Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label arummangkudisastro. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arummangkudisastro. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 November 2021

Titik Nol Anyer

Penampakan mercusuar yang putih menjulang

"Kita mulai dari nol ya!" teringat jargon iklan mbak SPBU yang dulu sempat populer di TV saat ada ajakan ke Anyer. Jargon itu membuatku ingin ke titik nol Pulau Jawa. 

Anyer yang berada di wilayah Banten memang tempat wisata favorit masyarakat Jakarta selain Puncak Bogor karena jarak tempuhnya relatif dekat hanya sekitar 3-4 jam dari Jakarta. Well, Let's go!

Berangkat dari Jakarta, menjelang siang aku sudah tiba di Mercusuar Anyer. Dari gerbang masuk sudah terlihat menara  yang masih kokoh berdiri. Bangunan bercat putih tinggi menjulang. Aku langsung berjalan menuju ke mercusuar, berharap dapat naik ke atasnya. Di atas pintu menara terdapat tulisan tahun mercusuar ini dibangun. Sayangnya, pintunya masih tertutup sehingga aku tidak bisa masuk ke dalam. 

Tugu dari sisa menara yang pernah hancur dihempas tsunami

Mercusuar Cikoneng atau yang lebih dikenal sebagai mercusuar Anyer merupakan tempat Titik Nol Anyer berada. Lokasi tepatnya di Kampung Bojong, Desa Cikoneng, Kabupaten Anyer, Provinsi Banten. Awal berdirinya Mercusuar Cikoneng tahun 1806. Lebih awal dari pada saat jalan Anyer - Panarukan yang baru dikerjakan tahun 1825. Ketika Gunung Krakatau
meletus pada tahun 1883, mercusuar ini ikut hancur terhantam gelombang tsunami yang menyertainya. Sisa-sisa reruntuhan bangunan mercusuar hanya berjarak beberapa meter dari lokasi mercusuar pengganti yang baru. Mercusuar pengganti ini pun dibangun kembali tahun 1885 dan diresmikan oleh ZM Willem III Raja Belanda.

Foto tahun 2008 dibandingkan dengan saat ini

Aku sebenarnya agak kecewa karena tidak bisa masuk ke dalam menara mercusuar. Ya sudahlah, untuk mengobati kecewaku aku memilih mencari makan saja. Sebenarnya saat ini, belum ada warung atau kafe yang buka untuk menjual makanan. Jadi harus membawa sendiri atau membeli makanan dari luar. Tetapi aku 
sempat melihat penjual bakso menggunakan gerobak masuk ke sini.

Disekitar lokasi ada fasilitas gazebo dan teras yang bisa digunakan pengunjung untuk sekedar duduk, atau makan sambil menikmati pemandangan laut. Dari salah satu gazebo tempat aku makan, terlihat sekitar 7 atau 8 orang perempuan sedang asik mengambil foto di spot tulisan Titik Nol. Sekarang banyak tempat wisata ditambahi tulisan-tulisan berwarna-warni untuk penanda lokasi seklaigus biar lebih kekinian. 

Selesai makan, aku juga ingin berfoto di tulisan Titik Nol itu, tetapi sayangnya mereka masih sibuk berlama-lamat di spot itu. Dari dari cara berpakaian dan logat bicara yang aku perhatikan, aku menduga kalau mereka dari pengunjung yang berasal luar Pulau Jawa. Sambil menunggu giliran untuk bisa berfoto di lokasi itu, aku memotret reruntuhan mercusuar. Kelar motret, aku coba melihat ke arah spot Titik Nol. Ternyata mereka masih berfoto di spot yang sama.  Busyet! Setelah lama menunggu sampai purnama berganti 3 kali akhirnya aku dan rombonganku bisa ganti berfoto di spot wajib ini.

Terakhir kali aku mengunjungi mercusuar ini tahun 2008 bersama anggota komunitas Indonesia Backpacker (IBP) dimana waktu itu kami menginap di Wihara Avalokitesvara kota Banten Lama. Setelah sekian lama, tahun 2021 ini aku kembali mengunjunginya kembali. Sayang sekali akibat vandalisme yang terjadi membuat mercusuar ini sejak tahun 2014 tertutup bagi umum. Dulu kita bisa memasuki mercusuar ini menaiki tangga yang melingkar menuju atas tempat lampu mercusuar berada dan melihat pemandangan sekitar dari puncak mercusuar. 

Menara setinggi 75,5 meter terdiri dari 18 tingkat yang dihubungkan dengan 286 anak tangga. Pada puncak terdapat lampu yang berfungsi sebagai penunjuk arah bagi kapal-kapal yang melintasi perairan. Ruangan pada menara semakin keatas semakin sempit.

Pada bagian puncak mercusuar kita bisa menyaksikan beragam pemandangan. Dimulai dari Lautan lepas, Jalan Raya Anyer hingga perbukitan yang hijau. 

Foto dan Tulisan: Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 21 Desember 2020

Kala Senja Kalamata


Seorang bapak berbaju putih sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Daun-daun kering yang jatuh dari pohon berserakan di halaman rumput juga di sepanjang paving block jalan setapak.
"Pak loket tiket masuk dimana?" Tanyaku.
"Silahkan langsung masuk, Isi buku tamu saja!" Jawabnya.
Aku segera menuju komplek Benteng. Di ujung jalan setapak seorang pria memakai topi coklat, berbaju biru sibuk memotret sekeliling benteng. Wah keduluan, gumamku. 

Yowes aku langsung masuk ke dalam benteng motret-motret juga. Hhmm aku agak bingung memotret sudutnya karena dari segi arsitektur benteng ini berbentuk segi empat yang tidak beraturan (triangulasi) dengan 4 sudut yang ujungnya meruncing dan memiliki ceruk bidik (embrasure) di masing-masing bastion. Ketebalan dinding benteng 60 centimeter dan tingginya 3 meter. Dindingnya tersusun dari batu andesit dan batu karang yang direkatkan dengan memakai Kalero, sejenis kapur yang dihasilkan dari pembakaran batu karang. Kapur tersebut dicampur dengan pasir dan air rendaman kulit pohon Lubiri. 

Aku memanjat dinding benteng untuk melihat lebih jelas sekelilingnya. Benar juga Benteng ini berbentuk penyu kalau dilihat dari atas dan sekilas mirip benteng yang ada di Pulau Bandaneira. Dua bastion yang menjorok ke laut untuk menghalau serangan laut dari kapal musuh. Sementara dua bastion yang lain untuk menghadang serangan dari darat. Ujung bastion yang didarat ini lebih tinggi daripada yang menjorok laut jadi pemandangannya lebih jelas. Pulau Maitara dan Pulau Tidore terlihat sebagai latar belakang yang menawan. Suasana disini tidak seramai Benteng Tolukko, aku jadi lebih tenang memotret. Tidak lupa foto-foto narsis di sini. Mumpung background cakep hehehe. 

Ternate Pulau kecil yang dipenuhi benteng. Pulau ini di masa lalu sebagai pusat rempah-rempah yang menjadi incaran bangsa Eropa. Benteng Kalamata adalah benteng ketiga yang aku kunjungi. Berlokasi di Kayu Merah, Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara. 

Benteng Kalamata dikenal juga sebagai Benteng Kayu Merah karena terletak di daerah Kayu Merah. Benteng ini pertama kali dibangun oleh bangsa Portugis bernama Fransisco Serao atas gagasan Antonio Pigafeta tahun 1540 dan diberi nama Benteng Santa Lucia. Keinginan Portugis meluaskan kekuasaannya dan monopoli perdagangan mengalami benturan dengan Sultan Baabullah. Pada tahun 1575 Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keadaan tersebut dimanfaatkan Spanyol, Benteng Santa Lucia dikuasai dan dijadikan sebagai pos perdagangan dan pos pertahanan. 

Namun itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 April 1798 Benteng berhasil direbut Kaicil Nuku, Sultan Tidore ke-19 dibantu armada Inggris. Kaicil Nuku dikhianati Inggris sehingga benteng itu berhasil dikuasai dari tahun 1801 sampai tahun 1810 saat Belanda mengambil alih. Belanda mengganti namanya dari Santa Lucia menjadi Kalamata, mengambil nama dari Kaicil Kalamata seorang Pangeran Ternate, kakak Sultan Mandarsyah dan paman dari Sultan Kaicil Sibori Amsterdam. Kaicil Kalamata disebutkan dalam sejarah mengabdi pada Sultan Hasanuddin di Kerajaan Gowa. 


 

Perlahan matahari mulai condong ke barat dan aku harus pergi meninggalkan senja di Kalamata. 

Well, wherever you go becomes a part of you somehow - Anita Desai. 

Foto/tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 10 November 2020

Bira Bergembira


Elemen air selalu memberi kesegaran dan mood booster yang sempurna. Mandi, berenang, ataupun hanya mendengarkan gemericik air dan deburan ombak sungguh menyenangkan. Pilihanku berakhir pekan adalah pergi ke Pulau Bira. Kebetulan perjalananku ke Pulau Bira ini diorganisir sebuah grup trip.  

Titik kumpul kami di Pelabuhan Muara Karang, Jakarta Utara. Kapal kayu milik nelayan setempat yang disewa sebagai sarana transportasi kami. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan ke Pulau Bira kami kadang memotret obyek foto yang menurut kami menarik. Namun jarak tempuh yang hampir 4 jam membuat aku mengantuk dan terlelap.

Aku terbangun saat sampai dermaga pulau. Tibalah aku di Pulau Bira besar dengan pasir putih yang cantik dan pepohonan teduh disepanjang pantai. Panitia segera membagi cottage/penginapan para peserta trip. Kebetulan saat pembagian cottage, aku mendapat cottage lumayan bagus. Rumah panggung kayu dengan kamar tidur yang dilengkapi AC, tempat tidur plus tirai kelambu pengusir nyamuk dan Kamar mandi yang ada bathtub shower-nya. Setelah pembagian cottage kami ke dermaga untuk snorkeling di sekitar Pulau Air sampai menjelang matahari terbenam.

Kecipak-kecipik suara hentakan kaki di air laut oleh mereka yang sedang berenang, snoorkling. Berenang-renang sambil bermain dan memberi makan remahan roti tawar pada ikan-ikan yang bersliweran kesana kemari. Ikan-ikan tipikal seperti dalam film animasi "Finding Nemo". Saat ikan-ikan berkumpul itulah momen yang tepat untuk memotret. Berfoto sambil berenang diantara ikan-ikan.

Kami telah sampai di dermaga Pulau Bira ketika matahari perlahan-lahan tenggelam. Pendaran warna merah jingga begitu menawan. Sunset selalu membuat sebuah hati mendadak romantis atau bisa juga menjadi mellow. Langkah kakiku pun menjauhi dermaga saat hari mulai gelap. Kegiatan malam diisi dengan makan malam bersama sambil memperkenalkan diri ke tiap peserta trip agar semakin akrab. Selepas makan malam lanjut tidur persiapan trip besok.

Rencana pagi-pagi aku ingin melihat matahari terbit. Lewat subuh aku bersama tiga orang teman, para perempuan berjalan menuju dermaga belakang. Aku pikir karena kemarin sore telah menikmati sunset jadi hari ini ingin menikmati sunrise. Kami Melewati rimbun semak belukar. Suasana masih gelap dan aku merasa ada yang memperhatikan dari arah semak-semak yang gelap itu. 

Jantungku berdegub kencang. Well, Something isn't right. Tetapi aku tidak bilang pada teman-temanku, khawatir nanti mereka panik dan histeris. Tiba di persimpangan kami bingung mau pilih jalan yang mana. "Balik ke cottage yuk!" Ajakku. Mereka pun langsung setuju.  Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku. Akhirnya kami kembali ke cottage. Di cottage aku masih memikirkan siapa kira-kira yang memperhatikan kami tadi. 

Aku kembali lagi ke dermaga belakang menjelang pukul 5.30 pagi bersama teman-teman ketika suasana mulai terang untuk menyaksikan matahari terbit. Perlahan-lahan cahaya keemasan menyembul dari balik cakrawala. Memecah langit dengan kilaunya. 

Setelah sarapan kami ke Pulau Atol yang tidak jauh dari Pulau Bira. Pulau Atol bekas karang yang terkenal abrasi dan menjadi dataran Pulau dengan pasir putih yang cantik. Pantulan sinar matahari membuat pasir terlihat berkilauan seperti mutiara. Serasa berada di kepulauan Maldives. Tidak ketinggalan kami berfoto dan snorkeling disekitar Pulau ini. Wah ada yang dapat bintang laut hasil snoorkling. Jangan lupa untuk mengembalikan ke biotanya lagi. Sayang menjelang siang kami harus kembali ke Pulau Bira untuk makan siang dan persiapan kembali ke Pelabuhan Muara Karang.

Mau tahu dimana Pulau Bira? Pulau Bira masuk dalam kawasan konservasi Kepulauan Seribu dan masih wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pulau Bira terbagi menjadi dua, Bira Besar dan Bira Kecil. Kebetulan aku bermalam dalam cottage atau rumah kayu di Pulau Bira Besar. Ada dua dermaga di pulau ini, dermaga depan ketika kapal/perahu pertama singgah dan dermaga belakang tempat perahu bersandar untuk kegiatan snoorkling. Dahulu Pulau Bira termasuk private island, pulau pribadi milik seorang pengusaha/konglomerat ternama negeri ini. Di masa jayanya dulu ada kolam renang, lapangan golf 9 hole, 20 cottage, dan helipad. Sekarang yang tersisa hanya 8 cottage dan Pulau Bira telah menjadi milik Pemerintah DKI lagi. 

Ada sebuah tulisan di artikel salah satu blog wisata yang mungkin menjawab pertanyaanku selama ini. Pulau Bira pada tahun 1869 pernah punya mercusuar yang dihuni keluarga Belanda. Namun tidak diketahui keberadaan mereka selanjutnya. Dari cerita para penduduk sekitar Pulau keluarga Belanda itu menjadi hantu. Mereka sering melihat penampakan pria berjenggot, anak kecil dan perempuan. Apakah mereka yang memperhatikan aku kemarin di pagi buta itu? Kalau benar itu mereka, jadi mirip cerita film liburan di Pulau berhantu, Spooky. Well, buat para adrenaline junkies yang ingin uji nyali, this is your turn guys!

Foto & tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 23 Oktober 2020

Yuk Kepo-in Museum Negeri NTB



"Saya terakhir ke museum waktu masih sekolah SD!" Ujar Pak Imam, driver yang mengantar kami, saat aku bilang padanya rute selanjutnya. Entah dia terkejut atau exciting karena kami minta diantar ke museum. Jadi selepas mengunjungi Pantai Ampenan, kendaraan kami pun melaju ke Museum Negeri Nusa Tenggara Barat.
 

Seperti apa kata Pak Imam, sampai di tujuan aku melihat banyak anak-anak sekolah dasar berpakaian bebas di teras. Wah senangnya ketemu seumuranku. Aku juga masih imut-imut seperti anak SD lho. Uuhuuuyy. Jangan lupa segera membeli tiket masuk dan mengisi buku tamu. Seorang bapak pengurus museum yang ramah menghampiri sebagai pemandu kami. 

Di depan pintu masuk ada display pigura berisi kain tenunan khas Lombok yang dibubuhi tulisan dan tanda tangan dari para tamu kehormatan. Salah satunya dari Putri Maha Cakri Sirindhorn Kerajaan Thailand yang pernah datang berkunjung di tahun 2016. Beliau seorang profesor antropologi wajar sangat peduli dengan sejarah budaya. Dari berita media elektronik yang sempat aku lihat, Putri Maha Cakri Sirindhorn setelah menyaksikan gerhana matahari di Pulau Ternate, Maluku Utara, beliau melanjutkan mengunjungi Pulau Lombok. Kok hampir sama ya, aku juga setelah dari Ternate tahun 2017 pergi ke Lombok tahun 2019. Perjalananku seperti napak tilas perjalanan Sang Putri Thailand.  








Di ruang depan, saat menoleh ke kiri pandanganku langsung tertuju pada dua maket gunung. Maket itu menggambarkan penampakan Gunung Rinjani dan Gunung Tambora yang tersohor itu. Siapa yang tidak tahu Gunung Rinjani? Gunung yang memiliki kawah cantik Segara Anakan lengkap dengan mitos yang menggetarkan nyali dan menjadi salah satu destinasi idaman para pendaki di Indonesia untuk ditaklukkan. Ada lagi Gunung Tambora. Gunung yang terkenal kedasyatan erupsinya hingga melenyapkan tiga kerajaan pada masa itu (Kerajaan Tambora, Kerajaan Panetek, Kerajaan Sanggar). Erupsinya menyebabkan Benua Amerika dan Eropa mengalami musim dingin yang panjang, tahun tanpa musim panas yang menyebabkan gagal panen dan bencana kelaparan.
 

Di sebelah kanan ada seekor buaya berukuran besar yang telah diawetkan. Buaya muara dari Dompu, Sumbawa dengan panjang mencapai empat meter dan lebar hampir satu meter. Buaya tersebut ditangkap pada tahun 2010, kemudian diawetkan dan diserahkan ke museum. 

Ruang penghubung di antara ruangan depan dengan ruangan belakang museum di sisi kiri terdapat Nekara yang sudah tidak utuh. Sedangkan di seberang kanan terdapat maket Candi Borobudur. 

Di ruang belakang yang lebih luas dipajang koleksi kostum pernikahan dari kelompok etnis Sasak, Samawa dan Mbojo. Di sebelahnya tampak Jaran Kamput, Kuda kayu yang dinaiki anak-anak yang telah dikhitan untuk diarak keliling kampung. Terlihat tiga orang anak tampak serius menulis di dinding kaca display. 

Ada alat menenun lengkap dengan kain hasil tenunannya. Daun Lontar beserta alat pengukir/pemahat daunnya. Wah, ada Kitab Cerita Angling Dharma yang ditulis aksara pegon (aksara arab berbahasa jawa). Beberapa fosil, koin kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda, serta senjata tradisional Kesultanan Bima. Sayang aku tidak bisa memasuki ruang emas karena terkunci. Aku hanya bisa mengintip disela-sela kaca. Tampak topi kopiah yang terbuat dari emas sebagai mahkota Sultan Bima. 

Sebuah tarikan yang kuat membuatku menghampiri koleksi topeng-topeng kuno itu. Hhmm wajah yang terpahat ditopeng begitu hidup. Begitu pula dengan benda-benda penolak bala, pakaian sang spiritualis bernuansa magis. Entah mengapa aku tertarik memperhatikannya lebih lama. Mungkin kehidupanku yang telah lalu adalah seorang penyihir hahaha. 

Setelah puas keliling melihat-lihat isi di dalamnya, aku bertanya pada bapak pengurus museum yang sabar mengiringi kami. 

"Menurut bapak, koleksi andalan utama museum ini apa, Pak?" tanyaku.
"Untuk sementara belum ada. Belum ada koleksi khusus yang menjadi andalan museum ini" jawab pengurus museum.

"Sayang sekali sebenarnya lontar-lontar yang banyak itu bisa jadi koleksi andalan museum ini lho, Pak!" saranku.
 

Buat anda yang ingin mengunjungi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat lokasinya ada di Jalan Panji Tilar Negara No.6, Taman Sari, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat 83117. Dengan areal seluas 8.613 m2 dan luas bangunan 3.160 m2, museum ini memiliki koleksi hampir mencapai 8.000 buah berupa koleksi sejarah, biological, geologist, arkeologi, filologi, numistik, heraldik, budaya dan keramik. Diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef pada tanggal 23 Januari 1982. 

 

Museum Negeri tak hanya menyimpan benda-benda bersejarah, ada beberapa koleksi museum yang dipercaya oleh masyarakat memiliki kekuatan ghaib. Benda penolak roh halus, pengusir roh jahat, serta penangkal petir menjadi bagian dari koleksi yang dapat anda lihat ketika berkunjung juga ke museum negeri. Museum dibuka setiap hari kecuali hari Senin mulai pukul 08:00 WITA. 

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 01 April 2020

Memecah Keheningan Candi Sumberawan

Kicauan burung bersahutan saat aku menapaki jalan setapak menuju candi. Barisan pohon pinus masih lebat tersisa di sini. Setelah meniti jembatan yang melintang di atas sebuah kali kecil tibalah aku di gerbang Candi. Bau harum bunga melati tercium sama ketika aku memasuki gerbangnya. Aneh aku tidak melihat Bunga Melati ataupun dupa disini. Jadi wangi ini dari mana asalnya?


Aku melewati pos pengurus candi yang ada di dalam komplek Candi ini. Dari sini terlihat tumpukan batu-batu dan stupa Candi di kejauhan. Batu reruntuhan candi yang satu tertumpuk dan yang lain tersusun seperti tempat semedi/meditasi berikut cupu untuk dupa.

Sesosok pria memakai jaket berwarna merah dan putih menancapkan dupa di sebuah cupu. Seketika aroma dupa menebar aura mistik. Dia duduk bersilang kaki dengan kedua telapak tangan, ujung jari jempol dan jari telunjuk saling bersentuhan, dan jemari yang lain saling merangkai. Matanya terpejam. Gerakan menghirup udara dari hidung dan melepaskannya perlahan kurang lebih lima belas menit untuk mengheningkan cipta. Tenang dan damai terpancar dari wajahnya. Suasana Candi di pagi hari yang sepi menambah kekhusyukannya.

Agar tidak menggangu meditasinya aku bergegas naik ke stupa Candi. Stupanya mirip dengan stupa tertinggi Borobudur. Stupa polos tanpa relief pahatan pada dinding candi melambangkan "suwung", kosong, hening, puncak dari semedi/meditasi. Memang candi ini biasa digunakan untuk bertapa semedi. Sayang bagian ujung stupanya tidak ada. Mungkin hilang atau telah lapuk dimakan usia.

Di seberang stupa ada sebuah sendhang atau kolam yang mata airnya keluar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang rindang dengan dahan ranting yang bergelayutan mengelilingi sendhang itu. Menambah kesan wingit area ini.


Ada sudut yang menarik perhatianku. Seperti ada tarikan energi dibalik pagar tembok itu. Benar saja ternyata ada sumber air yang disucikan di tempat ini. Ketika aku mau masuk, seekor kupu-kupu putih terbang mengitariku. Mungkinkah ucapan selamat datang dari makhluk kecil itu?

Mata air jernih yang menyembul dari sela-sela batu membuatku ingin membasuh wajah dan mencicipi airnya. Tak lupa sebelum menyentuh atau mengambil airnya kita berdoa dan meminta ijin pada Yang Maha Kuasa.


Konon Candi Sumberawan adalah petilasan dan tempat moksa Mpu Purwa, ayah dari Ratu Ken Dedes dari Kerajaan Tumapel/Singosari. Moksa adalah meleburnya raga dan roh kepada elemen alam semesta untuk bersatu dengan pemilik hidup, Tuhan Yang Maha Esa.



Candi Sumberawan ini berlokasi di Desa Toyomarto  Kecamatan Singosari, Malang, Jawa Timur. Diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Singosari oleh Raja Kertanegara. Kemudian dipugar oleh Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang datang berziarah, sebagaimana disebutkan dalam Negarakertagama 1359 M. Dalam Negarakertagama disebutkan tempat yang bernama "Kasuranggan"  yang berarti taman tempat para dewi/bidadari. Hhhmm pantas aku mencium semerbak bunga melati ketika masuk gerbang candi, ternyata itu wangi dari para bidadari. Baik Raja Kertanegara dan Raja Hayam Wuruk adalah keturunan Ratu Ken Dedes yang juga keturunan Mpu Purwa.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro Baca keseluruhan artikel...

Senin, 09 Maret 2020

Seplawan yang Menawan



Semut di seberang lautan kelihatan sedangkan gajah dipelupuk mata tak nampak. Begitu penggambaran diriku yang seringnya menulis kampung orang, sampai kampung sendiri terlupakan. Kebetulan tahun 2020 ini ditetapkan oleh Bupati Purworejo sebagai Tahun Kunjungan Wisata atau lebih dikenal dengan "Visit Purworejo Year 2020". Aku memilih menulis tentang Goa Seplawan yang dari dulu sering diceritakan Bapakku tercinta.


Tiga kali mencoba ke Goa Seplawan. Pertama kali ketika aku masih sekolah menengah pertama dengan naik sepeda.Aku bersama tiga kakak dan bapakku. Perjalanan dari rumah menjelang siang, baru setengah perjalanan hari sudah menginjak sore. Kami pun batal melanjutkan ke goa dan kembali ke rumah. 

Kedua kali dengan adik dan keponakanku mengendarai motor. Kami bertiga naik satu motor, keponakanku waktu itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar jadi muat boncengan bertiga. Jalan yang curam membuat motor yang kami kendarai tidak kuat menanjak. Kami batal lagi ke goa seplawan.

Ketiga kalinya aku bersama kakak dan dua keponakanku mengendarai motor. Medan perjalanan yang naik turun, menanjak curam disarankan memakai motor kopling bukan matic. Dan bila berkendara dengan mobil pastikan ahli dan terampil. Mengapa aku bilang begitu? Well, sepanjang perjalanan aku lihat kerumunan orang dan anggota kepolisian karena kecelakaan yang menyebabkan satu truk terguling, satu mobil tergelincir dan dua motor jatuh. Meskipun di kanan kiri jalan dipasang papan peringatan untuk hati-hati berkendara.

Akhirnya aku sampai di Goa Seplawan. Sepasang patung besar perwujudan Dewa Siwa dan istrinya Dewi Parwati berwarna kuning emas berdiri dipinggir jalan setapak menuju goa. Patung ini sebagai maskot goa. Patung yang sama juga ada di bundaran taman goa Seplawan.

Ada dua tangga untuk memasuki goa.Tangga itu terbuat dari besi yang melingkar. Aku memilih tangga pertama sebagai pintu masuk dan keluar lewat tangga kedua. Begitu aku masuk mulut goa, tetesan air dari atas bebatuan staglatit menyentuh wajahku. Setelah melewati lorong yang gelap akhirnya disisi kiriku ada penerangan lampu. Di tempat itu dulu ditemukan Golek Kencono, sepasang arca emas berbentuk Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Konon bau harum semerbak ketika dua arca emas itu diangkat. Dewa Siwa dan Dewi Parwati dianggap sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Aku pernah melihat dua arca emas itu di Museum Nasional Jakarta.

Aku melanjutkan ke lorong lain goa. Goa ini terbagi dua. Ruang Pertama tempat ditemukan arca, Ruang Kedua di bagian belakang. Ruang pertama dan kedua dipisahkan dengan tangga kecil menuju atas. Untuk naik pengunjung melewati kolam genangan air yang berasal dari bebatuan staglatit. Beberapa pasang sepatu dan sandal pengunjung diletakkan dipinggir kolam. Mereka melepas sepatu dan sandalnya untuk menuju ruang kedua. Ruang kedua ini lebih luas. Seperti layaknya ruang pertemuan. Di ruangan yang luas ini sempat menjadi lokasi shooting program televisi Mister Tukul Jalan-jalan. Dari penelusuran Flashback Retrocognition-nya tim mereka, Goa Seplawan ini masuk dalam Kerajaan Galuh Wati/Galuh Purba.

Selepas dari goa hawa kantuk menyerang. Apakah karena aku lelah dari perjalanan ke Blitar, Malang dan Yogya? Atau mungkin hawa kantuk ini akibat aku kekurangan oksigen juga karena musim hujan kondisi goa dingin dan lembab yang membuatku ingin segera berendam di kasur hehehe.

Hampir lupa mengunjungi gardu pandangnya. Di dekat taman goa dibangun gardu pandang. Ternyata lokasi Goa Seplawan ada di perbukitan Menoreh yang berbatasan langsung dengan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Purworejo. Dari sini tampak laut Selatan jawa, hutan bukit yang menghijau, dan kota Purworejo dikejauhan. View-nya keren banget! Para leluhur tepat sekali memilih tempat ini yang berada di ketinggian untuk semedi bermeditasi guna mendekatkan diri pada Illahi. 



Goa Seplawan berlokasi di Katerban Desa Donorejo Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Goa Seplawan dikaitkan dengan "Parahiyangan" (alam tinggi para dewa) yang disebutkan dalam Prasasti Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di Desa Boro Wetan di tepi Sungai Bogowonto ( Prasasti Kayu Ara Hiwang sekarang berada di Museum Nasional Jakarta). Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Maharaja Medang/Mataram kuno yang bernama Dyah Balitung Rakai Watukuro melalui pejabatnya yang ditunjuk.

Dalam Prasasti tersebut diungkapkan telah diadakan upacara besar pada Bulan Asuji Tahun Saka 823, Hari ke-5, Paro Peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva (tanggal 5 Oktober 901 M). Pematokan tanah perdikan/Sima atau tanah yang dibebaskan dari pajak karena daerah tersebut ada bangunan suci tempat "Parahiyangan".

Foto dan tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 Desember 2019

Piknik Tipis-tipis Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor
"Eh itu Eri!" sambil tanganku menunjukkan kepada kakakku yang berjalan keluar stasiun. Aku baru saja tiba di Stasiun Bogor setelah naik kereta commuter line yang menempuh waktu perjalanan kurang lebih sejam dari Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Stasiun Bogor sebagai meeting point kami sebelum beranjak ke Kebun Raya Bogor. Demi mempersingkat waktu kami tidak naik angkutan umum karena jalannya hanya satu arah. Daripada kendaraannya memutar lebih jauh lebih baik kami berjalan kaki ke Kebun Raya Bogor.
Berawal dari iklan promo epic sale dari sebuah online travel agent dan juga provokasi temanku, akhirnya tergoda mengambil promo diskon hotel di Bogor.


Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor
Aku dapat promo hotel di daerah Jl. Pajajaran. Kebetulan daerah tersebut dikenal sebagai pusat kuliner. Dari situlah aku berpikir untuk piknik ke kebun raya. Aku memang sengaja memilih Bogor yang tidak jauh dari Jakarta untuk berpiknik akhir pekan di samping murah meriah pastinya. Hemat beib!



Kebun Raya Bogor
Gedung megah dengan relief Ganesha dan patung singa di kanan-kiri pintu masuk sebagai tempat aku membeli tiket seharga Rp.15.000. Dari situ aku berjalan belok kanan, lanjut belok kiri terus lurus. Sampai di pertigaan jalan, bila kita terus lurus akan ada Bunga Bangkai, Amorphophilus Titanium, maskot Kebun Raya Bogor. Tidak jauh dari Bunga Bangkai juga ada makam Keramat seorang permaisuri Kerajaan Pajajaran, Ratu Galuh Mangku Alam Prabu Siliwangi. Disebrang makam ada Jembatan Merah yang bernuansa mistis. Konon kalau ada sepasang kekasih melewati jembatan itu, hubungan mereka akan putus.

Kebun Raya BogorDari pertigaan aku memilih belok kanan melewati jembatan warna putih yang menuju taman yang luas. Tidak jauh dari Kafe yang berdiri ditengah-tengah kebun. Di bawah pohon rindang, samping kolam tempat yang tepat untuk aku menggelar kain sebagai alas duduk. Aku membawa bekal cemilan krupuk kulit, kuaci bunga matahari, tahu baso, kopi-coklat sachet, termos air panas, gelas, sendok garpu, nasi berikut makanan terenak di dunia, Rendang buatanku hehehe.


Ternyata berjalan kaki dari stasiun sampai dalam taman kebun raya cukup menguras energi. Kebetulan juga sudah masuk jam makan siang. Segera aku buka bekal makanan tadi. Menyantap makananku sambil memperhatikan sekelilingku. Di sisi kiriku spot kemah dome dipenuhi orang-orang berkaos merah biru yang sedang ada acara company gathering.

Semilir angin diantara dedaunan seperti kipas angin alami membuatku sedikit mengantuk. Mungkin juga efek kekenyangan ;) Biar mata melek segera kuseduh serbuk minuman coklat hangat. Aroma coklat yang semerbak sungguh menyegarkan. 

Kebun Raya Bogor Di samping kanan, tempat aku duduk, berdiri kokoh sebuah tugu. Tugu prasasti peringatan dua abad atau 200 tahun berdirinya Kebun Raya Bogor, Bicentenary Monument of Bogor Botanic Garden ( 18 Mei 1817 - 18 Mei 2017). Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 18 Mei 2017. Tugu tersebut berbentuk Rafflesia Padma sebagai logo dua abad yang diciptakan oleh Taja Sukarya.

Aku beranjak ke lokasi lain, danau kolam gunting yang terkenal dengan view belakang Istana Bogor. Bila dari pintu masuk kita berjalan belok ke kiri, belok ke kanan, dan lurus. Di kanan jalan terdapat monumen untuk mengenang Olivia Raffles, isteri dari Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles tahun 1814, saat Indonesia dalam peralihan kolonial Inggris dan Belanda.

Sebuah bingkai kayu membentuk gerbang dengan tulisan "Kebun Raya Bogor" menarik pandangan mataku. Sebuah dermaga kayu telah dibangun untuk spot foto kekinian dengan latar belakang kolam gunting. Jalan setapak dibentuk dari batuan kecil yang disusun sedemikian rupa berfungsi sebagai terapi telapak kaki. Hhhmm Kebun raya sudah banyak yang berubah. Terakhir aku kesini tahun 2009. Berarti sepuluh tahun yang lalu.


Kebun Raya Bogor
Aku terus berjalan menuju Danau kolam gunting dengan view belakang Istana Kepresidenan. Beberapa remaja sibuk berpose dengan kamera ponselnya. Ini memang spot favorit pengunjung. Di perbatasan antara gerbang belakang istana dan Kebun Raya dibangun tugu monumen kecil relief wajah Reinwardt untuk mengenang Prof. Casper George Carl Reinwardt yang turut berjasa membangun Kebun Raya Bogor.

Tampak seorang tentara sedang berjaga. Duduk sambil memperhatikan layar telepon selulernya. Beberapa kemah tentara didirikan dekat kolam. Sejak Istana Bogor ditempati presiden, Kebun Raya Bogor masuk dalam ring satu penjagaan. Oh ya aku datang tinggal 19 Oktober 2019, sehari sebelum pelantikkannya Presiden terpilih.

Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor merupakan Kebun botani besar yang terletak di kota Bogor. Berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda No.13, Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Jawa Barat. Luasnya mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Saat ini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut Prasasti Batu Tulis Kebun Raya Bogor pada mulanya merupakan bagian dari Samida (hutan buatan/Taman buatan) yang telah ada sejak Pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi (1474-1513). Hutan buatan ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan dan sebagai tempat memelihara benih kayu yang langka. Samida serupa juga dibuat di perbatasan Cianjur - Bogor, yang disebut Hutan Ciung Wanara. Hutan ini tidak terawat setelah Kerajaan Sunda takluk kepada Kesultanan Banten.

 
Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Van Der Capellen kemudian membangun rumah peristirahatan di salah satu sudut hutan Samida dan mulai meresmikan kebun botani pada 18 Mei 1817 dengan bantuan Prof. Caspar George Carl Reinwardt.  Pada masa peralihan kolonial Inggris- Belanda, Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles dari Inggris pernah mendiami istana dan merubah halaman tamannya menjadi seperti taman bergaya Inggris klasik.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro


http://befreetour.com/id?reff=X3KRF Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 12 September 2019

Singgah ke Sade

Gerbang masuk Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

"Terimakasih atas kunjungannya!", ucap Pak Mesah usai mengantar kami keliling dusun. Aku bergegas menuju Bandar udara untuk kembali ke Jakarta.

Mengunjungi Lombok rasanya tidak lengkap bila tidak ke Dusun Sade. Sade adalah salah satu Dusun di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Berlokasi di pinggir jalan raya yang hanya berjarak 13 km atau sekitar 30 menit ke arah Bandar Udara Praya. Dusun ini masih mempertahankan Adat Suku Sasak. Mereka memegang teguh tradisi sejak pemerintahan Kerajaan Pejanggik di Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Diperkirakan dusun ini ada sejak tahun 1907, dihuni kurang lebih 150 kepala keluarga dan telah 15 generasi berlangsung.


Rumha Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Setelah mengisi buku tamu, kami diajak keliling dusun mengunjungi salah satu rumah penduduk. Bangunan rumah mirip dengan Joglo, rumah Adat Khas Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Rumah adat ini bernama Dalam Bale Tani.Rumah perpaduan bilik dinding bambu dan pintu dari kayu yang menyangga rumah. Pintunya terlihat pendek dan kecil. Menurut penuturannya, ketika kita masuk rumah dengan menundukkan kepala untuk menghormati tuan rumah. 


Dalam rumah di Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Ruangan depan/ Bale Luar sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur laki-laki. Bale dalam diperuntukkan sebagai tempat tidur perempuan dan juga tempat melahirkan. Menuju Bale dalam kita akan menaiki tiga anak tangga yang mencerminkan tahapan-tahapan kehidupan. Tangga pertama, kelahiran. Tangga kedua, berkembang sebagai manusia. Tangga ketiga, tahap akhir atau kematian.

Atapnya terbuat dari alang-alang kering yang tersusun padat dan rapi. Tiap lima atau limabelas tahun sekali alang-alang keringnya diganti. Lantai dari tanah liat. Seminggu sekali lantai tanah dibersihkan dengan kotoran kerbau sebagai upaya mencegah nyamuk/serangga dan menjaga rumah agar tetap hangat.

Berpose Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

Masjid yang bersedia hanya digunakan untuk tiga waktu sholat, karena penduduk Dusun Sade menganut "wetu tilu". Ada delapan bentuk bangunan di dusun ini, yaitu Bale Tani, Jajar Sekeran, Benter, Beleq, Berugak, Tajuk, Bencingah, Lumbung.


Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara BaratLumbung padi berbentuk lengkung terbuat dari kayu atau anyaman bambu. Disangga tiang kayu beratap alang-alang. Ada jendela kecil diatas yang berfungsi sebagai pintu masuk lumbung. Lumbung terbagi menjadi dua bagian. Bagian Atas tempat penyimpanan padi/gabah. Bagian bawah sebagai bale tempat duduk dan berkumpul. Lumbung padi hanya boleh dimasuki oleh orang yang telah kawin, menikah. 

Di kanan-kiri jalan setapak berjajar rumah-rumah penduduk yang juga menjual bermacam cenderamata, kerajinan khas Lombok, berupa kain tenun, syal, ikat kepala, topi anyaman, gelang, kalung dengan warna-warna yang cerah. Ibu-ibu sibuk menenun benang-benang agar menjadi kain.

Sejak usia sembilan tahun seorang gadis harus belajar menenun. Seorang gadis tidak boleh menikah kalau tidak bisa menenun, karena hasil tenunannya akan diberikan kepada suaminya kelak. Di sudut jalan depan rumah, tampak seorang nenek sedang menumbuk biji-biji kopi dengan alu. Hhmm harum wangi kopi menyegarkan. Aku jadi ingin membeli kopi khas Sasak ini.

Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Salah satu keunikkan Dusun Sade yaitu tradisi kawin culik. Kawin culik adalah tradisi pernikahan yang dilakukan pihak laki-laki dengan menculik perempuan calon istrinya tanpa sepengetahuan keluarga pihak perempuan. Setelah pihak laki-laki mengungkapkan isi hatinya kepada keluarga pihak perempuan, maka diadakan pernikahan dengan membawa calon pengantin perempuan kembali ke rumahnya.

Prosesi arak-arakkan pengantin disebut "Nyongkolan". Setelah acara Nyongkolan mereka akan menempati sebuah rumah kecil yang disebut Bale kodong sebagai tempat bulan madu. Kebetulan aku sempat melihat acara Adat Nyongkolan di jalan arah ke Sukarara. Wah meriah banget!

"Ini adalah pohon janji!" ujar Pak Mesah sambil menunjukkan sebuah pohon yang meranggas dan hanya tersisa batang, cabang ranting tanpa dedaunan. Biasanya pohon ini digunakan sepasang kekasih yang berjanji bertemu saat tradisi kawin culik. So sweet, aku rela diculik aahhaayyy!

Foto dan tulisan oleh Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya