Gawat, kameraku tampaknya error. Layar display dan viewfinder pada saat kutekan remote shutter setengah menunjukkan indikator speed shutter yang berbeda. Dan seperti dugaanku, beberapa hasil foto menjadi gelap. Kupegang body kamera yang ternyata terasa panas. Duh pantas saja ini terjadi, kenekatanku memotret siang hari.
Aku segera meringkasi peralatan foto dan berjalan cepat menuju ke belakang hotel. Sambil duduk di lantai tiga aku merasa keningku yang terasa perih, tampaknya jidatku terbakar lagi. Inilah akibat aku tidak segera mencari topi pengganti, untung aku sudah terbiasa begini.
Beberapa malam ini aku juga punya kebiasaan naik ke lantai paling atas yang terbuka. Suasananya yang gelap pas sekali untuk melihat bintang. Beruntung beberapa hari ini baru saja memasuki bulan baru sehingga tak ada gangguan sinar bulan, begitu jam sembilan tampak sebuah kabut memanjang melintang miring dari utara ke selatan yang biasa dikenal orang sebagai galaksi Bima Sakti (Milky Way)
Hari Minggu pagi aku tidak merencanakan apapun karena rencana hari ini mau jalan ke Nemberala. Pagi-pagi aku hanya turun sebentar mengikuti seorang bapak tua yang menggendong keranjang mencari ikan dengan jala jika laut surut.
Namun rencana yang gagal kembali terjadi, pemilik kendaraan tidak datang sesuai janjinya. Entahlah kali ini apa lagi alasannya.
Untungnya sewaktu mengikuti bapak tua penjala aku jadi melihat sebuah tanjung karang yang kutahu kemudian namanya Tulandale.
Jam empat sore aku mempersiapkan sesuatunya, aku memutuskan untuk jalan kaki menyusuri pantai untuk sampai ke Tulandale. Aku tidak tahu persis jarak dari Ba'a ke Tulandale tapi untuk amannya aku membawa dua botol minuman.
Kawasan pantai sepanjang perjalanan cukup menarik, pasir putih kekuningan membentang sepanjang pinggir pantai. Beberapa anak yang bertemu denganku menyapa, beberapa memancing perhatianku dengan tingkahnya. Tapi ada juga yang justru diam dengan tatapan heran melihatku walaupun aku sudah memamerkan gigiku, mungkin penampilanku dengan segala bawaan membuat mereka merasa aneh hehehe.
Begitu sampai ke tanjung karang itu baru aku tahu kalau di sana telah dibangun menjadi PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan). Break water (pemecah gelombang) yang dibangun tampaknya akan sampai disini.
Dermaga PPI tampak kesibukan perahu-perahu nelayan dan lalu lintas beberapa motor yang membawa keranjang-keranjang untuk memuat ikan. Ada tiga perahu ikan yang datang dan segera menurunkan ikan-ikan hasil tangkapan. Aku sempat melihat transaksi ini, melihat ikan-ikan yang dijual ingin beli juga sayang pasti tidak ada yang memasakkan.
Matahari sudah mendekati cakrawala, cahaya sudah berubah menjadi kuning keemasan. Aku segera berjalan menuju mendekat ke arah tanjung karang itu. Ternyata dua tanjung karang ini mengapit sebuah cerukan. Di bagian atas aku melihat beberapa perahu yang rusak dan sudah lama tidak dipakai. Besar dugaanku tempat ini dulu digunakan para nelayan untuk menyimpan perahu saat gelombang besar sebelum dermaga PPI ini dibangun. Bentuknya yang ceruk cukup membantu menghalau gelombang yang pada bulan-bulan tertentu bisa sangat kencang.
Tempatnya menarik walau airnya agak berlumpur. Tonjolan karang-karang yang khas menarik perhatianku. Tempat ini punya potensi untuk dikembangkan menjadi lokasi wisata apalagi kontur tanah bagian atasnya yang juga datar.
Karena sudah terlalu sore hanya beberapa jepretan yang bisa aku hasilkan, cahaya kuning dalam waktu tak lama berubah menjadi merah pusat keunguan dan tak lama kemudian langit sudah menjadi biru gelap.
Setelah menghabiskan satu botol minuman aku mengemas kembali peralatan fotoku. Kali ini aku memutuskan berjalan kaki lewat jalan karena malam agak sulit untuk jalan melalui pantai. Tadi sore aku menandai beberapa tempat yang berbatu dan licin yang agak sulit untuk jalan jika malam hari, aku tak mau bertaruh kehilangan kamera karena terjatuh.
Perjalanan pulang jadi sedikit lebih jauh karena kontur jalan yang lebih naik turun tapi perjalanan pulang lebih cepat, hanya sekitar setengah jam aku sudah sampai Ba'a.
Baca keseluruhan artikel...