Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label hutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hutan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Juni 2013

Jalan-Jalan Sehari di Bandung

Air terjun Omas Maribaya, air yang biasanya bening menjadi keruh karena longsoran

Pesawat dodol! Masak aku harus cek jam 3 pagi di Bandara Soekarno Hatta pula... Ini bikin acara mau nyasar ke Bandung sehari malem jadi susah. Akhirnya setelah merenung dan bertapa di kamar mandi hotel (istilah gak kerennya b**l), aku putuskan untuk tetap berangkat ke Bandung hari Jum'at pagi dan balik tengah malem.  Dihitunganku sih lumayan bisa dapet spot banyak, minimal spot-spot seputaran Bandung. Denger-denger kan banyak tuh yang menarik, dari kawasan Cibaduyut, Trans Studio, kawasan kerajinan, neng geulis... uppsss (dijitak bini pake odol).. Asli aku belum pernah menginjakkan kaki di kota Bandung. Dulu pas sekali kesana itu juga cuma nyampe stasiun doang gara-gara kesasar naik kereta api dari Solo Balapan. Bukannya naik jurusan Jakarta eh malah naik jurusan Bandung. Sebenarnya banyak juga temen yang tinggal di Bandung tapi demi misi kesasar, aku rela tidak menghubungi mereka. Kan gak keren kalau kesasar tapi minta diantar. Rencana sih mau sholat Jum'at ke masjid Salman ITB baru muter-muter kemana aja asal masih namanya Bandung.
View pepohonan cemara dari bukit batu Patahan Lembang
Tapi sayangnya aku baru berangkat jam 9, udah telat banget (berdoa moga-moga orang Jakarta gak pada berangkat cepet-cepet ke Bandung) bisa-bisa cuma menikmati macet. Untung Niken, sang pemandu by sms (thanks ya Nik, mau aku repotin diantara waktu kerja) kasih tau buat naik travel Cipaganti buat ke Bandung. Lebih cepet, katanya, sekitar dua jam-an udah nyampe. Dari tempatku di Pramuka, travel terdekat ya daerah Cawang, turun di depan Wisma BNN dilanjut angkut ke pool Cipaganti. Aku pikir langsung bisa berangkat ternyata harus beli tiket dulu dan nunggu kendaraan sesuai jam (ketahuan banget dari kampung nih). Untung kendaraan jalan tiap setengah jam, sehingga satu jam kemudian aku dah bisa naik travel. Perjalanan ke Bandung emang cepet pake travel, karena masuk dari satu tol ke tol lain. 
Gak pakai tidur, mata melek aja tuh sepanjang jalan. Jam satu kemudian travel nyampe juga di Bandung, dan turun di Pasteur. Masih bingung bacanya, waktu petugas travel bilang Pasteur kedengeran kayak Panser, kirain daerahnya angkatan darat yang pake kendaraan panser. (korek telinga pake linggis.
Hawa Bandung ternyata lumayan sejuk (iya lah, lagi mendung). Tanya-tanya ke security di pool Cipaganti, katanya kalau mau ke THR Juanda harus ganti angkot empat kali. Whaattsss!!! Niken bener-bener pengen aku nyasar ya.. empat kali ganti angkot tanpa tahu berapa jarak masing-masing ditambah kayaknya jalanan padet begini. Mau jam berapa sampai THR Juanda. THR Juanda ini yang milihin ya Niken, karena katanya aku gak cocok di kota cocoknya di hutan, lagian di sana ada air terjun Maribaya bisa buat latihan loncat indah.
Akhirnya aku milih naik ojek aja ke sana. Dengan ongkos 40rebu akhirnya aku diantar naik motor (ini karena Niken mikir kelamaan waktu ditanya jalur angkot ke arah sana, katanya jarang naik angkot). Tapi aku bersyukur pake ojek, nanti setelah muter-muter disini baru tahu walau jaraknya dekat sering kali harus naik angkot beberapa kali karena di Bandung banyak yang jalannya searah. Gebleknya itu tukang ojek juga gak terlalu paham. Aku nyaris dikesasarkan ke arah mana aku juga gak tau. Untung aku lihat papan penunjuk jalan warna ijo gede. Aku yang kasih tau "Akang, salah jalan deh kayaknya, bukan belok sini tapi tetep lurus tuh". Untungnya orang Sunda gak ngototan ya, dia milih minggir dan minta aku nanya ke orang di deket situ.

Taman Hutan Raya Juanda

Jembatan untuk melihat curug Omas Maribaya
Ternyata Taman Hutan Raya (THR) Juanda itu sudah dibangun lama, berada di lembah patahan Lembang. Dan seperti biasa, kawasan seperti ini di sepanjang jalan mulai banyak villa dibangun. Ini pasti kerjaan orang Jakarta tuh, udah penuh tanah di Jakarta mulai  ekspansi di sini.
Tiket masuk ke THR ini 10rebu tambah jasa asuransi 500 rupiah. Karena belum makan siang, aku cari makan siang dahulu di warung deket sini. Banyak yang lagi tutup gak tau kenapa, sehingga aku masuk ke salah satu warung di bagian pojok. Sayangnya waktu aku mau nitip tas tenyata ibu penjualnya udah mau tutup. Akhirnya aku bisa menitipkan tas backpack ke salah satu warung dipinggir pintu masuk, yang emang biasanya tidur di dalem situ. Lumayan bisa patah bahuku kalau harus bawa itu tas, maklum itu semua barang buat jalan dari Kupang ke Jakarta aku bawa semua (masak nginep mahal-mahal di hotel cuma buat nitip tas, gak keren banget kan). 
Taman hutan di THR Juanda
Hutan ini cukup luas untuk sebuah taman, tapi cukup mini untuk sebuah hutan. Katanya THR ini sekitar 52 hektar (kalau salah berarti aku dapet informasi sesat). Banyak obyek yang bisa dikunjungi disini baik obyek asli maupun obyek buatan. Yang asli seperti air terjun ada beberapa seperti air terjun Lalay, beberapa air terjun kecil dan yang paling besar air terjun Omas Maribaya (semua air terjun ini disini dikenal dengan nama curug). Lalu juga ada gua Jepang dan gua Belanda. Taman bermain untuk anak-anak dan keluarga dan olahraga-olahraga alam juga ada. Tapi tentunya yang paling dituju adalah panorama alam hutan Juanda-nya.
Rasanya gak mungkin sehari ini aku bisa menghabiskan seluruh obyek disini, jadi aku harus memilih obyek yang sudah kutarget. Akhirnya aku memilih obyek yang paling ujung, yaitu air terjun Maribaya yang berjarak sekitar 5km dari pintu masuk. 
Dari pintu masuk, suasana hutan yang rindang langsung menyapa. Begitu melewati jembatan kecil aku langsung berbelok ke kanan ke arah curug Omas Maribaya. Beberapa ratus meter perjalanan awal jalannya masih besar, di beberapa titik ada bangunan-bangunan tempat orang berjualan tapi semuanya sepi. Ternyata dari informasi, hutan ini baru dibuka kembali minggu ini setelah sebelumnya ditutup beberapa hari akibat longsor besar yang terjadi di beberapa titik yang memutuskan beberapa jalur. Ini terjadi akibat hujan yang mengguyur kencang seharian Rabu minggu kemarin. 
Suasana hutan yang rindang di curug Omas Maribaya
Dalam perjalanan menuju curug Omas Maribaya, aku singgah sebentar ke gua Belanda. Kebetulan karena terletak di pinggiran jalur jalan. Sebuah lubang yang cukup tinggi menembus dari sisi bukit ke sisi bukit disebelahnya. Hal ini tampak jelas, karena lorong besar ini tampak cahaya di ujungnya. Berbeda sekali dengan gaya gua Jepang yang dibangun pendek dengan bentuk berliku-liku. Ternyata aku ketinggalan senter, sehingga mau gak mau aku harus menyewa senter dari orang-orang yang menyewakan senter. Mereka menanyakan kalau aku ingin dipandu. Karena aku hanya ingin sambil lewat aku menolak untuk dipandu. Ternyata memasuki gua Belanja suasana seperti masuk ke dalam lubang penambangan. Di sepanjang jalan ada dua rel besi seperti tempat untuk kereta. Lampu-lampu juga tampak terpasang. Disepanjang jalan terdapat cabang-cabang lorong yang memancing keingintahuan untuk dimasuki. Tapi aku menahan diri karena waktu yang tidak banyak.
Beberapa ratus meter setelah keluar dari gua Belanja jalan setapak tampak hilang berganti gundukan tanah, namun pohon-pohon telah dibersihkan sehingga tetap dapat dilewati. Kondisi seperti ini ada di beberapa tempat, sebagian sudah dapat dilewati khususnya motor namun beberapa masih sulit dilewati karena kondisi longsoran yang cukup parah. Seperti yang sudah aku jelaskan di depan. Hutan raya ini terletak dibawah lereng patahan Lembang yang sempit sehingga di kanan kiri hutan adalah tebing-tebing. Kalau tidak ada longsoran sebenarnya suasananya jalannya cukup bagus, setidaknya bisa digunakan untuk gowes (bersepeda).
Air terjun Omas Maribaya dari jembatan
Di tempat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan tempat penangkaran rusa tidak dapat aku lalui karena longsoran disana sudah memutuskan jalur jalannya dan perbaikan kembali belum sampai kesana sehingga aku hanya bisa memperhatikan dari kejauhan saja. 
Di beberapa ratus meter mendekati curug Omas Maribaya, longsoran besar memutuskan jalur jalan. Untung masih ada jalan di pinggir sungai yang masih bisa dilewati.
Akhirnya perjalananku terbayar di depan curug Omas Maribaya. Air yang deras terjun dengan kuatnya ke bawah. Di atasnya terdapat jembatan besi kecil memanjang menyeberangi curug ini. Disekitar air terjun ini ada beberapa bangunan tempat makan dan bersantai. Suasanannya sungguh rindang. Untuk bisa memotret air terjun Omas Maribaya aku harus ke arah jembatan yang di bawah. Air terjunnya sangat kencang, bahkan kadang tempias airnya jauh melebihi tinggi air terjun itu sendiri. 
Dibawah jembatan aku berdiri untuk memotret air terjun ada percabangan sungai dengan suara yang bergemuruh menadakan terjadi benturan arus yang sama-sama kuat. Menurut catatan, pusaran air di bawah jembatan adalah pertemuan sungai Ci Gulung dari arah utara (arah belakang aku berdiri) dengan sungai Ci Kapundung yang datang dari arah timur (arah sebelah kiri aku berdiri)
Formasi batuan dinding Sesar Lembang yang keras diperkirakan telah menghalangi lahar letusan Gunung Tangkuban Perahu di masa purba mengalir ke arah selatan /Cekungan Bandung. Namun dinding batuan Sesar Lembang tersebut telah menghalangi aliran air di bawah permukaan tanah mengalir ke arah Cekuangan Bandung.
Sungai Ci Gulung dan Ci Kapundung merupakan sedikit sungai yang mampu menerobos Patahan Lembang. Menciptakan celah sempit di sekitar Maribaya, kedua sungai tersebut membentuk jalur sungai Ci Kapundung yang mengalir ke selatan dan menjadi sumber air baku yang sangat penting bagi Kota Bandung.
Selain sebagai sumber air bagi PLTA Dago Bengkok, Sungai Ci Kapundung menyatu dengan aliran sungai Ci Tarum di sekitar selatan kota Bandung, dan menjadi sumber air bagi tiga bendungan besar di Jawa Barat: Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ketiganya menghasilkan listrik bagi jaringan listrik Jawa-Bali hingga lebih dari 4 miliar KWh/tahun dan mengairi lebih dari 200.ooo hektar sawah di Jawa Barat.
Tuh, kan.. jadi harusnya orang Bandung pernah kesini atuh.. itu air penting banget buat kehidupan kalian orang Bandung. Bukan cuma Bandung eh tapi juga Jawa dan Bali.
Disekitar curug Omas Maribaya ada juga jalur joging yang lumayan bikin capek. 

Di Puncak Patahan Lembang
Sekitar jam setengah lima aku, memutuskan untuk naik ke atas puncak Patahan Lembang yang berupa bukit batu. Untuk ke atas bukit itu, kita harus keluar dulu dari THR Juanda. Itu saran dari akang pengojek yang sekaligus yang mengantarkanku sampe ke atas. Setelah mengambil tas yang lumayan berangkat, aku duduk manis di belakang ojek yang terus naik ke atas bukit ke arah puncak Patahan Lembang.
Pemandangan dari salah satu bukit batu Patahan Lembang
Walaupun keberadaan Patahan Lembang menyimpan sejarah yang menyimpan potensi gempa bagi masyarakat Bandung namun ternyata banyak masyarakat Bandung yang tidak mengetahuinya. Padahal menurut penelitian, Patahan Lembang ini masih aktif dan sewaktu-waktu masih dapat menyebabkan gempa besar.
Patahan Lembang merupakan retakan sepanjang 22 kilometer, melintang dari timur ke barat. Berawal di kaki Gunung Manglayang di sebelah timur dan berakhir sebelum kawasan perbukitan kapur Padalarang di bagian barat. Patahan itu tepat di antara Gunung Tangkubanparahu dan dataran Bandung sehingga membentuk dua blok, utara dan selatan.
Hawa sejuk cenderung dingin langsung menyerbu begitu motor yang aku tumpangi melintasi perkampungan Cibeurea (kata akang ojek sih, tau tuh kalau aku disesatkan)
Sesampainya di atas, akang membawa aku ke sebuah gundukan tanah yang ternyata merupakan bagian atas dari bukit batu yang tampak waktu dari Omas Maribaya. Dari sini sebenarnya dengan leluasa kita bisa melihat beberapa gunung yang mengelilingi Bandung, seperti gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang. Sayang suasana saat itu mendung dan kabut sehingga gunung-gunung hanya tampak bagian lerengnya saja.
Tiga anak kecil aku temui sedang merokok di balik salah satu batu. Haduh, mau ngerokok takut ketahuan sampai sembunyi di bawah batu yang terjal seperti ini. 

Jalan-Jalan di Bandung
Setelah ke atas puncak Patahan Lembang, aku turun kembali ke daerah Dago. Waktu masih jam lima sehingga aku memutuskan jalan kaki ke Gedung Sate, sekalian menikmati suasana kota Bandung. Di sepanjang jalan menuju gedung Sate, beberapa lokasi di pinggir jalan beberapa pedagang mulai menggelar dagangan. Pokoknya senjatanya Google Maps dan diaktifin GPS-nya. Alasanku berjalan kaki karena lagi-lagi waktu tanya angkot untuk sampai ke Gedung Sate ternyata tidak bisa sekali naik angkot harus berganti angkot. Wah alamat bisa kelamaan kalau naik angkot nih, mending jalan kaki.
View gedung sate bonus mahasiswa demo kenaikan BBM
Aku sampai di depan sebuah lapangan yang sedang ramai sekali karena sepertinya sedang ada pameran. Tanya ke orang ada kegiatan apa, ternyata bener sedang ada pembukaan pameran koperasi. 
Ternyata di Bandung banyakan orang muda-mudi dan sebagian orang dewasa membawa tas ransel di belakangnya, wah banyak temennya nih. Bedanya tas mereka kecil dan tampaknya tidak banyak tentengan (keliatan kempes gitu) sedangkan aku bawa tas gemuk kayak orang mau pindahan (namanya juga bekal cabut dari hotel jadi semua barang dibawa). Sementara di bagian depan terlihat kemacetan jalan karena sepertinya sedang ada demo. Waktu tanya dimana gedung sate-nya sama salah satu orang yang sedang nongkrong, ternyata gedung sate ya yang sedang di demo. Lah, kenapa demonya di gedung sate?? Ternyata oh ternyata gedung sate itu kantor gubernur hehehehe... (keliatan banget bego-nya).
Karena sedang ada demo, makanya jadi gak bisa masuk karena gerbang dikunci dan dijaga sama polisi dan security. Tau kan demo apaan? Itu tuh, demo BBM yang mau naik. Aku inget waktu dengan corong di mulut tuh mahasiswa bilang: "Kami bukan tidak kuat BBM naik, tapi kami tahu bahwa kenaikan BBM menyengsarakan masyarakat. Membuat masyarakat yang miskin semakin miskin dan lain-lain bla..blaa..blaaaaaaa...... " sampai mulutnya keluar busa (untung gak mati abis ngomong gitu) dan supaya seru pasti pakai acara bakar ban bekas (untungnya gak bakar stasiun SPBU ya). Yang aku heran, kok banyak banget wartawan yang meliput, bahkan kalau gak salah ada juga dua stasiun tivi yang ikut ngeliput padahal tuh yang demo gak sampai 20 orang juga. Tapi biar 20 orang mengatasnamakan gabungan mahasiswa Bandung (seharusnya kalau sedikit pake nama Liga Mahasiswa Bandung aja).
Jam setengah tujuh, aku bingung mau balik lewat mana. Lagian juga gak tau dimana ada travel. Karena angkot gak tau jurusan mana yang harus dinaiki dan males harus minta tolong temen. Akhirnya aku putusin mau jalan kaki lagi dari Gedung Sate kembali ke Pasteur. Kalau lihat pake Gmaps sih gak jauh gak sampai satu jengkal kok (ya iya lah, layar cuma 4,3 inchi hahahaha).
Setelah jalan lewat jalan Trunojoyo, aku mampir makan di daerah Balubur. Ternyata di Balubur, ada tempat untuk penjualan tiket travel Bandung-Jakarta. Sayangnya, travel untuk berangkat malem terakhir setengah 12 udah abis tinggal sisa yang jam 7 malem yang untung lagi telat jadi kemungkinan jam 8 malem baru jalan. Gak ada pilihan lain, akhirnya aku pilih travel jam segitu, tapi berharap semoga travelnya kena macet biar bisa tidur di travel, daripada tidur di emperan Jakarta.


Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 05 Maret 2013

Ranamese, Rindu pada Hening

Di tepi danau Ranamese, tumbuhan air memenuhi bawah danau
Aku menulis ini bukan karena bosan jalan-jalan atau gak ada stok tempat tujuan lain lagi sehingga harus menulis yang sama.. itu lagi itu lagi... Tapi karena ada sesuatu hal yang membuat kegiatan jalan-jalan dan moto-moto terhenti. Tetapi karena kesibukan yang seharusnya gak perlu dibuat sibuk. Tak lain dan tak bukan karena harddisk-ku tewas. Sayangnya, kerusakan harddiskku terlambat aku sadari yang mengakibatkan seluruh file yang ada di dalamnya hilang tak terselamatkan... foto-foto dan video perjalanan juga data lainnya selama enam bulan terakhir raib lenyap. Jadi saat itu lebih disibukkan untuk mengembalikan data-data pekerjaan yang terus terang bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan ulang. Ayo.. ayo.. yang ikut berduka bisa menyumbangkan uang duka ke rekeningku hahahaha...

Tapi ternyata foto-foto ini masih sempat aku olah walaupun hanya menyisakan ukuran layak tayang di website saja, itupun sayangnya juga tidak lengkap. Tapi daripada itu hilang lebih baik aku upload saja di sini, walau sebenarnya cerita di sini belum lengkap karena awalnya aku ingin sekalian menuliskan lokasi air terjun Watu Teber yang tidak jauh dari danau Ranamese.

Senja di pantai Cepi, Borong
Perjalanan ke Ranamese baru bisa terlaksana hari Sabtu padahal sudah hampir seminggu tinggal di Borong. Apalagi kalau bukan masalah hujan yang rajin mengguyur tanah Flores belakangan ini, masih untung tidak meninggalkan jejak banjir seperti di Jakarta. Rencana perjalanan ke Ranamese sebenarnya ada dua tujuan: pertama, memperkenalkan lokasi baru ke Putra yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, kedua ada rencana yang belum tuntas yaitu mengelilingi danau Ranamese.

Kami mematangkan rencana setelah melihat cuaca siang terang, memang mungkin sekali cuaca berubah sewaktu-waktu tapi ini adalah hari terakhir kami. Minggu rencana kami akan kembali bertugas ke kota lain.

Sekitar jam tiga lewat, kami bertiga, aku, Angga dan Putra diantar mobil kijang pak Victor kami ke pertigaan arah masuk ke pasar. Di sini banyak sekali mobil-mobil plat hitam yang beroperasi layaknya angkutan umum antar kota. Umumnya mobil-mobil sejenis Avansa dan paling banyak APV memiliki jalur tempuh pendek, Borong-Ruteng atau Borong-Bajawa. Kami naik sebuah APV hitam yang sedang kosong yang menawarkan jalur Borong-Ruteng. Tak menunggu lama, si sopir memutuskan langsung berangkat. Aku sempat heran karena biasanya hari Sabtu banyak yang pulang. Just info, Borong adalah kota dari Kabupaten Manggarai Timur yang baru terbentuk beberapa tahun lalu jadi suasananya masih seperti kampung di Jawa. Karena baru banyak pegawai yang sebagian mutasi dari kabupaten induk Manggarai masih tinggal di Ruteng. Jadi hari Sabtu adalah kesempatan untuk pulang dan menikmati Minggu di rumah. Namun rupanya sebagian pegawai sudah pulang hari Jum'at karena Sabtu ini adalah hari libur. Sopirnya ternyata orang Ruteng jadi sekalian sambil mengantar kami langsung kembali ke Ruteng.

Sebuah rakit dari kayu di tepi danau Ranamese
Setengah jam perjalanan yang terus menanjak akhirnya kami sampai di depan gerbang kantor bekas KSDA yang sudah kosong sekaligus pintu gerbang menuju ke danau Ranamese. Sopir APV minta uang seratus ribu waktu aku tanya biaya mengantar kami. Sebenarnya pak Victor sudah memberitahu kami kalau ongkos dari Borong sampai dengan Ruteng itu hanya dua puluh lima ribu, jadi kalau sampai Ranamese cukup lima belas ribu. Mengingat kami cuma bertiga yang naik jadi kami bayar saja seratus ribu, lebih murah dibanding kami menyewa sendiri mobil kesini. Walau pun mendung untung kabut tidak turun, padahal di Ranamese kabut mudah sekali turun jika sore menjelang apalagi jika sedang musim hujan begini. Untungnya di musim hujan begini, suhu justru menjadi tidak dingin. Aku bisa bandingkan saat kesini bulan Juli, walau tidak kabut namun suhunya benar-benar menggigit tulang.

Beberapa puluh meter masuk ke jalan setapak sampai kami di pinggir danau. Kami berputar menelusuri jalan tanah berbatu menuju ke bangunan seperti dermaga kecil. Putra dan Angga hanya sampai disitu saja sementara aku memutuskan untuk melanjutkan jalan mengitari danau.  Rumput-rumput telah mulai meninggi menutupi jalan setapak yang batunya terasa licin oleh air yang mengalir dari sela-sela tanah. Tapi rumput-rumput yang tinggi ini juga membantuku berpegangan karena beberapa titik jalan yang meninggi ada yang longsor. Sukses melewati longsoran tanah aku harus rela disambut pohon-pohon besar melintang yang kulit batangnya terasa basah berlumut ditanganku. Perjalanan seperti ini, aku seperti melewati jalan yang lama tak tersentuh. Sementara di kejauhan danau, beberapa orang yang sedang asyik memancing menimbulkan tanya, darimanakah mereka berjalan sampai kesana? Apakah ada jalan lain ataukah menggunakan rakit bambu/kayu itu untuk sampai kesana?

Sepuluh menit kemudian aku sampai di turunan, tampak sebuah rakit dari kayu bersusun yang digunakan orang untuk menyeberang bersandar di tepi tanah lapang berumput. Lumayan, aku bisa sedikit menarik napas di sini. Aku cukup dekat dengan seorang pemancing yang tampak duduk tenang di atas rakitnya. Kepulan asap sesekali tampak dari sela bibirnya saat dia menghembuskan asap rokok ke udara.

Tapi aku belum setengah jalan sehingga aku putuskan untuk kembali melanjutkan jalan. Kali ini memang lebih sulit. Jejak jalan tidak seterang sebelumnya yang walau telah longsor masih tampak. Kali ini rimbunan rumput dan batang-batang pohon yang rumbuh mendatar menutupi jalan. Beberapa kali aku harus mereka jalan yang ada. Tampaknya jalan yang ini benar-benar sudah lama tidak dilewati. Tanah basah bahkan telah berlumut, harus hati-hati jika tidak ingin terpeleset. Kali ini waktu terasa lebih lambat, beberapa menit aku berjalan tidak mendapatkan kemajuan berarti. Langit mulai gerimis kembali, saatnya aku memutuskan untuk kembali. Sepertinya aku harus melanjutkan jalan di lain waktu. Jam tangan sudah menunjukkan waktu lebih dari setengah lima. Saat kami bertiga kembali sampai di tempat kami berbelok pertama kali, aku baru menyadari setidak nya ada empat lintah telah sukses menghisap tubuhku. Yah lumayan untuk mereka yang mungkin telah lama tidak mendapatkan darah segar hehehehe.

Tiba-tiba dari balik jalan kecil lain muncul orang tua yang sedang memanggul joran pancing. Aku penasaran bertanya: "pulang mancing pak?" 
"Iya," sahutnya singkat sambil tersenyum
"Kalau mau ke sana itu," tunjukku ke arah dua orang yang masih mancing sesore ini, "untuk mancing bisa lewat jalan itu pak?" arah kepalaku menunjuk belakang jalan bapak tua.
"Iya, lewat sini bisa berputar sampai ke sana"
Oh, rupanya aku salah arah jalan, harusnya aku lewat jalan ini. Hahaha, lain kali aku harus mencoba lewat sini.

Acara hari ini kami akhiri dengan mampir di warung kopi persis setelah masuk gerbang menuju Ranamese. Penjual kopi ini adalah penjual kopi yang sama yang biasanya ada di jalan atas tepat di samping tembok yang dibangun untuk melihat danau Ranamese. Kata ibunya, mereka tidak diperbolehkan berjual di tempat itu lagi sehingga mereka pindah kesini. Lumayan lah jadi lebih dekat daripada sebelumnya harus naik ke atas lagi.

Segelas kopi panas dan semangkuk mi rebus segera terhidang nikmat terasa di saat hawa dingin begini. Kami sepertinya pengunjung terakhir karena ibu itu juga sudah mulai berkemas memberesi warungnya. Menurut informasi, bisanya jam terakhir ada kendaraan adalah jam setengah enam tapi bisa lebih awal kalau hari-hari sepi.

Wal hasil setengah jam menunggu di warung kopi ternyata belum ada satu kendaraan travel pun yang lewat. Akhirnya sambil menunggu kendaraan lewat, kami memutuskan sambil berjalan ke arah atas. Menunggu kendaraan travel menjadi acara yang agak bikin cemas karena sudah mulai lewat jam setengah enam masih juga belum nongol. Kami sedang bersiap-siap untuk naik kendaraan apa saja truk, pick up sekalipun yang arahnya ke Borong. Untung di menit terakhir sebuah APV putih lewat menawarkan tumpangan ke Borong. 


Kami bertiga menjadi penghuni terakhir APV yang membuat APV menjadi penuh sehingga cukup untuk menghitung keuntungan si sopir. Acara naik APV diiringi sedikit accident. Saat aku hendak memutuskan membuka sedikit kaca agar udara masuk, tiba-tiba seorang nona yang duduk di depan mobil muntah  di samping. Keruan saja muntahannya memenuhi kaca samping tempat aku duduk. Untung aku belum buka kaca, seandainya aku lebih dulu pasti ada acara orang muntah karena kena muntah.... hahahahaha.. 

Acara kembali ke Borong lebih murah, kami hanya diminta lima puluh ribu bertiga. Lumayan setengah harga dari perjalanan berangkat.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Juli 2011

Kelimutu: Tak Sekedar Danau

Teman berlatar Tiwu Koo Fai Nua Muri dan Tiwu Ata Polo
Kami bangun terlambat pagi ini, karena berpikir sudah tidak bisa mengejar matahari pagi dipuncak Kelimutu maka sekalian kami berangkat setelah sholat subuh. Akhirnya kami jalan dari hotel setengah lima pagi menuju ke arah Timur. Kelimutu yang berada di Kecamatan Wolowaru yang tepatnya di desa Koanara memang berada di jalur trans Ende-Maumere.

Perjalanan pagi begitu lengang sehingga nyaris kami merasakan seperti berkendara sendiri, melintasi bukit-bukit terjal dengan jalan-jalan berliuk-liuk laksana ular berbadan panjang. Untunglah jalur menuju Kelimutu sekarang dalam kondisi baik meskipun di beberapa ruas terdapat pekerjaan perbaikan jalan dan pemotongan sisi samping bukit untuk memperlebar bahu jalan. Aku melajukan kendaraan sedang saja, kami tak ingin celaka karena ini pengalaman pertama naik kendaraan sendiri dengan jalur seperti ini.

Dengan kecepatan kami seperti ini kami kira kami akan sampai dalam waktu sedikitnya tiga jam lebih. Ternyata dugaan kami keliru, dalam waktu dua jam kami sudah memasuki daerah Detusoko yang terkenal dengan daerah penghasil sayur-sayuran yang mensuplai kota Ende dan sekitarnya. Berarti tidak lama lagi kami akan masuk ke Moni.

Suasana di jalur tracking hutan (arboretum)
 Persis sebelum menuju ke tikungan Moni yang banyak villa dan restoran di situ, terdapat pertigaan dengan sebuah gerbang yang tertulis kalimat selamat datang di Danau Kelimutu. Jika sebelumnya perjalanan dari Ende meliuk-liuk namun dengan ruas jalan besar, sekarang kami berjalan menanjak dengan ruas jalan yang sempit dan lebih berkelok-kelok. Di pertengahan jalan kami berhenti untuk lapor dan membayar tiket masuk.

Sambil menunggu teman melapor ke petugas Kehutanan, kami duduk-duduk di depan warung-warung kecil menikmati jagung panas yang baru selesai dimasak dan secangkir kopi panas. Lumayan untuk mengisi perut yang masih kosong sama sekali dari pagi.

Akhirnya sampai juga di Danau Triwarna Kelimutu di Minggu pagi ini. Agak terlambat karena sudah pasti acara melihat matahari terbit dari puncak Kelimutu terlewatkan. Tapi mujur juga karena dari penjelasan jaga wana yang kami panggil Roberth ternyata dari jam 3 dini hari sampai jam 6 pagi ini gerimis terus menerus dan baru saja berhenti.

Tiwu Ata Mbupu airnya masih berwarna hitam kecoklatan
Begitu mobil kami memasuki area parkir, kami diserbu rentetan cahaya matahari di sela-sela pepohonan yang muncul dari balik kabut yang mulai menipis. Udara dingin yang telah menyergap kami tadi pagi makin terasa. Tapi keributan baru di area perparkiran membuat kami tak bisa menikmati sinaran cahaya pagi yang cantik itu dalam bingkai kamera, kami terpaksa mengundurkan kendaraan karena sebagian kendaraan yang telah ada dari pagi akan kembali. Bulan-bulan begini memang ramai kunjungan turis dan mereka cenderung berangkat di pagi buta berkejaran untuk mendapatkan momen matahari terbit.
Selesai masalah parkir selesai pula cahaya matahari, kabut kembali menebal tapi masih cukup tinggi tidak menutupi daerah ini.

Tangga menuju puncak Kelimutu
Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, kami mulai menapaki tangga. Di papan penunjuk jelas terbaca arah jalan dan apa saja yang dapat disinggahi di danau Kelimutu ini.

Menurut kepercayaan masyarakat di sekitar danau Kelimutu, arwah/roh akan datang ke Kelimutu jika sudah meninggal dunia. Jiwanya atau MaE akan meninggalkan kampung dan tinggal selama-lamanya. Sebelum masuk ke salah satu danau, para arwah harus menghadap  Ratu Konde yang merupakan penjaga pintu masuk Perekonde. Arwah itu masuk ke dalam salah satu danau yang ada tergantung dari usia dan perbuatannya. Tulisan diukir sebongkah batu marmer itulah yang terbaca jika sudah sampai di puncak Kelimutu.

Sekitar satu kilometer kami menaiki tangga ke atas untuk melihat dua danau yang letaknya saling berdekatan. Danau pertama yang tampak dari bawah adalah dua danau yang menurut masyarakat Kelimutu adalah persemayaman roh-roh orang muda (Tiwu Koo Fai Nua Muri ) dan persemayaman roh-roh orang yang jahat (berilmu hitam) yang biasa disebut suanggi (Tiwu Ata Polo). 

Kali ini "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan makin terasa berdekatan karena mulai menunjukkan warna yang sama. Jika yang "Tiwu Ata Polo" berwarna hijau cenderung toska maka "Tiwu Koo Fai Nua Muri" cenderung berwarna hijau dengan tepian berwarna kuning hijau, warna khas dari belerang. Dan sekarang pemisah antara kedua danau itu makin tipis setelah pernah berulah pada tahun 2009 lalu.

Pohon endemik Turuwara berlatar Tiwu Ata Polo
 Tanaman endemik Kelimutu yang dikenal dengan nama Turuwara (Rhododendron renschianum) yang paling menarik perhatianku. Tanaman ini tampak sebagai sebuah bonsai yang dibentuk oleh alam, berdaun kecil dan tebal dengan buah-buah yang jika matang berwarna hitam dengan rasa manis asam. Tanaman ini juga aku temui di gunung Inerie cuma bentuknya lebih menarik disini. Tanaman Turuwara ini batangnya yang besar tampak hitam berlubang seperti gosong. Rasanya aku ingin mengoleksinya kalau tidak ingat bahwa perbuatanku hanya akan merusak alam.
 
Dan kami melanjutkan menaiki tangga yang makin menanjak, tangga menuju singgasana dewa. Kaki-kaki terasa berat melangkah mencapai separuh jarak dan hawa dingin terasa menggigit tulang. Cuma rasa terbakar panas tubuh karena berjalan ini yang membuat rasa dingin tidak terasakan.
 
Setelah sampai di puncak dimana terdapat tugu barulah kami bisa melihat ketiga danau.
"Tiwu Ata Mbupu" berada sendirian di ujung lain yang terpisah dari keduanya. Sebagai tempat bagi bersemayamnya jiwa-jiwa orang tua dan orang-orang yang bijaksana yang telah meninggal tampak dari warnanya yang hitam tenang dan berjarak dari dua yang lainnya. Untuk bisa melihat ketiganya memang harus menuju ke puncak gunung Kelimutu yang berada tepat di atas Danau orang-orang tua dan bijak ini.

Perjalanan turun kami disambut rombongan monyet yang tampaknya bergembira menikmati kue kering yang kami lemparkan kepada mereka. Selain burung yang menjadi binatang endemik Kelimutu yang bahkan diantaranya tergolong langka, maka beberapa binatang endemik lain juga bisa ditemui disini, salah satu yang mudah ya monyet ekor panjang ini.

Suasan jalan menuju ke lokasi danau Kelimutu
Kembali ke areal parkir kami mampir ke warung-warung kecil. Di areal parkir ini selain terdapat warung-warung kecil yang menjajakan makanan juga penjual kain tenun ikat khas Kelimutu. Jika ingin sekalian melihat bagaimana pembuatan kain ini bisa turun langsung ke kampung setempat di bawah.

Setelah istirahat sejenak untuk minum dan makan, kami memutuskan untuk melakukan tracking ke area arboretum (hutan). Tracking di area yang tidak terlalu luas ini cukup menyenangkan terutama karena jenis-jenis pepohonan telah diberikan papan nama pengenal sehingga kami bisa tahu nama-nama pohon yang ada di Kelimutu. Disekitar jalur tracking terdapat bangku-bangku dari semen untuk istirahat, satu yang kurang aku sukai. Lebih menarik sebenarnya jika bangku-bangku ini dibuat dari batang pohon yang sudah mati.

Tulisan lain yang bisa anda jadikan referensi:
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya