Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label bukit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bukit. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Juni 2018

Camping Mutis: Usapikolen

Matahari terbit di bukit Usapikolen
Usapikolen pagi ini langitnya cerah walau dinginnya serasa menggigiti tulang. Sleeping bag yang aku kenakan sebagai selimut lumayan mengurangi rasa dingin. Tak ada kain hangat, bahkan saat ini pun aku cuma memakai sarung dan kaos oblong. Sambil mulai memasang kamera ke atas tripod sambil berjalan pelan dengan santai mencoba menjelajah pemandangan di sekeliling bukit ini. Masih cukup waktu untuk menunggu matahari terbit. Benar kata Tardi, bukit Upasikolen ternyata bukan cuma tempat yang paling pas untuk menikmati matahari terbenam tetapi juga matahari terbit.

Selalu ada pelangi setelah hujan
Beberapa kuda di bawah bukit makin bergerak menjauh menuruni perbukitan di sebelahnya. Suara ringkikannya mengingatkanku suara yang kudengar tadi malam di samping tenda. Dengusan yang begitu terasa dekat sekali yang membuatku bertanya-tanya apa yang membuat mereka tertarik mendatangi tenda kami. Tak cuma kuda, bahkan aku bisa mendengar bunyi lonceng sapi juga. Padahal kemarin sore mereka justru menjauh saat kami datangi. Aku sempat berpikir lain waktu terdengar dengusan dari luar tenda. Bahkan tanganku sempat meraih salah pisau lipat yang ada di samping tenda untuk berjaga-jaga. Hanya setelah aku yakin mereka cuma kuda dan sapi aku bisa melanjutkan tidurku. Mungkin mereka tertarik dengan bau masakan dari sisa piring-piring yang aku sengaja taruh diluar biar terkena hujan.

Menikmati matahari terbenam di Usapikolen
Dari tempatku berdiri aku bisa melihat jelas dua tenda yang terpasang kemarin sore di salah satu bukit. Satu tenda besar yang kami bertiga tempati: aku, Imam dan Al-Buchori. Dan satu lagi yang ukurannya lebih kecil ditempati sendiri oleh Tardi. Seorang teman yang baru kami kenal siang kemarin saat sedang mengisi BBM di Pom Bensin. Aku tersenyum sendiri membayangkan yang terjadi kemarin sore. Yah, tenda-tenda itu didirikan susah payah dalam kondisi hujan yang kencang. 


Matahari tenggelam di antara air hujan di rerumputan
Belok kanan.. belok kanan.. suara Tardi terdengar samar diantara deru hujan yang makin kencang. Tardi yang dari awal berada di depan kami membelokkan motor matic-nya ke arah perbukitan. Aku dan Imam yang membonceng Al mencoba mengikuti masuk ke arah perbukitan. Tardi sedari pertengahan jalan sudah mengenakan mantel hujan berbeda dengan kita bertiga yang justru tidak membawa peralatan terpenting itu di saat seperti ini. Setelah menghentikan kendaraan di salah satu tanjakan kami mulai berjalan ke arah bukit paling ujung untuk memasang tenda. Sayangnya di bukit kedua yang kita tuju telah dipenuhi dengan kuda dan sapi. Akhirnya kami mengalah memasang tenda di bukit pertama.

Jalan menuju Fatumnasi dari bukit Usapikolen
Jalan menanjak menuju Fatumnasi
Di tengah guyuran hujan yang tidak juga mereda, kami harus segera memasang tenda. Tardi dan Al merentangkan salah satu hammock-ku yang tahan air untuk menjadi pelindung saat aku dan Imam memasang tenda. Air hujan dan kabut yang datang cukup membuat acara memasang tenda jadi lama. Selesai kedua tenda terpasang, kami semua kecuali sudah basah kuyup termasuk tas-tas yang kami bawa. Sialnya baju dan celana ganti yang aku punya ada dibagian bawah yang ikut terkena rembesan air. Rupanya aku salah meletakkan posisi tas yang justru membuat rain cover tas bagian bawah menjadi tampungan air hujan. Yang paling terselamatkan tentu saja si Tardi yang dari awal menaruh semua barangnya ke dalam kantung dry bag.

Dan semalaman aku meringkuk tidur ke dalam tenda dalam kondisi tanpa baju alias bugil.. Widih, beruntunglah perjalanan kali ini isinya cuma mahluk berbatang semua. Coba kalau ada cewek yang ikut, bisa berabe nih urusannya tidur macam begini. Emang asyik kalau jalan gini pake kena acara kehujanan.


Pemandangan bukit Tunua dari Usapikolen
Lupakan acara api unggun yang selalu menyertai kami setiap kali nenda. Bukit Upasikolen ini adalah bukit yang hanya ada rumput tanpa pepohonan jadi tidak ada yang dapat kami jadikan api unggun. Kalau ingin mencari kayu bakar harus turun ke bawah bukit. Lagian dalam kondisi hujan seperti ini siapa juga orang gila yang mau bikin api unggun.

Dan sekarang lihat, pagi ini mereka belum ada yang bangun dari tidurnya. Kurasa mereka terlalu sayang meninggalkan kehangatan sleeping bag demi melihat sinar matahari pagi. Apalagi satu mahluk bernama Imam yang lebih mirip kelelawar, betah melek sampai pagi tapi justru tidur lelap saat pagi..

Kenapa kok kami di Usapikolen? Tardi lah yang membuat ide ini. Menurutnya, dari pekerjaannya yang lama berada di Fatumnasi. Usapikolen adalah satu satu tempat keren buat menikmati matahari tenggelam dan matahari terbit. Dari dulu dia ingin sekali nenda di sana tapi belum kesampean, jasi sekaranglah kesempatannya. Karena aku sendiri tidak paham dengan Fatumnasi (baru pertama nih) ya akhirnya pilih ngikut saja dengan pilihannya.



Buat yang belum tahu, Usapikolen ini adalah kawasan perbukitan yang letaknya sebelum masuk ke Fatumnasi. Usapikolen ini karena konturnya yang berada di perbukitan yang cukup tinggi dari sekitarnya jadi memang pemandangannya cukup lega. Jika naik ke salah satu bukit yang berada di bukit yang berada di sebelah kanan jalan, kalian bisa melihat sebuah bekas bukit yang warnanya putih rata di bagian atas. Itu adalah bukit Marmer Tunua yang dulu pernah menjadi lokasi pertambangan marmer. Itulah tempatku bermalam besok.
Jadi kalau nanti kalian ke Fatumnasi, bolehlah mampir sebentar ke
Usapikolen sebelum masuk Fatumnasi. Syukur-syukur kalau mau nenda disini.

Teman jalan ke Fatumnasi kali ini: Imam 'Boncel'; Al-Buchori; dan Tardi Sarwan
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 April 2018

Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas


Pemandangan dari Puncak Fatuberoun

Wiii... wwiiii... celetukan Al disepanjang jalan naik ke arah bukit terdengar sama kerasnya dengan bunyi motor yang menggerung keras. Jalan dari tanah liat ini sebagian terbelah membentuk rengkahan panjang seperti parit yang dalam menyisakan sepotong jalan tak lebih lebar dari setengah meter. Rengkahan ini sepertinya terbentuk oleh aliran air ini hujan keras beberapa minggu lalu. Jalan menanjak dengan kondisi itu, karuan saja membuat Al sukses tegang merasakan kengerian jika motorku sampai terperosok ke dalam rengkahan itu. Untungnya jalanan dari tanah liat yang sedang kering bukan pasir atau bebatuan yang pasti akan lebih susah.

Jalan yang Bukan Rekomendasi Mbah Gugel
Selepas menuruni sungai tadi kami memang diarahkan sama pemilik warung untuk belok ke kanan. Saat ini kami memang mengandalkan informasi penduduk yang kami temui karena mbah Gugel sudah gak sepakat, jadi kami putus sementara. Iya lah putus wong sinyal udah megap-megap gak jelas. Bisa dibilang jalan ini sedikit nekad karena kami anggap arahnya menuju arah balik ke Kupang jadi sayang kalau dilewatkan.

Pemandangan Fatubraun
Jalan yang kami lewati jelas tak ada dalam jalur yang direkomendasikan Google Maps karena jalur dari pantai Teres langsung naik ke atas bukit sudah lama dihapuskan dari petunjuk jalan. Jalur ini jelas susah untuk dilewati saat hujan. Itulah kenapa aku menyebutnya "kami beruntung", karena jika tidak ada jalur ini mungkin Fatubraun sudah aku coret dari daftar. Google Maps saja menawarkan jalur dari Teres ke Fatubraun memutar balik dengan jarak dua kali lebih jauh dari jalur yang sekarang aku lewati.

Kami sempat berhenti sebentar di salah satu bukit untuk sekedar melepas rasa pegal di tangan. Berjibaku melewati jalan seperti ini memang bikin tangan cepat kram. Untungnya jarak ke bukit Fatubraun tidak jauh lagi. Untungnya bulan-bulan ini rerumputan dan pepohonan masih hijau dapat kami gunakan untuk berteduh. Gak terbayang panasnya jika kami datang saat bulan Oktober atau November.

Pemandangan dari puncak pertama Fatuberoun
Mungkin karena hari Minggu, sampai di lokasi tempat kita parkir motor hanya tampak dua motor saja. Suasana tempat parkir bisa dibilang adem karena dipenuhi pepohonan. Aku berempat bareng Imam, Trysu dan Al naik mengikuti jalur jalan yang ditandai dengan batang kayu yang diikat antar pepohonan yang juga berfungsi sebagai pegangan. Sekitar sepuluh menit kami sampai di puncak pertama. Pemandangan dari tempat ini adalah view pantai Buraen ke arah Timur. Seandainya saja aku di tempat ini saat pagi hari tentu akan mendapatkan pemandangan pagi yang keren sekali. Ada beberapa titik yang punya spot view menarik, semuanya ke arah matahari terbit.

Dari titik spot pertama ke puncak Fatuleu tak lebih dari sepuluh menit. Jika disepanjang jalan kondisinya jalan tanah, maka beberapa meter menuju puncak barulah benar-benar memanjat dinding batu. Tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu sulit.

Yang pasti pemandangan dari Puncak ini jauh lebih lapang. Jika di titik spot pertama yang tampak adalah pantai Selatan ke arah Timur maka di puncak bukit bisa puas memandang Laut Selatan yang membentang dari Timur ke Barat. Tapi di Puncak ini tidak bisa dinaiki banyak orang karena memang tidak terlalu luas.

"Mas Beki, ikutan difoto dong biar ada buktinya".. Bah kalimat itu memang paling sering keluar dari mulutnya Imam. Padahal dari dulu aku memang males kalau ikut masuk frame, cukuplah aku yang memotret orang. Biar mulutnya mereka gak bawel bolehlah sekali-kali masuk frame biar bisa dianggap eksis. Terpaksalah aku harus memasang kamera di tripod yang sudah rapi-rapi aku packing. Huaassuuu, nih anak sekarang demen nongol di kamera. Untungnya pemandangan dari Puncak apik jadi muka-muka kita gak terlalu jadi gangguan.

Fatubraun VS Fatuleu
Pemandangan dari spot pertama Fatuberoun
Fatubraun, bukit batu karang itu sukses kemasukkan ke dalam daftar wishlist-ku. Beberapa orang yang pernah kesana cenderung membandingkan antara bukit Fatubraun dengan bukit Fatuleu. Keberadaan Fatubraun memang mulai dikenal setelah Fatuleu mulai diakrabi traveller. Menawarkan pemandangan serupa: bukit terjal dari batuan karang. Lalu apa perbedaan antara Fatuleu dan Fatubraun?
  1. Fatuleu berada di ketinggian, dari titik masuknya saja memiliki ketinggian 800 mdpl. Bandingkan dengan Fatubraun yang pada tinggi puncaknya saja tidak sampai 400 mdpl. Itulah kenapa saat pagi atau sore Fatuleu kadang masih sering diselimuti kabut.
  2. Walau dari puncak sama-sama dapat melihat laut, Fatuleu hanya bisa melihat laut sisi Barat. Jadi di atas puncak Fatuleu, di sisi barat yang kita lihat adalah pemandangan teluk Kupang. Sedangkan Fatubraun bisa melihat laut dari sisi Timur. Karena memang berada di dekat pantai Selatan Kupang, kita lebih mudah melihat pantai Selatan yang memanjang dari timur ke barat.
  3. Tingkat pendakian jelas lebih sulit di di Fatuleu dibanding Fatubraun. Walaupun jalan masuk ke Fatuleu telah dibangun tangga namun tetap waktu tempuh sampai ke puncak rata-rata satu setengah jam. Jika fisiknya anak-anak muda yang biasa naik paling cepat juga sekitar satu jam. Bandingkan dengan Fatubraun yang bisa ditempuh santai tak lebih dari setengah jam dari kami memarkir motor.
  4. Jalur jalan naik ke Fatubraun lebih didominasi tanah berbeda dengan Fatuleu yang kondisinya penuh bebatuan walaupun di dalam hutan sekalipun. Karena hal itu, di bagian atas Fatubraun masih banyak lokasi yang rata dengan pepohonan yang rindang. Jadi bisa digunakan untuk berkemah. Lain dengan Fatuleu, nyaris tidak ada satupun tempat yang rata jadi tidak mungkin membangun tenda di atas gunung Fatuleu. Bahkan menemukan tempat yang bisa menyelonjorkan kaki adalah keberuntungan di Fatuleu.
Apa Yang Dilakukan Disana?
Ngeksis di Puncak Fatuberoun
Dengan beberapa kondisi yang aku jelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan di bukit Fatubraun:
  1. Kemping di atas bukit. Di dekat parkiran adalah salah satu tempat yang enak buat kemping, selain suasananya yang rindang, banyaknya pepohonan juga membuat kita lebih aman pada saat hujan plus pohon-pohon besar untuk memasang hammock. Tapi aku sendiri lebih memilih spot puncak pertama karena selain memiliki tempat yang landai juga adanya area yang lapang. Tempat strategis untuk menikmati indahnya bintang saat malam.
  2. Spot untuk melihat matahari terbit. Karena di puncak pertama adalah dinding tebing tegak lurus menghadap ke Timur maka jika spot matahari terbit dari tempat ini adalah salat satu yang sayang jika terlewatkan. Dan satu lagi, matahari terbit itu tidak muncul dari bukit tapi dari ufuk pantai.
  3. Spot untuk melihat galaksi Milkyway. Seperti kubilang, dengan adanya puncak yang landai dan terbuka menghadap ke Timur dan Selatan tentu penampakan galaksi Milyway akan lebih mudah terlihat. Tanpa polusi cahaya, kondisi langit yang cenderung lebih cerah dan kecil kemungkinan ada gangguan kabut.. apa lagi yang kurang untuk melengkapi daftar agar galaksi Milkyway bisa tertangkap indah di kamera?
 

Temen-temen gokil yang jalan kali ini:
  1. Boncel "Imam Arif Wicaksono": facebook; instagram
  2. Trisu "Lae Sianipar": facebook; instagram
  3. Al "Al-Buchori": facebook; instagram kesian dia gak punye...
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 10 April 2017

Bunker Jepang di Bukit Cinta

Awan gelap menjadi pemandangan yang biasa kami temui tiap sore di langit Kupang beberapa hari ini. Secerah apapun langit pagi, akan berbeda saat sore beranjak. Mendung entah dari mana akan memucatkan langit yang semula cerah. Duduk di atas salah satu bunker, pemandangan rerumputan hijau tampak sejauh mata memandang. Oh tidak, bukan cuma rerumputan dan pepohonan hijau saja ternyata. Di kejauhan banyak banyak noktah-noktah kecil yang sedang bercengkerama. Mereka pasangan-pasangan yang menjadikan tempat ini untuk memadu kasih. Mungkin dari mereka-lah asal nama Bukit Cinta disematkan untuk tempat ini.

Menikmati Sunset di Bukit Cinta
Kalau sekarang noktah-noktah itu bukan lagi adalah pasangan-pasangan penuh cinta. Kini adalah noktah lainnya yang mengisi kehijauan sabana. Mereka adalah rombongan-rombongan yang sekedar ingin mengabadikan keindahan lewat jepretan atau setidaknya narsis di tempat ini. Jaman kamera resolusi tinggi menjadi barang yang jamak ada di banyak perangkat telah menciptakan budaya baru. Merekam gambar dimanapun berada, entah gambar pemandangan lokasi atau foto diri sendiri. Sekarang semua tempat yang dianggap hit menjadi serbuan semenjak media sosial telah menjadi barang biasa. Dan bukit cinta di Penfui menjadi salah satu lokasi favorit untuk dibadikan.

Sambil minum kopi panas yang aku bawa dalam termos kecil, aku, Imam dan pak Sulih duduk di salah satu bunker menikmati langit senja yang masih pucat. Sekarang tempat ini tak sesepi dulu. Tiap sudut kamu akan temui orang-orang yang duduk sekedar saling bercerita sambil menunggu matahari tenggelam atau sekedar narsis untuk dibagikan di medsos. Di depan kami ada tiga cewek satu cowok yang dari tadi tidak lepas dari smartphone yang dijepretkan.

Memang pada bulan-bulan hujan sampai dengan nanti pertengahan tahun, penampakan bukit ini sedap dipandang dengan view padang rumput yang menghijau. Penampakan rerumputan yang meninggi menutupi kondisi tanah perbukitan yang sebenarnya lebih didominasi batuan karang yang telah menghitam. Cobalah datang pada selepas tengah tahun sekitar bukan September sampai nanti musim penghujan, makan bukit ini akan tampak tak ubahnya sebuah padang batu karang yang semuanya tampak menghitam terutama saat dilihat dari atas pesawat.

Tapi saat rerumputan menghijau seperti sekarang, perbukitan ini berubah menjadi padang sabana yang cantik. Rerumputan rebah mengikuti arah angin, satu dua pepohonan menghijau. Dan lebih istimewa lagi, bukit ini juga bisa untuk menikmati matahari tenggelam. Terutama jika matahari tenggelam dari pantai sudah membuatmu bosan. Dari puncak bukit, laut tampak jelas sehingga matahari kekuningan yang tenggelam di horison laut sisi barat Kupang dapat jelas terlihat.

Bunker Peninggalan Jepang
Masyarakat sekitar awalnya menyebutkan kalau lokasi ini ada gua Jepang. Berawal dari cerita itu aku mencoba mencari tahu keberadaan gua-gua Jepang yang katanya banyak tersebar banyak juga di dalam lokasi bandara El-Tari Kupang. Tapi justru yang aku banyak lihat mereka bukan berupa lubang gua yang tembus di antara perbukitan melainkan bangunan-bangunan persegi. Sebagian besar bangunan tertanam  dalam tanah, hanya ada sedikit tonjolan setinggi lutut.

Apakah bangunan-bangunan ini terhubung satu sama lain sebagaimana gua-gua Jepang itu? Aku tidak yakin tapi dari satu dua gua Jepang yang pernah aku masuki, bangunan itu hanya bangunan persegi dengan jalan masuk kecil dan beberapa jendela kecil. Jadi menurutku, bangunan ini lebih pas disebut bunker Jepang. Ya bunker, sebatas tempat yang digunakan sebagai tempat persembunyian saja. Selanjutnya aku akan menyebut bangunan ini dengan nama bunker bukan gua sebagaimana masyarakat sekitar menyebutnya.


Bunker peninggalan Jepang ini ukurannya bermacam-macam dari yang terkecil seukuran kurang lebih enam meter persegi sampai ada yang berukuran besar sekitar lima belas meter persegi. Bunker ini rata-rata memiliki ketebalan antara dua puluh sampai tiga puluh centimeter. Ada jalan masuk yang rata-rata ukurannya kecil yang untuk masuk harus menundukkan badan karena tidak lebih dari satu setengah meter. Bahkan ada beberapa pintu yang lebih kecil dari itu. entah memang ukurannya yang memang sekecil itu ataukah karena tertimbun lama. Bunker-bunker ini memang sudah tidak terawat lagi, untungnya dengan konstruksinya yang kokoh membuat bunker-bunker sebagian besar tetap utuh.

Jadi jangan berharap akan menemukan gua Jepang sebagaimana gua Jepang di Jawa sebagaimana yang pernah aku lihat di perbukitan sekitar pantai Pangandaran dan di Taman Hutan Raya Juanda di Bandung. Gua-gua di sana biasanya dibentuk dengan membuat lubang-lubang kecil yang seukuran tubuh orang Jepang disekitar bukit. Gua-gua ini terhubung satu sama lain sehingga selain bisa untuk tempat persembunyian juga bisa digunakan untuk tempat melarikan diri.

Di salah satu bukit ada bangunan segi delapan. Agak sulit menemukannya, selain karena terletak di atas bukit, bangunan ini juga bentuk rata tanpa tonjolan. Bangunan ini berbeda dengan bunker lainnya di sekitarnya. Karena tidak ada lubang sama sekali, mungkin sekali ini bangunan ini dulunya digunakan sebagai landasan untuk menempatkan meriam mereka.

Yang disayangkan tentu saja sampah yang rata-rata tampak berserakan di sekitar bunker. Ini pasti ulang pengunjung yang datang bawa makanan dan malas membawa kembali sisa sampah mereka. Namun yang mengagetkan, aku pernah melihat di pintu masuk bunker bukan menemukan sampah plastik atau kertas tapi celana dalam dan beha. Serius? Dua rius malah. Denger-denger tempat ini dulu pernah dilarang dikunjungi malam hari karena disinyalir menjadi tempat untuk melakukan perbuatan mesum. Bunker-bunker ini memang lokasi yang cukup tersembunyi dari pandangan.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 06 Oktober 2016

Dieng: Mengitari Telaga Warna

Telaga Warna Dieng
Siapa yang tidak betah berlama-lama di telaga Warna?
Sepiring jamur goreng dan kentang goreng yang baru selesai ditiriskan menerbitkan air liurku. Tak butuh waktu lama bagiku menyelesaikan kedua makanan itu. Harga seporsi hanya lima ribu rupiah untuk sepiring jamur sangat murah menurutku. Apalagi jamur-jamur masih segar sebagaimana kentang gorengnya. Sayang tak ada 'Purwaceng' yang begitu identik dengan bumi Dieng. Tapi kopi panas mampu menggantikan 'Purwaceng' menikmati pemandangan telaga yang keren tiada duanya. Aku mereguk kopi pelan-pelan sambil membiarkan seluruh panca inderaku menangkap kesan seluruh lanskap tanah ini.

Beberapa orang berlalu lalang tapi tak terlalu ramai, itulah untungnya mengunjungi tempat-tempat wisata yang sudah sangat terkenal di saat bukan hari libur. Ibu penjual yang masih mudah itu sendiri bertutur jika hari-hari seperti ini sepi bahkan rumah makan dan penjaja makanan juga tidak banyak. Berbeda pada hari libur, telaga warna ini sangat penuh dengan wisatawan.Untung ibu muda yang aku lupa menanyakan namanya masih berjualan di hari seperti ini, sehingga aku bisa menikmati jamur goreng yang nikmat.

Telaga Warna dan Telaga Pengilon

Jembatan kayu di telaga Warna Dieng
Telaga Warna dalam kesunyian pagi
Negeri di atas awan ini menyimpan sejuta pesona dan lokasi-lokasi yang tak habis dieksplorasi sehari dan Telaga Warna ini salah satunya. Telaga warna telah menjadi bagian tak terpisahkan dari legenda yang melingkupi Dieng itu sendiri berdiri.
Jika kamu menyempatkan ke telaga warna, cobalah untuk mengitarinya. Jangan hanya mencari spot mojok seperti yang aku lihat dari pasangan-pasangan yang datang. Yang mojok pasti tidak penting lokasinya tapi kita berduanya, halah. Ciee.. ciee.. ada yang ngiri cuma jalan sendiri #keplakkepalapakesendal.


View salah satu sudut telaga Warna
Batas akhir jalan di telaga Warna
Anyway by the way, pengalaman aku selama ini orang Indonesia itu lebih suka milihnya trek yang gampang. Kayak dulu pas di pulau Komodo, gak ada orang Indonesia yang ngambil trek adventure cuma para bule yang mau ambil trek adventure. Sebagian besar ambil short trek termasuk aku #kelakuansama... ampuunn kaka, itu karena aku bareng my big bos yang agak bulat di depan jadi kalo ambil medium trek nanti ujung-ujungnya aku yang disuruh gendong hihihihi #jurusberkelit.

Kalau dari pintu masuk, sebagian besar langsung ke kanan ke arah bangunan terbuka atau sekalian lanjut ke batu pandang. Aku yang sendiri dan gak punya guide awalnya juga bingung tapi karena niatnya mau keliling jadi pilih belok kiri. Biasalah, biar dikira anti mainstream. Ternyata setelah seratusan meter jalan beton ke kiri abis dan berganti jalan tanah. Tidak ada yang lewat karena ada tumpukan tanah merah menutupi jalan, sepertinya longsoran baru.

Taman bunga di telaga Warna Dieng
Taman bunga di telaga Warna
Padahal jika mau melewati longsoran dan masuk ke jalan kecil nanti bakal ketemu sebuah bangunan kecil dan ada jembatan kayu kecil beberapa meter ke tengah danau. View dari lokasi ini tidak kalah ikonik dibandingkan melihat dari batu pandang. Aku beruntung karena cuma sendiri di jembatan kayu, jadi bisa agak lama bersantai. Apalagi saat ini cuaca jauh lebih cerah dibanding kemarin. Hawa dingin sudah jauh berkurang, cuaca juga jauh lebih terang dibanding kemarin yang hampir dipenuhi kabut dan hujan seharian. Warna hijau telaga warna memang sepertinya berasal dari belerang, aku masih bisa sama mencium bau belerang diairnya. Dalam kondisi seperti ini, telaga warna juara banget. Telaga hijau terang yang airnya tenang, duduk sendirian di jembatan kayu dengan angin sepoi-sepoi.. yang kurang cuma kopi.. hah!! Kopi mana kopiii!!!  sialan, suasana begini tanpa kopi memang rasanya kurang.

Waktu menyusuri jalan kecil sempat bertemu salah seorang penduduk naik motor bebek dengan kaki bersepatu bot, mungkin dari kebun. Waktu aku bertanya arah malah menawariku mampir ke desanya. Rupanya desanya masuk desa wisata, aku lupa namanya. Udah aku ubek-ubek semua koleksi foto gak nemu satupun foto papan petunjuk padahal aku inget banget waktu itu sempat memfotonya. Ah, sudahlah. 

View telaga Pengilon Dieng
View salah satu sudut telaga Pengilon, Dieng
Memutari telaga Warna ternyata juga harus memutari telaga Pengilon. Telaga yang warnanya berbeda dengan telaga Warna ini memang terpisah namun tidak benar-benar terputus ada sedikit bagian yang masih sedikit terhubung walaupun lebih banyak ditumbuhi rumput tinggi, namun tetap tidak bisa dilewati. Ada sisa jembatan yang dulu pernah dibangun tapi sekarang sudah rusak. Itu juga mungkin salah satu alasan kebun bunga kelihatannya sepi, mungkin karena jarak yang harus ditempuh jadi jauh tanpa jembatan itu.

Berbeda dengan telaga Warna yang berwarna hijau kadang tosca (tergantung terang dan posisi cahaya matahari), telaga Pengilon ini warnanya cenderung pucat gelap. Tanahnya yang lebih terasa berlumpur sempat sukses membenamkan salah satu kakiku ke dalamnya. Warna gelap inilah yang jika airnya sedang tenang dengan mudah akan menciptakan bayangan layaknya kaca.

Bukit Sidengkeng 
Penampakang telaga Warna dan telaga Pengilon dari bukit Batu Pandang
Nama itu yang tertera di papan petunjuk, tapi akan lebih dikenal dengan nama kerennya bukit Batu Pandang dan Batu Ratapan Angin. Dari atas bukit ini memang tempat yang paling pas untuk melihat jelas kedua telaga.
Ternyata untuk naik ke bukit Sidengkeng harus membayar karcis retribusi lagi. Rupanya lokasi bukit ini dikelola sendiri oleh desa (BUM Desa), berbeda dengan retribusi di pintu masuk telaga Warna yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Seingatku tiket masuknya 20ribu. Untung waktu itu masih cukup sepi sehingga aku bisa berlama-lama di tempat itu.

Ada satu batu menonjol dan sebuah bangunan berdiri untuk melihat kedua telaga. Aku membayangkan jika sedang ramai tentu akan sulit untuk berlama-lama di sini kecuali kamu mau dipelototi sama pengunjung lain. Ya, risiko lokasi pandang yang terbatas.
Di bagian samping ada jembatan merah putih yang biasanya jadi lokasi favorit uji nyali karena kayunya tidak rapat dan hanya terikat pada tali. Sayang aku sendiri tidak mencoba kesana, sayang sih udah keluar duit cuma nongkrong di batu pandang doang. Katanya sih hari begini gak ada yang jaga jadi belum bisa dipakai.

Gua-gua Tempat Persemedian
Jalan menuju ke gua-gua semedi
Nah ternyata di bagian tengah daratan pemisah antara telaga Warna dan telaga Pengilon itulah terdapat beberapa gua yang dulu katanya sering digunakan untuk bersemedi. Ada tiga gua di sana: gua Jaran, gua Semar dan gua Sumur. Gua-gua ini menyimpan cerita mistis sendiri-sendiri.
Yang pertama gua Jaran (kuda), yang katanya menjadi tempat pertapaan Resi Kendalisodo. Di sini ada legenda yang menceritakan bahwa pada suatu hari saat hujan sangat deras ada seekor kuda yang kebingungan mencari tempat berteduh. Dia berlari kesana kemari sampai akhirnya menemukan lubang besar lalu masuk ke dalamnya, Anehnya saat keluar keesokan harinya sudah dalam keadaan bunting. Dari legenda itu sekarang ada sebagian orang percaya bahwa gua ini bisa membantu wanita yang ingin mempunyai keturunan dengan cara bersemedi di tempat ini. Entah kalau yang bersemedi laki-laki, mungkin jadi bunting juga. #dikeplakpenjagadanau

Kalau gua Sumur ini di dalamnya ada kolam kecil yang airnya sangat jernih dan dingin. Air ini dikenal dengan nama Tirta Prawitasari. Air ini sering dimanfaatkan umat Hindu dari pulau Bali untuk upacara Muspe atau Mabakti. Gua ini yang punya kaitan erat dengan keberadaan telaga Warna dan telaga Pengilon. Suasana di tempat yang dipenuhi rerimbunan pepohonan ini terasa mistis. Andai saja ada kabut tipis turun, pasti tempat ini akan terasa lebih mistis.

Sayang aku tidak bisa masuk ke dalam karena pintu masuknya masih digembok. Nah ini ruginya saat datang di waktu sepi seperti ini. Di satu sisi memang jadi bebas menikmati tanpa melihat hiruk pikuk orang berlalu lalang, jeleknya kadang-kadang penjaga lokasi juga enggan datang. Mungkin juga gajinya kurang.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 28 Desember 2015

Akhirnya Sampai ke Lembata

Anak-anak belajar menjaring ikan-ikan kecil di kampung nelayan Kuburan Cina
Akhirnya aku sampai ke Lembata... yieeeee.... Aku sudah dari tahun 1999 pindah ke bumi Nusa Tenggara Timur. Itu tiap jengkalnya udah aku tanami biji buah-buahan (kalo sempet) tapi paling tidak aku udah meninggalkan jejak (biasa lah urusan belakang pohon). Kamu boleh tanya semua tempat di Nusa Tenggara Timur ini, pasti aku bakal bisa jawab.. yah minimal jawabanku: tidak tahu hehehehe. Padahal dari kota kabupaten yang sudah ada swalayan besar sampai kota kabupaten tapi gak tau dimana itu kotanya sudah aku injak lho, cuma mukamu saja yang belum aku injak-injak.

Rumah di pinggir pantai kampung nelayan
Parahnya dari semua kabupaten yang aku datangi, ada satu kabupaten yang entah kenapa aku gak pernah ke sana sama sekali. Entah karena kena sumpah (serapah) atau emang yang kasih tugas sirik kok ya bisa-bisanya aku selalu terlewat kalau urusan kerjanya berhubungan dengan satu kabupaten ini. Betewe dulu pernah males sampai bilang: "Pokoknya gak mau ke Lembata kalau belum ada pesawat". Itu kalimat emang jamannya Lembata belum ada pesawat. Jadi kalau ke sana naik pesawat kecil Cassa ke Larantuka (Flores Timur). Itu pesawat yang tempat duduknya udah sekualitas angkot rombeng lengkap dengan suara baling-baling yang tidak berhasil diredam sehingga setiap naik pesawat telinga rasanya berdenging-denging terus. Jangan pernah naik pesawat ini kalau sedang pilek, itu kepalamu yang udah pusing rasanya jadi pengen meledak aja. Ditanggung abis naik pesawat ini pilekmu bakalan naik tingkat 3 level. Sampai Larantuka baru sambung naik kapal ke Lembata. Bayangin kerennya, abis kepala nyaris meledak gara-gara bising pesawat, belum reda langsung disusul ayunan gelombang selat Flores yang kalau sedang galau suka keluarin arus berputar yang bikin kapal ikutan mabok. Dan memang sumpah itu mujarab, bahkan surat tugas yang udah ditangan aja bisa-bisa tiba-tiba batal. Bukan karena aku deket trus nepotisme sama kepala kantor ya.. sorry gak lepel nepotisme gituan... tapi karena penerbangan dibatalkan. So, bahkan setelah Lembata buka bandara pun ternyata gak pernah aku kebagian tugas ke Kabupaten yang terkenal dengan rumah para pemburu ikan paus.
Jadi dari aku ngebet pengen liat para pemburu ikan paus sampai sumpah balik gak mau lihat atraksi perburuan ikan paus, tetep aja gak ada tiket gratis ke Lembata.

Tapi akhirnya Tuhan berbaik hati juga, kasihan juga ngeliat aku termenung sendiri, galau, sedih, bimbang, dan terpingkal-pingkal gara-gara gak ke Lembata akhirnya aku dikasih tugas ke Lembata. Kenapa gak cari tiket sendiri ke sana? Wah, kalau bisa gratis kenapa harus bayar kan. Sudah terlalu banyak yang harus kita bayar di dunia ini, jadi kalau ada yang gratis janganlah engkau sia-siakan sahabatku yang super #mariogalau. Yah walau cuma tiga hari, setidaknya tiga hari sudah cukup untuk mengakui bahwa Lembata sudah aku injak. Cuma mukamu saja yang belum aku injak-injak.

Tapi jangan tanya, gimana rasanya melihat perburuan ikan paus? Itu sungguh konyol, aku itu kesini bukan mau melihat ikan paus diburu terus jadi tontonan penuh decak kagum wal histeris. Perburuan ikan paus atau ikan lumba-lumba atau ikan apalah di Lembata sudah aku hapus dari daftar hal-hal yang ingin aku lihat di sana. Ada alasan yang aku gak ingin bagi disini walaupun sebagian kalian pasti bisa menebaknya. Curiga yang baca ada yang profesi tukang ramal.

Bukit Cinta
Entah siapa yang memberi nama semesum itu. Aku bahkan berpikir jangan-jangan di sana aku akan menemukan celana dalam atau beha yang tertinggal di semak-semak begitu. Tapi tidak, bukit cinta ternyata bukanlah bukit orang bercinta atau bukit yang jika melihatnya orang jadi pengen bercinta.. bukan... bukan begitu sayang. Jadi ceritanya, bukit cinta itu berasal dari legenda. Legenda itu.. ah sudahlah aku ceritakan saja nanti kalau udah dikasih bocoran.
Suasana senja di bukit Cinta
Tapi memang suasana di Bukit Cinta ini asyik lah, seasyik kalau bukit-bukit ini tidak dibakar sehingga tinggal menyisakan warna hitam. Dari bukit ini kita bisa menyaksikan 'indahnya' matahari terbenam. Sebenarnya mengatakan indahnya matahari terbenam itu kayak orang agak galau ya. Apalagi kalau disebelahmu ada orang yang kalau ditanya itu jawabnya: biasa aja.. Bayangin saat kita melihat rerumputan yang coklat tertiup angin menurun dari perbukitan dan menimbulkan suara khas rumput-rumput yang tertiup. Kita duduk santai melihat warna-warna rumput memudar oleh matahari yang berangsur-angsur tenggelam di ufuk barat. Trus kita sampai bayangin bawa kopi panas, ubi goreng hangat dan sebuah gitar yang mendentingkan alunan nada lagu-lagu romantis. Tapi buyar seketika saat temen sebelah kita bilang kalau pemandangannya: biasa aja. Tiba-tiba saja aku bayangin ada tutup panci dua biji di tangan.
Bukit cinta bahasa kerennya bukit padang savana, letaknya ini persis berhadapan dengan pulau Adonara. Kalo padang savana biasanya paling keren itu setelah musim hujan masuk jadi mulai Januari. Kalau pas bulan aku datang begini ya gitu deh, padangnya lebih banyak sudah dibakar warga. Jadi bukit-bukitnya yang separo masih ada yang warna coklat, sebagiannya udah item kebakar.
Bukit cinta lengkap dengan penampakannya
Sudah mulai bangun beberapa lopo untuk bersantai dari Pemda dengan jalan setapak yang menyusur terus ke bawah ke arah pantai. Lagi-lagi aku sayangin karena bangunan yang dibuat justru tidak menambah cantik tempat ini. Entah kenapa, jarang aku menemukan bangunan tempat wisata yang dibangun oleh pemerintah di NTT ini yang bikin tempat jadi makin bagus.  
Juga lagi dibangun satu penanda di dekat pintu masuk yang belum selesai juga tertulis huruf kapital L O V E. Nah lho, ini namanya bukit Cinta atau bukit Love??? Wah gak jelas banget nih. Ini mungkin maunya biar kelihatan keren ya namanya tempat ya tulis aja namanya aja gak usah pakai ke-ingrisingris-an gitu. You underrock man!!
Saran terbaik kalau kalian ke tempat ini ambil waktu sore di bulan-bulan yang rumputnya lagi subur atau pas rumputnya lagi menguning. Berarti waktu yang tepat antara bulan Januari sampai dengan pertengahan Agustus, itu juga kalau warga lagi gak kumat bakar-bakar padangnya lho ya. Ada satu lagi, dalam perjalanan ke bukit cinta itu ada beberapa spot pantai yang layak dikunjungi juga kalau gak salah namanya pantai Waijarang.
Aku gak sempet eksplore tempat ini, hal biasanya aku lakuin kalau ke tempat yang baru. Padahal dari bukit cinta tampak dua bukit kecil di bagian bawah yang berbatasan dengan laut dan keliatannya menarik buat dieksplore.
Maklum karena kesini gak sendirian alias bareng cewe-cewe berapa biji gitu lupa gak ngitung lagi. Jagain anak orang gini nih yang bikin orang, kalau hilang terus orang tuanya minta tanggung jawab gimana coba? Kalau cuma jawab doang asal gak tanggung sih bisa. 

Kampung Nelayan Kuburan Cina
Lokasi ini awalnya informasi dari temen yang sebelumnya udah kesini. Awalnya dari hotel yang kami tempati jika melihat ke belakang hotel tampak sebuah pulau pasir putih. Kata temen yang pernah ke sana, pulau itu cuma muncul saat surut aja.
Penasaran aja sama yang suka muncul hilang gitu, mirip-mirip kayak hantu. Gak jauh dari hotel sih lokasinya jadi aku sama temen-temen sengaja agak sore-an biar matahari gak terlalu panas. Bulan November ini memang di NTT memang lagi gila-gilanya panas. Kayaknya matahari memang kayaknya lagi dideketin sama yang Diatas beberapa centi. Mau tabis surya dari SPF10 sampai SPG juga gak mempan buat halangin panasnya. Makanya kalau jalan bareng gini enaknya sore karena.. apalagi kalau bukan karena cewe-cewe yang umumnya phobia sama matahari.

Nah, buat ke pulau pasir putih yang nongol itu kita harus naik perahu dari kampung Kuburan Cina. Gak tau sih namanya yang bener, tapi anak-anak yang aku tanyain bilangnya begitu. Kampung Kuburan Cina ini merupakan perkampungan nelayan, asalnya mereka sih macem-macem, ada yang dari Bugis, dari kampung Adonara, sebagian juga masyarakat Lamalera sendiri. 
Asik melihat anak-anak belajar menjaring
Trus kenapa aku gak nulis tentang pulau pasir itu justru nulis kampung ini. Ya karena akhirnya aku batal ke pulau pasir itu. Udah dapat perahu sih, cuma gak bisa langsung jalan karena masih menunggu dua mahluk kucel lain yang udah janjian tapi gak nongol-nongol batang hidungnya. Karena nungguin itu aku milih turun ke pantai karena ngeliat suasana kampung yang lagi rame anak-anak, alamat banyak spot foto. Pas mereka berdua datang eh langit lagi di puncak warna yang bagusnya. Karena perhitunganku gak mungkin aku ngejar pemandangan senja di pulau pasir itu akhirnya aku milih tinggal di kampung Kuburan Cina ini. Sayang juga sih, cuma aku juga ngerasa sayang kalau hanya buat sekedar pernah mampir. Mungkin lain kali aku kalau kesini punya waktu khusus buat jelajah ke pulau pasir itu.
Tempatnya sih jorok, banyak sampah seperti biasa dengan warna pasir hitam. Tapi suasana kampung dan perilaku anak-anak yang sedang mencari ikan yang terjebak di darat asik buat diperhatikan.
Sempat diajari sama bapak-bapak dan anaknya cara mencari kerang. Ternyata kerang itu gak langsung keliatan ya, harus dikorek-korek dulu. Lumayan hasil belajar dapat sekitar lima biji kerang. Bapak itu bilang kalau yang di pulau depan itu yang banyak kerangnya. Ah satu alasan lagi ke pulau itu, buat cari kerang. Berarti kalau kesini lagi musti bawa kompor biar bisa langsung masak kerang.
Dari senja mulai gelap, dari kejauhan aku bisa melihat temen-temenku baru sampai ke pulau pasir. Ah benar saja dugaanku, waktunya gak cukup untuk dapat menikmati sunset dari pulau itu.
Pas coba nunggu mereka balik di situ mulai gak enaknya. Ternyata air yang naik kental sekali bau solar, padahal waktu surut aku gak mencium bau solar seperti ini.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Oktober 2015

Perjalanan 'Tak Ada Kesalahan' ke Koalat

Air terjun Maidang
Air terjun Koalat, meski musim kemarau namun debitnya masih kencang (tingkat terbawah)
Debit air memang jauh berkurang, namun air terjun yang dihasilkan masih cukup deras menurutku. Menurut pak Aril (bukan Ariel Peterpan lho, karena kalo disebutkan namanya yang terbayang kok muka Luna Maya sama Cut Tari), jia musim hujan maka air yang mengalir akan berkali-kali lipat lebih deras daripada saat ini. Dia menunjukkan batas ketinggian air yang tersamar nyaris tak tampak di dinding-dinding bukit. Wow! Setidaknya ada perbedaan ketinggian tiga meter dibanding saat ini, berarti memang debit air surut jauh. Dan itu artinya kami tidak bisa melewati sungai tempat kami menaruh motor. Dia menunjukkan jembatan kecil panjang yang nampak saat kami sampai di Maidang. Itulah jembatan yang harus kami lalui untuk sampai ke air terjun ini saat musim hujan, dan itu artinya perjalanan kaki tak kurang dari 2 jam.

Air terjun Maidang
Jernihnya air di air terjun Koalat, Maidang
Air terjun Koalat menjadi tujuan berikutnya setelah pantai Tarimbang dan air terjun Laputi harus aku coret dari daftar. Motor yang aku pinjam tak cukup tangguh untuk bisa menuju pantai Tarimbang saat ini karena saat ini sedang ada perbaikan jalan sehingga jalan masih berupa batu-batu besar yang dihampar. Sebenarnya sempat dapat tawaran pinjam motor yang lebih besar tapi aku dan Trysu belum pede pakai motor laki (cupu banget ya kita..)

Aku memilih mengunjungi lokasi ini di akhir waktu setelah dua temen cewek yang penugasan satu kota di Sumba Timur balik ke Kupang. Bukan gak berani ngajak, tapi dengan kondisi medan yang aku sendiri masih 'blank' aku gak berani mengambil risiko ajak-ajak anak orang (kalau anak monyet gak pa-pa lah). Aku memilih mengajak mereka ke  Pantai Watuparunu, walaupun lebih jauh tapi kondisi jalannya jelas bagus. Tanpa guide yang menemani, hanya berbekal informasi tulisan di blog dari temannya Trysu dan orang pemda yang pernah kesana bukan halangan kami untuk 'kesasar'. Dan di antara lokasi yang kami jalani, mungkin perjalanan 'kesasar' ini yang kata Trysu paling berkesan. Iya, kondisi jalannya tak terlalu parah hanya untuk motor yang kami cukup bikin ngeri karena di beberapa tikungan menurun terakhir jalannya diapit jurang di kanan kiri (untung gak diapit jurang atas bawah).

Selepas jembatan yang melintasi sungai besar kota Waingapu akan ada pertigaan, dan dari situ kita masuk ke kanan tapi sebaiknya tanya penduduk sekitar (inget GPS-Gunakan Penduduk Setempat yo). Awalnya jalan setelah belokan masih terasa mulus, yah hanya sedikit goyangan khas jalan ala kabupaten lah. Pemandangan di samping kiri sepanjang jalan yang tampak adalah persawahan yang sebagian baru mulai tanam dan saluran irigasi yang airnya meluap sampai ke pinggir. Kadang-kadang ada juga pemandangan cewe-cewe mandi gak pakai baju (kamu percaya??? aku sendiri juga gak percaya kok). Kalau melihat cewe.. eh saluran ini, kita akan merasa bahwa Waingapu itu subur dan tak kekurangan air. Tapi semua pemandangan hijau (sawah ya bukan cewe.. ngeres ah lu pikirannya) akan berakhir selepas jalan menanjak menuju perbukitan. Dan saat naik ke perbukitan itulah akan terasakan tandusnya perbukitan Sumba Timur saat musim kemarau seperti ini. Dan kondisi perbukitan seperti itu yang akan terus kami tempuh sampai ke Maidang. Coba ada kuda sama kopi coboy, pasti Trysu udah macam jagoan koboi Billy The Kid naik kerbau.

Melintasi Perbukitan Kambata Mapambuhangu
Kata brosur yang dikasih orang Dinas Pariwisata, jarak tempuh dari kota Waingapu ke Maidang ini sekitar 70 km. Tapi ini NTT, jangan percaya jarak tapi waktu tempuhnya dan Alhamdulillah aku sudah membuktikannya (lima km satu setengah jam, asoy gak tuh). Aku tidak sempat mengukur (iya lah, masak aku harus bawa meteran buat ngukur jalan.. kurang kerjaan banget) karena lebih terpesona dengan medannya. Menurutku jika ingin sekali waktu kalian ke sini dan mau mendapatkan gambaran pulau Sumba Timur yang penuh dengan perbukitan terjal dan kering, di sinilah salah satu lokasi yang bisa kalian datangi. Di kanan kiri dari perjalanan yang kami banyak kami temui adalah perbukitan savana dengan rumput-rumput yang telah mengering. Memang masih ada pepohonan yang menghijau, dan di lokasi-lokasi seperti itulah aku sempat menyaksikan burung-burung. Sekali waktu saat sempat aku dan Trysu melihat burung kecil terbang, burung itu memiliki bulu kuning putih di dada dan pada ekor yang dominan berwarna putih berwarna biru di tengahnya yang lebih panjang dari bulu ekor lainnya. Aku bersyukur bisa melihat burung seperti ini di tengah perbukitan Sumba, berharap tidak ada tangan iseng/jahil yang menangkap mereka untuk diperjualbelikan. Di sepanjang perjalanan menyusuri bukit ini jarang sekali rumah dan jika ada rumah hanya ada beberapa saja. Jarak antara satu rumah dengan rumah lain berjauhan, wih... bener, ternyata Sumba Timur yang luas ini penduduknya terkonsentrasi di Waingapu saja.
Perbukitan di Kambata Mapambuhangu
Perbukitan yang kering menuju Maidang
Aku dan Trysu harus beberapa kali menanyakan lokasi tepatnya jika kebetulan berpapasan dengan penduduk. Kadang persaan was-was muncul saat berada di pertigaan namun tak ada penduduk yang bisa ditanyai (mau nanya sama batu besar sih tapi nanti dibilang musyrik, padahal kan cuma tanya bukannya percaya :P).
Bahkan setelah sampai di kota kecamatan Kambata Mapambuhangu (ini kecamatan namanya panjang dan susah diinget, kalau gak percaya inget dan besok dua hari ucapin lagi pasti gak bisa hehehe) yang berada di atas perbukitan ternyata jauh dari yang kami bayangkan. Jangankan pertokoan bahkan rumah pun dapat dihitung dengan jari (jari tangan dan kaki serta jari temen-temenmu). Jadi bangunan-bangunan yang berdiri di kecamatan itu lebih banyak bangunan pemerintahan seperti sekolah, kantor kecamatan dan kantor sejenis (iya lah, kalau beda jenis nanti beranak). Jadi kami harus benar-benar mengandalkan ransum yang kami bawa dari Waingapu. Saran: jika ke tempat-tempat wisata di Waingapu jangan lupa bawa perbekalan makanan dan minuman yang cukup karena belum tentu akan menemukan sekedar toko kecil untuk membeli minuman.

Rumah di atas perbukitan menuju Maidang
Yang sempat bikin bingung ya di kota kecamatan ini, dengan kondisi yang banyak percabangan (dibanding di desa lho ya bukan dibanding Waingapu), tapi gak menemukan masyarakat yang bisa kita tanyai. Mungkin sebagian pegawai di kecamatan tinggal di Waingapu jadi sudah pada balik (alasan bagus untuk pulang cepat kan). Benar-benar kesasar tapi kok malah di kota kecamatan.Setelah masuk lurus akhirnya kami menemui pertigaan dimana sebelah kanan adalah jalan rabat (kata nona-nona yang sedang kongkow di belakang rumah, entah kenapa Trysu sangat semangat bertanya kalau ada ibu-ibu hehehe). Motor kami menapaki jalan rabat sejauh satu kilometer menuruni perbukitan. Kata ibu tadi, dari sini ke Maidang tinggal sekitar lima km lagi tapi dia sambil bilang "jauuuuuuhhhh..." mulutnya sampai monyong kayak minta dicium gitu (mesum keplak jidat). Setelah bahagia meluncur di jalan rabat, kemudian di akhir jalan rabat kami menemukan pemandangan yang wow banget. Wow itu artinya viewnya cakep tapi sekaligus ngeri.

Aku sempat bercanda dengan Trysu, "Ini adalah jalan yang tak boleh ada kesalahan". Dari atas aku bisa melihat jalan meliuk-liuk melintasi puncak beberapa perbukitan savana. Duh kuda mana nih, serasa jadi koboi. Jika sebelumnya kami melewati punggung bukit yang cuma ada jurang di satu sisi, sekarang jalan di depan di apit jurang di dua sisi. Makkk, pemandangannya ngeri-ngeri sedap kali (kata Soetan Batoegana begitu). 
Pemandangannya sungguh luar biasa, sayangnya aku tidak sempat merekam dengan kamera (mengejar waktu biar tidak sampai terlalu sore sampai di lokasi). Apalagi warna langitnya yang mulai menguning oranye. Trysu yang mengendarai motor di depan mungkin tak bisa melihat semua pemandangan ini karena terkonsentrasi pandangannya ke jalan yang sudah rusak, batu-batuan kecil yang merupakan sisa jalan beraspal mudah sekali terlepas. Tak urung beberapa kali roda tergelincir namun tak sampai terjatuh. Trysu cukup hati-hati, sangat hati-hati malah. Berbeda sekali saat kami menembus perbukitan lewat punggung bukit. Jurang di salah sisi tidak membuat dia mengurangi kecepatan motor. Namun di jalur terakhir ini dia betul-betul ekstra hati-hati sehingga justru lima km inilah yang menjadi perjalanan terlama.

Air Terjun Maidang
Setelah melewati jalur 'tak ada kesalahan' terakhir, akhirnya aku bisa melihat beberapa rumah dan sebuah jembaran kecil dari atas bukit terakhir. Aku tahu itulah Maidang, karena memang itulah satu-satunya kampung yang ada di semua perbukitan itu. Jadi jalan masuk dan keluar Maidang ya hanya yang kita lewati saat ini. Di sisi jembatan itulah, aku bertemu pak Luna Maya.... eh salah Aril (aku ingetin lagi ya, bukan Ariel Peterpan) yang langsung meminta aku mengikutinya.
Air terjun Maidang
View dari atas air terjun Koalat, Maidang
Setelah memarkir kendaraan di ujung jalan, pak Aril mengajak kami turun melewati sungai yang tak terlalu dalam hanya sedalam paha atas tapi tetap harus hati-hati. Batu-batunya sendiri tidak licin namun arusnya cukup kuat jika tidak kuat memijak bisa terpelanting jatuh ke air. Terutama fokus, jangan lihat orang mandi melulu, nanti giliran jatuh di air bilangnya batunya ya licin padahal otakmu yang mesum. Ya gara-gara ada orang mandi itu kami dilewatkan di jalur yang lebih dalam (kata pak Aril biar membelakangi mereka, wih baru tahu kalau pak Aril suka lihat bagian belakang). Sungai yang kami lewati ini barusan itu hulunya berasal dari air terjun Laputi berbeda alirannya dengan sungai yang mengalir dari air terjun Koalat. Tidak jauh setelah melewati sungai dan sedikit naik ke darat segera aku melihat sebuah sungai yang lebih lebar, dan di ujung sanalah tampak sebuah air terjun yang tidak terlalu tinggi namun melebar.
Yang unik dari air terjun ini tampaknya terbentuk dari satu batu besar yang utuh, bahkan batu yang ada di air terjun ini benar-benar batu utuh menyatu dengan bagian atas. Alur-alur unik benar-benar sepertinya terbentuk dari air. Bahkan di bagian atas dimana ada genangan air tampak sebuah batu yang membulat membelah aliran air menjadi dua. Batu-batu itu pun masih menjadi satu bagian hanya menjadi berlubang-lubang. Aku tak tahu bagaimana air bisa membentuk bebatuan itu menjadi lubang-lubang unik seperti ini.


Bebatuan di Air terjun Maidang
Batu-batu terbentuk oleh aliran air
Aku dan Trysu sampai ke atas tapi tidak berani turun ke arah bebatuan yang di tengah karena hanya lewat sebatang kayu yang ada dengan cabang-cabang sebagai pijakannya. Duh, itu kayu muter berarti selamatlah kita kecemplung ke dalam air. Yang pasti airnya dalem banget karena warna birunya yang tampak pekat seperti itu. 
Sayang aku tidak bisa terlalu lama karena sampai di sini pun bisa di bilang sudah terlalu sore, mungkin karena kita sering bertanya sepanjang perjalanan jadi perjalanan yang seharusnya bisa dua jam bisa sampai tiga jam.
Perjalanan kembali inilah yang paling berbahaya. Kejadian sempat tergelincir yang membuat kami nyaris jatuh membuat Trysu tidak berani menjalankan motor lebih cepat. Bahkan setiap ruas yang batunya mudah lepas, aku harus sering turun supaya Trysu bisa leluasa membawa motornya. Bahkan di jalan yang menanjak aku harus ikhlas jalan kaki. Aku minta Trysu jalan lebih dulu sampai di tempat yang landai dan aman, jadi tidak perlu menunggu aku. Ternyata jalan begini cukup bikin ngos-ngosan tapi juga sangat menyenangkan. Bayangkan berjalan di malam hari menyusuri puncak bukit dengan kanan-kiri jurang dan ditemani galaksi Bima Sakti yang tampak jelas. Fuih.. fuih.. lain kali mungkin aku harus jalan kaki ke sini. Rasanya pasang tenda di atas bukit sini juga asyik aja tuh.
Trysu lah yang justru setengah mati, makanya dia cuma berharap kapan bisa menemukan jalan rabat. Bayangkan empat km harus di tempuh selama satu setengah jam, tapi jangan tertawa karena kami jalan seperti keong ya. Mungkin kalian sendiri yang harus mencobanya...
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 September 2013

Seri Rote: Batu Termanu

Menikmati malam di Batu Termanu
Sudah lama aku ingin jalan ke Batu Termanu karena dari daftar tempat yang cukup dekat dari kota Ba’a tapi malah belum pernah aku kunjungi selama beberapa kali penugasan ke Rote Ndao. Sedikit informasi, Rote Ndao berasal dua kata: Rote dan Ndao, nama dua pulau besar yang disatukan menjadi nama kabupaten. Rote Ndao sendiri merupakan kabupaten yang berada di paling selatan Indonesia, dan pulau terluarnya adalah pulau Ndana.

Sonny dan Try duduk melototi bintang
Makanya waktu kali ketiga kesini aku usahain supaya bisa mampir kesana. Pucuk dicinta ulam tiba, walaupun aku sudah niat jalan kaki ke sana namun ternyata ada teman yang bersedia yang punya motor mau menemani aku kesana. Sonny Saban, teman yang selama ini hanya bertemu lewat sosmed facebook karena kesamaan hobi sama-sama menyukai fotografi bergenre landscape. Jadi perjalanan ke batu termanu menjadi perjalanan dan perkenalan langsung pertama aku dengan Sonny. Eh salah, sebenarnya malah justru ke Nemberala yang pertama ding. Sebelumnya aku pernah coba jalan kaki tapi ternyata hanya sampai daerah PPI Tulandale yang jaraknya hanya separo dari Ba'a ke Batu Termanu.

Pertama kali datang ke hotel cukup kaget juga sih, ternyata orangnya jauh lebih kurus daripada fotonya di facebook beda jauh banget sama kang Eddy yang badannya kayak kingkong hehehehe *sorry pren, just kidding...* Tapi yang pasti sih orangnya bersahabat banget. Hari pertama dan kedua aku tidak langsung ke Batu Termanu karena pertemuan pertama waktu sudah terlalu sore. Batu Termanu baru aku utarain ke dia setelah perjalanan ke Nemberala hari Minggu.
Senin sore, sehari setelah sebelumnya ke Nemberala akhirnya aku, Sonny dan Try menggunakan dua motor memutuskan ke Batu Termanu. Jaraknya gak jauh, paling sekitar sepuluh menit sudah sampai di sana. Batu Termanu arahnya ke timur dari Ba’a setelah melewati Tulandale yang menjadi PPI di Rote dan pantai Leli yang dipenuhi tonjolan batu-batu karang di laut seperti di pantai Tiang Bendera.

Model dan fotografer
Sendiri merajut mimpi
Untuk menuju bukit terdekat di Batu Termanu, disebuah jalan kami berbelok ke arah jalan tanah menuju ke arah gerbang hotel Tiberias. Sebenarnya ini jalan umum tapi disisi kiri kanan terdapat pagar yang mengelilingi sehingga sepertinya jalan itu privat milik hotel. Ada dua tempat penginapan di sini, satu hotel Tiberias satunya lagi ada di sebelahnya aku lupa namanya. Tapi kalau penugasan kurang enak nginep disini karena jauh dari keramaian, mau makan jadi repot harus balik ke Ba’a lagi.

View Batu Termanu dari depan hotel Tiberias
Batu Termanu ini sebenarnya sebenarnya mirip sebuah tanjung yang berupa batu besar dengan tegak berdiri pipih memanjang. Karena bentuk batunya yang seperti itu jadi mudah dikenali jika melewati daerah ini. Dari atas jalan tinggi di perbukitan sebelum sampai disini, bentuk Batu Termanu sudah bisa terlihat jelas.

Sampai di atas ternyata udah terlalu sore, kami gak dapat lagi matahari karena sudah menghilang di balik awan. Perbukitan yang rumput-rumputnya telah rata tinggal menyisakan warna kuning semakin menguning oleh senja. 

Setelah menyandarkan motor di bawah, kami naik ke atas bukit yang dipenuhi banyak tai sapi. Sepertinya bukit-bukit di NTT dijadikan tempat gembala makanya banyak tainya. Kami bertiga duduk di atas batu, harus hati-hati memilih tempat duduk. Salah memilih bisa-bisa tai kering kita kira batu dan kita duduki begitu saja.

Dari atas bukit, kami bisa melihat ke seluruh penjuru arah. Dari bukit tempat kami berdiri, Batu Termanu tampak di sisi Utara. Berbeda dengan tempat kami berdiri yang tampak kering, Batu Termanu walau batu yang mencuat ke atas hanya batu keras saja namun di bagian bawah tampak pepohonan masih tumbuh berdiri menghijau walaupun ada juga yang telah mengering. Di sebelah dari Batu Termanu ada bukit yang di atas tampak terpancang sebuah salib kecil di puncaknya. Sementara di sisi Timur dari bukit, tampak beberapa bangunan peneduh dibangun di pesisir pantai yang pasirnya juga berwarna putih. Bangunan ini sepertinya disiapkan oleh pemda untuk menjadi lokasi wisata alternatif karena letaknya yang terhalang bukit dan pepohonan bakau dan di bagian depan ada sebuah pulau yang katanya adalah batu betina (pasangan dari Batu Termanu). Untungnya kami datang sore menjelang gelap seperti ini. Seandainya saja kami datang siang hari tentu hawanya akan terasa terik sekali.

Soul of traveller
Daerah ini masih tampak sepi, beberapa ratus meter dari daerah kami berdiri tidak tampak bangunan kecuali dua hotel tadi, dan beberapa rumah yang agak jauh dari sini. Saat mulai gelap, hanya tampak cahaya dari dua bangunan jauh di bawah itu, itu pun tidak berpengaruh dari sini kecuali bagai kerlip saja. Sayangnya angin yang bertiup terasa keras. Angin bulan ini memang terasa sangat keras, apalagi kami yang sedang berdiri di atas bukit. Tapi menurutku masih jauh lebih keras saat kami di Pantai Tiang Bendera. Bahkan kami selepas perjalanan ke Tiang Bendera harus merasakan akibatnya: perut kembung seharian.

Warna yang semula kuning semakin memerah dan disambung warna biru yang terus menggelap. Aku dan Sonny tentu saja tetap mencoba angle-angle yang mungkin. Aku sendiri sedang mengalami kesulitan menghandle lensa Tokina 11-16mm yang selalu nangkring di kameraku. Entah sejak kapan, tapi dalam kondisi yang aku kurang tau persis sering sekali mengalami error (disebut di kamera dengan istilah "ERR 001": terjadi masalah kontak antara kamera dengan lensa). Belakangan baru aku ketahui kalau error ini selalu menimpa saat aku menggunakan fokal lensa di 13mm ke bawah, jika menggunakan di atas itu ternyata tidak bermasalah dengan error itu. Itu pun aku masih harus menghadapi lensa yang bermasalah shutter speednya.

Bukit Termanu senja hari
Karena memang tidak memungkinkan untuk memotret senja lagi akhirnya kita memutuskan untuk menunggu malam. Sebenarnya sih memang aku mau mencoba memotret langit karena pada saat ini jika telah mulai gelap maka dengan mudah kita akan melihat sebentuk gumpalan tipis memanjang seperti awan dari utara ke selatan yang kita kenal sebagai galaksi Bima Sakti (Milky Way). Namun memang ada sepenggal bulan berbentuk bulan sabit yang akan menyulitkan kita mengambil foto galaksi. Walaupun secara mata kita masih bisa melihatnya, namun saat difoto maka cahaya sekecil apapun dengan mudah mempengaruhi penampakan sang Bima Sakti.

Saat gelap bukit Termanu makin terlihat angker berdiri dengan batu besarnya yang berubah menggelap. Saat itu memang cahaya bulan yang cuma sabit kecilpun masih harus dihalangi oleh awan-awan yang bergerak cukup cepat. Angin yang dari sore berhembus lumayan kencang masih juga terasa, walaupun sedikit menurun. Saran saya, kalau ke tempat-tempat terbuka seperti ini memang sebaiknya jangan pas musim angin. Dan satu lagi, bawa senter! Walaupun saat ini sebagian tai sapi yang ada sudah kering pastilah sebelumnya masih basah. Tentu tidak ingin kan anda pulang dengan menginjak tai sapi yang masih basah *tutup hidung*... Try saja nyaris salah ambil, waktu balik mau ambil jaket dia liat seonggok benda lumayan besar yang dikira jaketnya. Waktu mau diangkat baru sadar kalau itu tai kering. (ups, sorry Try buka rahasia :D)

Semakin larut, suasana semakin tenang. Jelas, tinggal kami bertigalah yang berdiri di bukit ini yang masuk kategori manusia. 

Sayangnya kami tidak membawa amunisi makanan dan minuman, pasti sangat menyenangkan duduk-duduk disini melihat bintang sambil ngobrol dan minum minuman panas (seandainya saja aku bawa termos yang biasa aku bawa kemana-mana). Aku dan Sonny berbagi banyak cerita dengan hobi kami memotret, sebuah kesempatan yang menyenangkan bertemu dan berbincang dengan teman-teman yang tidak hanya suka memotret tapi menyukai berjalan-jalan.
Sekitar jam setengah delapan kami memutuskan kembali ke hotel.

Thanks udah nemeni jalan-jalan kesini Sonny Saban yang udah rela tidak tugas demi menemani kita jalan-jalan plus pinjaman motor Mega Pro-nya yang masih ciamik (rajin ngerawat ya mas karena gak ada yang lagi yang dirawat disana hehehe) dan Try Sutrisno Sianipar yang sudah mau jadi obyek diam (gile juga padahal angin kenceng, susah tuh bisa diem begitu 1 menit)

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya