Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label nagekeo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nagekeo. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Desember 2011

Tapaleuk Nagekeo (Bagian I)



Tapaleuk Perbukitan Rendu 
Debu naik tinggi saat roda-roda truk menerobos jalan tanah kering berbatu. Debu nyaris menghalangi pendangan mata memaksa kami menutup kaca kendaraan. Tapi Pey yang mengendarai kendaraan yang kami tumpangi tetap melaju menembus bubungan debu jalan, menunjukkan kepiwaiannya yang sudah malang melintang dengan daerah Nagekeo yang penuh dengan jalan meliuk-liuk ini. 
Perjalanan ke Rendu yang melintasi jalur tengah merupakan jalan terdekat untuk menuju ke Bajawa, ibukota kabupaten Nagekeo ini memang dipenuhi dengan jalan naik turun dengan tikungan tajam mungkin karena daerah adalah kawasan perbukitan bebatuan, sepanjang jalan banyak diapit bukit-bukit berbatu yang telah terpotong. Jalannya pun banyak berupa jalan yang sempit sehingga kalau harus berpapasan dua kendaraan roda empat harus salah satu mengalah dahulu. 
Sekitar jam lima lewat dua puluh kami sampai di kawasan Rendu. Rendu ini merupakan kawasan perbukitan kosong yang sangat luas, daerah yang sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan ternak. Walaupun ketinggiannya sekitar 450 meter, namun rupanya Rendu bukanlah daerah subur. Meski masih terlihat kering namun rumput-rumput mulai tampak tumbuh menghijau. Hujan yang sekali dua turun beberapa waktu lalu kemungkinan penyebabnya. 
Dari Rendu ini bisa dilihat gunung Ebulobo yang sering tampak diselimuti awan bagian tengahnya dan gunung Inerie yang tampak bagai sebuah cungkup runcing segitiga. Menurut Didi yang pernah naik di kedua gunung, Ebulobo jauh lebih mudah didaki daripada Inerie karena gunung Inerie bagian atasnya lebih banyak dipenuhi pasir sehingga mudah longsor. 
Di atas salah satu bukit kami duduk-duduk menunggu senja turun. Matahari kuning sempat muncul sesaat sebelum awan menelannya kembali. Keasyikan menikmati senja di sini, entah sudah berapa banyak mangga yang masuk ke perutku. Mangga-mangga ini kami beli di pertengahan jalan menuju kesini, di daerah itu beberapa rumah yang punya mangga menjual mangganya di depan rumah, waktu itu yang menjual mangga seorang anak kecil perempuan. Ada sekitar dua puluh buah mangga, karena kami mendapat harga lima ribu rupiah per harga lima buah. Mangga-mangga ini rasanya manis bahkan walau masih keras, sehingga sedikit membuat aku dan yang lain agak lupa diri. Nanti setelah ini ada yang harus rela perutnya mulas karena sudah dalam kategori overdosis makan mangga hahaha. 
Setelah malam turun kami turun kembali ke Mbay, di rumah pak Ndus kami singgah dan ngobrol-ngobrol ditemani segelas kopi yang nikmat. Kadek sepertinya ketagihan sama kopi pak Ndus. Tanpa sadar jam 22.20 saat kami pamit dari rumah pak Ndus, suasana beranda rumahnya yang adem membuat kami jadi betah disana.


Tapaleuk Perbukitan Kesidari 
Ini adalah daerah yang paling sering aku kunjungi karena memang letaknya dekat dari Mbay. Dulunya kalau aku memotret disini sering aku tulis sebagai kawasan perbukitan Mbay, ternyata nama daerah ini adalah Kesidari. 
Besok sorenya, kami kembali tapaleuk ke kawasan perbukitan Mbay yang baru aku tahu namanya kalau daerah ini namanya Kesidari. Kalau kemarin kami hanya berempat maka kali ini mas Didi ikut serta, sayang Selvianto tidak bisa ikut karena sedang keluar kota untuk mempersiapkan pernikahannya. Di kawasan perbukitan Kesidari, kami memilih daerah yang cukup tinggi untuk bisa mendapatkan view senja. Sekarang kawasan perbukitan ini sering secara olok-olok kami sebut dengan TK (Tai Kerbau) karena memang banyak sekali ranjau tahi sapi di sepanjang perbukitan ini. 
Agak berbeda dengan dua minggu sebelumnya dimana kawasan ini lebih kering dengan rumput-rumput kering berwarna putih, sekarang telah tumbuh rumput-rumput hijau walau belum cukup rata. Hujan masih belum turun banyak sehingga belum semua daerah perbukitan hijau rata. Sore itu perbukitan di bawah tidak turun kabut seperti biasanya, langit sedang cerah walaupun di ujung barat matahari masih terhalang awan tipis. Bulan separuh tepat berada di atas kepala saat jam menunjukkan pukul enam sore. Berbeda dengan dua minggu kemarin yang saat matahari tenggelam di sisi timur bulan purnama kuning sebesar tempayah muncul di sebelah timur. 
Minggu pagi berikutnya, kami berempat, aku dengan Kadek, Eddy dan Didi kembali ke Kesidari dengan sepeda motor . Kali ini motor bergerak lebih jauh. Target kita kali ini adalah di kawasan perbukitan di sisi sebelah selatan bukit TK. Berangkat sekitar jam lima lewat tiga puluh pagi, aku yang hanya memakai rompi dan Kadek yang hanya berbaju kaos dalam putih harus rela kedinginan di boncengan saat motor-motor kami melintas ke arah perbukitan. Ini berbeda dengan penampilan Eddy dan Didi yang lengkap berjaket dan tas kamera model punggung. 
Kawasan Kesi deri ada banyak pohon yang baru belakangan baru kuketahui kalau itu adalah pohon Mengkudu hutan. Bentuk daunnya lebih kecil dibanding dengan daun Mengkudu pada umumnya, dan itu yang membuatku hampir tak mengenali. Buahnya yang bulat dan kecil-kecil juga berbeda, yang sama adalah motif dan bau buahnya. Sepertinya penduduk sekitar tidak memanfaatkan keberadaan pohon ini kecuali sekedar untuk kayu bakar, karena sepertinya pohon-pohon ini tumbuh liar. 
Kami sempat menelusuri perbukitan sampai kesisi miring menuju ke arah bawah lembah. Sisi bawah lembah ternyata banyak pepohonan, mungkin karena letaknya yang terlindungi sehingga bagian lembah tidak kering seperti bagian atas. Beberapa rombongan sapi melintas di kawasan perbukitan ini, baru kutahu kemudian bahwa masyarakat juga biasa tidak mengandangkan ternak melainkan hanya menggiring ternak-ternak ke lembah saja
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 07 November 2011

Sesaat Sebelum Hujan Menghampiriku...





Kesibukan beberapa hari ini benar-benar membuatku jenuh. Kesibukan itu juga yang membuatku sering kehilangan menikmati moment ‘cantik’. Namun semua itu kuanggap berkah, kuterima dengan hati yang gembira. Toh, dapat menatap keindahan alam ini dengan mata saja sudah teramat sangat menghiburku. Memberikanku tenaga extra untuk selalu giat bekerja.


Senja nanti pasti datar, begitu pikiranku pada awalnya. Langit tidak terlalu berwarna terlalu banyak awan kelam. Plus teman huntingku, Didimoezh, masih lembur di kantornya. Tak ada niat untuk hunting atau trekking sebenarnya, walau sore ini ku dapat sedikit waktu untuk beristirahat. Karena rencana malam ini aku harus latihan nyanyi bersama teman-teman vocal groupku.


Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Entah mengapa,mungkin karena lagi ada feel, ku putuskan untuk sedikit berjalan-jalan sore. Putar-putar kota mbay. Mendekati perkotaan aku di hadapkan pada 2 pilihan. Jalan-jalan ke bendungan Sutami, ataukah ke bukit di daerah Penginanga. Aku kemudian memlih ke bukit saja. Sudah lama tidak ke sana juga. Siapa tahu malah dapat moment bagus.

Kalau untuk mendapatkan momen 'indah' landscape membutuhkan suatu keberuntungan tersendiri (menurut para fotografer handal dalam beberapa majalah), maka aku mungkin termasuk beruntung sore ini karena awan dalam cuaca mendung yang kelam mendadak menjadi ‘indah’ untuk diabadikan. Aku berhenti di suatu tempat yang selama ini tidak menarik perhatianku. Tempat yang biasanya tidak menarik mataku dan di mata lensa KITku. Namun sebuah lensa Fish Eye 8mm pinjaman dari mas Baktiar Sontani, berimajinasiku mengembara dan melihat tempat ini menjadi punya ‘sesuatu’ yang indah. Imajinasi itu kemudian menuntunku ke sini, bukit penambangan pasir. Letaknya tepat di pinggir jalan utama Aegela-Mbay.

Di sana mendung belum tentu disini juga, begitu pendapatku. Mulailah ku siapkan kamera kesayanganku untuk memotret. Langit tampak gelap di kejauhan. Gambaran hujan yang turun ke bumi yang semakin jelas dan pekat. Membentuk sebuah pemandangan yang memikat. Setelah beberapa jepretan, terasa titik-titik air hujan mulai membasahiku. Pemandangan yang indah 'menurut aku' membuatku nekad untuk sedikit lebih lama bertahan pada keadaan ini. Berpindah-pindah di sekeliling tempat penambangan pasir ini, mencari sudut-sudut yang indah. Satu menit kemudian tepat setelah shutter terakhirku di bukit itu, hujan deras menghampiriku.


Jadi kalang-kabut, kabur menyelamatkan perlengkapanku. Kamera terpaksa segera kusembunyikan di dalam jaket. Tak ada waktu lagi untuk memasukannya ke dalam tas kameraku karena hujan sudah terlajur deras. Untungnya ada sebuah kios kecil di persimpangan jalan Mbay-Aeramo. Aku memilih untuk berteduh untuk menyelamatkan peralatan kameraku. Iseng, masih ada satu jepretan lagi di tempatku berteduh. ‘Gambaran’ persimpangan jalan ke Mbay dan ke Aeramo dalam guyuran hujan. Motorku jadi model dadakan...hehehehehe... Ngobrol sebentar dengan pemilik tempatku berteduh sementara menunggu hujan reda, sebelum aku kembali ke pondokku.
Thanks a lot buat mas Baktiar Sontani untuk pinjaman lensanya. Dari pada nganggur kan mas lensanya...hehehehehe..."pernyataan sepihak"

Ku sajikan foto-fotoku sore ini dalam sedikit cerita...
Foto di tempat penambangan pasir daerah Penginanga...
Foto yang kubuat... Sebelum hujan menghampiriku.

---Mbay, 6 November 2011
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 24 Oktober 2011

Melukis Keindahan Mbay - Bukit dan Pantai Kita


Sebuah tulisan yang sedikit basi. Dalam arti beberapa visualisasi dalam tulisan ini sudah di buat pada beberapa waktu yang lalu. Beberapa bahkan sudah cukup lama. Hal yang memicu semangat saya untuk menuliskan narasi ini adalah karena saya merasa, saya berpikir dan saya kemudian berkesimpulan, bahwa saya harus membagi apa yang saya sendiri rasakan seakan tidak pernah puas-puasnya menatap keindahan tanah Mbay, Nagekeo.

Menurut saya ada dua hal yang paling menarik, pertama adalah pemandangan bukit dan pantai. Menatap Mbay dari perbukitan daerah Penginanga saja saya tak pernah bosan. Hamparan sawah hujau, kuning dan coklat selalu membuat segar mata ini. Apalagi menikmati keindahan pesisir pantai di daerah Marapokot dan Nangadhero. Walaupun kurang tertata dan terawat dengan baik, guratan keindahannya tetap meneduhkan mata dan pikiranku. 



Bersapa dan bercanda dengan penduduk yang bermukim di daerah persawahan dan perkampungan nelayan senantiasa menjadi agenda rutin saat trekking dan hunting. Dan semuanya itu membuatku semakin tidak bosan untuk ‘menggauli’ keindahannya. Gambar dan cerita pada tulisan ini pun sebenarnya hanya sebagian kecil dari indahnya pengalamanku selama berada di Mbay ini. Masih ingin jalan-jalan mengelilingi seluruh tanah Mbay ini.


Sudah 6 bulan saya tinggal di Mbay. Bersama teman-teman sesama pencinta fotografi dan indahnya pemandangan alam disini, kami bentuk Nagekeo Photographer Club (NPC). Guru yang selalu memberi masukan positif dalam hal fotografi, mas Baktiar Sontani tak henti-hentinya memberikan suntikan semangat bagi kami untuk terus berkarya dan menceritakan keindahan Mbay lewat lensa kami. Pos Kupang pun turut mendukung kami atau bahasa kerennya turut mengapresiasi terhadap kegiatan kami dengan mengulas tentang keberadaan NPC ini di beberapa edisinya.


Kesibukan kadang menghalangi niat saya untuk mengabadikan keindahan Mbay ini. Tapi saya sadar, pekerjaan tetap yang utama sedangkan kegiatan ini selalu yang pertama hehehehehe... artinya sesibuk apapun kerjaan saya, trekking dan hunting tetap must go on, di sela-sela kesibukan tentu. Pandai-pandai membagi waktu serta mengikuti feel and sense.

Selain teman-teman dari NPC, mas Baktiar, mas Kadek, mas Nyoman, mas Koco, dan mas Arief Papat pernah bersama-sama dengan saya mengabadikan keindahan bukit dan pantai. Mas Baktiar sering pula menulis cerita menarik tentang Mbay ini, di blog Indonesia Sungguh Indah ini dan di Facebook di timpali dengan foto-fotonya yang joss gandossss.

Hal-hal baik dan buruk juga akrab menemani langkah saya saat mengelilingi bukit dan pantai di Mbay ini. Kamera kesayanganku pernah rusak terbentur permukaan tanah saat hunting ke Pantai Watundoan. Mungkin saya tidak ‘permisi’ dahulu sebelum memotret di sana. Kadang kita memang harus menghargai alam kita walau dengan ucapan permisi dalam hati kita. Manjadi doa bagi karya kita. Nyamuk sering menjadi sahabat dalam kegelapan saat pulang trekking dan huntingnya sudah cukup malam. Di gigit semut dan tabuhan juga mewarnai kegiatan trekking dan huntingku. Di suguhi minum dan makan dalam persinggahan perjalanan juga sering terjadi. Suatu tradisi keramahtamahan asli Indonesia. Mendapatkan cerita-certa dan ilmu kemasyarakatan jadi bagian pemanis dari trekking dan hunting. Membuka wawasan saya tentang Mbay dan adat istiadatnya, Mbay dan masyarakatnya, serta yang utama adalah Mbay dan keindahannya.


Bukit yang gersang ternyata bisa tampak indah di mata kamera. Walau sering menjadi keluhan saat panas menyengat. Komposisi awan dengan ROL-ROL cantik memberi warna. Pohon-pohon kering dan ilalang memberi kesan. Kontur tanah dan bentuk bebatuan hasil pahatan alam sangat berkarakter. Semuanya begitu indah. Sangat indah malah.
Pantai yang masih asri walau kurang terawat juga sering menjadi indah dan bernilai dalam mata kamera. Komposisi awan, pantulan cahaya, garis pantai yang luas dan panjang, batu-batu karang hitam, perahu, penduduk dan pemukimannya telah menjadi lukisan yang berkanvaskan kawasan pantai. Sunrise, sunset dan purnama menjanjikan kepuasan bathin untuk di nikmati dan diabadikan.


Banyak tempat yang masih ingin saya datangi. Banyak kesempatan yang sering terlewatkan. Banyak keindahan yang belum tertangkap mata dan kameraku. Dan semuanya mematri kerinduan yang dalam untuk dapat mengabadikannya lewat kamera, mata dan hati ini.
Bersama teman-teman NPC dan teman-teman fotografer dari luar daerah kerinduan saya akan selalu bisa di wujudkan. Tentu dengan semangat kebersamaan dan tulusnya niat untuk bercerita kepada dunia tentang Mbay yang indah ini.
Melihat Indonesia dari Timur. Harus dapat kita wujudkan bersama. NTT sungguh indah. Flores Nusa Bunga. Terima kasih Tuhan.

------>Mbay, 24 Oktober 2011
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 09 Oktober 2011

Ilalang Semusim

Langit tampak begitu biru dan matahari masih saja garang menyala-nyala walau bayangan telah lebih panjang dari badan. Angin menerabas di sela-sela ilalang yang telah kuning mengering. Sekarang udara panas mulai menerjang, hamparan sabana yang biasanya hijau membentang kini dipenuhi onggokan-onggokan ilalang mengering. Sebagian batang ilalang saling berpilin kala ujung-ujung batangnya yang berbulu dan dipenuhi bulir-bulir saling melekat satu sama lain. Lalu saat angin kencang menerjang mereka terbang menghilang entah kemana.

Bukit-bukit yang biasanya menghijau telah bermetamorfosis setelah melewati satu musim menjadi padang batu dengan warna kecoklatan yang mendominasi. Ilalang sedang tertidur sekarang. Di beberapa titik bukit tampak warna kehitaman pertanda sabana-sabana itu telah habis dibakar. Masih ada satu dua bukit yang berwarna kuning karena ilalang belum sepenuhnya mengering tapi itu pun tidak akan lama, paling lama dua minggu aku akan pastikan bukit-bukit itupun akan berwarna sama.

Harusnya aku di rumah, panas seperti tak terkira di bulan begini. Bahkan sekalipun aku sekarang berteduh di bawah pohon akasia yang masih menyisakan daun-daunnya yang terus gugur. Aku berharap hari ini awan akan datang, dan sore disini menjadi sedikit teduh namun panas rupanya masih belum mau berkompromi. Tapi aku menikmati duduk disini di sebuah bangku kayu panjang yang tersusun dari batang-batang kayu kecil. 

Bangku ini dibuat oleh penggembala-penggembala yang suka menggembalakan ternaknya disini, karena selain bangku ini aku juga melihat sebuah rumah gubuk kayu kecil beratap daun lontar yang dibangun di cerukan bukit tak jauh dari bangku ini. Jika kamu ada pada saat itu, maka di waktu sore menjelang kamu akan melihat mereka yang menggiring ternak. Akan kau dengar lenguhan-lenguhan sapi yang berjalan rombongan dengan satu atau dua orang penggembala dibelakangnya. 


Aku suka dengan simponi senja hari di atas bukit ini, menikmati suara-suara ternak yang melenguh dan teriakan-teriakan penggembala yang menggiring ternaknya. Rombongan burung-burung kecil yang berkicau ramai mencari tempat bermalam, kadang singgah satu pohon ke pohon lain sampai menemukan tempat yang pas untuk beristirahat malam. Kadang-kadang aku juga masih mendapati bunyi pokok-pokok pohon ditebang berdentang-dentang disusul bunyi kerosak saat sebuah pohon tumbang. Tapi yang sering kulihat ditebang disini adalah pohon lontar, mungkin karena sudah tua dan tidak produktif. 

Sebenarnya dari sini tak lebih dari 5 rumah yang tampak, namun karena sepi sehingga bunyi-bunyi kecil itu terdengar riuh rendah memenuhi udara. Anak-anak yang berlari-lari pulang mandi, ibu-ibu yang sibuk di belakang rumah berkelontangan dengan alat-alat dapurnya dan suara grak-grok babi yang dikandangkan terpisah tak jauh dari rumah. Sekali dua tokek juga ikut menambah simponi senja hari disini.

Tapi sepertinya saat-saat seperti ini tak akan lama. Di balik beberapa bukit di seberang mata sudah banyak rumah yang dibangun. Jalan aspal sebentar lagi juga akan melewati sisi bagian bawah bukit ini, artinya akan semakin mudah orang-orang membangun disini.
Bahkan bukit-bukit yang pada musim hujan hanya tampak hijau sekarang terdapat jajaran pokok kayu kecil yang menjadi pagar pembatas kepemilikan.


Aku tahu, suatu ketika nanti aku akan rindu simponi ini. Rindu yang tak tahu kapan akan kembali saat tanah-tanah di bukit ini terjamah diaroma kota. Rindu ini seperti rinduku padamu di kala ilalang menghilang seperti ini. 

Aku masih mengingat dengan jelas denting-denting nada yang keluar dari senar gitarmu. Ada kalanya engkau bersenandung mengiringi nada lagu itu namun lebih sering kau biarkan denting-denting itu menyanyikan syairnya sendiri. Engkau mengajak nada-nada itu menggembara sendiri melintasi sabana-sabana layaknya angin yang menyisir celah-celah rerumputan. Tapi ada satu yang pasti, kau akan menghentikan denting itu kala senja mulai mengarak awan-awan di langit. Dan itulah saatnya kita diam dan menjadi pendengar dan pengamat alam yang sedang melakukan simponi dengan pencahayaan luar biasa di langit.

Kini, saat rinduku padamu mulai mendekat pasti justru aku seperti dibayangi kehilangan segala bukit sabana yang ilalangnya hanya semusim ini. Jika aku pergi besok, entah apakah saat aku kembali masih akan kutemui segala simponi alam ini ataukah aku harus menjenguknya di tempat lain.

Tiba-tiba aku menjadi ragu, rindu ini terlalu besar untuk kubayangkan. Baiklah ia kulepaskan hingga tak menjadi beban perjalanan. Dan aku juga menjadi ragu padamu, apakah denting-denting itu masih kau simpan bersamamu ataukah mengering seperti ilalang semusim ini.

Nagekeo - September 2011
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 Agustus 2011

Share with Nagekeo Photographer Club (NPC)

Bulan purnama di atas laut Marapokot

Penugasan keluar kota pada bulan puasa? hadeeh, bawaannya malas banget. Belum jalan saja sudah terbayang rasanya lapar dan haus di kota-kota kecil, repotnya cari makanan buat buka puasa apalagi keluar hotel untuk makan sahur. Tapi tugas tetaplah tugas, saat nama kita sudah tertera di surat tugas ya maka pantang kaki kita surut ke belakang.
Untungnya penugasan di bulan puasa dapat tugasnya di Nagekeo, kota yang sudah sering aku singgahi dan disana ada temen mas Eddy Due Woi yang sudah kenal lama dan sama-sama suka foto.


Rembulan perahu (difoto oleh Eddy Due Woi)

Kurang enaknya, untuk ke Nagekeo aku harus terbang dari Kupang ke Ende dulu karena sampai saat ini Nagekeo belum memiliki bandara sendiri. Tapi rencana pembuatan bandara sendiri sih sudah ada dan di dokumen perencanaan sendiri disebut sebagai rencana pembangunan bandara "Surabaya II". Ada apa ya kok pakai nama Surabaya II, ternyata nama ini berasal dari sandi yang digunakan Jepang sebagai bandara darurat bila suatu ketika bandara Jepang di Surabaya terdesak oleh pasukan sekutu. Dan itu memang terjadi, pasca serangan sekutu ke Surabaya dan mendesak Jepang, banyak pesawat dan tank Jepang yang dilarikan ke daerah Nagekeo ini. Tapi cerita lebih lanjutnya seperti lain waktu saja kalau aku sudah memiliki data yang lengkap dan foto-foto pendukungnya.
Jadilah hari-hari di Nagekeo kembali seperti tahun sebelumnya, tiap pagi gedor-gedor pintu rumah makan Tulungagung bangunin yang punya supaya bisa makan. Lumayan, rasa makanannya yang enak apalagi sambalnya membuat hari-hari sahur bisa dinikmati. Coba kalau pagi-pagi harus makan nasi dingin dan lauk tidak enak, pasti sahurnya rasanya asem terus.


Refleksi langit senja di pantai Marapokot

Hari Minggu sore, aku sepakat sama mas Eddy dan teman-teman dari Nagekeo Photographer Club (NPC) sepakat hunting foto ke daerah Marapokot, daerah pantai yang hanya berjarak sekitar 13 km dari kota Mbay. Sebenarnya sempat direncanakan pergi ke Nangateke tapi karena masalah mobil yang tiba-tiba mogok jadilah rencana ke Nangateke dibatalkan karena medan kesana memang kurang nyaman.

Senang sekali aku bisa mengenal teman-teman Nagekeo yang semangat membuat kelompok pecinta foto, dan mereka pun orang-orang yang suka trekking, sebuah paduan yang pas untuk membagi keindahan alam Flores yang luar biasa. Sepertinya suatu ketika aku harus ikut trekking bersama mereka, rugi kalau di Flores tidak menjelahi keindahan alamnya.
Sengaja aku berangkat jam 4 sore supaya bisa sekalian ngabuburit di sana. Pantai Marapokot yang menghadap ke timut laut sebenarnya kurang tepat untuk memotret senja hari karena matahari tenggelam di sisi sebaliknya.

Temen-temen yang ikut hunting (Didimoesh dan Arief 'Papat')

Untuk beberapa saat masing-masing asyik dengan obyek bidikannya. Ada yang suka jongkok untuk mengambil pemndangan dengan komposisi di pasir, ada yang melototi anak-anak yang bermain bola, ada juga yang menunggu dengan posisi siap tembak ke arah anak-anak yang bermain air laut. Sedangkan aku justru berjalan terus ke arah tenggara karena berpikir ada sebuah pokok pohon di ujung muara, ternyata otakku mengalami tumpukan memori karena sebenarnya tidak ada pokok di pinggir laut di sini.

Saat maghrib menjelang aku mulai mengemasi peralatan foto dan mampir ke warung yang kebetulan buka. Segelas teh panas yang tidak terlalu manis dan sepiring gado-gado menjadi menu pembuka yang pas, dan tidak lama kemudian sudah berpindah semuanya ke perutku.
Tiba-tiba seorang teman menunjuk ke arah timur, dan saat aku mengikuti arah pandang mereka: waduh, aku lupa sama sekali kalau bulan saat ini masih masuk dalam fase purnama.
Buru-buru kami berlarian kembali ke pantai. Ah sebuah pemandangan malam hari yang sangat cerah dan bulan berwarna kuning di atas ufuk membentuk garis-garis kuning di air laut. Pemandangan yang romantis kata salah seorang teman, ah ha pikiran bujang rupanya.

Dengan sigap, aku dan teman-teman dari NPC mengeluarkan peralatan kamera dan membidikkan ke arah bulan. Bulan dan perahu menjadi bahan sharing kami, aksesories-aksesories kecil yang sering absen waktu hunting tiba-tiba menjadi barang penting.
Bahkan sebuah diffuser biru dan kuning yang biasanya tak tahu harus kami gunakan untuk apa menjadi alat yang menarik untuk menghasilkan tonal yang tidak biasa. Semuanya menjadi begitu saling melengkapi bahkan sebuah cahaya petromaks seorang nelayan yang sedang bersiap-siap hendak melaut menjadi tambahan cahaya yang berguna.
Awal persahabatan yang menarik bersama-sama teman NPC, semoga bisa hunting lagi yang lebih seru di tanah Flores ini.

Thanks buat teman-teman yang udah hunting bareng, semoga bisa terulang di lain kesempatan: 
Eddy Due Woi: NPC crew

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 02 Maret 2011

Saat Hijau Menyiram Bumi

Terus terang menuliskan suatu tempat yang kita kunjungi bukanlah hal yang gampang bagiku. Aku tidak bisa begitu saja menuliskan sebelum memperoleh secara lengkap persyaratan utama sebuah tulisan aku naikkan ke blog ini: (a) ada cukup foto-foto yang mewakili keberadaannya (b) ada informasi yang nyambung dengan lokasi, ini yang kadang-kadang sulit seperti tulisan tentang Waewini dan Legenda Sebuah Kampung yang Hilang yang meskipun mendapatkan bahan cerita tapi harus melengkapi nilai filosofis dan reason yang dapat diterima, (c) ada suasana batin yang mewakili sehingga saat orang mencapai lokasi ini dapat merasakan apa yang ada di foto.



Akhirnya kadang tulisan gak naik tampil hanya kadang-kadang faktor tertentu yang mungkin gak lebih dari 10%, karena yang sedikit itu kadang bisa membuat berantakan yang 90%-nya.
Seperti tulisan Menikmati Sawah dan Perbukitan merupakan tulisan yang masih ada di 90% yang aku paksa naik karena seperti wartawan aku pun dikejar target (pribadi) untuk bisa menulis minimal 1 tulisan tiap bulan. Padahal seharusnya di tulisan itu aku bisa lebih mengeksplore dangau-dangau dan gua-gua buatan jepang tapi rasanya kalau itu menjadi pelengkap maka Nagekeo gak pernah bisa aku tuliskan. Toh sampai saat ini aku juga belum bisa mengambil foto seperti itu (pembelaan ceritanya)


Tulisan ini adalah pelengkap tulisan Nagekeo yang sebenarnya sampai saat ini pun masih belum bisa dilengkapi. Belum lengkap karena rasanya aku belum mendapatkan daerah-daerah yang menarik yang biasanya justru kurang tereksplore karena sulitnya medan atau justru karena kurang diperhatikan.
Foto-foto ini terekam dari perjalanan selama dua minggu di Kabupaten Nagekeo. Cuaca sebenarnya kurang bagus, maklum bulan-bulan begini hampir tiap hari mendung enggan beranjak. Sekali-kalinya cerah juga tak selalu bisa diharapkan karena kadang cuaca berubah sedemikian cepat.

Rerumputan di arah jalan ke Maukaro
Seperti pernah saya rekam di tulisan sebelumnya, Nagekeo memiliki hamparan persawahan yang luas yang menjadikannya salah satu daerah penyangga pangan di Nusa Tenggara Timur. Nagekeo pun memiliki kawasan perbukitan yang banyak berupa padang savannah tapi dengan kontur yang kadang-kadang cukup terjal. Nah, sebenarnya mulai bulan-bulan Januari sampai saat-saat seperti ini perbukitan savannah di Nagekeo mulai tumbuh rumput yang bentuknya berjajar seperti ditanam karena tumbuh di sela-sela tanah keras berbatu.
Jika ditanya view apa yang menarik di Nagekeo, salah satunya adalah menikmati senja di atas perbukitan savannah. Kadang jika kita beruntung, puluhan bahkan ratusan ternak kambing atau sapi melintas pulang. Angin berdesau yang meniup rumput-rumput hijau yang meninggi, sementara di langit senja membentuk gradasi warna yang tak pernah bisa diperkirakan dan memang seharusnya tidak perlu diperkirakan.
Lenguhan-lenguhan sapi dan embikan kambing serta bunyi serangga pengiring malam seperti simponi senja menjelang malam. Burung-burung seperti burung walet, sri-gunting atau beberapa spesies lain mencuit melintas menuju sarang. Kadang pula bunyi tokek bisa terdengar begitu nyaring di kejauhan.
Jangan pedulikan bunyi raungan motor atau mobil yang kadang terdengar begitu mengganggu, mereka mahluk-mahluk yang jarang menampakkan suaranya di atas padang-padang ini walaupun sekalinya melintas membuyarkan semua suara yang ada.
Ada kalanya aku merutuk mendengar si mesin bising itu dan berharap di tempat dan waktu seperti ini mahluk-mahluk seperti itu ditidurkan sejenak. Biarlah ada rotasi suasana tapi siapa bisa memaksakan teknologi.

Senja di ambil dari belakang rujab Bupati
 Dari arah mulai masuk Nagekeo, mata sudah disuguhi deretan perbukitan savannah yang terhampar hijau. Dan deretan perbukitan hijau sendiri bukan hanya di arah masuk Nagekeo. Perjalanan yang pernah kulakukan menuju ke Maukaro juga banyak melintasi perbukitan savannah. Bahkan dari perbukitan di kawasan Maukaro ini langsung bisa dilihat laut.
Sedikit pemandangan berbeda aku temui saat kita melakukan perjalanan menuju ke Riung. Riung adalah tempat wisata 17 pulau yang masih masuk kabupaten Ngada namun memang lebih dekat ke Riung melalui jalur Nagekeo daripada dari Bajawa (ibukota Ngada).
Perjalanan ke Riung dengan kondisi sekarang aku tempuh sekitar dua jam, itu pun lebih karena faktor kondisi jalan yang tergolong rusak berat. Kira-kira separuh jalan dari Mbay menuju ke perbatasan Nagekeo-Ngada kondisinya cukup memprihatinkan, ruas-ruas jalan banyak ditemui lubang seperti kubangan kerbau. Perjalanan menuju sisi laut utara Flores ini juga banyak ditemui kawasan perbukitan savannah tapi entah kenapa banyak yang rumputnya belum cukup tinggi, besar dugaan di daerah ini karena dekat dengan laut jadi curah hujan kurang dibanding perbukitan di jalan masuk menuju Nagekeo.
Namun ada sebuah perbukitan yang dari jauh bentuk terjal dan unik dan setelah kita sampai di bawahnya juga memiliki pemandangan yang cukup unik. Menurut informasi, perbukitan ini ada di daerah Beke. Jika dibukit-bukit sebelah jalan banyak tumbuh padang savannah maka di bagian landai bukit ini di beberapa spot tumbuh tanaman liat berbunga kuning yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Aku sendiri kurang tahu persis tumbuhan ini, namun karena tumbuh merata bukit ini jadi tampak istimewa.

Bunga-bunga kuning di perbukitan Beke (perbatasan Riung-Nagekeo)

Lala eh Kadek in action....... (parental guidance)
Aku tidak tahu persis apa nama tempat dan bukit ini selain bahwa daerah Beke, namun karena warna hijau dan kuning yang begitu dominan serta bentuk yang begitu menarik maka kami sepakati menyebut bukit ini dengan dengan bukit Teletubbies hehehe... Kami berangkat berempat persis dengan jumlah Teletubbies sehingga tiba-tiba kami saling menjuluki sesuai umur kami, jika aku menjadi Twingkie-Wingki karena aku yang paling tua, berarti si Nyoman menjadi Gipsie, Sukoco rela menjadi Poo dan Kadek harus mau dipanggil Lala.
Ah.. hahahaha.... rasanya jadi aneh tapi menyenangkan juga. Setelah berpenat diri berhari-hari bisa melepaskan diri dan bercanda tanpa beban pikiran membuat pikiran menjadi segar.
Membiarkan alam masa kecil bermain, berfoto gila-gilaan... dan berimajinasi seolah-olah seorang Sun Go Kong ada di balik bukit ini dan berlatih menjadi kera yang paling sakti, atau tiba-tiba ingin memahat bukit-bukti ini menjadi wajah-wajah kita....
Ah, ternyata memang setiap pria menyimpan jiwa anak-anak dan di saat tertentu akan muncul kembali.
Bagaimana Riung sendiri? Ah, ternyata aku masih di angka 80% ... entah perjalanan ke berapa bisa menjadi 100%....
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 November 2010

Menikmati Sawah dan Perbukitan

Musim panen setahun terjadi sampai dengan tiga kali, suasana gotong royong masih terasa disini

Gambaran perbukitan diambil dari belakang bukit di kawasan kantor kabupaten yang baru

Bagi orang yang pernah mendengar kata Nusa Tenggara Timur, maka kata panas, kering, susah air, tanahnya berbatu sering lebih dulu menghinggapi. Mudah untuk menunjukkan sisi gersang tanah Nusa Tenggara ini dibandingkan menunjukkan sisi suburnya tanah ini. Bukan satu dua kali saya mendapatkan pertanyaan (atau pernyataan?) ketidakpercayaan kalau saya menunjukkan salah satu wilayah subur dari Nusa Tenggara Timur.


Pemandangan sawah sebelum musim tanam

Salah satunya waktu saya menunjukkan foto persawahan yang ada di Mbay, Kabupaten Nagekeo. Saya sendiri awalnya kurang terlalu yakin waktu diberitahu kalau di Flores ada kawasan persawahan yang luas seperti halnya di Lembor, yang berada di Kabupaten Manggarai Barat. Diantara kabupaten-kabupaten yang ada di Nusa Tenggara Timur, sawah di kawasan Lembor memang yang sudah dikenal luas, karena memang tidak banyak kawasan sawah di Nusa Tenggara Timur.

Namun sesampainya di Mbay, saya harus mengakui kalo di daerah ini memang memiliki kawasan persawahan yang luas sebagaimana di Lembor. Bahkan saya mendapatkan cerita tambahan unik seputar sawah di daerah ini.

Salah satu Bangau yang ada di persawahan

Kawasan persawahan Mbay langsung tampak dari atas bukit yang kita lintasi sewaktu memasuki kota Mbay. Hamparan hijau sepanjang tahun berpetak-petak tampak memenuhi tanah datar sampai mendekati di batas pantai.
Sawah disini memang tak pernah berhenti karena pengairannya menggunakan bendungan bukan berasal dari hujan atau dikenal dengan istilah sawah tadah hujan.

Bendungan "Sutami" yang dibangun tahun 1970-an yang memiliki kemampuan 47.751 juta meter kubik inilah yang menjadi penyangga berlangsungnya pertanian di daerah ini. Dan masih bersihnya udara disini bisa tampak dari banyaknya jenis bangau dan burung lain yang ada di sawah. Beberapa jenis bangau tampak singgah di persawahan ini.

Setidaknya aku menemukan 4 jenis burung berkaki panjang sejenis bangau dari yang berwarna kepala dan leher oranye, sampai bermotif lurik dengan ukuran kecil.

Padang rumput saat rumput-rumput masih hijau

Keunikan pertama dari daerah ini adalah banyak ditemukannya dangau-dangau yang sebenarnya dulu digunakan untuk menyembunyikan peralatan tempur jepangan seperti pesawat, tank ataupun kendaraan panser. Itulah mengapa dulu di kawasan ini pernah dibangun bandara yang disebut sebagai Surabaya 2, yang sepertinya adalah bahasa sandi sebagai tempat apabila pangkalan Surabaya yang dikuasai Jepang mengalami masalah. Itulah kenapa di dangau rata-rata memiliki sebuah rawa/kubangan membentuk huruf U. Dahulu menurut cerita penduduk, di dangau masih mudah ditemukan bangkai pesawat atau tank yang sudah rusak, namun saat ini sudah sulit dijumpai. Mungkin pendatang baru yang datang ke daerah ini yang ikut mengambil bangkai-bangkai itu.

Bukit pada bulan-bulan kering

Rata-rata padi yang ditanam di persawahan ini adalah padi Mamberamo, dan meskipun beberapa kali serangan hama menyerang persawahan di sini, petani tetap enggan untuk berpindah menanam jenis padi yang lebih tahan terhadap serangan hama wereng.

Sawah-sawah yang tergenang disini juga banyak hidup ikan lele, menurut salah satu penduduk, ikan lele di sini mudah didapat karena masyarakat sendiri kurang suka mengkonsumsinya.

Selain menikmati senja dari persawahan juga dapat anda lakukan di antara perbukitan. Perbukitan di Mbay yang lebih kering lebih sering hanya tumbuh rumput saja. Pada musim-musim hujan dan bulan-bulan dimana tanah masih mengandung air, duduk diperbukitan yang lebih mirip padang savanna ini seperti menikmati alam koboy. Anda akan melihat hamparan rumput hijau dan gembalaan sapi atau kambing.
Jangan lupakan menyiapkan minuman dan makanan, rasanya sayang kalau hanya sekedar menikmati padang sawannah ini jika ingin sekaligus menikmati saat-saat tenggelamnya matahari diantara perbukitan.
 
Pertunjukan langit senja berlatar belakang alam perbukitan di Mbay

 Kekosongan hamparan perbukitan berpadu begitu eksotis di perbukitan Mbay. Mengajak anda sejenak melupakan rutinitas dan menikmati sebuah taman rumput yang begitu luas membentang dengan menunggu tinta-tinta langit bergambar biru kuning begitu cepat, siapa menyangka apa yang terjadi pada menit berikutnya.
Pertunjukan langit senja yang tak pernah saya lewatkan bila saya telah duduk di hamparan rumput di bukit Mbay ini.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya