Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Borong. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Borong. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Maret 2016

Ups.. Ternyata Ada Pasir Putih di Borong

Senja di Pantai Liang Bala Borong
Rela pingsan menikmati ademnya pasir putih di pantai Liang Bala
Pantai Liang Bala adalah pantai yang pasirnya berwarna putih yang ada di sekitaran kota Borong. Keistimewaannya, selain berpasir putih, di pantai ini juga terdapat beberapa gua. Gua terdekat yang bisa dijangkau lewat pantai hanya bisa dicapai kalau sedang surut saja. Saat ini pantai ini masih belum dikelola oleh pemerintah, jadi masih gratis dan bebas. Iya bebas beneran kok mau ngapain aja asal bukan bebas buang sampah ya, kalau itu minta aku gosok kepalamu pake kaus kaki. Wisatawan lokal juga belum banyak yang ke tempat ini, entah karena belum dikenal atau karena kondisi jalannya yang kurang bagus. Tapi ada juga yang bilang begini: ah, sama kayak di sini kok om cuma pasirnya warna putih tapi sama saja. Wah ini orang mungkin belum tau kenapa ada salon #apahubungannyacoba.

Liang Bala dari atas
Tampak pasir putih pantai Liang Bala dari puncak
 Sebelumnya gak pernah mikir kalau di Borong itu ada pantai yang pasirnya berwarna putih. Iya beneran.. Aku gak ada ekspektasi bakalan mendatangi pantai yang memiliki pasir berwarna putih di sini. Dari pertama kali ke Borong sekitar tahun 2012-an (awal-awal Manggarai Timur lepas dari Manggarai, kabupaten induknya), aku cuma tahu pantai Watu Ipu yang memanjang dari dermaga Borong yang sebelah tenggara dibatasi sama bukit batu yang terjal itu pasirnya warna hitam. Bahkan salah satu lokasi wisata yang dari dulu dikembangkan sejak kabupaten induk yaitu kawasan pantai Cepi Watu itu pun juga pasirnya berwarna hitam cuma di sana ada lokasi yang banyak batu-batunya. Kelebihan Cepi Watu cuma satu, kalau lagi pas bisa lihat mbak-mbak bahenol jalan-jalan di pantai. Ternyata oh ternyata di Cepi Watu itu ada tempat karaoke.. mungkin mbak-mbak itu yang jaga parkir kali ya #sokculun. Karena itulah, wajar aku gak punya ekspektasi banyak kalau ke Borong. Tetap suka sih menikmati senja di pantai walau pasir hitam, karena senja tetaplah senja yang asyik dinikmati dari mana saja bahkan sambil boker aja nikmat #timpukboker.


View gua Liang Bala
Suasana tebing gua dari ujung lain gua
Katanya pantai Liang Bala ini belum lama baru diketahui keberadaannya baru sekitar dua tahunan ini. Mungkin saja pantai itu diketahui keberadaannya sejak kawasan bukit yang menghalangi pantai itu kena gusur sebagian jadi jalan. Iya, memang ada jalan baru yang harus memangkas samping bukit yang isinya batu-batu lempengan dan batu-batu besar segede gaban. Batu-batunya unik lho lempengannya lurus-lurus kayak baru keluar dari pabrik. Coba ada yang kreatif bisa langsung dibikin batu alam tuh. Yuk yang mau bisnis jualan batu kakak? Kakak yang potong batu, aku yang jual.
Ikhwal aku sampai ke pantai ini saat gak sengaja liat foto-foto pantai yang dipasang di salah satu restoran saat kita sedang makan siang. Di situ ketemu mas Eko - pinisepuhnya Tapaleuk Ukur Kaki #sungkem - yang kesasar sampai ke Borong. Dapat info dari teman-teman pemda yang sudah ke sana lebih dahulu kalau lokasi pantai itu ternyata dekat yaitu di balik bukit di pantai Watu Ipu. Waktu ngobrol siang itu juga belum kepikiran ke sana karena informasinya lokasinya masih susah dilewati. Mungkin kurang doa kali.


View dalam gua Liang Bala
View dari dalam gua pertama di pantai Liang Bala
Sore hari rencana awalnya mau jalan-jalan di pantai yang ada muara dari sungai Wae Bobo. Kebetulan sudah ada jembatan yang membentang tinggi melewati muara sungai Wae Bobo yang pas buat nikmati sunset. Masalahnya cuma satu motor, gak mungkin kan kita bonceng bertiga nanti bisa-bisa saingan sama alay-alay bekicot. Karena Trysu batal mau ikut (kayaknya memberi kesempatan aku dan mas Eko berduaan #halah), akhirnya kita merubah arah mau mencoba mendatangi pantai Liang Bala. Walaupun sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi informasi lokasinya lumayan belibet jadi memang harus rajin-rajin nanya sama penduduk sekitar kalau tidak mau kesasar ke tempat lain.

Salah satu cekungan air di gua Liang Bala
Kita melewati jalur baru yang memangkas sisi kanan bukit sehingga kondisi jalannya masih berupa jalan tanah berbatu. Sebelumnya di daerah ini mungkin sudah ada jalan namun masih berupa jalan setapak yang digunakan untuk masyarakat sekitar bukit. Karena memang pekerjaannya baru kondisi pemotongan bukit jadi kondisi jalannya masih amburadul. Selain kurang rata batuannnya pun gampang terlepas bisa bikin motor gagap. Untung aku duduk manis jadi pembonceng di atas motor Mega Pro yang ditunggangi sama mas Eko yang juga gedenya saingan sama motornya. Jadi mantep aja lewat jalan berbatu, itu batu saat digilas bukan melenting keluar tapi langsung amblas ke tanah. Mungkin kalau dilewati mas Eko beberapa kali itu jalan langsung mulus sendiri #digamparmaseko. Aku sendiri merasa miris tiap kali lewat di batuan yang berpasir. Rem gak boleh bener-bener ditekan kalau gak ingin motor slip. Setelah melewati dua tanjakan, di tanjakan terakhir itulah view pantai pasir putih nampak jelas. Bagian menurun inilah yang bener-bener harus hati-hati. Aku bener-bener gak nyaranin ke tempat ini pakai motor yang rodanya kecil. Di belokan menurun terakhir aku memilih turun dari motor karena selain belokan tajam juga jalan berlubang dalam. Sepertinya kalau habis hujan lokasi ini tidak bakalan bisa dilewati motor, cuma bisa pake kolor itu pun jangan bukan kolor ijo, halah.

Memotret air di Liang Bala
Lokasi yang cocok untuk memotret slowspeed
Angin dari laut langsung menerpa ke wajah begitu sampai di lokasi, menyengat-menyengat gurih gimana. Cuaca masih terasa gerah walau sudah sore karena saat ini memang wilayah NTT menjadi salah satu wilayah yang masih mengalami gejala El Nino - gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan lautan - makanya jadi terasa lebih kering dan panas walaupun sebenarnya saat ini seharusnya masih jatuh musim hujan. Untungnya laut masih surut walaupun belum terlalu turun. Dengan menyusuri pantai ke tenggara melewati pinggir tebing batu akhirnya bertemu dengan sebuah lubang besar. Gua Liang Bala yang pertama ini tidak terlalu dalam, lebih mirip sebuah ceruk besar. Dari posisinya, air laut akan membasahi sampai ke ujung gua saat puncak pasang. Di sekitar gua banyak cekungan-cekungan air dimana beberapa ikan kecil tampak terperangkap di dalamnya. Di antara pantai pasir putih dan gua ini ada tempat karang yang bagian bawahnya bolong sehingga saat ombak naik dari lubang-lubang itu keluar suara mendesis keras yang kadang-kadang disertai semprotan air yang kencang ke udara. Tidak banyak orang hari ini, hanya ada beberapa anak yang sepertinya merupakan anak-anak dari kampung ini juga sedang menggunakan tombak dan pancing. Di bagian tebing atas tampak sebuah bangunan pondok terbuka yang dibuat oleh penduduk. Ada sepasang suami istri yang tengah beristirahat setelah selesai menanam. Di bagian atas tebing itulah tanah mereka. Saat ini mereka sedang menanam jagung, ada beberapa pokok ubi di bagian samping yang mungkin sudah di tanam jauh sebelumnya.

Kolam di gua Liang Bala
Kolam-kolam di sekitar gua, banyak ikan kecil terjebak
Karena jaraknya tak jauh, dua hari berikut setelah mas Eko melanjutkan tour ke Ruteng, aku mengajak Trysu kembali ke pantai Liang Bala. Kebetulan dari siang, listrik di hotel yang pelayanannya ala kadar namun harganya ala mak, maka aku dan Trysu sudah mulai jalan sejak jam empat. Karena jalan kaki, aku dan Trysu memilih menyusuri jalan pantai yang sudah dilapis batu dengan jarak tempuh tak lebih dari lima belas menit. Dari dermaga pantai Watu Ipu, jalan ke arah bukit sangat terjal. Sepertinya tempat ini sudah beberapa kali longsor tampak dari beberapa pohon yang sudah tumbang jauh ke bawah. Sebenarnya waktu kembali dari pantai ini, penduduk ada yang bilang kalau kita bisa lewat bawah menyusuri bukit cuma aku kurang tahu dari mana mulainya makanya aku memilih lewat atas bukit saja. Di atas kami harus beberapa kali berhenti berteduh karena cuaca yang masih terasa terik walaupun sudah jam empat sore.

Awalnya aku mengajak Trysu ke atas bukit untuk menunjukkan view gua dari atas bukit. Saat berada di atas justru aku dikiranya mau ke gua yang lain jadi mereka memandu kami arah menuju gua lain. Wah memang rejeki, akhirnya malah tau cara menuju ke gua lainnya dan itu tidak perlu harus menunggu laur surut. Tapi masalahnya berganti. Dari atas bukit ini untuk turun ke bawah yang harus hati-hati. Turun pertama harus melewati kayu yang dibuat penduduk untuk turun ke bawah. Setelah beberapa meter menyisir pinggir tebing barulah kita harus kembali agak merangkak menyusuri tebing untuk sampai di bawah gua. Kondisi di sini kita harus hati-hati karena tipe batu di tebing bukan tipe karang tapi jenis batu cadas campur karang. Artinya tidak semua batu aman untuk dijadikan pegangan.

Senja dari tebing Liang Bala
Senja dari atas tebing pantai Liang Bala
Begitu sampai di gua bawah, pemandangan pasir putih di pantai ini lebih asyik. Bukan cuma karena tempatnya yang lebih tersembunyi tapi yang pasti juga lebih bersih karena sepertinya tidak semua orang yang berwisata ke pantai Liang Bala sampai ke pantai yang sisi ini. Ternyata di sini selain gua yang langsung kita temui saat turun juga masih ada dua gua kecil lain yang letaknya tak jauh tinggi dari pantai, yang artinya akan tergenang saat air mencapai puncak. Berarti hanya gua awal kita turun yang paling aman karena tidak akan terjangkau air walau sedang puncak pasang juga kondisi dalam gua yang berupa tanah landai bisa digunakan untuk berteduh. Hayo siapa yang berminat pasang tenda di sini. Gak rugi lah pokoknya kalau mau nenda di sini.

Perjalanan pulang aku dan Trysu sempat menyusuri lewat pingir pantai yang ternyata capek karena harus loncat dari satu batu ke batu lain. Ternyata waktu naik ke atas ada jalan setapak yang hanyak cukup satu badan. Walau kecil saja tapi jalan ini rupanya jalan yang paling cepat bila mau ke Liang Bala dengan jalan kaki. Motor tidak bisa melewati jalan ini ya karena di beberapa titik kita tetap harus melewati batu-batu besar. Gobloknya, dengan jalan kaki sejauh itu kira malah hanya membawa satu botol air putih ukuran kecil. Keruan saja kita pulang jadi setengah mati gara-gara kehausan di sepanjang jalan. Udah gitu warung yang biasa buka di pinggir dermaga entah kenapa juga tidak jualan hari ini.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 05 Maret 2013

Ranamese, Rindu pada Hening

Di tepi danau Ranamese, tumbuhan air memenuhi bawah danau
Aku menulis ini bukan karena bosan jalan-jalan atau gak ada stok tempat tujuan lain lagi sehingga harus menulis yang sama.. itu lagi itu lagi... Tapi karena ada sesuatu hal yang membuat kegiatan jalan-jalan dan moto-moto terhenti. Tetapi karena kesibukan yang seharusnya gak perlu dibuat sibuk. Tak lain dan tak bukan karena harddisk-ku tewas. Sayangnya, kerusakan harddiskku terlambat aku sadari yang mengakibatkan seluruh file yang ada di dalamnya hilang tak terselamatkan... foto-foto dan video perjalanan juga data lainnya selama enam bulan terakhir raib lenyap. Jadi saat itu lebih disibukkan untuk mengembalikan data-data pekerjaan yang terus terang bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan ulang. Ayo.. ayo.. yang ikut berduka bisa menyumbangkan uang duka ke rekeningku hahahaha...

Tapi ternyata foto-foto ini masih sempat aku olah walaupun hanya menyisakan ukuran layak tayang di website saja, itupun sayangnya juga tidak lengkap. Tapi daripada itu hilang lebih baik aku upload saja di sini, walau sebenarnya cerita di sini belum lengkap karena awalnya aku ingin sekalian menuliskan lokasi air terjun Watu Teber yang tidak jauh dari danau Ranamese.

Senja di pantai Cepi, Borong
Perjalanan ke Ranamese baru bisa terlaksana hari Sabtu padahal sudah hampir seminggu tinggal di Borong. Apalagi kalau bukan masalah hujan yang rajin mengguyur tanah Flores belakangan ini, masih untung tidak meninggalkan jejak banjir seperti di Jakarta. Rencana perjalanan ke Ranamese sebenarnya ada dua tujuan: pertama, memperkenalkan lokasi baru ke Putra yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, kedua ada rencana yang belum tuntas yaitu mengelilingi danau Ranamese.

Kami mematangkan rencana setelah melihat cuaca siang terang, memang mungkin sekali cuaca berubah sewaktu-waktu tapi ini adalah hari terakhir kami. Minggu rencana kami akan kembali bertugas ke kota lain.

Sekitar jam tiga lewat, kami bertiga, aku, Angga dan Putra diantar mobil kijang pak Victor kami ke pertigaan arah masuk ke pasar. Di sini banyak sekali mobil-mobil plat hitam yang beroperasi layaknya angkutan umum antar kota. Umumnya mobil-mobil sejenis Avansa dan paling banyak APV memiliki jalur tempuh pendek, Borong-Ruteng atau Borong-Bajawa. Kami naik sebuah APV hitam yang sedang kosong yang menawarkan jalur Borong-Ruteng. Tak menunggu lama, si sopir memutuskan langsung berangkat. Aku sempat heran karena biasanya hari Sabtu banyak yang pulang. Just info, Borong adalah kota dari Kabupaten Manggarai Timur yang baru terbentuk beberapa tahun lalu jadi suasananya masih seperti kampung di Jawa. Karena baru banyak pegawai yang sebagian mutasi dari kabupaten induk Manggarai masih tinggal di Ruteng. Jadi hari Sabtu adalah kesempatan untuk pulang dan menikmati Minggu di rumah. Namun rupanya sebagian pegawai sudah pulang hari Jum'at karena Sabtu ini adalah hari libur. Sopirnya ternyata orang Ruteng jadi sekalian sambil mengantar kami langsung kembali ke Ruteng.

Sebuah rakit dari kayu di tepi danau Ranamese
Setengah jam perjalanan yang terus menanjak akhirnya kami sampai di depan gerbang kantor bekas KSDA yang sudah kosong sekaligus pintu gerbang menuju ke danau Ranamese. Sopir APV minta uang seratus ribu waktu aku tanya biaya mengantar kami. Sebenarnya pak Victor sudah memberitahu kami kalau ongkos dari Borong sampai dengan Ruteng itu hanya dua puluh lima ribu, jadi kalau sampai Ranamese cukup lima belas ribu. Mengingat kami cuma bertiga yang naik jadi kami bayar saja seratus ribu, lebih murah dibanding kami menyewa sendiri mobil kesini. Walau pun mendung untung kabut tidak turun, padahal di Ranamese kabut mudah sekali turun jika sore menjelang apalagi jika sedang musim hujan begini. Untungnya di musim hujan begini, suhu justru menjadi tidak dingin. Aku bisa bandingkan saat kesini bulan Juli, walau tidak kabut namun suhunya benar-benar menggigit tulang.

Beberapa puluh meter masuk ke jalan setapak sampai kami di pinggir danau. Kami berputar menelusuri jalan tanah berbatu menuju ke bangunan seperti dermaga kecil. Putra dan Angga hanya sampai disitu saja sementara aku memutuskan untuk melanjutkan jalan mengitari danau.  Rumput-rumput telah mulai meninggi menutupi jalan setapak yang batunya terasa licin oleh air yang mengalir dari sela-sela tanah. Tapi rumput-rumput yang tinggi ini juga membantuku berpegangan karena beberapa titik jalan yang meninggi ada yang longsor. Sukses melewati longsoran tanah aku harus rela disambut pohon-pohon besar melintang yang kulit batangnya terasa basah berlumut ditanganku. Perjalanan seperti ini, aku seperti melewati jalan yang lama tak tersentuh. Sementara di kejauhan danau, beberapa orang yang sedang asyik memancing menimbulkan tanya, darimanakah mereka berjalan sampai kesana? Apakah ada jalan lain ataukah menggunakan rakit bambu/kayu itu untuk sampai kesana?

Sepuluh menit kemudian aku sampai di turunan, tampak sebuah rakit dari kayu bersusun yang digunakan orang untuk menyeberang bersandar di tepi tanah lapang berumput. Lumayan, aku bisa sedikit menarik napas di sini. Aku cukup dekat dengan seorang pemancing yang tampak duduk tenang di atas rakitnya. Kepulan asap sesekali tampak dari sela bibirnya saat dia menghembuskan asap rokok ke udara.

Tapi aku belum setengah jalan sehingga aku putuskan untuk kembali melanjutkan jalan. Kali ini memang lebih sulit. Jejak jalan tidak seterang sebelumnya yang walau telah longsor masih tampak. Kali ini rimbunan rumput dan batang-batang pohon yang rumbuh mendatar menutupi jalan. Beberapa kali aku harus mereka jalan yang ada. Tampaknya jalan yang ini benar-benar sudah lama tidak dilewati. Tanah basah bahkan telah berlumut, harus hati-hati jika tidak ingin terpeleset. Kali ini waktu terasa lebih lambat, beberapa menit aku berjalan tidak mendapatkan kemajuan berarti. Langit mulai gerimis kembali, saatnya aku memutuskan untuk kembali. Sepertinya aku harus melanjutkan jalan di lain waktu. Jam tangan sudah menunjukkan waktu lebih dari setengah lima. Saat kami bertiga kembali sampai di tempat kami berbelok pertama kali, aku baru menyadari setidak nya ada empat lintah telah sukses menghisap tubuhku. Yah lumayan untuk mereka yang mungkin telah lama tidak mendapatkan darah segar hehehehe.

Tiba-tiba dari balik jalan kecil lain muncul orang tua yang sedang memanggul joran pancing. Aku penasaran bertanya: "pulang mancing pak?" 
"Iya," sahutnya singkat sambil tersenyum
"Kalau mau ke sana itu," tunjukku ke arah dua orang yang masih mancing sesore ini, "untuk mancing bisa lewat jalan itu pak?" arah kepalaku menunjuk belakang jalan bapak tua.
"Iya, lewat sini bisa berputar sampai ke sana"
Oh, rupanya aku salah arah jalan, harusnya aku lewat jalan ini. Hahaha, lain kali aku harus mencoba lewat sini.

Acara hari ini kami akhiri dengan mampir di warung kopi persis setelah masuk gerbang menuju Ranamese. Penjual kopi ini adalah penjual kopi yang sama yang biasanya ada di jalan atas tepat di samping tembok yang dibangun untuk melihat danau Ranamese. Kata ibunya, mereka tidak diperbolehkan berjual di tempat itu lagi sehingga mereka pindah kesini. Lumayan lah jadi lebih dekat daripada sebelumnya harus naik ke atas lagi.

Segelas kopi panas dan semangkuk mi rebus segera terhidang nikmat terasa di saat hawa dingin begini. Kami sepertinya pengunjung terakhir karena ibu itu juga sudah mulai berkemas memberesi warungnya. Menurut informasi, bisanya jam terakhir ada kendaraan adalah jam setengah enam tapi bisa lebih awal kalau hari-hari sepi.

Wal hasil setengah jam menunggu di warung kopi ternyata belum ada satu kendaraan travel pun yang lewat. Akhirnya sambil menunggu kendaraan lewat, kami memutuskan sambil berjalan ke arah atas. Menunggu kendaraan travel menjadi acara yang agak bikin cemas karena sudah mulai lewat jam setengah enam masih juga belum nongol. Kami sedang bersiap-siap untuk naik kendaraan apa saja truk, pick up sekalipun yang arahnya ke Borong. Untung di menit terakhir sebuah APV putih lewat menawarkan tumpangan ke Borong. 


Kami bertiga menjadi penghuni terakhir APV yang membuat APV menjadi penuh sehingga cukup untuk menghitung keuntungan si sopir. Acara naik APV diiringi sedikit accident. Saat aku hendak memutuskan membuka sedikit kaca agar udara masuk, tiba-tiba seorang nona yang duduk di depan mobil muntah  di samping. Keruan saja muntahannya memenuhi kaca samping tempat aku duduk. Untung aku belum buka kaca, seandainya aku lebih dulu pasti ada acara orang muntah karena kena muntah.... hahahahaha.. 

Acara kembali ke Borong lebih murah, kami hanya diminta lima puluh ribu bertiga. Lumayan setengah harga dari perjalanan berangkat.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya