai yang bisa kami gunakan untuk bermalam.

Samar-samar mataku melihat karang yang agak tinggi di sebelah kanan. Karena mungkin karang itu tempat yang paling pas untuk melihat kesekeliling aku memutuskan naik ke atas. Berdiri di atas karang itu pemandangan yang aku lihat lebih luas, walaupun di sekeliling tetap saja didominasi kegelapan. Bayangan pulau Tubafu dari atas sini semakin terlihat utuh. Sepertinya pulau itu tak lebih dari pulau batu dari karang-karang tinggi yang naik ke permukaan.

Ujung danau Oemenu II tempat pak Koster menangkap kepiting
Ombak pantai selatan ada beberapa meter di hadapanku malam ini tampak tenang. Memang tidak setenang pantai utara. Bunyi ombak yang menabrak karang deburnya memang masih terdengar keras. Benakku berkecamuk banyak pertanyaan yang tiada habisnya.

Dalam pekat malam yang nyaris tak bisa terlihat apa-apa aku mendengar suara gelombang yang mendekat ke karang. Seharusnya setelah itu aku mendengar suara debur saat gelombangnya terpecah dinding karang. Namun ternyata kembali sunyi. Apakah telingaku salah .........

Tiba-tiba beberapa saat kemudian ada warna putih muncul mengambang beberapa meter di atas kepalaku. Dalam waktu singkat penglihatanku itu, aku mencoba menerka. Apakah itu GELOMBANG??

Terlambat! Sesaat kemudian gelombang besar itu menghantamku. Aku dilanda kekagetan luar biasa, sepersekian detik sebelum gelombang itu menerjangku, aku membalikkan badan. Byarr!! Punggungku dihantam gelombang cukup keras, aku oleng namun tetap keras bertahan untuk tidak terbanting. Sekali aku terjatuh karang-karang tajam ini akan melalapku habis.

Laut kembali sepi.... Jantungku berdegup kencang, kejadian yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Masih masih berdiri dengan posisi punggung melengkung mendekap tas Adis. Dalam selintas pikiran itu, aku justru terpikir untuk menyelamatkan tas Adis yang berisi kamera. 
Beberapa menit berlalu dalam suasana mencekam. Setelah aku yakin tidak ada kejadian lagi, aku beringsut kembali ke tempat Adis dan Obet.

Obet dan Adis tampak keheranan saat aku kembali dalam kondisi basah kuyup. Entah apakah mereka bisa memperhatikan mukaku yang pucat. Adis cuma diam memandangku, antara prihatin dan iba. Obet yang biasanya cerewet pun kali ini tidak berkomentar apapun.

Aku meletakkan tas Adis yang dari tadi aku dekap dan melepaskan kaos yang sudah basah semua. Aku bersandar di salah satu dinding karang tanpa bisa berkata-kata. Apakah ini peringatan.... atau kah sekedar salam kenal? Aku tak mengerti.......

Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini, batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini. Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Malam yang Panjang di Hutan Puru
Aku tersentak, refleks kaget terbangun saat kepalaku terantuk karang yang tajam. Aku mencoba memperbaiki dudukku dalam kondisi mata yang masih berat. Aku coba melihat dua orang temanku yang juga mencoba tidur di antara sela-sela karang yang bisa digunakan untuk bersandar. Tidak mudah tertidur di situasi seperti ini. Sekeliling kami adalah karang-karang tajam, hanya sedikit yang rata itu pun karena tertutup oleh pasir pantai. Inilah satu-satunya tempat kami beristirahat malam ini.

Suasana danau Oemenu II
Tiba-tiba aku bergidik merasakan hawa dingin. Saat musim panas seperti ini memang justru pada malam hari menjelang pagi justru suhu sering drop. Hal yang sama aku alami jika di Kupang. "Mam kita cari ranting ke hutan sana untuk api unggun?" Obet rupanya juga telah terbangun. 
Aku meraba kantong berharap masih ada korek api yang aku simpan, ah syukur rupanya masih ada di saku celanaku.

Aku dan Obet pelahan turun ke bawah mencari ranting yang bisa kami gunakan untuk api unggun. Tuhan masih menyayangi kami, saat mencari kayu aku menemukan sebuah sandal di sela karang entah milik siapa. Plastik, sendal adalah keajaiban dalam kondisi kami saat ini yang akan membantu api menyala lebih lama.

Akhirnya api unggun yang kami buat bisa menyala, lumayan mengusir rasa dingin yang kami rasakan. Kami duduk mengelilingi api unggun, beberapa percakapan kecil terjadi sekedar untuk membunuh waktu yang rasanya bergerak melambat. Tapi tidak ada yang mencoba percakapan dengan apa yang barusan kami alami. Tidak ada.. setidaknya saat ini....

Satu demi satu kami tumbang lagi setelah tidak kuat dijalari rasa kantuk. Ya kami harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pagi nanti.....

Suara Yang Menyelamatkan
Sekitar jam enam pagi saat kami mulai berjalan, suasana agak redup tapi kondisi sekitar jauh lebih jelas terlihat dibanding semalam. Tiba-tiba aku seperti mendengar sayup bunyi lonceng. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk memastikan suara itu yang tercampur dengan bunyi debur ombak.

Aku melihat Obet yang wajahnya seketika berubah cerah, "Mam itu lonceng gereja kan? Iya, Mam! Itu bunyi lonceng gereja" katanya saat suara seperti lonceng terdengar makin menguat. "Puji Tuhan.." Wajah Obet benar-benar tampak cerah. Wah aku lupa kalau pagi ini hari Minggu pastilah itu lonceng gereja untuk kebaktian Minggu.

Kami berjalan lebih semangat kembali ke hutan menerobos semak belukar mengikuti suara lonceng yang kami dengar. Kali ini kami bergerak lebih pasti karena suara gereja terdengar jelas arahnya. Langit yang terang juga membantu kami melewati hutan. Sekaligus kami jadi menyadari bahwa di belakang pantai Eno'niu itu sebenarnya adalah hutan bukan hanya beberapa pepohonan milik masyarakat seperti yang aku kira.

Jam setengah delapan akhirnya kami bertiga bertemu jalan. Ada kelegaan luar biasa yang melingkupi kami. Saat menelusuri jalan, beberapa puluh meter di depan kami lewat seorang mama tua yang berdandan rapi yang menurutku mau ke gereja.
"Mam, aku yang meminta tolong ibu itu ya?" Obet menawarkan diri dengan sangat bersemangat. Yah giliran seperti ini, dia lah yang paling semangat. Dan taukah kalian, adegan selanjutnya tidak lebih adalah melihat pemutaran film India dengan semua melodrama-nya. Obet memang jago kalau urusan seperti itu.

Akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya air yang memasuki tenggorokanku setelah semalaman didera kehausan. Kebetulan mama Viko juga ada kue-kue yang rencananya mau diberikan ke gereja. Ah rejeki anak sholeh, akhirnya bukan cuma mendapatkan minuman kami juga diberikan makanan. Kata Mama Viko, kue-kue yang kami makan itu memang rencananya mau dibawa ke gereja. Mama Viko sendiri biasa berjualan kue di pantai Puru.

Tapi ada satu keanehan yang aku simpan dalam hati. Sejak Obet menceritakan tentang peristiwa kesasarnya kami dan pengalaman bertemu danau, rasanya tidak ada yang menjelaskan tentang keberadaan danau itu. Entah kenapa, mereka tampaknya menghindari menceritakan danau itu.



======= 

Note: Cerita ini bukan pengalamanku sendiri melainkan teman-temanku yang kesana. Awalnya aku diajak namun karena ada kesibukanku akhirnya mereka bertiga yang kesana yaitu: Imam "Bocil" , Adisti "Pipi", dan Alberth "Obet"
Seharusnya aku ikut kesana, namun karena sedang ada kesibukan akhirnya cuma mereka bertiga. Aku kesananya pada hari Minggu setelah pagi-pagi ada telepon dari Vivi, temennya Adis, yang tanya apa Adis menghubungiku. Kata dia waktu itu, malam kejadian itu ada pesan masuk dari Adis, yang berpesan kalau sampai pagi tidak menerima kabar dari dia supaya menghubungiku.



Catatan Tentang Danau Oemenu
Beberapa bulan sebelumnya aku (penulis) dan mas Eko pernah datang ke danau Oemenu  ditemani pak Frengki dan pak Koster. Kata pak Koster waktu itu tempat itu jarang diketahui orang umum bahkan masyarakat sekitar sini. Pak Frangki sendiri mengakui kalau dia sendiri jika tidak ditemani pak Koster masih suka kesasar ke tempat ini.

Pak Koster cerita jika ada beberapa kali orang bule yang datang ke sini minta diantarkan ke danau Oemenu. Bukan pantai Puru? tanyaku waktu itu. Tidak pak, mereka datang ke sini ya maunya melihat Danau Oemenu. Sebelumnya mereka kesini dan membantu masyarakat memasang pipa untuk menarik air dari mata air menggunakan mesin genset. Sayangnya sekarang sudah tidak ada jejaknya, entah karena mesin gensetnya rusak.

Kebetulan sekitar danau Oemenu itu ada sebuah gua bawah tanah yang ada mata air besar yang tidak pernah kering. Mata air ini dulu suka disebut gua ABRI (sorry kalau salah, aku agak lupa penyebutan pak Koster tentang mata air ini) karena dulu tentara pernah memasang pipa untuk mereka gunakan mengambil air di sini. Cukup dalam, aku bisa mendengar suara airnya saat tes dengan melemparkan batu ke dalam gua. Tapi tetap tidak bisa melihat airnya, mungkin juga karena bentuk lekukan guanya.

Pertanyaan yang belum dijawab pak Koster waktu itu darimana orang-orang bule itu tahu tentang keberadaan danau Oemenu dan mata air itu. Setelah kejadian itu, aku baru berpikir lagi apakah ada hubungan antara bule-bule yang datang itu dengan penampakan orang-orang Belanda di danau Oemenu? Entahlah, alam kadang memberikan cerita kepada kita dalam potongan-potongan puzzle.


Tulisan sebelumnya: Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 18 Januari 2018

Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu

Danau Oemenu I yang airnya berwarna gelap
Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini , batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini . Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Rencana Nenda di Snaituka
Sore sekitar jam lima sore, kami bertiga baru masuk ke gerbang wisata Pantai Puru. Jalan dari desa Puru ke pantai ini yang paling memakan waktu. Tanah putih berdebu yang sudah tidak rata membuat motor tidak dapat dipacu. Jam lima namun cuaca masih terasa panas, maklum bulan Oktober seperti ini memang Kupang lagi panas-panasnya.

Pantai Snaituka rencana kami menginap
"Wah, pak Imam..." sapa ramah seorang pria berbadan gempal yang bertugas menjaga tempat ini sambil menyalamiku, "Eh, ada mbak Adis juga" senyumnya makin terbuka lebar saat mengetahui Adis juga datang.
"Mau nginep pak hari ini?" tanyanya. Namanya Pak Frengki, pria ramah ini memang sudah kami kenal lama, hanya Obet yang belum kenal dia karena memang baru sekali ini kesini.
"Iya, sudah sepi ya pak?" tanyaku sambil memandang sekeliling. Jika sudah terlalu sore seperti ini, sebagian besar pengunjung sudah kembali sehingga pantai Etiko'u tampak sepi.
"Iya biasa kalau hari begini. Nginap di tempat biasa kan pak," tanya pak Franki sambil menunjuk lopo yang biasa aku gunakan untuk menginap jika kesini.
"Mau ke pantai sebelah saja pak, bisa kan?"
"Bisa, tapi saya gak bisa temani. Ada acara malam ini."
"Nanti malam kalau sempat saya mampir ke tempat mas Imam," ujar pak Frangki sambil mulai membenahi beberapa barangnya. Katanya sih ada acara di tetangganya hari ini. Pak Frangki memang biasanya kalau pas kami menginap suka datang ke sini buat ngobrol-ngobrol sambil membakar api unggun.

Tanpa menunggu pak Frangki jalan, kami langsung berjalan masuk ke kiri menuju ke arah rerimbunan bakau. Kali ini tidak seperti biasa, kami berencana akan menginap di pantai Snaituka. Pantai Snaituka terletak disebelah pantai Etiko'u yang dibatasi pepohonan bakau dan bekas rawa yang mengering selama bukan musim hujan.

Sesampai di pantai Snaituka kami menaruh semua barang di dekat pepohonan yang pasirnya agak tinggi karena di bawah pohon kelapa masih terlalu banyak tanaman perdu yang batangnya banyak duri, tempat yang ideal untuk memasang tenda . Aku melihat matahari sudah mendekati batas horison dan pantai Snaituka bukan lokasi terbaik untuk menikmati pemandangan itu. Yap, tenda kami berencana tidur di pantai Snaituka tapi kami menghabiskan hari di pantai Eno'niu. Pantai terbaik untuk menikmati senja karena dari tempat itu matahari tampak tepat jatuh di horison air. Setelah berembuk, kami sepakat untuk menunda pasang tenda dan menikmati senja dulu di pantai Snaituka.

Aku bahkan memilih meninggalkan semua peralatan termasuk air minum karena aku pikir pantai Eno'niu yang cuma berjarak seratusan meter dari pantai Snaituka tidak praktis jika sambil membawa air minum. Walau jaraknya dekat tapi menuju pantai Eno'niu tidak mudah karena antara dua pantai ini dibatasi karang tinggi. Memang ada jalur yang dalam dilewati sesuai namanya yaitu Eno'niu (pohon asam), tapi tetap saja harus melewati karang tinggi yang tajam.

Kemalaman di Eno'niu
Pantai Eno'niu yang terlindung karang di kiri kanan
Karena terlalu asyik menikmati pantai Eno'niu, kami bertiga baru tersadarkan jika langit sudah terlalu gelap. Giliran mau balik ini lah yang menjadi masalah. Jalan kita masuk ke tempat ini sudah terlalu gelap padahal saat terang saja kita harus ekstra hati-hati.

"Mam, kita lewat jalan lain ya" Obet bertanya tapi aku tahu anak ini sebenarnya takut.
"Takut Bet?"
"Gak lah, aku cuma takut kalian kesusahan lewat.. Aku cuma pengen lewat jalan lain saja kok"
"Ya udah. lewat balik jalan tadi aja" 
"Jalan lain aja, aku gak suka jalannya kalau gelap. Bukan takut sih, tapi agak gimana gitu. Lewat jalan lain ya"
Tokek satu ini memang begini. Aku tahu dia sebenarnya takut dengan ketinggian, apalagi harus lewat melalui jalan masuk tadi saat gelap begini. Tapi tetap saja kelakuannya sok cool (baca: kedinginan).

Sebenarnya kalau sedang surut kita bisa berjalan menyusuri pinggir pantai. Tapi saat ini justru air baru setengah tinggi sehingga ombak bisa menjangkau sampai ke pinggir karang jelas bukan ide bagus. Masalahnya beberapa kali ke sini aku belum pernah ditunjukkan jalan lain selain lewat karang dan pinggir pantai. Aku sendiri tidak tahu ada apa dibalik pepohonan pantai Eno'niu. Aku pernah naik di salah satu karang bareng mas Beki tapi waktu itu yang tampak disekeliling hanya pepohonan dan karang-karang tinggi. Entah berapa jauh jarak ke perkampungan dari tempat ini.

"Dis, bawa minum?"
"Gak"
"Obet?"
"Gak lah, kan kita tinggal semua di tenda"
"Ah, sial!"

Salah satu jalan menuju ke pantai Eno'niu
Cukup lama aku harus menimbang. Tidak ada minuman, tidak ada pisau, dan tentu saja tak ada sinyal di sini. Cuma ada satu senter, dan itu aku saja yang bawa. Tidak ada pilihan untuk bertahan disini. Memang ada ceruk di salah satu tebing yang bisa kita gunakan untuk bermalam hanya bukan saat ini, bukan pada saat seluruh barang kami tinggal di dalam tenda.

Akhirnya aku memutuskan masuk ke dalam rerimbunan pepohonan dimana ada sebuah jalan kecil disitu. Aku melihat sebuah jalan kecil temukan saat langit masih cukup tadi sore. Aku sendiri tidak tahu pasti di balik pantai Eno'niu adalah sebuah hutan, hanya perkiraanku saja. 

Aku fikir setidaknya jika aku terus berjalan mengikuti arah kiri aku akan bisa sampai ke salah satu pantai entah pantai Etiko'u atau syukur bisa ke pantai Snaituka. Atau sesial-sialnya tetap akan ketemu jalan kampung.

Di depan jalan kecil yang tidak kami kenal ini kami terhenti sejenak. Ada secuil doa yang diam-diam aku panjatkan bahwa ini bukan keputusan yang salah. Aku di depan memimpin jalan dengan senter di kepala. Obet di belakangku dan yang paling belakang adalah Adis dengan mengunakan cahaya senter dari hape masing-masing. Kenapa justru Adis yang notabene cewek justru yang paling belakang? Kalian pasti tahu apa sebabnya.

Bertemu Danau Oemenu
Aku menyusuri jalan dengan hati-hati. Setiap ada kemungkinan ke kiri aku akan memilih jalan itu. Semakin dalam aku masuk, pepohonan semakin lebat, jalan pasir putih mulai digantikan dengan karang yang tidak rata. Semakin ke dalam jalan yang mulai tambah tak jelas, beberapa kali kakiku harus terantuk akar kayu yang menjalar di sepanjang jalan.

Danau Oemenu I menjelang tengah hari
Aku terus berjalan yang pelahan menanjak sampai pada titik tertinggi dan berhenti di antara bayangan tinggi karang yang menjulang dengan akar pohon yang menutupinya, mungkin pohon beringin.

Dalam keremangan malam, cahaya senterku menangkap bayangan gelap air jauh di bawah. Aku tidak terlalu yakin. Aku berhenti menunggu Obet dan Adis mendekat. "Itu dibawah air Bet?" tanyaku setelah Obet menjajariku.
Mata Obet menatap lekat-lekat ke bawah mengikuti arah pandanganku. Tak ada jawaban.
"Bet, kita cek ke bawah dulu?"
"Kamu aja cek mam, aku tunggu di sini jagain Adis," usul Obet disambut muka galak Adis yang merasa dimanfaatkan sama Obet.

Danau Oemenu II yang airnya berwarna hijau
Sambil mencari pijakan pelahan aku turun ke bawah meninggalkan mereka berdua menunggu di atas. Beberapa langkah turun, samar aku bisa mencium bau anyir. Aku diam agak ragu, aku melihat ke atas melihat apakah mereka berdua juga membaui hal yang sama. Semakin turun ke bawah bau anyir semakin tercium kuat. Jalan menurun agak curam tapi terbantu dengan sulur-sulur yang melintang sepanjang jalan bisa untuk membantu pijakan atau pegangan.

Sekarang di depanku tampak sebuah kubangan air sebesar rawa yang airnya yang tampak pekat kehitaman. Pepohonan besar yang mengelilinginya tampak seperti bayangan mahluk hitam besar penjaga rawa. Hawa dingin menerpa sebelah kananku begitu halus. Refleks aku menolehkan pandangan ke kanan dan sebuah jalan kecil samar dan di depannya ada ............

Tak ada apa-apa.. hanya hitam gelap....

"Dis.. Bet.. turun, kayaknya ada jalan di depan sini," aku berteriak ke arah Adis dan Obet berdiri menungguku di atas.

========
Malam terasa begitu sunyi sehingga bunyi-bunyian dari binatang malam sangat jelas terdengar seperti bersahut-sahutan. Aku bahkan dengan jelas bisa mendengar kaki Imam merosot turun ke bawah. Satu-satunya yang membantu mengusir sunyi pada saat ini adalah celotehan Obet yang tidak jelas. Cukup membantuku mengabaikan kelebatan-kelebatan suara kaki yang bergerak cepat di belakangku.

"Dis, kita turun," Obet menoleh kepadaku. Sebelum aku mengiyakan ternyata Obet sudah turun duluan, padahal kukira dia mau meminta aku turun duluan. Mahluk satu ini dalam situasi tertentu kadang kelihatan kampretnya.

Mas Eko menuju ke danau Oemenu II
Kami berdua turun mengikuti jejak Imam sambil menjangkau sulur-sulur pohon untuk dijadikan pegangan. Tak berapa lama Obet sudah berdiri menjajari Imam. Aku yang masih beberapa meter di belakang Obet dan Imam saat tiba-tiba merasakan beberapa langkah kaki bergerak mendahuluiku.  

Saat aku menoleh ..... pandanganku terpaku pada sosok pendek bergerak turun di sampingku. Wajahnya terlihat samar gelap seperti muka yang bersembunyi di balik bayangan. Satu satunya tiba-tiba berhenti dan seperti menyadari sesuatu tiba-tiba menengok ke dan menatapku. Mata bulat menyudut berwarna merah sesaat membuatku diam terpaku. Lalu dia bergerak menghilang di kegelapan hutan. Mata itu mengingatku pada mata seekor rusa.

Seperti tersadar kalau tanganku sudah tidak memegang hape yang aku gunakan sebagai pengganti senter, sontak aku meraba-raba tanah mencarinya. Untung cahaya hape menyala sehingga sebentar sudah aku temukan lagi. Aku memejamkan sejenak, pengalaman tadi membuat jantungku berdetak kencang. Sepertinya ini adalah permulaan, batinku.

Aku mendengar Imam dan Obet memanggil-manggil namaku. "Iya, gak pa-pa!" sahutku supaya mereka tidak merasa kuatir.

Pelahan aku kembali turun ke arah mereka. Tak berapa lama kemudian aku sudah berdiri beberapa meter di depan mereka. Ada kelegaan di mata mereka melihatku.

Tiba-tiba ada hembusan angin dingin dari belakang mereka ke arahku. Aku menahan diri untuk tidak melihat. Sedetik.. dua detik.. tidak ada apa-apa. Tiba-tiba ada beberapa kali yang melintas di sampingku yang membuatku tanpa sadar melihat ke arah mereka.

Mataku mengikuti arah mereka hingga akhirnya tertumbuk ke arah dimana angin dingin tadi bertiup dan di balik bayangan pepohonan aku melihatnya.....
=========

Aku dan Obet menoleh ke arah Adis karena tiba-tiba merasakan suasana senyap. Aku melihat Adis terdiam. Karena tidak melihat gerakan gadis itu akhirnya aku dan Obet bersamaan teriak memanggilnya. Untung tak lama kemudian Adis menjawab. Ah aman, pikirku.

Aku berjalan beberapa langkah ke depan untuk memastikan jalan yang akan kami lewati. Saat aku menimbang arah tiba-tiba mataku tertumbuk pada pandangan Adis di belakangku. Sontak aku mengikuti arah pandangnya dan ...........  

Hanya ada kegelapan kosong, selain bau anyir air lumpur rawa ini tentu saja. "Dis," panggilanku pelan seperti tidak didengarkannya, pandangannya tetap seperti semula seperti terpaku.
"Dis," aku memanggil sedikit lebih keras. Adis tidak menjawab tapi buru-buru bergerak ke arahku disusul dengan Obet kemudian. "Kita jalan," katanya seperti menghindari sesuatu.

Milkyway di atas langit Puru
Kami kembali berjalan menembus hutan yang tidak tahu kapan berakhirnya. Perjalanan berikutnya bukan makin mudah karena kami justru harus melewati karang yang lebih tajam-tajam dibanding sebelumnya. Beberapa sulur ternyata ada duri. Aku tak tahu kalau beberapa sulur yang mirip akar itu sebenarnya pohon tuba yang memang tumbuhnya menjalar, cuma bedanya sepanjang batangnya banyak duri. Aku sudah mengabaikan rasa perih yang beberapa kali kurasakan saat salah memegang sulur.

Aku selalu mencoba memilih ke kiri berharap untuk setidaknya bertemu dengan pantai. Namun entah mengapa selalu ada dinding karang terjal yang membuat aku harus berjalan memutarinya. Ada suara ombak yang aku dengar tapi sulit menentukan di sisi mana karena suara itu bisa jadi dari pantulan bukit-bukit karang. Suara ombak itu seperti berasal dari beberapa sisi. Beberapa kali aku coba mengikuti suara ombak tapi berakhir di dinding karang yang tidak bisa dilewati.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tidak ada tanda-tanda bakal menemukan pantai. Rasa kuatir mulai merambati hatiku. Celotehan Obet bahkan sudah tidak terdengar lagi, hanya sekali-kali. Tapi cukup membantu mengurangi beban, apalagi berjalan tak tentu arah selama tiga jam membuat kerongkongan kami kehausan.

Dalam langkah dengan keyakinan yang makin goyah, langkahku seperti menemukan titik terang saat aku bisa mendengar lamat-lamat di depanku. "Bet, itu suara ombak dari depan kan?" aku coba mencari pendapat lain. Obet menganggukkan kepada enggan, semangatnya mulai patah.
Aku cuma berharap dia tidak benar-benar kehilangan semangat. Satu-satunya yang tetap membuat kami bertahan di saat seperti ini. 

Dengan sebagian semangat yang masih tersisa, aku mulai baik pelahan ke atas batu karang menembus sulur-sulur yang makin rapat. Makin ke atas, asal suara ombak makin terdengar jelas, sehingga aku makin yakin kami makin mendekati pantai.

=========
Aku tidak peduli betapa tenggorakanku sudah mengering dari tadi, aku hanya mengikuti langkah mereka berdua yang terus berputar-putar di hutan ini. Bahkan saat Imam mulai tampak semangat mengikuti bunyi ombak yang diyakini telah dekat pantai.

Aku hanya ingin keluar dari hutan ini, tidak ada yang lain. Perkenalan dua kali tadi cukup membuatku yakin bahwa mereka tidak menyukai kami di sini.

Beberapa kali aku harus merelakan kakiku terluka terkena ujung karang yang tajam. Awalnya memang terasa pedih namun karena terlalu sering aku justru malah mengabaikannya. Lain dengan Obet, tiap kali kakinya terkena sulur atau tersangkut karang masih saja sumpah serapahnya keluar. Mujur masih ada suara dia, setidaknya keheningan hutan ini tidak segera membunuh semangatku.

Aku sempat berfikir untuk mengajak mereka turun ke danau itu, tapi lagi-lagi aku memilih diam. Walaupun aku bisa melihatnya belum tentu perjalanan ke bawah mudah. Sambil terus berjalan mataku mencuri lihat ke arah danau berharap ada jalan mudah turun ke sana.

Tiba-tiba di ujung danau aku melihatnya......... Dia hanya menatapku, tidak hanya satu...
==========


(bersambung ke Danau Oemenu: Gelombang Tinggi)
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 20 Juni 2017

Senja di Pantai Baliana

Pasir putihnya berubah menguning seiring matahari yang semakin turun di ufuk barat. Matahari tampak kuning membulat dibayangi langit yang semakin memerah. Pantai sore ini dipenuhi warna kehijauan di sepanjang pantainya karena sedang surut. Warna hijau itu berasal dari tanaman laut sejenis rumput menutupi batuan karang di bawahnya. Sementara itu, pemandangan yang paling jamak saat surut seperti ini adalah masyarakat sekitar yang sedang mencari keong laut. Umumnya yang melakukan ini para perempuan atau anak-anak.

Seorang gadis meneteng ember berisi keong
Bagi yang suka melihat si 'Patrick' bintang laut bakalan seneng kalau ke sini karena bintang laut di sini ukurannya besar-besar dan gampang ditemuin di antara rumput-rumput. Warnanya juga macam-macam. Cuma itu juga petunjuk kalau kawasan ini daerah terumbunya sudah rusak banyak makanya jadi banyak bintang laut.

Pantai Baliana, nama cantik yang disandang pantai ini tak membuat banyak orang tertarik mengunjunginya. Pasir putihnya memang hanya sepotong yang saat sedang puncak pasang tidak akan menyisakan apapun. Mungkin karena itu pantai Baliana cenderung sepi walaupun hari libur. Sebagian besar yang ada di pantai adalah masyarakat sekitar yang mencari keong atau kerang. Bahkan daerah karang landainya lebih luas daripada pasir putihnya, sehingga nelayan pun tidak mungkin menambatkan perahu. Kondisi pantai Baliana memang rawan membuat perahu kandas terkena karang.

Lampu cahaya mercusuar layaknya sinar matahari pagi
Ada sebuah bangunan kayu agak tinggi, ada sebuah tangga kayu untuk naik ke atasnya. Mengingatkan tentang bangunan penjaga pantai untuk mengawasi pantai hanya ini lebih sederhana, lebih terkesan bangunan darurat. Aku baru paham kalau bangunan ini berfungsi sebagai mercusuar. Ternyata ada sebuah lampu terang yang dihidupkan saat menjelang malam. Namun karena tidak ada listrik di sana, untuk menghidupkan lampu mercusuar itu digunakan mesin genset.

Sepertinya bangunan mercusuar ini dibangun swakelola masyarakat bukan milik pemerintah. Tapi entah punya siapa dan untuk apa. Mungkin juga punya PT TOM yang mengoperasikan budidaya mutiara. Dengan tiram-tiram bernilai mahal yang ditanam di perairan ini tentu rawan menarik orang untuk mengambilnya. Entahlah, mungkin aku harus bertanya ke penjaga kalau balik ke sini lagi.

Posisi pantai ini sederet arah dengan pantai Tablolong sehingga pantai ini posisinya pas menghadap matahari terbenam. Tidak tepat di horison laut karena ada pulau Semau di seberang yang menghalangi.

Perjalanan Kesana
Lokasi pantai itu cukup jauh dari kawasan penduduk, mungkin itu salah satu alasan pantai ini tidak ramai walaupun hari libur. Berjarak sekitar dua puluh tiga-an kilometer dari Kota Kupang, perjalanan menyusuri jalan sepanjang rutenya bisa dibilang mulus sampai ke jalan terakhir menurun menuju pantai.

Bahkan jalan selepas pertigaan menuju ke kawasan industri bolok bisa dibilang kosong melompong. Naik motor aja bawaannya ngantuk  karena lurus kosong itu, penghalang jalan kebanyakan berasal dari tinja sapi yang digembalakan lepas sama pemiliknya. Tapi kalaupun ditabrak juga tidak akan terasa apa-apa, paling motor jadi bau TAI!

Lokasi ini berdekatan dengan PLTU Bolok namun kalian tidak boleh melewati jalan ke arah PLTU Bolok karena jalan dari sana ke Pantai Baliana tidak ada, kalau untuk jalan kaki sih masih bisa.

Apa yang Menarik
Tempat ini bisa jadi alternatif buat lokasi foto atau sekedar santai. Obyek menarik ya motretin masyarakat sekitar yang kebanyakan mama-mama dan anak-anak yang jongkok berdiri mungutin keong. 

Penilaianku sendiri tempat ini masih enak buat didatangi karena belum ramai yang datang. Ya mungkin aku lebih menyukai pantai-pantai yang sepi walau tanpa fasilitas daripada ke pantai penuh fasilitas tapi ramai. Ya pasti satu termos kopi sudah aku bawa dari rumah. Asseeekkk.. melihat matahari terbenam sambil ngopi.

Yang pasti ini bukan lokasi yang tepat untuk berenang kecuali mungkin saat laut sedang pasang karena daerah landainya yang jauh dan dipenuhi rumput-rumput. Tapi itu membuat orang tua yang punya anak-anak akan lebih merasa aman melepaskan anaknya bermain di pantai ini. Setidaknya belum pernah mendengar buaya mampir ke tempat ini.

Atau kalau mau sabar, coba nunggu sampai langit gelap. Biasanya sebelum gelap lampu mercusuar dihidupin jadi tetep tempat ini gak gelap-gelap amat. View saat itu lebih keren dan asik dinikmati. Tapi ati-ati kalau jalan sama pasangan udah malam gak pulang-pulang bisa-bisa dicurigai mau berbuat yang aneh-aneh (saling mengorek tai hidung pasangannya pake sedotan misalnya).

Temen yang ngabisin kopiku di tempat ini ada dua mahluk: Imam Masjid Makkah Almukaromah eh bukan Imam Arief Wicaksono yang lebih familiar dipanggil boncel, sama anak yang masih kecil namun udah punya katepe dan status pekerjaan pe-en-es walau tidak ada yang yakin dengan usianya: Adisti.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 27 Maret 2017

Paradise of The South: Puru (Habis)

"Dilematis, kadang perjalanan ke tempat bagus ingin dikabarkan untuk mengenalkan orang lain untuk mencintai dan mengeksplore keindahan alam di sekitar. Tapi sering kali dan hampir selalu terjadi, orang hanya tau menikmati saja tanpa tanggung jawab merawatnya. Kalau istilahku, mereka yang sudah membayar 5ribu perak untuk masuk udah merasa terbebas untuk tidak membawa sampahnya sendiri. Seolah-olah 5ribu adalah harga petugas untuk memungut sampah yang mereka tinggalkan."


Ini vote aku taruh di depan tulisan dengan muka asem sedikit murka (selebihnya senyam-senyum ganjen). Karena pantai yang aku tuliskan di bawah ini adalah pantai yang masih paling terjaga dari pantai lainnya. Aku tidak ingin blog ini menjadi satu satu pemicu menjamurnya kedatangan traveler geblek yang tak ubahnya yang ngaku demen jalan tapi sebenarnya cuma mau mindahin tempat sampah. Kalau kalian tipe seperti itu, please tutup blog ini jangan diterusin, mending cuci kaki dan bobo sambil mimik susu..  

Ditulisan sebelumnya aku sudah menuliskan tentang pantai Etiko'u (meting besar) dan Snaituka (pasir pendek). Kalau mau kepo-in tulisan dua tempat itu bisa dilihat disini. Sekarang untuk melengkapinya, kali ini aku akan menuliskan dua pantai sisanya yaitu pantai Tubuafu dan pantai Eno'niu.

Pantai Tubuafu
Ada perahu nelayan di pantai Tubuafu
Tubuafu kalau diterjemahkan itu artinya tugu batu. Sesuai dengan namanya, penanda khas dari pantai ini adanya sebuah bukit kecil yang sebenarnya batu karang besar di pinggir pantai. Batu ini terpisah seperti membentuk sebuah bukit kecil. Hanya ada rerumputan dan beberapa pohon kecil yang hidup diatasnya. Saat surut, bukit kecil ini akan menyatu dengan daratan sehingga mudah kita panjat. Aku tidak menyarankan menaikinya saat air mulai pasang, karena saat air mulai mengitari bukit ini. Saat puncak pasang, air yang mengelilingi bukit ini selain kencang arusnya juga ombaknya sangat keras. Bahkan buncahan ombaknya bisa naik melebihi ketinggian batu. Kalau mau mati jangan sebut-sebut namaku ya, datang gak diundang ya pergi gak usah minta antar #jailangkung

Pemandangan pagi dari pantai Tubuafu
Pantai Tubuafu sendiri akan mudah dilihat pada saat kita di pinggir pantai Etiko'u yang dibatasi dengan bebatuan diantara keduanya. Namun jika dari penampakan pantainya, sebenarnya pantai Tubuafu ini masih bisa dibilang satu kesatuan dengan pantai Snaituka. Cuma pantai ini tidak masuk dalam deretan pantai Puru, menurut pak Frengki pantai Tubuafu sudah masuk dusun yang lain. Hanya memang untuk mencapai pantai ini ya paling mudah lewat pantai Puru, tinggal menyusuri pinggir pantai 300 meteran udah sampai di pantai ini.

Inilah batu di pinggir laut yang memunculkan nama Tubuafu
Pantai Tubuafu adalah pantai yang paling ujung kanan dari empat pantai yang aku sebutin. Selepas pantai Tubuafu adalah deretan karang terjal, setidaknya begitu menurut pandangan mataku. Karena pantai-pantai ini berada di lengkungan, maka dari pantai Tubuafu ini akan terlihat semua pantai lainnya. Bahkan pantai ujung kiri yaitu pantai Eno'niu akan terlihat dari pantai ini.

Jika menginap di sini, maka pantai Tubuafu paling pas untuk menikmati pagi. Karena dari pantai ini akan terlihat matahari terbit dari balik pantai Snaituka. Pak Frengki bilang kalau pantai Tubuafu ini pernah menjadi lokasi pendaratan Jepang. Di deretan dekat karang-karang terjal sebelah kanan pantai Tubuafu itu ada ditemukan beberapa bunker jepang. Sebenarnya keberadaan bunker-bunker Jepang di sekitaran Kupang bukanlah hal aneh. Kawasan sekitar bandara juga banyak ditemukan bunker-bungker Jepang, nanti aku ceritakan dalam tulisan lain. Cuma yang aneh, kok bisa Jepang mendarat di pantai ini yang notabene bukan pantai yang mudah didatangi lewat laut. Ah entahlah, tentara Jepang yang bisa menjawabnya.

Pantai Eno'niu
Pemandangan dari atas karang-karang menuju lokasi pantai Eno'niu (TUK)
Inilah pantai yang beberapa waktu aku harus tarik ulur dengan mas Eko Prasetyo untuk ceritakan. Kenapa? Ada banyak alasan kenapa aku diminta menahan diri untuk tidak menuliskan pantai ini.

Alasan pertama, pantai ini masih terbilang belum dikenal dari semua pantai lainnya karena akses yang tidak mudah untuk mencapai tempat ini. Menurut mas Eko, masih banyak tipe pelancong di sini yang hanya mau menikmati lokasi bagus tapi kurang tanggung jawab untuk menjaganya. Mau bukti? Seperawan-perawannya  pantai ini, ada tumpukan sampah tersisa yang ditinggalkan orang-orang kampret yang mendatangi tempat ini. Mereka mendatangi tempat yang indah dan bersih dan mereka meninggalkan tempat itu menjadi tempat sampah besar.

Alasan kedua, pantai ini diluar jangkauan pengawasan pak Frengki cs. Jika sampah-sampah yang ditinggalkan di pantai Snaituka saja sering terlewat tak dibersihkan apalagi sampah yang akan tertinggal di pantai Eno'niu. Mengharapkan para pejalan tak bertanggung jawab? Lebih baik bakar saja mereka daripada membakar sampahnya. #murkabesar

Eno'niu itu artinya pintu asam. Kenapa disebutkan pintu asam? Padahal di pantainya lebih banyak pohon santigi yang batangnya melengkung nyaris menempel ke pasir. Tapi jika mau diperhatikan betul-betul saat mau naik ke karang ada pohon asam di dekat situ, dan memang itu satu-satunya jalan untuk ke pantai Eno'niu. Pohon asam itulah kenapa pantai ini disebut. Jadi kalau mau kesini kuncinya cari pohon asam yang buahnya sudah masak, ambil, kuliti dan makan... Asyeeeem banget... se-asem muka para jomblo kalau ditanya kapan nikah.

Langit senja di pantai Eno'niu
Siluet yang ngaku-aku pemilik pantai TUK
Terkait nama alias untuk Eno'niu yang jujur susah untuk disebutkan, kita sudah bilang ke pak Frengki. Jika misal ada yang datang dan dianterin kesini lalu tanya nama pantai ini bilang saja pantai TUK, kependekan dari Tapaleuk Ukur Kaki.. jiah, baru sekali-kalinya datang langsung minta pengukuhan ganti nama. Tunggu, mungkin sebentar lagi mas Eko mau bikin acara syukuran di pantai ini. Kalian semua bakal diundang kok wahai para jin, setan dan sebangsanya....

Tapi kalau puncak surut, bisa ke pantai ini menyusuri lewat pasirnya tapi itupun kalo surutnya jauh. Selain itu ya harus lewat karang-karang yang masih runcing-runcing belum di-ampelas. Ya iyalah, emang situ mau ampelas karang biar licin gitu.

Ini adalah pantai tercantik dari empat pantai yang ada di Puru, walaupun jalannya paling ujung dan paling sulit tapi pemandangan..... #ikon mata melolot keselek biji salak. 
Dari sini kalian ditanggung bisa melihat pemandangan matahari senja yang tidak akan mengecewakan. Karena matahari di sini akan tampak bulat .. ya iyah, mana ada matahari bentuknya kotak, box nasi kalee bentuknya kotak. 

Duh di sini masih sepi dan bersih (kecuali itu seonggok sampah entah punya kampret siapa). Pasir putih dan langit Kupang yang pasti biru mengharu khas langit di daerah kawasan Indonesia Timur yang tidak tercemar polusi udara. Kalau malam pun, galaksi milky way sangat mudah tampak serasa ada di atas kepala (tulisannya ada disini).

Prewedding di pantai Puru
Pokoknya pantai yang satu ini epik, dan sialnya temenku udah duluin bikin prewedding di sini. Duh padahal aku belum prewedding di sini lho (kawin sama gendruwo).Tentu saja untuk membuat foto prewedding itu harus dibantu serombongan tuyul supaya acara foto tidak gagal, belum saja tidak lupa membawa dukun penolak hujan karena Kupang pada saat itu susah diprediksi walaupun BMKG sekalipun. Kalau kalian mau prewedding di sini boleh kontak aku, fotografer-nya gratis tapi sewa kamera itu sekitar 10juta. Itu kamera gak boleh peserta prewedding yang bawa, harus punya fotografernya hahaha.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 Januari 2017

Tour de Jawa: Surabaya-Jakarta (1)

Galaksi Bima Sakti di atas Pantai Klayar
Malam di pantai Klayar yang sepi, sayang awan menghalangi pemandangan galaksi Bima Sakti
Bis kecil yang muat sekitar 20-an orang sudah mulai sepi, satu demi satu penumpang turun. Kondektur yang merangkap kernet juga lebih memilih duduk di salah satu kursi, tidak bergantungan di pintu seperti biasanya. Pertanda kami adalah penumpang bus terakhir. Desahan lega terdengar jelas saat pantatnya yang agak gemuk jatuh di kursi bis. Untung sore ini jalanan sempat diguyur hujan jadi hawa dingin segar berhembus dari lubang kaca jendela yang terbuka.
Liukan demi liukan bis menembus hutan wilayah antara Tulungagung - Pacitan. Inilah bis kedua yang membawaku dalam rencana perjalanan seminggu Surabaya - Jakarta melalui jalur lintas selatan. Sebuah tas ransel 60 liter berwarna biru teronggok di belakang yang akan menjadi teman perjalananku selama seminggu ini. Entah tempat saja yang akan aku lalui, aku akan membiarkan setiap peta terbuka sendiri di setiap tempat persinggahan baru. Aku hanya punya satu rencana yang harus kudatangi dari perjalanan ini: Dieng.

Hari 1: Menginap di Pacitan
Sopir berteriak-teriak, "bis terakhir, bis terakhir". Mengingatkan para penumpang yang masih belum masih ke dalam bis termasuk aku. Kopi hitam panas baru sempat kureguk sedikit karena masih terlalu panas. Aku memaksakan untuk bisa meminum sampai setengah sebelum beranjak naik ke bis. Agak ada rasa kebas di lidah, ah biarkan saja toh nanti juga sembuh sendiri.
Pengunjung di atas bukit pantai Klayar
Tak lama setelah aku naik, bis berjalan pelahan meninggalkan terminal yang kondisinya berantakan. Mencoba menambah penumpang sebelum meninggalkan kota Tulungagung. Kata kondektur, kalau sudah sore begini jarang ada yang mau naik bis ke arah Pacitan.

Bus hanya sarat muatan sampai pertengahan jalan, belum sampai Ponorogo jumlah penumpang sudah kurang dari setengah kapasitas bus. Makin mendekati Pacitan makin sedikit jumlah penumpang. Suasana makin sepi sementara langit makin gelap. Saat Maghrib tiba, sepanjang jalan terdengar lamat-lamat suara adzan dari musholla dan masjid saling bersahut-sahutan. Selepas Maghrib nyaris hanya deru bus yang aku dengar membelah hutan yang jalannya meliuk-liuk seperti tak ada habisnya.
Entah kebiasaan entah karena mengejar waktu, bus nyaris tidak banyak mengurangi kecepatan saat menikung membuat harus terbanting ke kiri kana melawan arah tikungan. Mendekati Pacitan aku lihat tinggal tiga orang. Aku bingung mau ngobrol dengan siapa karena yang satu dari percakapan jelas akan turun sebelum masuk kota Pacitan, hanya perempuan di depanku yang tadi saat naik sudah tanya ke sopir mau turun di kota Pacitan. Sayangnya perempuan di depanku yang diam meringkuk di dekat jendela yang sengaja dibuka. Tak ada suara namun aku bisa melihat wajahnya yang pasi. Kulitnya yang putih semakin memperlihatkan keberpucatannya, kegelisahan tampak nyata dari keringat besar-besar di dahinya di suasana yang cenderung dingin. Sepertinya dia sedang menahan mabuk, aku melihat dia meremas sebuah plastik hitam yang kelihatan kosong. Goyangan bus di tikungan memang ampun. Tak berapa lama terdengar bunyi hoek.. ah muntah juga rupanya.

View Seruling Samudera dari atas bukit
"Mas, turun sini mas, itu ada hotel di seberang kanan," teriak sopir bis mengingatkanku.
"Lho, gak ada hotel yang dekat alun-alun pak," tanyaku ragu.
"Kita mau belok mas gak lewat alun-alun sudah malam,"... Ah, beginilah kalau naik bis malam hari, kalau supirnya mau balik sebelum titik terakhir yang disitulah kita harus turun. Tapi gak papa lah daripada kelewatan sampe masuk pol bisa lebih runyam masalahnya. Di seberang hotel persis aku turun hanya tampak satu hotel, satu-satunya. Namanya terpampang jelas: Hotel Permata.

Perjalanan pertama ini aku tak ingin berfikir banyak, aku memutuskan untuk menginap di sini saja. Menurut informasi, kota Pacitan ini tergolong kota kecil. Jadi walaupun malam masih tampak keramaian tentu tidak mudah mencari tumpangan untuk mencari hotel di sekitar kota.

Pacitan adalah kota pertama yang aku pilih untuk disinggahi, pantai Klayar adalah salah satu alasannya. Pantai Klayar kupilih setelah menerima masukan alternatif beberapa tempat wisata yang bisa aku singgahi bila lewat jalur selatan.

Hari ke-2: Minggu di Pantai Klayar
Pagi-pagi sekali selepas sholat Subuh aku berjalan-jalan berharap pagi ini bisa mendapatkan angkutan yang bisa mengantarkanku ke Pantai Klayar. Semalam, aku coba mencari informasi dari resepsionis hotel tentang travel atau kendaraan umum yang bisa mengantarkan ke Pantai Klayar. Resepsionis sendiri menihilkan pertanyaanku, katanya sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi atau melalui travel kota-kota besar lain. 
Masih terlalu sepi di jalan, aku terus berjalan sampai di depan pasar Minulyo. Meski Pacitan termasuk kota kabupaten yang kecil di Jawa Timur, tapi suasana di pasar Minulyo cukup menyenangkan. Kondisinya yang tertata rapi membuatku terpikir dengan kondisi pasar-pasar di NTT yang masih acak kadul kalau tidak mau dibilang kurang terurus.

Suasana pagi hari di Pantai Klayar
Di pasar itulah aku ketemu pak Warno yang menawarkan tumpangan kendaraan. Pak Warno ini pekerjaannya sehari-hari nge-tem di pasar Minulyo.
Karena sepagian menawarkan tumpangan belum ada juga yang naik akhirnya menyanggupi mengantarkanku dengan motor. Untuk menggunakan jasa Colt miliknya, dia mengenakan tarif 150-ribuan sampai ke Pantai Klayar, alasannya kalau kesana tidak akan mendapat penumpang balik. Kalau motor dia minta 100-ribuan, nah lho kok bedanya dikit gitu.
Setelah sepakat dengan pak Warno, aku kembali ke hotel dan mengemasi barang-barangku. Resepsionis sedikit heran melihat aku yang check-out pagi begini bahkan masih sempat bertanya, "Tidak menunggu makan pagi dulu pak?"

Seperti dugaanku, Minggu di pantai Klayar tidak akan mendapatkan pemandangan yang seperti yang kuharapkan. Meski sudah pagi sekali, tapi pantai Klayar sudah dipenuhi wisatawan. Cerita di pantai Klayar ini sudah aku tuliskan di Basah di Pantai Klayar.

Bermalam di Pantai Klayar
Karena tidak mendapatkan view sesuai harapanku, aku memilih menginap semalam di pantai Klayar. Sebenarnya masih banyak lokasi menarik di seputaran pantai Klayar ini seperti yang ditutukan oleh pak Wito, penjual batu akik yang biasa mangkal di atas bukit pantai Klayar.

Berbeda dengan saat siang hari, saat malam hari Pantai Klayar ini akan terasa sekali sepinya. Musik dangdut samar-samar terdengar namun terkalahkan dengan bunyi ombak yang terdengar keras menghantam bebatuan. Ya, homestay ini letaknya persis di bawah bukit yang menjadi lokasi satu-satunya untuk dapat melihat Seruling Samudera. Sehingga saat malam sepi seperti ini, deburan gelombang menghantam karang akan lebih keras terdengar. Letak homestay yang jauh dari penginapan lain yang rata-rata dekat dengan jalan raya menambah suasana sepi tempat ini.

Alur balik gelombang
Tempatku menginap ini hanya ada dua kamar dengan ukuran sekitar 2,5mx2,5m dengan tempat tidur kecil dari busa dan sebuah kipas angin. Mereka minta harga 200-ribuan semalam, namun akhirnya mau dengan harga 100-ribuan dengan syarat tidak ada makan pagi. Satu kamar telah ditinggali suami istri yang sudah menginap sejak Sabtu kemarin. Penginapan ini memang masih baru, malah bisa dibilang belum selesai. Pak Isni, yang mengelola homestay ini awalnya hanya membangun warung di depan rumahnya serta beberapa kamar mandi dan toilet yang disewakan untuk pengunjung pantai Klayar. Kata pak Isni yang mengelola homestay ini, homestay sekitar pantai Klayar memang hanya ramai saat hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur. Di luar waktu itu, bisa dibilang homestay ini sepi tamu. Mereka yang datang ke tempat wisata rata-rata hanya mampir dan balik lagi, jarang yang menginap. Bahkan tidak ada kendaraan umum yang sampai ke pantai Klayar, rata-rata berakhir sampai di Gua Gong. Makanya mereka cukup heran aku yang berani kesini tanpa kendaraan pribadi. Aku akhirnya memahami ucapan mereka keesokan harinya saat akan kembali.

Kata pak Esdi, dulu waktu dia pertama kali datang ke tempat ini masih sangat sepi. Darah Madura yang mengalir di tubuhnya telah membawanya mengelana ke banyak tempat, dan pantai Klayar telah menjadi keputusan akhirnya untuk dia tempati sampai akhir hayat. Orang tua pak Isni ini memiliki tanah yang cukup luas di daerah ini. Sekarang, katanya, berapapun harga yang dia minta banyak yang bersedia membayarnya. Walaupun tepi pantai, tapi untuk urusan air sangat lancar. Pak Esdi menarik pipa sendiri dari mata air yang berada sekitar 2 km dari tempat ini karena belum ada PDAM yang masuk wilayah ini.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 12 November 2016

Basah di Pantai Klayar

View pantai Klayar dari perbukitan
View pantai Klayar dari atas perbukitan
Air naik dengan cepat sesaat setelah aku mendengar bunyi ombak besar menghantam dinding batu bukit batu di depanku. Semua terjadi di luar perhitungan saat mataku masih asyik menunggu rana kamera merekam alur air jatuh di bebatuannya. Refleks aku mengangkat tripod kamera tinggi-tinggi dan berharap buncah air yang menghantam karang itu tidak akan mencapainya. Aku berusaha tegak saat air terus naik melewati dada, berusaha untuk tidak terbanting di pasir pantainya. Aku merasakan pasir melewati mata kaki membantuknya berdiri lebih kokoh. Sesaat setelah arus balik selesai aku segera berlari ke tempat yang lebih tinggi. Aku melihat salah satu orang pengunjung terbanting saat mencoba lari menghindari ombak tadi. Untung tidak ada satupun pengunjung yang sampai terseret air. Beberapa orang yang tengah bermain di dekat karang pun harus rela basah kuyup termasuk kamera yang mereka miliki.

Gelobang pecah selaksa air terjun di pantai Klayar
Gelombang pecah berubah selaksa air terjun
Dan pagi itu sempurna basah sudah seluruh badanku. Aku masuk ke sebuah lopo dengan lincak (tempat duduk dari susunan batang bambu yang selain untuk duduk-duduk santai) milik salah satu warung kecil yang berdiri di tepi pantai.
bahkan pasir-pasir pun bebas masuk ke kantong samping tas kamera. Beruntung kameraku hanya terkena cipratan air, namun tidak demikian dengan tas kamera yang basah seluruhnya. Bahkan aku menemukan pasir diseluruh lipatan tas. Memang lensa di dalam tas tidak langsung terkena air namun hanya terkena rembesan karena lapisan busa yang cukup tebal. Tapi tetep saja bikin ketar-ketir, belum lagi batere aku letakkan di bagian tas paling depan yang tidak berlapis. Akhirnya terpaksa bongkar seluruh isi tas kamera dan lap satu demi satu semua pernak-pernik yang terkena rembesan air laut. Untuk tas backpack sempet aku titipkan di ibu pemilik warung sebelum memotret.


Hari ini aku merasakan dampak dari kejadian di atas. Aku harus merelakan lensa Tamron SP AF 90mm f/2.8 DI Macro mengalami ERR01. Biasanya ini error yang berkaitan dengan kabel fleksibel.

................................................................
"Kenapa mas itu tasnya di taruh di pagar?" tanya mas Teguh, salah satu pengrajin batu akik saat berbincang-bincang denganku. Mas Teguh baru datang belakangan sehingga tidak tahu alasanku menatuh tas di pagar pembatas di atas bukit. Di bukit ini sekarang total ada tiga pedagang yang menggelar barang dagangan batu akik di tempat ini termasuk mas Teguh. Mas Wito lah yang datang paling pagi sehingga dia yang tahu kondisiku dan menyarankan aku menjemur tas. FYI, daerah Pacitan memang terkenal salah satu kabupaten yang memiliki sentra pengrajin batu terutama batu-batu akik. Jadi saat boom batu akik beberapa waktu lalu, pengrajin batu akik dari Pacitan seperti mendapatkan durian runtuh karena harga batu akik yang melonjak tajam. Sekarang kalau kalian ke sana, kalian bisa mendapatkan batu akik dengan harga yang tidak mahal.

Sejoli berjalan di pantai Klayar
Sejoli berjalan-jalan di pantai Klayar
Sambil menunggu peralatanku kering dan dapat kupakai lagi, merekalah jadi teman ngobrolku di sana. Aku memasang hammock di rerimbunan batang pandan pantai supaya bisa bersantai. Sebenarnya ada beberapa papan yang dipasang pak Esdi untuk tempat duduk tapi kurang nyaman untuk tiduran.Untung tidak terlalu banyak yang datang ke atas bukit ini. Serombongan anak muda yang tampaknya semalam nge-camp di atas bukit ini juga sudah bersiap-siap mau kembali. Suasana yang tidak terlalu ramai akhirnya membuat aku bisa memejamkan mata beberapa saat menghilangkan kantuk yang masih tersisa.

Bukit ini terletak persis di samping bebatuan karang yang langsung menghadap ke Seruling Samudera. Bukit ini dimiliki dan dikelola pak Esdi, orang Madura namun telah lama tinggal di sini. Untuk naik ke atas bukit, ada jalan kecil menanjak dari dari sisi samping. Biasanya pak Esdi sendiri yang menjaga pintu masuk ke arah bukit.

Seruling Samudera di pantai Klayar Pacitan
Semburan air di titik Seruling Samudera
Saat ini bukit ini menjadi satu-satunya lokasi bagi yang ingin melihat Seruling Samudera. Di bagian bebatuan karang di lokasi telah dipasang papan penghalang dan papan larangan melewati daerah itu. Denger-denger sih sudah ada kasus pengunjung yang meninggal terseret ombak.
Seruling Samudera itu sebenarnya terjadi saat lubang di bebatuan mengeluarkan bunyi akibat tekanan air di bawahnya yang naik ke atas akibat gelombang. Jadi setelah bunyi suara akan disusul dengan semburan air ke atas beberapa meter. Semakin besar gelombang yang akan datang akan menimbulkan suara yang makin keras. Tapi itu dulu, kata pak Esdi sekarang bunyi yang keluar lebih banyak hanya berupa desisan keras karena beberapa lubang telah menjadi lebih besar. Mungkin akibat ombak terus menerus yang menggerusnya.

Suasana pantai Klayar saat sunset
Suasana pantai Klayar saat senja hari
Karena seharian di atas bukit, aku sekalian menjadi guide dadakan beberapa pengunjung yang ingin tahu Seruling Samudera. Cie..cie.. padahal aku cuma menyampaikan ulang apa yang aku denger dari pak Esdi. Asyik juga jadi guide gratisan sambil nungguin tas kamera kering dijemur. Bahkan kadang ikutan mas Wito dan Teguh komentar-komentar nakal kalau ada wisatawan cewe cantik dengan pakaian yang aduhai menggoda. Paling heboh kalau udah nemu pasangan beda usia jatuh kayak opa dan cucu yang asyik berpacaran di atas bukit. Tapi bukan menggoda mereka langsung lho ya, cuma celetukan nakal antar kami dan disambung dengan tawa terbahak-bahak.

..........................................................
Pantai Klayar sekarang tidak semenantang dulu, lokasi sekarang juga mudah dijangkau. Kondisi jalan bisa dibilang mulus lah, walau pun ada beberapa ruas jalan yang tergolong kecil tapi umumnya masih bisa dilewati bus besar. Tapi entah ada perjanjian tertentu. Sepertinya bis-bis besar yang mengangkut rombongan tidak bisa diijinkan sampai ke pantai hanya sampai di halte depan lokasi wisata Gua Gong. Di sana akhir bis-bis besar harus berhenti dan berganti naik sejenis omprengan untuk masuk ke dalam lokasi Pantai Klayar. Hanya kendaraan pribadi dan mini bis yang bisa masuk sampai ke lokasi pantai.

View pantai Klayar saat pagi
Penginapan dan warung-warung makan juga bisa dibilang cukup banyak. Walau pun jika bukan hari Minggu akan menghadapi kontradiksi, penginapan bisa ditawar dengan harga murah namun tempat makan jarang yang buka. Kemudahan-kemudahan inilah kenapa pada hari-hari libur bisa dibilang pantai ini akan padat pengunjung dari yang sekedar jalan-jalan sampai yang mau main off-road-an. 
Kendaraan roda tiga dengan ban tahu jika hari Minggu memang banyak bersliweran di sepanjang pantai menciptakan alur-alur panjang bekas roda. Bagi wisatawan, tentu fasilitas ini akan mempermudah mereka menikmati pantai. Apalagi kalau bareng hore-hore, fasilitas pantai ini akan membuat liburanmu di pantai tambah ceria.
Jika kalian adalah orang yang menyukai pantai yang tenang, lupakan pantai ini untuk didatangi di hari Minggu. Atau jika terlanjur mendatangi tempat ini, coba lah menunggu saat senja biasanya jumlah pengunjung sudah banyak berkurang. Apalagi saat bulan seperti ini posisi matahari posisinya condong ke selatan membuat penampakan matahari tampak jatuh tenggelam di horison laut.
Di antara waktu itu kalian bisa saja menyusuri beberapa titik lokasi yang masih jarang didatangi orang karena menurutku titik kumpul orang ke pantai ini yang disekitaran bukit batu itu. Ada beberapa lokasi yang cukup keren dan jarang yang didatangi karena lokasinya yang cukup sulit karena harus menuruni tebing menggunakan kayu sebagai tangga darurat.

Malemnya aku nginep di homestay punya pak Esdi yang dikelola sama anaknya mas Isni. Homestaynya terletak di bagian dalam paling dekat dengan bukit Klayar sebenarnya belum selesai pembangunannya. Hanya ada dua kamar, satu kamar sudah ditempati oleh sepasang suami istri yang sudah bermalam sejak Sabtu kemarin. Seperti halnya homestay di daerah wisata, umumnya mahal saat hari libur. Tapi kalau mau menginap bukan di hari libur harganya cenderung masih gampang ditawar. Tentu cara ini tidak cocok untuk orang yang liburannya bersamaan dengan hari libur.
Cara lain supaya tidak mendapatkan penginapan mahal ya menyewa satu homestay. Biasanya harga satu homestay ini akan dihitung lebih murah, dan pemilik juga biasanya gak repot menghitung berapa orang yang mau tinggal di dalamnya. Pinter-pinter kalian mengurus pembagian kamarnya saja.

...............................................................
Hari Senin aku baru balik kembali melanjutkan perjalanan setelah mampir dulu di Tanjung Klayar yang sudah aku tulis di tulisan sebelumnya.
Ternyata kembali harir Senin membawa kesulitan tersendiri. Tak ada satu pun kendaraan yang ada, bahkan satu motor ojek pun. Aku mencoba menunggu terminal yang juga menjadi tempat parkir angkutan omprengan dari dan ke pantai Klayar. Nihil, hanya ada satu dua kendaraan pribadi, itu pun baru sampai ke pantai ini bukan mau kembali. Bahkan dari pagi belum ada satu tempat makan pun yang buka untuk sekedar ngopi.

View pantai Klayar dari jalan masuk (dipotret dengan Blackview BV6000)
Akhirnya dengan menggendong ransel yang cukup berat aku berjalan keluar gerbang masuk tempat wisata. Sambil berharap ada kendaraan apa saja yang bisa aku tumpangi. Penjaga tiket pun bingung saat aku bertanya angkutan apa yang bisa mengantar aku kembali, dia malah bertanya balik bagaimana aku bisa sampai kesini. Karena mereka tahunya di luar hari libur kebanyakan yang kesini menggunakan kendaraan pribadi minimal motor karena semua kendaraan omprengan tidak ada yang masuk ke pantai Klayar kecuali hari libur itu pun statusnya dicanter dari awal.

Tunggu-tunggu-tunggu, eh ada orang naik motor masuk ke pantai Klayar menggoncengkan ibu-ibu. Waktu dia balik lagi, aku coba cegat tanya. Eh ternyata dia sedang memboncengkan istrinya yang berjualan di pantai. Dengan sedikit jujur memelas akhirnya mas Wanto mau mengantarku, malahan tanya kalau mau ditemeni masuk ke gua Gong.
Ternyata mas Wanto ini punya homestay di Klayar, lokasinya persis setelah gerbang masuk pembayaran tiket pantai Klayar. Dia sendiri punya penyewaan kendaraan off-road yang seperti aku tulis di depan, cuma dia bawa ke pantai Klayar saat hari Minggu atau hari libur saja

Karena lokasi untuk ganti kendaraan omprengan tepat di sebelah lokasi Gua Gong, jadilah aku mampir ke tempat ini. Sama seperti pantai Klayar, Gua Gong saat bukan hari libur seperti ini juga tergolong sepi. Beberapa guide yang biasanya agak agresif menawarkan jasa mengelilingi Gua Gong juga tidak terlalu antusias hari ini. Ah nanti saja kalau udah semangat lagi aku tuliskan tentang Gua Gong.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya