Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label kupang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kupang. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Juni 2017

Senja di Pantai Baliana

Pasir putihnya berubah menguning seiring matahari yang semakin turun di ufuk barat. Matahari tampak kuning membulat dibayangi langit yang semakin memerah. Pantai sore ini dipenuhi warna kehijauan di sepanjang pantainya karena sedang surut. Warna hijau itu berasal dari tanaman laut sejenis rumput menutupi batuan karang di bawahnya. Sementara itu, pemandangan yang paling jamak saat surut seperti ini adalah masyarakat sekitar yang sedang mencari keong laut. Umumnya yang melakukan ini para perempuan atau anak-anak.

Seorang gadis meneteng ember berisi keong
Bagi yang suka melihat si 'Patrick' bintang laut bakalan seneng kalau ke sini karena bintang laut di sini ukurannya besar-besar dan gampang ditemuin di antara rumput-rumput. Warnanya juga macam-macam. Cuma itu juga petunjuk kalau kawasan ini daerah terumbunya sudah rusak banyak makanya jadi banyak bintang laut.

Pantai Baliana, nama cantik yang disandang pantai ini tak membuat banyak orang tertarik mengunjunginya. Pasir putihnya memang hanya sepotong yang saat sedang puncak pasang tidak akan menyisakan apapun. Mungkin karena itu pantai Baliana cenderung sepi walaupun hari libur. Sebagian besar yang ada di pantai adalah masyarakat sekitar yang mencari keong atau kerang. Bahkan daerah karang landainya lebih luas daripada pasir putihnya, sehingga nelayan pun tidak mungkin menambatkan perahu. Kondisi pantai Baliana memang rawan membuat perahu kandas terkena karang.

Lampu cahaya mercusuar layaknya sinar matahari pagi
Ada sebuah bangunan kayu agak tinggi, ada sebuah tangga kayu untuk naik ke atasnya. Mengingatkan tentang bangunan penjaga pantai untuk mengawasi pantai hanya ini lebih sederhana, lebih terkesan bangunan darurat. Aku baru paham kalau bangunan ini berfungsi sebagai mercusuar. Ternyata ada sebuah lampu terang yang dihidupkan saat menjelang malam. Namun karena tidak ada listrik di sana, untuk menghidupkan lampu mercusuar itu digunakan mesin genset.

Sepertinya bangunan mercusuar ini dibangun swakelola masyarakat bukan milik pemerintah. Tapi entah punya siapa dan untuk apa. Mungkin juga punya PT TOM yang mengoperasikan budidaya mutiara. Dengan tiram-tiram bernilai mahal yang ditanam di perairan ini tentu rawan menarik orang untuk mengambilnya. Entahlah, mungkin aku harus bertanya ke penjaga kalau balik ke sini lagi.

Posisi pantai ini sederet arah dengan pantai Tablolong sehingga pantai ini posisinya pas menghadap matahari terbenam. Tidak tepat di horison laut karena ada pulau Semau di seberang yang menghalangi.

Perjalanan Kesana
Lokasi pantai itu cukup jauh dari kawasan penduduk, mungkin itu salah satu alasan pantai ini tidak ramai walaupun hari libur. Berjarak sekitar dua puluh tiga-an kilometer dari Kota Kupang, perjalanan menyusuri jalan sepanjang rutenya bisa dibilang mulus sampai ke jalan terakhir menurun menuju pantai.

Bahkan jalan selepas pertigaan menuju ke kawasan industri bolok bisa dibilang kosong melompong. Naik motor aja bawaannya ngantuk  karena lurus kosong itu, penghalang jalan kebanyakan berasal dari tinja sapi yang digembalakan lepas sama pemiliknya. Tapi kalaupun ditabrak juga tidak akan terasa apa-apa, paling motor jadi bau TAI!

Lokasi ini berdekatan dengan PLTU Bolok namun kalian tidak boleh melewati jalan ke arah PLTU Bolok karena jalan dari sana ke Pantai Baliana tidak ada, kalau untuk jalan kaki sih masih bisa.

Apa yang Menarik
Tempat ini bisa jadi alternatif buat lokasi foto atau sekedar santai. Obyek menarik ya motretin masyarakat sekitar yang kebanyakan mama-mama dan anak-anak yang jongkok berdiri mungutin keong. 

Penilaianku sendiri tempat ini masih enak buat didatangi karena belum ramai yang datang. Ya mungkin aku lebih menyukai pantai-pantai yang sepi walau tanpa fasilitas daripada ke pantai penuh fasilitas tapi ramai. Ya pasti satu termos kopi sudah aku bawa dari rumah. Asseeekkk.. melihat matahari terbenam sambil ngopi.

Yang pasti ini bukan lokasi yang tepat untuk berenang kecuali mungkin saat laut sedang pasang karena daerah landainya yang jauh dan dipenuhi rumput-rumput. Tapi itu membuat orang tua yang punya anak-anak akan lebih merasa aman melepaskan anaknya bermain di pantai ini. Setidaknya belum pernah mendengar buaya mampir ke tempat ini.

Atau kalau mau sabar, coba nunggu sampai langit gelap. Biasanya sebelum gelap lampu mercusuar dihidupin jadi tetep tempat ini gak gelap-gelap amat. View saat itu lebih keren dan asik dinikmati. Tapi ati-ati kalau jalan sama pasangan udah malam gak pulang-pulang bisa-bisa dicurigai mau berbuat yang aneh-aneh (saling mengorek tai hidung pasangannya pake sedotan misalnya).

Temen yang ngabisin kopiku di tempat ini ada dua mahluk: Imam Masjid Makkah Almukaromah eh bukan Imam Arief Wicaksono yang lebih familiar dipanggil boncel, sama anak yang masih kecil namun udah punya katepe dan status pekerjaan pe-en-es walau tidak ada yang yakin dengan usianya: Adisti.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 10 April 2017

Bunker Jepang di Bukit Cinta

Awan gelap menjadi pemandangan yang biasa kami temui tiap sore di langit Kupang beberapa hari ini. Secerah apapun langit pagi, akan berbeda saat sore beranjak. Mendung entah dari mana akan memucatkan langit yang semula cerah. Duduk di atas salah satu bunker, pemandangan rerumputan hijau tampak sejauh mata memandang. Oh tidak, bukan cuma rerumputan dan pepohonan hijau saja ternyata. Di kejauhan banyak banyak noktah-noktah kecil yang sedang bercengkerama. Mereka pasangan-pasangan yang menjadikan tempat ini untuk memadu kasih. Mungkin dari mereka-lah asal nama Bukit Cinta disematkan untuk tempat ini.

Menikmati Sunset di Bukit Cinta
Kalau sekarang noktah-noktah itu bukan lagi adalah pasangan-pasangan penuh cinta. Kini adalah noktah lainnya yang mengisi kehijauan sabana. Mereka adalah rombongan-rombongan yang sekedar ingin mengabadikan keindahan lewat jepretan atau setidaknya narsis di tempat ini. Jaman kamera resolusi tinggi menjadi barang yang jamak ada di banyak perangkat telah menciptakan budaya baru. Merekam gambar dimanapun berada, entah gambar pemandangan lokasi atau foto diri sendiri. Sekarang semua tempat yang dianggap hit menjadi serbuan semenjak media sosial telah menjadi barang biasa. Dan bukit cinta di Penfui menjadi salah satu lokasi favorit untuk dibadikan.

Sambil minum kopi panas yang aku bawa dalam termos kecil, aku, Imam dan pak Sulih duduk di salah satu bunker menikmati langit senja yang masih pucat. Sekarang tempat ini tak sesepi dulu. Tiap sudut kamu akan temui orang-orang yang duduk sekedar saling bercerita sambil menunggu matahari tenggelam atau sekedar narsis untuk dibagikan di medsos. Di depan kami ada tiga cewek satu cowok yang dari tadi tidak lepas dari smartphone yang dijepretkan.

Memang pada bulan-bulan hujan sampai dengan nanti pertengahan tahun, penampakan bukit ini sedap dipandang dengan view padang rumput yang menghijau. Penampakan rerumputan yang meninggi menutupi kondisi tanah perbukitan yang sebenarnya lebih didominasi batuan karang yang telah menghitam. Cobalah datang pada selepas tengah tahun sekitar bukan September sampai nanti musim penghujan, makan bukit ini akan tampak tak ubahnya sebuah padang batu karang yang semuanya tampak menghitam terutama saat dilihat dari atas pesawat.

Tapi saat rerumputan menghijau seperti sekarang, perbukitan ini berubah menjadi padang sabana yang cantik. Rerumputan rebah mengikuti arah angin, satu dua pepohonan menghijau. Dan lebih istimewa lagi, bukit ini juga bisa untuk menikmati matahari tenggelam. Terutama jika matahari tenggelam dari pantai sudah membuatmu bosan. Dari puncak bukit, laut tampak jelas sehingga matahari kekuningan yang tenggelam di horison laut sisi barat Kupang dapat jelas terlihat.

Bunker Peninggalan Jepang
Masyarakat sekitar awalnya menyebutkan kalau lokasi ini ada gua Jepang. Berawal dari cerita itu aku mencoba mencari tahu keberadaan gua-gua Jepang yang katanya banyak tersebar banyak juga di dalam lokasi bandara El-Tari Kupang. Tapi justru yang aku banyak lihat mereka bukan berupa lubang gua yang tembus di antara perbukitan melainkan bangunan-bangunan persegi. Sebagian besar bangunan tertanam  dalam tanah, hanya ada sedikit tonjolan setinggi lutut.

Apakah bangunan-bangunan ini terhubung satu sama lain sebagaimana gua-gua Jepang itu? Aku tidak yakin tapi dari satu dua gua Jepang yang pernah aku masuki, bangunan itu hanya bangunan persegi dengan jalan masuk kecil dan beberapa jendela kecil. Jadi menurutku, bangunan ini lebih pas disebut bunker Jepang. Ya bunker, sebatas tempat yang digunakan sebagai tempat persembunyian saja. Selanjutnya aku akan menyebut bangunan ini dengan nama bunker bukan gua sebagaimana masyarakat sekitar menyebutnya.


Bunker peninggalan Jepang ini ukurannya bermacam-macam dari yang terkecil seukuran kurang lebih enam meter persegi sampai ada yang berukuran besar sekitar lima belas meter persegi. Bunker ini rata-rata memiliki ketebalan antara dua puluh sampai tiga puluh centimeter. Ada jalan masuk yang rata-rata ukurannya kecil yang untuk masuk harus menundukkan badan karena tidak lebih dari satu setengah meter. Bahkan ada beberapa pintu yang lebih kecil dari itu. entah memang ukurannya yang memang sekecil itu ataukah karena tertimbun lama. Bunker-bunker ini memang sudah tidak terawat lagi, untungnya dengan konstruksinya yang kokoh membuat bunker-bunker sebagian besar tetap utuh.

Jadi jangan berharap akan menemukan gua Jepang sebagaimana gua Jepang di Jawa sebagaimana yang pernah aku lihat di perbukitan sekitar pantai Pangandaran dan di Taman Hutan Raya Juanda di Bandung. Gua-gua di sana biasanya dibentuk dengan membuat lubang-lubang kecil yang seukuran tubuh orang Jepang disekitar bukit. Gua-gua ini terhubung satu sama lain sehingga selain bisa untuk tempat persembunyian juga bisa digunakan untuk tempat melarikan diri.

Di salah satu bukit ada bangunan segi delapan. Agak sulit menemukannya, selain karena terletak di atas bukit, bangunan ini juga bentuk rata tanpa tonjolan. Bangunan ini berbeda dengan bunker lainnya di sekitarnya. Karena tidak ada lubang sama sekali, mungkin sekali ini bangunan ini dulunya digunakan sebagai landasan untuk menempatkan meriam mereka.

Yang disayangkan tentu saja sampah yang rata-rata tampak berserakan di sekitar bunker. Ini pasti ulang pengunjung yang datang bawa makanan dan malas membawa kembali sisa sampah mereka. Namun yang mengagetkan, aku pernah melihat di pintu masuk bunker bukan menemukan sampah plastik atau kertas tapi celana dalam dan beha. Serius? Dua rius malah. Denger-denger tempat ini dulu pernah dilarang dikunjungi malam hari karena disinyalir menjadi tempat untuk melakukan perbuatan mesum. Bunker-bunker ini memang lokasi yang cukup tersembunyi dari pandangan.

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 27 Maret 2017

Paradise of The South: Puru (Habis)

"Dilematis, kadang perjalanan ke tempat bagus ingin dikabarkan untuk mengenalkan orang lain untuk mencintai dan mengeksplore keindahan alam di sekitar. Tapi sering kali dan hampir selalu terjadi, orang hanya tau menikmati saja tanpa tanggung jawab merawatnya. Kalau istilahku, mereka yang sudah membayar 5ribu perak untuk masuk udah merasa terbebas untuk tidak membawa sampahnya sendiri. Seolah-olah 5ribu adalah harga petugas untuk memungut sampah yang mereka tinggalkan."


Ini vote aku taruh di depan tulisan dengan muka asem sedikit murka (selebihnya senyam-senyum ganjen). Karena pantai yang aku tuliskan di bawah ini adalah pantai yang masih paling terjaga dari pantai lainnya. Aku tidak ingin blog ini menjadi satu satu pemicu menjamurnya kedatangan traveler geblek yang tak ubahnya yang ngaku demen jalan tapi sebenarnya cuma mau mindahin tempat sampah. Kalau kalian tipe seperti itu, please tutup blog ini jangan diterusin, mending cuci kaki dan bobo sambil mimik susu..  

Ditulisan sebelumnya aku sudah menuliskan tentang pantai Etiko'u (meting besar) dan Snaituka (pasir pendek). Kalau mau kepo-in tulisan dua tempat itu bisa dilihat disini. Sekarang untuk melengkapinya, kali ini aku akan menuliskan dua pantai sisanya yaitu pantai Tubuafu dan pantai Eno'niu.

Pantai Tubuafu
Ada perahu nelayan di pantai Tubuafu
Tubuafu kalau diterjemahkan itu artinya tugu batu. Sesuai dengan namanya, penanda khas dari pantai ini adanya sebuah bukit kecil yang sebenarnya batu karang besar di pinggir pantai. Batu ini terpisah seperti membentuk sebuah bukit kecil. Hanya ada rerumputan dan beberapa pohon kecil yang hidup diatasnya. Saat surut, bukit kecil ini akan menyatu dengan daratan sehingga mudah kita panjat. Aku tidak menyarankan menaikinya saat air mulai pasang, karena saat air mulai mengitari bukit ini. Saat puncak pasang, air yang mengelilingi bukit ini selain kencang arusnya juga ombaknya sangat keras. Bahkan buncahan ombaknya bisa naik melebihi ketinggian batu. Kalau mau mati jangan sebut-sebut namaku ya, datang gak diundang ya pergi gak usah minta antar #jailangkung

Pemandangan pagi dari pantai Tubuafu
Pantai Tubuafu sendiri akan mudah dilihat pada saat kita di pinggir pantai Etiko'u yang dibatasi dengan bebatuan diantara keduanya. Namun jika dari penampakan pantainya, sebenarnya pantai Tubuafu ini masih bisa dibilang satu kesatuan dengan pantai Snaituka. Cuma pantai ini tidak masuk dalam deretan pantai Puru, menurut pak Frengki pantai Tubuafu sudah masuk dusun yang lain. Hanya memang untuk mencapai pantai ini ya paling mudah lewat pantai Puru, tinggal menyusuri pinggir pantai 300 meteran udah sampai di pantai ini.

Inilah batu di pinggir laut yang memunculkan nama Tubuafu
Pantai Tubuafu adalah pantai yang paling ujung kanan dari empat pantai yang aku sebutin. Selepas pantai Tubuafu adalah deretan karang terjal, setidaknya begitu menurut pandangan mataku. Karena pantai-pantai ini berada di lengkungan, maka dari pantai Tubuafu ini akan terlihat semua pantai lainnya. Bahkan pantai ujung kiri yaitu pantai Eno'niu akan terlihat dari pantai ini.

Jika menginap di sini, maka pantai Tubuafu paling pas untuk menikmati pagi. Karena dari pantai ini akan terlihat matahari terbit dari balik pantai Snaituka. Pak Frengki bilang kalau pantai Tubuafu ini pernah menjadi lokasi pendaratan Jepang. Di deretan dekat karang-karang terjal sebelah kanan pantai Tubuafu itu ada ditemukan beberapa bunker jepang. Sebenarnya keberadaan bunker-bunker Jepang di sekitaran Kupang bukanlah hal aneh. Kawasan sekitar bandara juga banyak ditemukan bunker-bungker Jepang, nanti aku ceritakan dalam tulisan lain. Cuma yang aneh, kok bisa Jepang mendarat di pantai ini yang notabene bukan pantai yang mudah didatangi lewat laut. Ah entahlah, tentara Jepang yang bisa menjawabnya.

Pantai Eno'niu
Pemandangan dari atas karang-karang menuju lokasi pantai Eno'niu (TUK)
Inilah pantai yang beberapa waktu aku harus tarik ulur dengan mas Eko Prasetyo untuk ceritakan. Kenapa? Ada banyak alasan kenapa aku diminta menahan diri untuk tidak menuliskan pantai ini.

Alasan pertama, pantai ini masih terbilang belum dikenal dari semua pantai lainnya karena akses yang tidak mudah untuk mencapai tempat ini. Menurut mas Eko, masih banyak tipe pelancong di sini yang hanya mau menikmati lokasi bagus tapi kurang tanggung jawab untuk menjaganya. Mau bukti? Seperawan-perawannya  pantai ini, ada tumpukan sampah tersisa yang ditinggalkan orang-orang kampret yang mendatangi tempat ini. Mereka mendatangi tempat yang indah dan bersih dan mereka meninggalkan tempat itu menjadi tempat sampah besar.

Alasan kedua, pantai ini diluar jangkauan pengawasan pak Frengki cs. Jika sampah-sampah yang ditinggalkan di pantai Snaituka saja sering terlewat tak dibersihkan apalagi sampah yang akan tertinggal di pantai Eno'niu. Mengharapkan para pejalan tak bertanggung jawab? Lebih baik bakar saja mereka daripada membakar sampahnya. #murkabesar

Eno'niu itu artinya pintu asam. Kenapa disebutkan pintu asam? Padahal di pantainya lebih banyak pohon santigi yang batangnya melengkung nyaris menempel ke pasir. Tapi jika mau diperhatikan betul-betul saat mau naik ke karang ada pohon asam di dekat situ, dan memang itu satu-satunya jalan untuk ke pantai Eno'niu. Pohon asam itulah kenapa pantai ini disebut. Jadi kalau mau kesini kuncinya cari pohon asam yang buahnya sudah masak, ambil, kuliti dan makan... Asyeeeem banget... se-asem muka para jomblo kalau ditanya kapan nikah.

Langit senja di pantai Eno'niu
Siluet yang ngaku-aku pemilik pantai TUK
Terkait nama alias untuk Eno'niu yang jujur susah untuk disebutkan, kita sudah bilang ke pak Frengki. Jika misal ada yang datang dan dianterin kesini lalu tanya nama pantai ini bilang saja pantai TUK, kependekan dari Tapaleuk Ukur Kaki.. jiah, baru sekali-kalinya datang langsung minta pengukuhan ganti nama. Tunggu, mungkin sebentar lagi mas Eko mau bikin acara syukuran di pantai ini. Kalian semua bakal diundang kok wahai para jin, setan dan sebangsanya....

Tapi kalau puncak surut, bisa ke pantai ini menyusuri lewat pasirnya tapi itupun kalo surutnya jauh. Selain itu ya harus lewat karang-karang yang masih runcing-runcing belum di-ampelas. Ya iyalah, emang situ mau ampelas karang biar licin gitu.

Ini adalah pantai tercantik dari empat pantai yang ada di Puru, walaupun jalannya paling ujung dan paling sulit tapi pemandangan..... #ikon mata melolot keselek biji salak. 
Dari sini kalian ditanggung bisa melihat pemandangan matahari senja yang tidak akan mengecewakan. Karena matahari di sini akan tampak bulat .. ya iyah, mana ada matahari bentuknya kotak, box nasi kalee bentuknya kotak. 

Duh di sini masih sepi dan bersih (kecuali itu seonggok sampah entah punya kampret siapa). Pasir putih dan langit Kupang yang pasti biru mengharu khas langit di daerah kawasan Indonesia Timur yang tidak tercemar polusi udara. Kalau malam pun, galaksi milky way sangat mudah tampak serasa ada di atas kepala (tulisannya ada disini).

Prewedding di pantai Puru
Pokoknya pantai yang satu ini epik, dan sialnya temenku udah duluin bikin prewedding di sini. Duh padahal aku belum prewedding di sini lho (kawin sama gendruwo).Tentu saja untuk membuat foto prewedding itu harus dibantu serombongan tuyul supaya acara foto tidak gagal, belum saja tidak lupa membawa dukun penolak hujan karena Kupang pada saat itu susah diprediksi walaupun BMKG sekalipun. Kalau kalian mau prewedding di sini boleh kontak aku, fotografer-nya gratis tapi sewa kamera itu sekitar 10juta. Itu kamera gak boleh peserta prewedding yang bawa, harus punya fotografernya hahaha.

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 05 Oktober 2016

Bima Sakti di Langit Puru (2)

Penampakan galaksi Bima Sakti di atas batuan pantai Etiko'u

Gemeretak kayu kering terbakar melimpahkan api ke atas seakan ingin menerangi malam yang dihiasi miliaran bintang. Tak berapa lama api unggun kembali mengecil, nyaris tak ada suara. Saat seperti ini, bunyi-bunyian malam menjadi begitu nyaring di telinga.Suara-suara itu serasa gelombang hipnosis yang mengajak mata untuk terpejam dan melabuhkan mimpi segera.
Kain hammock bergoyang pelan diterpa angin malam, begitu halus yang membuat kami semakin sulit bertahan Tak ada angin yang kencang seperti beberapa minggu kemarin. Kicau kami seperti bertemu lelah, aku tak bisa menghitung lagi berapa orang yang masih bertahan memicingkan mata saat ini.

Di antara kantuk yang menyerang aku mendengar suara pelan dibelakang. Di kegelapan ke arah pepohonan bakau, aku melihat bayangan hitam dengan langkah terseret pelan. Di tangannya seperti menyeret ranting pohon yang agak besar. Tak berapa lama kemudian api unggun kembali menyala besar. Aku hanya menebak-nebak, mungkin mas Eko yang masih bertahan selarut ini. Atau Imam, entahlah. Mataku tak bisa bertahan lagi dan entah menit ke berapa hilanglah aku dalam pesona malam pantai Puru yang saat ini langitnya dipenuhi hamparan miliaran bintang yang bertabur membentuk awan putih.

Rencana Perburuan Bima Sakti di Pantai Selatan
Bulan Agustus tiba-tiba menciptakan kehebohan fotografer yang lagi getol dengan foto-foto malam. Di beberapa media memberitakan tentang keberadaan galaksi kita Bima Sakti yang kemunculan di langit diklaim paling terang.
Berita ini dan ini segera menjadi berita yang paling banyak di-share para fotografer dan para astronom amatir, mengalahkan berita macam Syahrini dengan gaya makin dikuti para alayer atau berita Arcandra Tahar yang ternyata diketahui punya dwi kewarganegaraan. Beneran paling banyak di-share? Ya setidaknya begitulah yang muncul di linimasa facebookku.

Apalagi tanggal 6 Agustus adalah saat bulan baru sehingga penampakan galaksi Bima Sakti akan makin terlihat terang benderang. Maka ajakan-ajakan banyak terlontar di medsos untuk berburu Bima Sakti. Masing-masing tentu menawarkan spot andalan. Bagi teman-teman yang mau berburu Bima Sakti tapi gak ingin jauh-jauh menjadikan jalur 40 untuk ajang berburu.
Aku dan mas Eko sempat berdiskusi panjang. Awalnya aku ingin mencoba peruntungan di pantai Oebali yang sepertinya punya spot menarik. Namun akhirnya setelah menimbang beberapa suara teman yang mau ikut kita mengubah lokasi perburuan ke pantai kawasan Puru.

Kencing rame-rame tidak pada tempatnya
Berenam, aku sendiri, mas Eko (ketua-an Tapaleuk Ukur Kaki), dua dokter gigi kesasar: Welly Manurung dan Lamser Hutasoit, Adisti dan Imam. Kami sempat kelabakan dengan persiapan. Tenda yang kami siapkan ternyata kebanyakan tapi justru kompor yang lupa tidak ada yang bawa. Untung sudah ketahuan waktu ngumpul di rumah mas Eko, titik kumpul untuk jalan.
Sementara sekarang sudah jam 2, kembali untuk mengambil kompor di rumahku jelas akan memakan waktu karena kami masih berharap dapat melihat senja di Puru. Karena cuma aku sama mas Eko yang pernah ke sana, akhirnya mas Eko memutuskan aku yang akan memandu perjalanan ke Puru, sedangkan mas Eko yang kebagian ambil kompor di rumah.

Kami baru sampai ke Puru hampir jam enam sore karena perubahan arah jalan. Seperti yang aku kuatirkan di awal, jalan ke Puru ternyata sedang ada perbaikan sehingga harus menggunakan jalan alternatif yang selain jaraknya lebih jauh karena memutar juga kondisi jalannya lebih parah. Setidaknya ada tiga turunan yang harus hati-hati betul karena batuannya mudah terlepas karena bercampur pasir.
Di antara kami berenam, Adisti adalah satu-satunya cewek dan mukanya paling imut lebih mirip anak-anak. Mungkin alasan itulah kenapa mas Eko jadi terpanggil jiwa kebapakannya. Dia yang paling banyak menjaga terutama saat motor harus menuruni medan yang jelek itu.

Malam Bertabur Bintang
Sampai di lokasi masih sempat bertemu Frengki, namun sayang dia dan Juan saat itu sedang ada kesibukan di luar jadi tidak bisa menemani kami. Dia cuma bilang nanti malam kalau sudah selesai kesibukan baru mampir ke lopo tempat kami menginap. Lokasi sudah sepi hanya satu rombongan mobil yang tersisa tepat mau kembali saat kami sampai. Langit sudah mendekati gelap sehingga kami gagal melihat senja hari ini. Untuk alasan kemudahan, kami menggunakan lopo yang biasa kami pakai sebelumnya.

Malam sekitar jam tujuh setelah selesai urusan perut beres. Membereskan urusan perut gelandangan seperti ini gampang cukup diganjal dengan mie rebus. Kelar ukuran perut, mulailah persiapan memotret Bima Sakti dimulai. Welly dari awal saja sudah agak histeris nunjuk-nunjuk ke langit padahal tidak usah nunjuk ke langit juga kita semua bisa melihat. Aku lihat kadang-kadang itu anak agak gila kalau sudah malam, mungkin dia berpikir bisa berubah menjadi Werewolf kalau ada bulan. Eh bulan tidak ada ding kan bulan baru.

Langit yang cerah memang membuat galaksi Bima Sakti terlihat lebih terang, apalagi pantai Etikou saat seperti ini benar-benar gelap gulita. Miliaran bintang begitu jauh hingga hanya menyisakan bentuk selayaknya awan putih di kegelapan melintang miring memanjang dari utara sampai ke selatan.

Semakin malam semakin terang penampakan galaksi Bima Sakti. Pantai Snaituka menjadi lokasi yang paling tepat untuk mendapatkan gambar Bima Sakti yang menarik karena di antara batu karang terdapat beberapa pohon Santigi yang membonsai. Lagi-lagi mas Eko harus kerepotan dengan Welly yang tiba-tiba kesurupan ulang karena kameranya gak mau diajak kerjasama. Gegara ISO sudah diset ke 3200 eh tetep saja hasil jepretannya ISO ke angka 640, kadang 800 pokoknya semau-maunya itu kamera.
Mungkin itu karma karena waktu mencabut gigi anak-anak malah bikin anak-anak histeris ketakutan. Tapi mana dia akan percaya akan karma. Satu-satunya karma yang dia percayai adalah tidak bisa menikah dengan pramugari. Padahal kalau dia mau menikah dengan pramugara mungkin sudah lama punya anak (anak setan).

Pantai Tubuafu, sebelah barat pantai Etiko'u
Sebenarnya lokasi pantai ketiga paling menjanjikan untuk memotret Bima Sakti, sayang kondisi jalannya yang melewati karang-karang terjal akan sulit dilewati saat malam. Aku dan mas Eko berencana untuk nge-camping di pantai itu suatu hari nanti. Pantai itu akan aku tulis sendiri nanti.

Jam sebelas malam mungkin juga kurang aku sudah tepar di atas hammock. Sedang nikmat-nikmatnya aku bermimpi lagi hihihi sama pramugari harus terbangun mendengar suara mendesah eh.. suara ribut. Sekitar jam tiga pagi aku mendengar keributan mas Eko dan Welly. Mas Eko rupanya membangunkan Welly mengajak untuk memotret galaksi karena sekarang galaksi Bima Sakti sedang mendekati horison barat. Aku dan Welly yang sebenarnya masih mengantuk langsung semangat empat lima bangun dan langsung kokang senjata untuk dapat meng-capture dalam kondisi begini. Welly bahkan sudah menghilang dulu naik ke daerah karang yang berdiri satu buah lopo. Tapi kampretnya ternyata ada awan gelap yang menghalangi penampakan Bima Sakti di ujung horison. Ternyata sudah dari jam setengah dua penampangan Bima Sakti mulai rata horison. Mas Eko bangunkan aku sama Welly setelah dia kehabisan batere. Jadi giliran dia untuk tidur tapi kita disuruh bangun. Uasyeemmm, pantesan besok pagi-nya dia ngakak-ngakak sukses.  

Sumber berita:
  1. Fenomena Langit Bulan Agustus 2016
  2. Ingin Lihat Galaksi Bima Sakti? Ayo, Matikan Lampu 6 Agustus
  3. Peristiwa Astronomi Bulan Agustus 2016
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 September 2016

Paradise of the South: Puru (1)

Pasir dan warna air laut toska? Oh itu sudah biasa
 "Angin selatan bulan ini lagi kurang baik pak, pak Koster tidak bisa melaut" kata Frengky menyahut pertanyaanku sambil menunjuk pak Koster. Pria tua agak kurus dengan wajah Timor yang ramah itu tersenyum lebar memamerkan deretan gigi yang masih kuat dengan warna merah sirih pinang.
Kalau saja laut sedang tenang, kata pak Frengki, ikan yang ditangkap di sini rasanya lebih manis daripada di Kupang. Iya lebih manis, semanis dirimu.. iya.. kamuuu #digamparbini
Yah sepertinya omongan pak Frengky harus dibuktikan suatu hari nanti


Galau: Nulis atau Tidak?
Sebenarnya aku mikir terus dan diskusi berulang-ulang sama mas Eko, apakah akan menulis tentang pantai ini atau tidak. Persoalannya sama, pariwisata yang tidak dipersiapkan matang hanya akan menciptakan keburukan yang lebih besar di kemudian hari.

Itu mas Eko jadi penguat foto atau perusak?
Kondisi pantai yang saat ini masih bagus, masih bersih dan bener-bener menawan, akankah bisa dipertahankan saat pintu masuk melalui kata 'pariwisata' benar-benar dibuka lebar. Tapi ternyata beberapa tulisan nongol juga di internet.
Tidak bisa dihindari memang, lokasi yang bagus akan cepat tersebar. Demikian juga, orang yang pernah ke sini dan terkesan pantai ini akan dengan mudah menyebarkan ke orang lain baik hanya melalui mulut atau dengan tulisan.

Akhirnya, pantai ini aku putuskan untuk aku tuliskan di sini. Aku tahu risikonya saat pantai ini terkenal, makin banyak yang datang. Aku banyak berharap dengan teman-teman om Frengky cs yang setia menjaga kawasan pantai Puru untuk selalu mengingatkan wisatawan yang datang. Aku sendiri terus terang lebih senang saat tempat wisata ini dikelola oleh desa. Rasa memiliki mereka membuat mereka mudah untuk diajak menjaga. Banyak sekali momen Frengky harus bersitegang memperingatkan wisatawan yang bandel membuang sampah seenaknya.

Bukan menjelekkan mental wisatawan domestik kita. Aku teringat saat mas Eko dan Melia yang ke pantai saat sedang ramai. Waktu itu habis upacara 17 Agustus-an yang dipusatkan di dusun Puru. Setelah selesai upacara, para peserta dari banyak daerah sekalian beramai-ramailah ke pantai. Dan akhirnya, mas EKo dan Melia ikutan sibuk sampai malam membersihkan pantai dari sampah dari wisatawan brengsek seperti ini. Lebih menjengkelkan lagi bagi Frengky, jika yang datang orang yang mengaku punya jabatan terus datang bareng rombongan besar.. Duh, itu pantai serasa tempat sampah raksasa yang mereka boleh buang seenaknya.

Perjalanan ke Puru
Jika sejenak kamu mau mencoba menggunakan Google Earth dan melihat pulau Timor saat malam, maka sisi Selatan bagaikan bagian pulau yang tanah tak bertuan. Ya, bagian paling terang adalah kota Kupang. Sedikit cahaya di titik-titik ibukota kecamatan dan nyaris tak ada lampu yang tertanggkap Google di desa-desa. Listrik masih menjadi barang mewah kalau tak mau disebut langka.
Tapi Selatan yang masih belum banyak terjamah yang namanya 'pembangunan' masih menyimpan rapi potensinya terutama pantai-pantai yang aduhai pemandangannya. Salah satunya ya pantai di kawasan Puru ini. Eksotisme pantai yang masih terjaga.

Perjalanan pertama ke tempat ini baru benar-benar diputuskan saat aku dan mas Eko sudah sampai di Baun, ibukota kecamatan Amarasi Barat. Perjalanan pertama seperti biasa selalu mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) karena beberapa percabangan yang kadang bikin kita ragu-ragu.

Nongkrong trus ngerokok.. untung belum kena moke
Pada perjalanan pertama kondisi jalan yang aku temui di desa Merbaun cukup parah karena hanya menyisakan jalan tanah berbatu. Beberapa titik menunjukkan bekas-bekas aspal lama yang sudah hilang tidak tahu kemana. Waktu itu juga harus berjibaku dengan tumpukan-tumpukan material di jalan. Sedang ada perbaikan jalan, kata orang-orang yang aku tanya di sepanjang jalan. Jika sekarang kamu ke sana sudah jauh lebih baik karena material itu sekarang sudah selesai dihampar sehingga sekarang sudah lebih mulus. Mungkin akhir tahun ini jalan itu sudah aspal mulus sampai ke pertigaan masuk ke pantai.

Tapi itu masih lumayan, perjalanan kedua dengan rombongan yang lebih banyak malah memaksa kita harus berbelok ke kanan selepas gereja di dusun Puru. Hasilnya harus melewati jalan tanah berbatu yang setidaknya ada tiga titik turunan dan tanjakan yang harus diwaspadai karena batu-batunya mudah terlepas. Nanti aku ceritakan di tulisan lain saat memotret Milkyway di tempat ini.

Sebenarnya tidak ada yang namanya pantai Puru, karena pantai-pantai di dusun Puru sebenarnya memiliki nama sendiri-sendiri. Maka lebih enak menyebut pantai-pantai disekitar dusun Puru ini dengan nama Kawasan Pantai Puru. Setidaknya ada empat pantai yang berdekatan di sekitar Puru yang dipisahkan oleh batuan karang, satu pantai sudah masuk dusun lain cuma aksesnya lebih mudah lewat Puru. Hanya saja di banyak tulisan lebih sering disebut dengan pantai Puru padahal mereka sedang di pantai Etiko'u saja.

Pantai Etiko'u
Inilah pantai yang pertama kali akan ditemui sebagai pintu masuk utama dikenal dengan nama Pantai Etiko'u (kadang ditulis Etiko'o atau Eti Ko'u). Etiko'u itu artinya meting besar atau kondisi dimana saat laut sedang surut pasir pantainya tampak jauh sampai ke tengah. Hal ini dikarenakan pasir pantainya landai. Pantai seperti ini paling pas didatangi saat mendekati bulan baru atau bulan penuh (purnama) karena saat itu biasanya pasang surut air laut terjadi lebih besar dibanding hari-hari lain. Pasir pantainya berwarna putih kekuningan. Di beberapa titik, pasir ini bisa agak gelap karena di bagian bawah ada pasir yang berwarna hitam.

Sebelah kanan pantai Etiko'u adalah pantai Tubuafu. Antara pantai ini dan pantai Tubuafu dibatasai daerah pantai yang dipenuhi bebatuan. Sedangkan di sebelah kanan di batasi pohon bakau dan karang-karang terjal. Di sebelah pepohonan bakau dan karang terjal itulah adanya pantai Snaituka.

Karena menjadi pintu masuk, pantai Puru ini menjadi pantai yang paling ramai. Walaupun ombaknya keras namun masih nyaman digunakan untuk berenang karena kondisi pantai yang landai jauh. Rata-rata ombak sudah pecah jauh di tengah sebelum masuk ke bibir pantai.

Ada beberapa lopo berbahan bambu dan kayu dengan atap jerami yang telah di bangun. Desalah yang telah membangun beberapa lopo itu, setidaknya ada empat yang sudah dibangun. Kata pak Frengky, nanti kalau ada dana mau dibangun tambah lagi. Terakhir denger-denger mau tambah satu lagi yang di atas karang. 

Ada satu kamar mandi sumbangan dari proyek pemerintah yang nangkring di dekat pintu masuk. Kamar mandi itu sangat membantu wisatawan terutama untuk keperluan bilas karena air bersih selalu tersedia. Untuk kamar mandi, aku salut sama Juan yang bertanggung jawab dengan urusan ini.

Khusus hari Sabtu dan Minggu, banyak yang jualan persis setelah masuk ke dalam pintu gerbang dari kayu sekedarnya. Sebagian besar memang jualan makanan minuman kemasan, tapi tetap ada yang jualan gorengan. Kadang-kadang jika sedang musim bisa dapat jagung rebus atau ubi rebus.

Dengan semua fasilitas yang ada itu, jelas pantai Etiko'u yang paling direkomendasikan jika ingin menginap. Waktu itu, aku dan mas Eko satu-satunya yang menginap di Puru. Dan jika aku boleh menyarankan, kalau kalian ke pantai kawasan Puru ini cobalah untuk menginap setidaknya semalam di sini. Lopo-lopo yang ada bisa kalian gunakan untuk tidur. Bahkan tenda yang aku siapkan tidak terpakai karena sudah ada lopo di sini.

Aku dan mas Eko bahkan bisa tidur nyenyak dengan menggunakan hammock. 
Serius?? Dua rius malah...
Jangan pikirkan banyak nyamuk, aku tidak menemukan seekor pun nyamuk yang sekedar say hello sebelum menggigit. Mungkin karena di pantai ini tidak ada daerah lembab berair sehingga tidak ada nyamuk. Juan dan Oksan bahkan ikut menemani tidur di hammock malam itu. Masih takut di tempat baru? Aku bisa katakan, di sini masyarakatnya sangat welcome terutama kalau kamu orangnya tidak sombong dan mau bergaul, apalagi suka menabung, menari dan membantu janda dan anak-anak terlantar.. Apaan sih, garing banget..


Pantai Snaituka
Penanda khas pantai Snaituka yaitu adanya beberapa pohon kelapa berjajar yang ditanam di sepanjang pantai. Kalau melihat susunannya, sepertinya pohon kelapa ini sengaja ditanam.
Kalau mau ke pantai Snaituka tinggal berjalan ke arah kiri pantai Etiko'u masuk ke dalam pepohonan bakau. Ada jalan kecil di antara bakau. Tidak ada jalan baku sih, karena memang belum ada jalan resmi hanya mengikuti jejak jalan yang sudah ada.

Snaituka itu artinya pasir pendek. Disebut demikian karena saat puncak pasang pasir putihnya hanya tersisa beberapa meter saja. Kalau dilihat dari salah satu batu karang, bentuknya pasir putihnya jadi seperti sabit. Untuk melihat keindahan pantai ini paling mudah naik saja ke atas batu karang yang mengapit pantai ini. Terserah, bisa naik di batu karang kiri atau kanan. Hanya diingat, saat puncak pasang bebatuan karang ini akan terisolir oleh air laut yang naik sampai ke bibir pantai. Sebaiknya hanya naik saat tidak sedang pasang tinggi.

Ada beberapa pohon Santigi yang bentuknya terbonsai tumbuh di sela-sela karang. Silahkan jika ingin mandi di sini namun hati-hati karena pasir pantainya agak mirip sehingga ketinggian air laut perbedaan lebih tinggi dibandingkan di pantai Etiko'u.

Dua pantai lainnya aku ceritakan di tulisan selanjutnya, kalau tidak lupa... :D
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 07 Juni 2016

Senja di Pantai Oebali

Senja di pantai Batu Burung
Dari kejauhan beberapa burung tampak terbang mengelilingi sebuah batu besar yang berdiri sendiri di pinggir laut. Selain mereka aku tak melihat tanda-tanda ada kawanan burung lainnya yang datang ke tempat ini. Sambil melangkah di antara bebatuan yang tersebar di sepanjang pantai, aku mencoba mencari kemungkinan mengapa orang-orang menyebut pantai ini dengan nama "Pantai Batu Burung". Pak Kus menunjuk sebuah batu, dia bilang jika dari sisi pantai tempat dia berdiri tadi tampak seperti burung. Batu yang mau aku naiki tadi? Ah, aku masih gagal melihat bentuk burung dari batu itu. Baiklah, mungkin kalau aku kesini lagi itu adalah hal pertama yang harus aku amati terlebih dahulu.

Pasir putih kecoklatan di pantai Batu Burung
Pantai Batu Burung, nama itu tidak akan terdengar akrab bagi banyak orang di Kupang jika kau cobakan menanyakannya. Bahkan jika kamu menggunakan internet untuk memandu, maka yang akan muncul adalah pantai Batu Burung di daerah Singkawang, Kalimantan. Tapi coba tanyakan tentang pantai Oebali, mungkin ada yang bisa memberitahukanmu arahnya. Mungkin? Iya, karena memang pantai Oebali juga tidak banyak dikenal oleh masyarakat disini. Tidak dikenalnya Oebali oleh masyarakat bukan berarti pantai ini tidak menarik tapi lebih karena kondisi jalannya yang cukup parah.

Aku sendiri kurang familiar menyebut pantai Batu Burung, aku lebih suka menyebutnya pantai Oebali. Pantai Oebali berada di lekukan yang dibatasi bukit yang tidak terlalu tinggi. Sebagian besar dipenuhi bebatuan, yang sebagian besar berupa batu berwarna putih, dari bentuk batu sepertinya berasal dari laut. Aku jadi membayangkan, jika sekarang masih nge-tren batu akik mungkin pantai ini salah satu pantai yang akan diserbu pencari batu akik dan akan menjualnya dengan berbagai macam nama.

Warna-warni batu di pantai Batu Burung
Secara keseluruhan, aku bisa mengatakan pantai ini punya reputasi: layak dikunjungi. Selain bebatuan yang tersebar di pantai ini bervariasi, kondisi pantai yang berada di cekungan juga masih sangat bersih. Pasir pantainya memang tidak seputih pasir di pulau Semau misal, warnanya cenderung coklat cerah yang mengingatkanku pada pasir di pantai Lasiana. Kondisi pasirnya landai, artinya pengaruh pasang surut akan sangat terasa. Jika datang pas waktu laut surut, pasir pantainya akan sangat panjang dan jauh. Jika pun pasang, air lautnya pun masih tampak jernih jadi asyik juga untuk mandi dan berenang terutama saat ombak tidak terlalu besar seperti saat aku kesini.

Menikmati senja di pantai Batu Burung
Pantai Oebali ini terletak di sisi selatan pulau Timor, salah satu daerah yang akan disasar proyek jalan trans-selatan pulau Timor. Karena di berada di sisi selatan, tentu saja setenang-tenangnya ombak di pantai Oebali akan lebih kencang dibanding pantai di wilayah kota Kupang yang berada di sisi utara perariran pulau Timor. Pada saat-saat tertentu terutama jika pasang, sangat mungkin kamu akan melihat ombak yang besar. Aku bahkan berfikir jika tempat ini bisa dikembangkan untuk pariwisata yang berhubungan dengan olahraga selancar air.

Tempat ini sebenarnya baru terfikirkan sehari sebelumnya, karena dari awal aku masih memenuhi otakku untuk melakukan perjalanan ke gunung Mutis. Teman-teman dari Nekad Team yang sudah pernah ke gunung Mutis memang berencana ke sana lagi tapi nanti selepas puasa. Sementara si anak gunung dan si anak Toba yang tangguh buat teman jalan di medan begini lagi ke Solo buat cari beasiswa. Mungkin mereka sudah semakin tersesat maka butuh jadi mahasiswa lagi biar dikembalikan ke jalan yang benar. Karena itu, akhirnya aku mencoba mencari lokasi yang bisa dijangkau tanpa harus menginap. Untung aku dapat informasi lewat foto-foto teman fotografer yang sudah kesana. Foto slowspeed-nya cukup menggoda walaupun aku yakin tambahan pemandangan milky way di langit akan makin bikin foto sempurna. Lupakan milky way yang harus menyiapkan makanan seabrek buat cemilan, sarung buat penghangat, bahkan kesabaran untuk menunggu. Aku butuh jalan, dan itu yang penting.

Hamparan bebatuan di pantai Batu Burung
Tak perlu banyak rencana, hanya berbekal seadanya dan dua buah hammock yang akhirnya cuma nangkring dalam tas tanpa pernah keluar maka perjalanan ke pantai Oebali dimulai. Menggunakan dua motor, kami berempat (aku, pak Sulih, Rei, pak Kus) berangkat sekitar jam setengah empat. Harusnya memang kami berangkat lebih awal sekitar jam dua siang, apalagi dengan waktu tempuh dan lokasi yang belum pernah ketahui. Seharusnya memang kami sudah jalan sebelum jam tiga. Dipertengahan jalan melihat matahari sudah setengah menuju ke ufuk barat membuat aku kuatir, jangan sampai kita keburu dikejar gelap. Apalagi saat melewati jalanan berbatu yang membuat motor kita merangkak pelan. Ternyata memang ada ruas yang kondisinya lumayan parah. Tidak terlalu panjang namun jalan masih berupa timbungan batu-batu saja. Mungkin dulunya jalan ini pernah dihampar batu, cuma hamparan timbunan penutup batu tampaknya sudah hilang terkikis hujan. Bahkan ada satu titik jalan ada gorong-gorong melintang di jalan yang sudah banyak bolong. Terus terang aku sendiri tidak merekomendasikan menggunakan kendaraan roda empat. Memang ada kendaraan roda empat yang sampai ke tempat ini, namun aku justru kuatir penggunaan kendaraan-kendaraan itu akan memperburuk kondisi jalan.

Di jalan menurun ke arah pantai sempat melihat sebuah cabang jalan ditutup kayu-kayu dan peringatan yang tidak membolehkan orang masuk. Belakangan aku baru tahu kalau ada yang membangun semacam rumah atau villa di tempat ini. Ujung pantai Oebali adalah sebuah hamparan tanah yang agak tinggi dengan sebuah bangunan kayu bertingkat. Salah seorang penjaga sempat bertanya jika kami mau menginap di sini. Rupanya bangunan ini disewakan, sayang aku lupa menanyakan berapa harga sewa bangunan ini per malam. Kami ditarik biaya 10ribu per orang entah untuk biaya parkir atau biaya masuk ke lokasi. Akibat terlalu sore sampai ke sini, akhirnya hammock cuma gak pernah keluar dari tas.

Bagaimana Cara Kesana
Peta jalan google dari kota Kupang ke pantai Batu Burung
Untungnya pantai Oebali sudah dapat dicari menggunakan Google Map jadi kalau kesulitan saat dijalan bisa langsung dipantau. Namun, tak selalu informasi dari Google Map nyambung kalau misalnya kalian bertanya kepada penduduk. Penduduk lokal umumnya mengenal daerah dengan nama desa/kampung bukan nama jalan. Pantai Oebali jelas tidak bisa menggunakan kendaraan umum, karena jalur bis terjauh yang saya tahu itu bus Damri jurusan Kupang-Oemofa. Dari Kupang-Oemofa saya gak tahu apakah ada ojek di daerah itu. Kendaraan yang aku sarankan motor tapi jangan motor matic karena terlalu rendah jarak terendah ke tanah (ground clearance). Jika menggunakan mobil, kesulitan utama ada jalur yang pas satu mobil bahkan jika berpapasan antara mobil dan motor maka motor harus mau masuk ke semak-semak sementara agar mobil bisa lewat.

Gak usah panjang lebar lagi, ini rute yang kami lewati dan kondisi jalannya:
  1. Titik poin perjalanan adalah perempatan Polda, ambil ke jalan Badak (menuju ke Bakunase/Oenesu/Tablolong). Ikuti jalan sampai bakunase terus sampai ketemu perempatan dengan jalan besar 2 arah yang biasa disebut jalur 40, tetap ambil lurus ke arah Oenesu. Kondisi jalan aspal yang cukup bagus.
  2. Ikuti jalan terus sampai bertemu pertigaan ke arah Tablolong. Jika ke arah Tablolong belok ke kanan, tetap ke arah kiri. Kondisi jalan sampai dengan ke arah pertigaan ini sebagian besar sudah bagus karena baru saja diperbaiki. Hanya perhatikan di beberapa titik ada beberapa lubang di pinggir jalan.
  3. Selepas jalan ini nanti banyak bertemu dengan jalan tanah berbatu dan jalan beraspal yang sudah rusak sampai jalan mendekat ke arah pantai. Secara umum kondisi jalan masih bisa dilewati dengan motor matic sekalipun.
    Setelah itu akan bertemu dengan jalan besar yang masih bagus, ikuti terus sampai dibatas jalan bagus dan melewati sungai kering yang cukup lebar.
  4. Selepas melewati sungai lebar dan beberapa ratus meter jalan bagus selanjutnya melewati jalan tanah berbatu menanjak sampai ke arah pertigaan yang ada tugu. Dari tugu tersebut belok ke kanan, kondisi jalan ini yang paling parah karena batu-batunya cukup besar dan tajam. Jalan ini tidak terlalu jauh hanya memakan waktu karena harus pelan. Hati-hati, ada satu gorong-gorong melintang di jalan yang sudah berlubang besar.
  5. Selepas jalan ini akan bertemu dengan pertigaan belok ke kanan menurun sampai bertemu dengan sebuah papan kecil bertuliskan "Pantai Batu Burung". Kondisi jalan ini berupa jalan tanah hitam yang menurun agak curam. Pada musim hujan jalur ini akan sulit dilewati. Di ujung jalan itulah pantai Oebali yang sekarang coba diperkenalkan dengan nama Pantai Batu Burung.


Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 26 Mei 2016

Kolam Air Asin di Gua Kristal

Kolam air asin di gua Kristal Kupang
Warna kebiruan toska air kolam yang terkena sinar matahari
Kucoba membuka mataku ke dalam air saat menyelam bebas agar bisa menatap bebatuan di bagian bawah namun tetap saja tidak jelas.Anehnya, saat aku muncul ke permukaan aku tidak merasakan perih di mata sebagaimana kalau membuka mata di air laut. Mungkin kalian masih ragu, apa mungkin air yang rasanya masih tetap asin itu tidak perih di mata? Aku tidak tahu, tapi aku bahkan berani bilang kalau air tawar di kolam renang saja masih lebih perih dibanding air di dalam gua ini. Masih gak percaya juga? Aku tunggu kapan mau tes air di gua Kristal...

Lokasi yang Tak Terduga 
Letak gua Kristal tidak jauh dari kota Kupang, sekitar setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat ini. Tapi ada yang berubah dari informasi awal yang kudengar. Tidak ada petunjuk jelas gua Kristal karena jalan masuk tidak ada tanda sedangkan sekitar gua Kristal masih daerah yang dipenuhi pepohonan. Tapi tidak, ternyata di tempat kami parkir motor sedang berdiri puluhan rumah yang masih dalam proses pembangunan: perumahan. Imam yang jadi pemandu sempat kebingungan karena memang perjalanan ke tempat ini sebelumnya tidak dijumpai perumahan melainkan masih pepohonan. Untung ada sepotong tulisan penanda ala kadarnya "Gua Kristal 100 meter" yang membantu meyakinkan bahwa kita sudah di lokasi yang benar.

Bertujuh di dalam Gua Kristal Kupang
Cuaca bulan ini memang terasa terik, apalagi di sekitar tidak ada pepohonan besar. Tapi beberapa pohon yang tidak terlalu besar cukuplah menjadi tempat parkir yang dikelola oleh seorang anak muda yang mungkin tinggal disekitar tempat ini. Belakangan waktu pulang aku baru tahu kalau anak muda itu tidak cuma mengenakan harga parkir tapi juga ongkos masuk ke dalam, dan untuk itu kami harus membayar 5.000 rupiah per motor. Yah, setidaknya motor kami aman kami parkirkan di sini.

Lucunya papan penanda itu tidak menunjuk jalan apapun karena memang tidak ada jalan. Jadi kami ikut saja menerobos batu karang menjadi tempat yang kami bisa berjalan. Entah sebenarnya kami yang memang asal jalan atau memang jalan itu ada tapi kami tidak tahu. Waktu pulang kami baru tahu jalan itu ada tapi memang tidak terlalu jelas.

Cahaya dari mulut gua Kristal Kupang
Jangan bayangkan gua Kristal itu seperti gua-gua pada umumnya yang lubangnya besar tinggi. Gua Kristal dari luar tak ubahnya sebuah bongkahan batu yang berlubang. Sampai dengan titik tujuan memang tak tampak ada gua, karena memang gua Kristal ini lubang menurun ke bawah menuju sebuah kolam air asin.

Satu yang aneh lagi yaitu adanya toilet sekaligus kamar ganti yang dibuat persis di mulut gua.  Penempata itu saja sudah parah, ditambah dengan bahan untuk toilet dari tripleks yang menambah bentuk depan gua Kristal itu tampak acakadut gak jelas. Setelah masuk memang ruang gua kelihatan lebih besar. Mungkin itulah kenapa cahaya matahari tidak bisa masuk sepenuhnya ke dalam gua. 

Berada di dalam gua yang lubang masuknya tidak terlalu besar dan jalan yang menurun ke bawah, aku yakin kolam air asin di dalam gua Kristal ini terus tersembunyi dari matahari. Hanya pada siang hari saja matahari mampu menerobos ke dalam gua melalui satu-satunya lubang gua untuk keluar dan masuk. Itu pun sinarnya hanya sampai menembus sepertiga bagian gua. Untungnya sepertiga cahaya yang masuk ini memantul ke seluruh dinding gua sehingga setengah air yang lebih sering bersembunyi dalam bayangan gelap berubah lebih terang ke warna kebiruan yang pekat.

Seiring naiknya sinar matahari yang menerobos dari lubang masuk gua, warna air yang biru akan menjadi biru lebih terang, kadang-kadang tampak seperti biru toska. Entah apakah masih pas menyebut gua ini dengan nama gua kristal sementara aku tidak melihat warna berkilauan bebatuan yang tertimpa sinar matahari. Mungkin kilauan-kilauan yang muncul laksana kristal yang pernah mereka ceritakan telah hilang seiring warna bebatuan yang menjadi kusam. Tapi di sisi dalam, stalagtit dan stalagmit yang tidak terlalu besar masih tampak berkilauan dan basah. Mungkin jika sinar matahari sampai menembus ke stalagtit dan stalagmit yang di dalam aku akan melihat kilauan kristal.

Aku menghela napas panjang melihat tulisan-tulisan dari cat berwarna-warni di dinding batuan dalam gua. Kampret!! Mahluk-mahluk keparat ini memang tidak pernah tau keindahan. Tangan-tangan mereka sepertinya akan gatal seumur hidup jika lupa tidak membuat tanda-tanda graviti seperti ini. Dengan graviti yang ditulis sporadis memang jadi sulit untuk mencari tempat yang tidak menampakkan graviti mereka.

Kolam Air Asin yang Jernih
Air kolam di ujung gua memang tidak terlalu besar, pun tidak banyak tempat datar yang dapat digunakan untuk duduk menikmati pemandangan. Mungkin kolam ini masih jika dinikmati jika yang masuk ke dalamnya tidak lebih dari sepuluh orang.

Kolam air asin di dalam gua Kristal Kupang
Anakku lah yang teriak-teriak di air waktu aku masih asyik mengabadikan gambar gua. "Ayah.. ayah.. Shiva tadi matanya masuk air tapi gak perih lho. Tapi airnya dingin", katanya senang sekali waktu berenang di dalam airnya. Aku sendiri memang berniat berenang setelah menuntaskan memotret lokasi ini. Jadi Shiva ditemani pakde Dibyo dan pak Achmadi yang turun lebih dulu.

Tak dapat berlama-lama, akhirnya aku menyusul mereka memasukkan badan ke dalam air. Bener-bener air di gua ini segar. Dan seperti yang aku bilang di awal, walau airnya asin tapi tidak perih di mata. Hanya sesekali aku menggunakan kecamata untuk menyelam ke dalam air. Karena tidak terlalu banyak orang, aku jadi bisa menikmati nikmatnya berendam air di sini.
Kedalaman kolam sekitar tiga meteran aku rasa, tapi di bagian sisi batas gua ke bawah masih tampak bayangan hitam pertanda kalau di sisi itu lebih dalam dari tempat lain. Akun menduga di sisi itulah yang menghubungkan kolam ini dengan laut. Mungkin juga air di sini pasang surut seperti kondisi di laut, aku tidak terlalu yakin karena dari gua ini ke laut jaraknya lebih dari 100 meter.


Menunggu di depan mulut gua Kristal Kupang
Ada satu batu yang agak menjorong ke kolam. Tempat itu sering digunakan orang untuk meloncat ke dalam air karena memang air di bawahnya langsung dalam jadi aman. Namun hati-hati, jangan terlalu semangat meloncat. Jika kamu orang yang tinggi dan sembarangan meloncat bisa-bisa kepalamu terbentuk dinding atas gua yang tidak terlalu jauh tingginya dari batu itu.

Tidak seperti di bagian luar gua yang berupa batu karang hitam terjal dan kasar, bagian dalam gua batuannya berwarna putih kekuningan. Batu-batu itu terasa rapuh namun untungnya kesat sehingga tidak licin waktu diinjak. Hanya memang waktu untuk turun harus lebih hati-hati karena dari luar yang terang, maka di dalam gua tampak sangat gelap. Agak lama untuk membiasakan mata agar dapat melihat ke dalam gua lebih baik. Sayang tepat di tengah-tengah pintu gua ada batu besar yang menghalangi sinar matahari masuk lebih banyak.

Untuk amannya, jika ada yang mau ke sini bukan saat siang hari sebaiknya selalu bersiap-siap dengan senter atau lampu karena kemungkinan gua akan terlihat sangat gelap dan jelas akan mengecewakan perjalananmu ke tempat ini.

Hari Minggu itu Waktu yang Salah
Kami bertujuh mencari tempat duduk persis di belakang batu besar yang menutup pintu gua. Kami masih harus membiasakan mata karena di dalam gua selain warna biru air selebihnya adalah gelap. Memang terdengar celotehan pengunjung yang sedang mandi atau berenang di dalam kolam gua. Setelah agak lama dan mulai bisa melihat lebih jelas ke dalam gua, ternyata sudah ada beberapa anak muda yang berenang di dalam kolam, beberapa tidak berenang tapi seperti biasa sibuk mengabadikan diri. Istilah selfi sekarang memang kekinian dan tidak bisa ditolak.

Shiva di depan mulut gua Kristal Kupang
Jumlah anak-anak muda yang di dasar gua yang sudah puluhan jelas sudah tidak bisa ditambah sehingga aku dan teman-teman memilih mengalah. Itu pun dari belakang kami masih berdatangan beberapa anak lebih kecil yang turun dengan cepat ke dalam gua. Aku berpikir mereka anak-anak di sekitar sini yang sudah terbiasa dengan suasana gua.

Untungnya acara mandi mereka tidak terlalu lama. Setelah aku lihat yang berenang hanya tinggal tiga orang, maka kami mulai ikut turun ke bawah. Awalnya kami benar-benar harus hati-hati karena batuan di bawah yang basah tampak licin. Ngeri juga membayangkan stalagmit menyambut kami jika sampai tergelincir. Ternyata aku salah, batu-batu itu tidak licin walau terkena air dari anak-anak muda yang naik balik ke atas dalam keadaan basah.

Sialnya selepas siang, rombongan yang datang lebih banyak. Jelas itu waktunya kami berbenah untuk pergi. Dengan kedatangan rombongan baru sebanyak itu jelas berada di dalam gua tidak lagi menyenangkan. Benar seperti perkiraanku semula, mengunjungi tempat wisata hari Minggu adalah pilihan yang salah. Masih untung kami sempat merasakan saat kolam sepi, namun di banyak waktu lain, Minggu berarti siap-siap kecewa.



Bagaimana Menuju Kesana?
Sebenarnya lokasi ini tidak susah di jangkau. Bisa menggunakan kendaraan umum dengan setidaknya 2 kali ganti angkutan kota. Tapi menurut saya lebih enak menggunakan kendaraan pribadi (motor kalau saya). Rute perjalanan sebagai berikut:
  1. Dari kota Kupang arahkan kendaraan menuju arah Namosain, ikuti jalan sampai bertemu pertigaan Namosain yang ada tugu "Imperial Estate". Sebenarnya dua arah itu semuanya bertemu lagi di jalan yang sama pertigaan Bolok. Namun saya lebih menyarakan ikut jalur ke kiri menuju ke atas.
  2. Ikuti jalan terus sampai ke pertigaan Bolok (belok kanan ke pelabuhan Tenau), tetap terus sampai melewati jembatan. Setelah jembatan ada pertigaan belok ke kiri lagi (lurus sampai ke pelabuhan perikanan)
  3. Terus lurus melewati sampai ke pelabuhan Bolok tetap lurus, nanti sekitar satu km dari pelabuhan ASDP Bolok akan bertemu pertigaan yang menuju ke kantor DIT POLAIR POLDA NTT belok kanan.
  4. Berhenti di depan perumahan (100 meter sebelum kantor Polisi Perairan), parkirkan kendaraan di sekitar situ dan cari papan petunjuk menuju Gua Kristal.  
Terima kasih buat temen-temen yang ikut bersama ke gua Kristal: pakde Kushandoyo, pakde Dibyo, pak bos Sulih, pak Ahmadi, Imam 'Boncel' .
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya