Halaman

Sabtu, 28 Februari 2015

Menyapa Pagi di Kalabahi


Keheningan teluk Kalabahi dalam bingkai suasana pagi
Menyesap nikmatnya kopi pagi disebuah warung kecil di samping kiri pelabuhan ditemani semangkuk mie rebus yang asapnya masih mengepul. Tidak banyak aku temukan tempat minum kopi yang buka di pagi seperti ini di NTT, tidak seperti di Jawa yang dengan mudah kita temui warung-warung yang buka di pagi hari menunggu pembeli memesan kopi. Tapi bukankah kadang yang sulit dicari jadi nikmat sekali jika kita temui. Ah, aku jadi ingat teman yang pernah sampai ke kota ini dan berkata, sering merindui untuk datang kembali di kota ini. Jika sebagian orang ada yang datang sebentar menjadi jenuh, aku jadi ingat kata mantan bupati Alor, Ans Takalapeta: "Alor itu indah jika kita bisa menikmatinya". 

Perahu bertambat di dermaga
Bayangan pagi yang hening

Ya benar, jika kamu bisa berdiri disini menikmati terjebak dalam suasana kota lama, menikmati keheningan yang ada mungkin kamu akan mengangguk setuju pada sebuah spanduk pemda "Alor - Heaven on Earth". Aku sedang tak bicara tentang indahnya terumbu karang di perairan Alor yang menjadi incaran turis dari mancanegara bahkan para dive master level dunia. Aku juga tidak sedang berbicara tentang indahnya panorama pantai di sepanjang Alor. Tak perlu jauh-jauh teman, menikmati kopi di pagi hari atau sekedar mencangkungkan kaki di pinggir dermaga saja cukup alasan untuk menemukan sebuah keindahan jika kau paham maksudku.
Kota lama di depan pelabuhan
Suasana pertokoan dengan arsitektur gaya lama

Beberapa hari ini aku memang jadi rajin bangun lebih pagi karena bunyi adzan Subuh terdengar dari hotel yang jaraknya tak jauh dari hotel mungkin tak lebih dari 100 meter dan disusul oleh 2 masjid lainnya yang hampir bersamaan. Sebelum adzan sendiri biasanya aku mendengar lantunan qiro'ah mengalun dari pengeras masjid. Saat mataku bangun setengah terbuka aku serasa kembali ke kampung halaman dimana musholla hampir bisa ditemui disetiap gang kampung dan saat subuh suara-suara adzan itu terdengar susul menyusul. Aku jadi rindu kampung, masih kuingat saat puasa kami pagi-pagi dengan sarung terkalung di leher berangkat sholat Subuh dan dilanjutkan acara 'ngeceng' di alun-alun kota. Aku ingat, para gadis muda juga keluar bangun subuh. Mereka tidak keluar untuk sholat subuh tapi untuk jalan-jalan, dan alun-alun kadang menjadi tempat 'ngeceng' waktu subuh. Sekarang istilah 'ngeceng' sudah jarang dikenal, mungkin sebagian kalian yang masih dibawah 30 tahun tidak lagi mengenal istilah itu.
Asap tipis tanda aktivitas pagi dimulai
Menimba air laut dari perahu
Mungkin baru kali ini aku leluasa berjalan-jalan pagi di pinggir pantai bahkan saat langit masih gelap. Pagi masih hening selepas Subuh, hanya beberapa orang tua yang keluar agak telat dari masjid karena lebih lama berdzikir. Pun kesibukan di dermaga tak seberapa, hanya beberapa orang yang sibuk mengisi air bersih ke tong-tong perahu. Sepertinya mereka mau berangkat pagi ini. Beberapa kru kapal yang enggan bangun memilih menutup badannya dengan sarung dan meringkuk di pinggiran dermaga.

Patung Perjuangan Rakyat
Kalabahi adalah sebuah kota lama, salah satu kota yang terbentuk sejak awal berdirinya provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku bisa mengenali wajah kotanya yang mengingatkanku pada kota lama di Jawa, pun demikian pula dengan kesibukannya. Toko-toko biasanya hanya buka sampai jam tiga sore dan jika buka lagi biasanya selepas jam lima sore. Toko-toko yang berdiri di sekitar pelabuhan masih menjadi pusat keramaian di Kalabahi, suasananya tidak banyak berubah dibanding lima belas tahun lalu.
Lautnya pun begitu tenang, nyaris tanpa gelombang. Jika kalian lihat peta, Kalabahi berada jauh di dalam teluk yang dikenal dengan nama teluk Mutiara. Air laut yang bagai pantulan kaca memantulkan bayangan hitam tanah Alor Besar yang dipenuhi bukit-bukit. Aku saat duduk di dermaga kadang suka membayangkan jika teluk ini adalah sebuah kota pasti malam hari akan melihat pemandangan yang luar biasa, mandi cahaya dari seberang yang yang bayangannya memantul bagai kaca di air laut.
Namun dibalik ketenangannya lautnya, pagi yang kedua aku duduk sendiri di dermaga aku tahu bahwa laut tetap menyimpan bahayanya sendiri. Dan pagi ini aku mendengar dari corong masjid yang memberikan kabar bahwa seorang anak yang masih kecil berumur 7 tahun meninggal tenggelam, seingatku bernama Raihan sekitar jam 19.00. Malam sebelumnya aku memang mendengar percakapan ibu-ibu saat ada kesibukan di dermaga bahwa mereka sedang mencari seorang anak yang hilang tenggelam dan belum ditemukan. Katanya anak itu bersama ibu bapaknya yang sedang memancing di dermaga. Selamat jalan Raihan, sepertinya Tuhan lebih menyayangimu nak walaupun kepergianmu tentulah menyakitkan hati bapak ibumu.

Pasola, Kampung Toda, dan Daging Rusa

Ruang memasak berada di tengah-tengah rumah dan kamar-kamar berada di pinggir.
Lanjutan dari cerita Pasola .............
Aku mundur ke belakang setelah penonton di belakang terus merangsek ke depan ingin melihat lebih dekat. Karena acara Pasola makin seru makin sulit polisi dan aparat desa mengatur penonton sudah tidak mendekat. Biasanya ulah penonton ini tanpa sadar sering membuat lapangan menyempit sehingga jarak pemain makin dekat. Tapi ini juga sekaligus membuat penonton di barisan depan rawan ikut terkena lemparan lembing.
Untungnya di depan mudah mengambil foto seperti ini tanpa terhalangi
Ada satu keuntungan jika kita ke acara-acara seperti ini membawa kamera biasanya petugas tidak melarang jika kita berdiri di depan dari garis yang dibolehkan. Aku lihat rata-rata pemotret bebas mendapatkan tempat duduk di depan sehingga leluasa mengambil angle acara. Apalagi kalo pakaiannya rompi macam wartawan mau cari berita hahaha..
Ternyata aku tinggal berdua sementara teman-teman yang lain entah kemana. Dicari-cari ternyata mereka berteduh di bawah pepohonan. Wuih ternyata samping kanan kiri jalan telah dipenuhi para pedagang dengan segala macam dagangannya, pada umumnya makanan minuman sih. Cuaca saat ini memang terik sekali, bahkan hawa panas itu sudah terasa sejak pagi. Kalau kataku, di Sumba Barat Daya ini setelah malam itu langsung siang tanpa pagi karena matahari pagi langsung terang tanpa basa basi dulu hehehe.

Suasana rumah di kampung Toda
Yang asyik di perjalanan kami ditawari mampir pak Jostom mampir ke rumah mantan bupati Sumba Barat Daya di kampung Toda. Kebetulan pak Jostom sekarang lagi ditugaskan jadi sekcam di Kodi dan yang saat ini termasuk seksi sibuk dengan adanya acara Pasola seperti ini. Ternyata di kampung Toda ini sudah banyak berkumpul orang sehingga di tengah kampung dipasangi terpal. Seperti biasa aku lebih memilih duduk-duduk di salah satu rumah penduduk. Seperti pernah aku ceritakan sebelumnya, rumah asli Sumba ini nyaman. Tipikal rumah model panggung dengan balai-balai terbuka di sekelilingnya ditambah dengan atap asli dari jerami membuat rumah terasa sejuk walaupun cuaca panas menyengat. 
Kubur batu di kampung Kodi
Rupanya acara Pasola ini bagi orang Sumba merupakan hari besar, biasanya ini waktu mereka yang telah terpisah jarak menjadi ajang kumpul. Seperti rumah yang aku duduki ini ternyata dimiliki 25 kepala keluarga. Memang mereka tidak tinggal semua disini karena mungkin sudah punya rumah di tempat lain, tapi hak dan kewajiban mereka atas rumah itu tetap ada. Dan saat acara seperti inilah tempat mereka kembali ke rumah inang mereka menjadi satu. Menu pembuka yang disodorkan ke kami adalah jagung rebus. Jagung pulut istilah mereka memang paling enak dibuat jagung rebus. Ditambah teh panas, jadilah perbincangan dengan penduduk kampung Toda terasa mengasyikkan. Sayang aku lupa membawakan mereka sirih pinang, padahal lebih asyik lagi kalau aku bisa ikut makan pinang bersama mereka. Jadi inget waktu ke Kodi beberapa tahun lalu saat aku mencoba makan sirih pinang disini.
Saat undangan makan adalah saat yang tidak dapat kami lewatkan, dan ternyata kami mendapatkan suguhan daging istimewa: Rusa Timor yang mereka pelihara sendiri. Daging rusa yang manis dan bertekstur lembut ini tentu tidak kami sia-siakan walaupun kalau aku lihat tega. Putra dan Fathul beruntung, sementara teman-teman lain mungkin sampai saat ini belum pernah melihat Pasola merasakan nikmatnya daging rusa, mereka sekali kesini langsung mendapatkan keduanya. Hahaha... sepertinya bekal nasi padang yang kami bungkus bakalan sia-sia karena perut kami sudah dipenuhi makan siang dengan daging Rusa.
Danau Weekuri, ada yang lebih doyan motret dong :P
Sekitar jam satu kami kembali meneruskan perjalanan ke Weekuri karena kebetulan 2 orang dari rombongan yaitu Fathul dan Eko belum pernah ke Weekuri. Weekuri itu sebuah danau, seperti apa danau itu bisa dibaca di tulisanku sebelumnya.
Dan seperti biasa perjalanan ke Weekuri tidak mudah, kami bahkan sempat berjalan memutar balik kembali tanpa sadar. Walaupun kami pernah ternyata tetap tidak mudah mencapai tempat ini karena masih sangat minimnya papan informasi penunjuk jalan. Aku sendiri kenapa masih semangat ke Weekuri karena memang Weekuri itu tempat yang gak membosankan. Bahkan Putra kali ini semangat sekali mau mandi. Walhasil memang kami berhasil mandi di danau Weekuri, sayangnya justru teman-teman dari bepeka tidak mandi hanya duduk sambil menunggu teman-teman lain yang juga mau ngumpul dari Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kali ini aku lebih siap dengan membawa celana dan kacamata renang. Danau Weekuri memang asyik untuk dinikmati bahkan sekedar untuk duduk-duduk saja apalagi kalau mandi.
Hujan yang menghentikan kami berenang
Sayang aku tidak bisa mandi lama karena langit yang sedari tadi tampak gelap berubah menjadi hujan. Sementara teman-teman yang tidak mandi langsung berlari ke mobil, aku tentu tidak bisa dengan kondisi basah. Akhirnya aku, Fathul dan Putra memilih berlindung di sebuah cekungan batu. Tidak terlalu tinggi sehingga kami harus agak menunduk tapi cukup lapang setidaknya sambil menunggu hujan reda.
Karena hujan ini akhirnya kami membatalkan mampir ke pantai Watu Mandorak. Ternyata hujan memang reda sebentar setelah itu makin kencang. Padahal waktu Pasola tadi langsung masih biru. Aku jadi ingat kata seorang kawan, saat Pasola walaupun musim hujan tetap waktu acara cuaca akan cerah karena mereka juga akan menggunakan semacam pawang untuk menghalau hujan. Hal itu sudah aku alami beberapa kali, walaupun Pasola terjadi di musim yang masih ada hujan namun tiap Pasola langit tetap cerah.

Sabtu, 21 Februari 2015

Pasola: Tarian Perang di Atas Kuda

Seorang petarung Pasola sedang memancing lawan (lok. Rara Winyo, desa Wura Homba)
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya. (sumber: Wikipedia)

Akhirnya aku punya alasan untuk menulis tentang Pasola. Sebenarnya Pasola sendiri sudah aku lihat dua kali sebelumnya, dua-duanya di Lamboya. Yang pertama sudah lama sekali mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Tahu kan apa yang terjadi 10 tahun lalu? Yup, kamera masih jadi mainan mahal dan karenanya aku gak punya gambar-gambar Pasola yang aku lihat. Yang kedua beberapa tahun lalu, saat aku sudah punya kamera prosummer. Entah waktu itu Canon S5 IS atau Fuji S200 EXR. Yang pasti aku waktu itu inget bawa tripod dan perlengkapannya tapi justru malah lupa bawa kameranya.. uassyeeemm... wal hasil hasil nonton Pasola kedua nangkring di kamera China (mati kecemplung di pulau Kambing) dengan resolusi 0,3Mp..

Kecil tapi lincah di atas kuda Sambutan balik untuk para penantang
Menantang lawan sendirian Perang tombak terjadi
Nah yang ketiga inilah aku bisa dapet foto-foto Pasola. Mau ngambil foto dari internet gak asyik lah, lah asyiknya itu tuh ngeliat sendiri kok sekaligus moto sendiri. Mungkin sebagian orang sudah tidak asing karena Pasola sudah menjadi salah satu destinasi wisata yang dijual di luar negeri.
 
Jangan banyak-banyak nanya asal-usul Pasola dan ceritanya gimana ada Pasola ya, itu di om Wiki banyak banget ceritanya dari sejarah, prosesi sampe pendaftarannya.. eh terakhir gak ada ding.... :D Kalau aku jelasin satu, percaya deh pasti kalian akan nerocos nanya lebih banyak lagi, mending kalian baca om Wiki trus masukin barang-barang ke tas ransel dan cao ke Sumba mumpung sekarang masih belum abis Pasola-nya.. ayo buruan, keburu cuti abis buat ngorok doang.
Ini nih jadwal yang dikirim mas Eko lewat forum Tapaleuk Ukur Kaki tapi hanya untuk jadwal yang di Sumba Barat Daya.
10 Februari 2015Homba Kalayo, Desa Waikaninyo, Kec. Kodi Bangedo
13 Februari 2015Bondo Kawango, Desa Pero Batang, Kec. Kodi
14 Februari 2015Rara Winyo, Desa Wura Homba, Kec. Kodi
11 Maret 2015Maliti Bondo Ate, Desa Umbu Ngedo, Kec. Kodi Bangedo
13 Maret 2015Wai Ha, Desa Wai Ha, Kec. Kodi Balaghar
14 Maret 2015Wai Nyapu, Desa Wai Nyapu, Kec. Kodi Balaghar

Nah, aku dapet acara paling bontot di Februari di desa Wura Homba. Sayang aku gak dapat untuk jadwal acara di Lamboya dan Wanokaka. Kemungkinan sampai saat ini masih ada acara Pasola yang dapat dilihat di Lamboya atau Wanokaka.
Jangan tanya apakah jadwal itu pasti, termasuk kalau tahun depan ada jadwal serupa. Walaupun itu penting bagi wisatawan apalagi yang waktunya juga tidak panjang namun tak bisa dipungkiri bahwa Pasola bukan sekedar permainan yang bisa dimainkan kapan saja dan dimanapun. Untuk memulainya tergantung para Rato (tetua suku) yang akan berembuk setelah ritual Nyale. Ritual Nyale selalu mengawali acara Pasola, bahkan disanalah awal untuk menyebut apakah sebuah Pasola bisa dimulai.
Menunggu musuh mendekat Saling berhadapan siap perang
Kalau mau jujur, aku jauh lebih terkesan dengan Pasola di Lamboya. Pertama karena lokasinya yang di perbukitan yang terpisah dengan rumah penduduk sekitar. Yang kedua, hawa perang lebih terasa makanya sering kali acara Pasola menjadi rusuh. Teriakan-teriakan penonton dan pekikan khas begitu kuat membakar para petarung sehingga tak terelakkan acara ini kadang menjadi begitu panas. Di Lamboya, dua kali acara berakhir dengan kerusuhan yang melibatkan para penonton juga juga sering membawa lembing. 

Mila Ate, temen pns yang ikut acara Pasola
Dan selesainya acara diakhiri dengan raungan mobil dalmas yang berlari kencang mengejar penonton yang terlibat kerusuhan. Seru dan menegangkan.

Walaupun sekedar lembing kayu tumpul jangan anggap remeh, tak kurang beberapa kali aku melihat peserta Pasola terluka sampai darahnya bercucuran bahkan ada yang matanya buta. Tapi bagi mereka, cucuran darahnya itu justru akan menjadikan tanah mereka subur dan membuat mereka nanti akan panen besar.
Ketegangan juga kadang bertambah jika ajang Pasola diselipi dendam pribadi akibat kekalahan sebelumnya dari salah satu peserta. Jadi walaupun melihat Pasola mengasyikkan, tak bisa dipungkiri ada ketegangan di sana.. Tak ada yang menjamin penonton aman dari lembing peserta yang melayang apalagi jika memilih duduk di depan. Padahal justru itulah posisi yang dicari seorang pemotret.
Aku juga nyaris hampir merasakan kaki kuda jika tak lekas menyingkir. Pada saat mencari tempat memotret entah kenapa seekor kuda berwarna putih yang dikendarai peserta mendadak berontak. Beberapa kali kaki belakangnya menyepak ke belakang. Akibat ulah kuda ini beberapa kuda yang didekatnya ikut gelisah. Untung aku sempat menyingkir agak jauh sebelum akhirnya kudanya berhasil ditenangkan pemiliknya, itu pun dia sendiri sempat terjatuh satu kali.