Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Januari 2013

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam raya nusantara. 

Seperti halnya suku Mbare di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu. Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.

 Salah satu tradisi suku Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka. Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat, Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.

Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak jauh berbeda.
Pada setiap ajang pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah babak belur.

Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena
Arena Mbela. Disinilah aksi sang ksatria lelaki Mbare mempertahankan warisan leluhur
 Penulis: Yanto Mana Tappi
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 Maret 2012

Kampung Adat: Bodo Ede, Weeliang, Weetabar, dan Tarung

Ama Soli dan Kampung Bodo Ede
Jalan setapak menanjak dan berlumut menuju ke kampung Bodo Ede
Duduk di atas balai depan rumah berlantai batang bambu yang di'geprak' bahan yang sama dipakai untuk dinding rumah, sementara ikatan-ikatan ilalang bersusun di atas rumah menjadi atap yang tetap sejuk walau terik sekalipun. Ama Soli asyik sekali bertutur tentang masa mudanya, tentang perjalanannnya keliling ke pulau-pulau bermodalkan sirih pinang dan alasan kepulangannya kembali ke tanah leluhur dan tinggal di rumah ini. Yang agak mengherankan adalah giginya yang tidak memerah, dan ternyata jawabannya seperti dugaanku bahwa dia sudah tidak memakai sirih pinah dan rokok beberapa tahun ini. 
Mulut dan gigi penuh warna merah adalah hal jamak di sini, karena sirih dan pinang sudah menjadi kebiasaan dan bagian tradisi seperti halnya parang, kerbau dan kuda. Jadi kadang melihat seseorang seperti Ama Soli menjadi pertanyaan tersendiri. 
Kaget juga waktu menengok jam tangan saat hendak pamit balik ke hotel, ternyata sudah jam setengah sembilan berarti sudah dua jam aku duduk disini. Ternyata ngobrol-ngobrol dengan Ama Soli, salah satu warga kampung Bodho Ede ini dan menikmati suasana pagi di kampung yang nyaman ini tidak terasa waktu berlalu. Tidak enak hati juga karena tentu saja mengobrol selama itu bisa mengganggu aktifitas Ama Soli sendiri. Untungnya karena ini hari Minggu sehingga tidak banyak kegiatan yang dilakukan, istrinya sudah terlebih dahulu ke pasar semntara dia sendiri mau menyusul siang nanti.

Batu kubur menjadi pemandangan umum di perkampungan
Kampung Bodho Ede adalah salah satu kampung adat yang ada di tengah kota Waikabubak. Letaknya berada di belakang hotel Pelita yang aku tempati selama tugas seminggu di sini. Kampung-kampung adat di sini mudah terlihat karena letaknya biasanya di atas tanah yang lebih tinggi dari tanah sekelilingnya dan pohon-pohon besar yang mengelilingi perkampungan.
Berjalan sekitar 200 meteran dari lapangan Waikabubak, nanti akan menemui sebuah gerbang batu di pinggir jalan. Memasuki area jalan kecil ini di samping kanan kiri adalah kubur batu, beberapa ukurannya sangat besar. Kubur-kubur batu yang besar-besar ini bukanlah dari semen tapi dari batu besar yang di potong langsung. Menurut penuturan Ama Soli, untuk memasang penutup batu terbesar itu bahkan butuh ribuan orang yang ditarik dengan tali dari pilinan akar kayu tertentu. Satu batu kubur dapat digunakan berulang-ulang dalam satu keluarga sedarah. 
Di ujung jalan tampak undakan tangga semen selebar jalan orang menanjak ke atas di apit pohon-pohon besar seperti beringin dan beberapa pohon lain. Undakan tangga ini di beberapa sudut telah ditumbuhi lumut-lumut hijau karena kota Waikabubak memang udaranya sejuk karena terletak di ketinggian sekitar 500 meter dpl.
Sesampai di ujung undakan tangga paling atas maka akan tampak rumah-rumah adat yang masih kental tradisional dengan bentuk khas, bagian tengah yang tinggi. Seluruh rumah di kampung ini masih menggunakan atap ilalang.

Keramahan Pak SGR di Kampung Weeliang
Pak SGR di depan dapur rumahnya
Pensiunan penilik sekolah, menyebut dirinya dengan nama SGR. Bapak tua yang ramah ini menjadi teman cerita yang menyenangkan. Informasi-informasi tentang kampung-kampung di sini dan adat-adat yang menyertainya dengan mudah ia tuturkan.
Pak SGR sedang asyik duduk di beranda dapur saat kami datangi. Pria baya berperawakan sedang ini sedang asyik ngobrol dengan keluarganya waktu kami datang. Dapur yang menjadi tempatnya duduk justru yang menarik perhatian kami karena di antara dua pintu itu dipajang banyak tengkorak dan tanduk kerbau dengan ukuran yang panjang-panjang yang disusun berjajar dari bawah ke atas, sementara rahang babi di taruh di berjajar di bagian atas. Beberapa tanduk bahkan panjangnya melebihi satu meter. 


Salah satu tanduk paling panjang menurut penuturan pak SGR jika dijual mencapai harga ratusan juta rupiah. Kerbau tanduk terpanjang itu baru dipotong beberapa bulan lalu pada saat meninggalnya ibunya. Kerbau itu dipelihara sendiri oleh keluarga pak SGR dan umurnya waktu dipotong adalah 26 tahun. Mereka memotongnya sendiri dengan alasan kalau untuk diserahkan ke orang lain dalam acara perkawinan atau yang antaran yang lain nanti bisa memberatkan orang lain. 
Selain banyak bercerita tentang adat istiadat Sumba dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, pak SGR juga mengajak kami melihat kampung Weeliang.
Anak-anak Weeliang yang awalnya bermain bola langsung beramai-ramai ikut foto


Memang kampung Weeliang ini kurang terlalu kental suasananya karena sebagian rumah sudah dipugar seperti halnya rumah pak SGR sendiri yang menjadi bangunan tembok berlantai keramik. Hanya ciri rumah Sumba yang masih dipertahankan yaitu bagian tengah meruncing ke atas, namun atapnya pun sudah berganti atap seng bukan jerami.
Dibagian tengah kampung Weeliang masih terdapat kubur batu yang ukurannya besar dari batu putih asli. Namun di samping kirinya telah ada sebuah antena parabola. Walau sebagian sudah berubah, masih ada juga rumah-rumah yang berdiri masih mempertahankan bangunan lama. Suasana agak ramai karena beberapa anak sedang asyik bermain


Pak SGR menyarankan kami mengunjungi kampung Weetabar dan Tarung yang letaknya bersebelahan jika ingin melihat suasana perkampungan yang masih kental adat Sumbanya. Pak SGR menunjukkan perbukitan dibelakang pasar yang dari kampung Weeliang tampak hanya pohon-pohon besar saja.


Kampung Tua: Weetabar dan Tarung
Jalan menuju ke kampung Weetabar dan Tarung dipenuhi pohon besar
Pagi sekali aku dan Andri berjalan kaki ke arah kampung Weetabar dan Tarung, kami sudah membuat janji dengan salah seorang tetua kampung sore kemarin. Hanya karena sudah terlalu sore jadi kami membatalkan jalan dan memilih pagi ini. Lesu Djaga, begitu bapak satu ini menyebutkan namanya waktu kami berpamitan pulang.
Kampung Weetabar dan Tarung merupakan kampung induk dari kampung-kampung lain masyarakat Loli. Pada bulan-bulan Oktober-November selama sebulan penuh masyarakat Loli melakukan acara Buru dimana masayarakat tidak boleh pergi ke sawah, jika ada orang meninggal tidak boleh ditangisi dan dipukul gong (salah satu bagian upacara pemberitahuan orang mati), serta tidak boleh ada acara-acara. Lelaki biasanya berburu dan mempersembahkan sebagian hasil buruan ke kampung induk di sini. 


Kubur batu di tengah lapangan dikelilingi perkampungan
Dari percabangan jalan menuju kampung Weetabar tampak beberapa kubur batu berukuran besar, lebih besar dari yang terpasang di dua kampung sebelumnya. Mungkin yang mengangkat batu ini lebih banyak daripada di dua kampung lainnya. Setelah melewati areal persawahan yang tidak terlalu besar kami sampai di rumah pak Lesu Djaga, beberapa meter dari jalan menanjak naik ke kampung.
Jalan menanjak di kampung Weetabar benar-benar rindang, jika pagi atau sore kabut kadang datang. Bagi yang tidak terbiasa suasana seperti ini mungkin akan merasa seram jika berjalan sendiri di malam hari. Setelah melewati tikungan, tampak undakan-undakan tangga dari semen yang sudah berlumut. Diujung undakan adalah perkampungan Weetabar.


Deretan rumah yang berbentuk khas Sumba saling berhadapan menghadap lapangan yang dipenuhi dengan batu-batu kubur berbagai ukuran. Selain beberapa batu kubur juga biasanya ada beberapa tiang-tiang batu berbentuk tabung empat buah sebagai penyangga dan bagian atasnya dipasang lempengan batu kotak. Menurut pak Lesu Djaga, batu itu bukan kubur hanya dipakai untuk semacam meja atau menaruh daging kerbau atau babi yang dipotong pada perayaan.
Keluarga pak Lesu Djaga, dari kiri: Lesu Djaga, mama dan cucu perempuannya


Kami sempat mampir di rumah orang tua pak Djaga yang disambut oleh ibunya, seorang wanita yang sudah tua namun masih tergambar kecantikan waktu mudanya. Ngobrol-ngobrol seputar adat di sini, aku tertarik menanyakan satu tanduk terbesar dan terpanjang yang terpasang di dinding rumah. Pak Djaga bercerita bahwa tanduk kerbau terpanjang itu dipotong waktu acara meninggal ayahnya, dia juga mengatakan kematian ayahnya akhirnya juga membuatnya tidak meneruskan pendidikannya di bidang hukum di Kupang karena sepeninggal ayahnya mamanya tidak ingin ditinggal. Sewaktu bercerita ini, aku melihat mata mama berkaca-kaca sepertinya kenangan tentang almarhum suaminya bermain di pelupuk matanya. 


Aku dan Andri mencoba berjalan terus menelusuri perkampungan sampai ke kampung Tarung. Suasana menjadi ramai saat kami menemui seorang mama yang sedang asyik membuat keranjang tempat menyimpan barang dari daun pandan hutan yang langsung di sambut dengan beberapa mama-mama yang menawarkan barang jualan seperti kain tenun, kalung dan gelang tangan serta keranjang kotak penyimpan.
Mama Bobo yang paling ramai dan lucu di antara pada mama
Tak kalah menggelikan adalah tingkah mama Bobo, oma satu ini memang paling lucu. Saat Andri tak mau lewat di jalan karena ada seekor babi yang sedang tiduran di jalan justru mama Bobo mau mengambil babi itu supaya dipegang Andri. Karuan saja Andri menolak.
Bahkan untuk merayu kami agar mau membeli barang dagangannya, mama Bobo mau menari, tak pelak acara pagi itu menjadi acara tertawa. Tak kalah lucunya melihat mama Bobo tertawa terpingkal-pingkal sendiri setelah dia menari dan bernyanyi.
Kami sempat mampir ke rumah mama Bobo sekedar membeli oleh-oleh tangan. Suasana hari itu mencairkan seluruh cerita-cerita yang berkembang tentang masyarakat Loli. Walau kadang wajah-wajah keras dan mata yang tajam menyurutkan langkah kami, tapi ternyata setiap senyum kami selalu berbalas senyum yang lebih lebar. Mereka tak segan berbagi cerita penuh kehangatan, apalagi para mama-mama itu yang sepertinya tak ada hari yang perlu dipikirkan selain ceria dengan hari tua.
Menjadi pejalan tidak berarti menjadi orang asing di tengah tempat menakjubkan, ternyata senyum dan sapa mudah bertemu dan menhilangkan sekat saat seorang pejalan tidak membuat sekat-sekat itu.

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 28 Desember 2011

"Sorongi'is" Ritual Pendewasaan Perempuan Suku Nagekeo




Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini disebut  “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.

Dua orang anak perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring di apit oleh sang nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di gosok berulang-ulang kali.

Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.

Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah  merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari,  bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.

Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas Nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.

Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit,  acara tandak pun bubar. 

Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.

Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan diayun oleh ayahnya sebanyak lima kali di atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima,  anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
 Salah satu petugas pencatat bingkisan dari sanak keluarga

Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi,  pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.

Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,  walaupun secara ekonomis  biaya yang dikeluarkan cukup besar.

 Bermain kartu adalah salah satu menjalin keakraban.

Terimaksih buat warga suku Dhawe,dan khususnya keluarga besar Bapak Vinsen Dhoma yang telah berkenan mengijinkan saya untuk meliput secara langsung ritual Sorongi’is kedua puterinya.

Semua tulisan dan foto hasil liputan Yanto Mana Tappi,dan telah mendapat persetujuan dari pihak suku Dhawe untuk diterbitkan,
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 27 Oktober 2010

Tumpengan

Tumpeng adalah hidangan tradisional khas Jawa yang terbuat dari nasi yang dimasak bersama santan dan dibentuk menjadi kerucut yang menyerupai gunungan yang sekelilingnya dihias dengan sayuran dan lauk pauk.

Biasanya nasi tumpeng dihidangkan ketika ada acara seremonial/upacara tertentu, misalnya acara selamatan pernikahan, khitanan, bersih desa/merti bumi, bahkan untuk ulang tahun dan peresmian/pembukaan suatu tempat.
Puncak kerucut sebagai simbol Tuhan.Sayuran dan lauk pauk yang mengelilinginya sebagai simbol alam dan lingkungannya. Warna Kuning pada nasi menandakan tingginya kekayaan dan kemuliaan.

Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.

Sesungguhnya 'tumpengan' adalah istilah untuk sebuah acara dimana didalamnya disajikan nasi tumpeng, jadi tidak hanya untuk acara selamatan (kenduri) atau perayaan kebahagiaan semata. 
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.

Beberapa acara tumpengan yang biasa ada di masyarakat antara lain:

  • Tumpeng Robyong - Dulu, tumpeng robyong disajikan untuk acara-acara besar seperti musim panen, mengusir penyakit, atau meminta hujan. Kini tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. 
  • Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan saat memasuki umur tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
  • Tumpeng Pungkur - Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
  • Tumpeng Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
  • Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya. Isinya tak beda jauh dengan ketentuan Tumpeng pada umumnya, tetapi biasanya ditambahkan perkedel, kering-keringan, abon, irisan ketimun, dan dadar rawis.
  • Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi. Tumpeng nasi uduk berupa tumpeng nasi gurih yang disertai ayam ingkung bumbu areh, lalapan, rambak goreng, dan gorengan kedele hitam.
  • Tumpeng Seremonial/Modifikasi - Tumpeng ini bisa dibilang ‘tumpeng suka-suka’, karena untuk Tumpeng yang ini tidak memperhatikan arti filosofi yang terkandung dalam Tumpeng. Biasanya Tumpeng ini menggunakan Nasi kuning, Nasi goreng dan nasi warna yang lain. untuk lauk pauknya menurut selera kita sendiri.
Foto dan teks: Arum Mangkudisastro
Editor: Baktiar
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 23 Januari 2010

Sunyaragi - Hiding place

Situs Sunyaragi adalah salah satu obyek wisata budaya yang ada di daerah Cirebon. Letaknya di kelurahan Sunyaragi, Kesambi. Tidak jauh dari jalan raya Brigjend. Dharsono.

Sunyaragi atau Taman Sari Sunyaragi dibangun sekitar abad ke-17. Tepatnya tahun 1703 Masehi oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon. Namun dari sumber lain menyebutkan Sunyaragi dibangun tahun 1529 yang merupakan perluasan dari Kraton Pakungwati atau juga dikenal dengan nama Kraton Kasepuhan.

Sunyaragi, berasal dari kata "Sunya" yang berarti sunyi dan "Ragi" yang berarti raga. Mensunyikan raga atau mengosongkan raga sebagai aktivitas dalam olah semedi/meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bangunan Sunyaragi didominasi dengan batu kali pada dinding-dindingnya dan batu bata merah untuk gapuranya meniru candi Bentar. Sebagaimana layaknya taman sari, situs tersebut dipenuhi dengan kolam beserta pancurannya dan dihiasi dengan patung-patung dan relief-relief pada dindingnya. Uniknya patung dan relief tersebut disusun dari batu kali yang ditumpuk meniru bentuk garuda dan gajah.


Peninggalan yang dapat kita temui di komplek Taman Sari Sunyaragi:

  1. Goa Peteng (Goa Gelap).
  2. Goa Pande Kemasan.Tempat pembuatan dan penyimpanan senjata.
  3. Goa Pawon.Tempat perbekalan dan makanan para prajurit.
  4. Goa Pengawal. Tempat pengawal berjaga.
  5. Bangsal Jinem, merupakan tempat Sultan menerima para bawahan untuk bermufakat.
  6. Goa Padang Ati (hati terang). Tempat Sultan bersemedi.
  7. Mande Beling.Biasa digunakan keluarga Sultan untuk beristirahat. Konon bila kita beristirahat di tempat tersebut akan berbesanan dengan keluarga Sultan. Anda berminat?
Pada komplek Taman Sari Sunyaragi telah dibangun pula tempat pertunjukan/pementasan seni untuk menarik minat wisatawan berkunjung.Sayangnya terkesan tak terurus.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya