Air terjun Omas Maribaya, air yang biasanya bening menjadi keruh karena longsoran |
Pesawat dodol! Masak aku harus cek jam 3 pagi di Bandara Soekarno Hatta pula... Ini bikin acara mau nyasar ke Bandung sehari malem jadi susah. Akhirnya setelah merenung dan bertapa di kamar mandi hotel (istilah gak kerennya b**l), aku putuskan untuk tetap berangkat ke Bandung hari Jum'at pagi dan balik tengah malem. Dihitunganku sih lumayan bisa dapet spot banyak, minimal spot-spot seputaran Bandung. Denger-denger kan banyak tuh yang menarik, dari kawasan Cibaduyut, Trans Studio, kawasan kerajinan,
View pepohonan cemara dari bukit batu Patahan Lembang |
Gak pakai tidur, mata melek aja tuh sepanjang jalan. Jam satu kemudian travel nyampe juga di Bandung, dan turun di Pasteur. Masih bingung bacanya, waktu petugas travel bilang Pasteur kedengeran kayak Panser, kirain daerahnya angkatan darat yang pake kendaraan panser. (korek telinga pake linggis.
Hawa Bandung ternyata lumayan sejuk (iya lah, lagi mendung). Tanya-tanya ke security di pool Cipaganti, katanya kalau mau ke THR Juanda harus ganti angkot empat kali. Whaattsss!!! Niken bener-bener pengen aku nyasar ya.. empat kali ganti angkot tanpa tahu berapa jarak masing-masing ditambah kayaknya jalanan padet begini. Mau jam berapa sampai THR Juanda. THR Juanda ini yang milihin ya Niken, karena katanya aku gak cocok di kota cocoknya di hutan, lagian di sana ada air terjun Maribaya bisa buat latihan loncat indah.
Akhirnya aku milih naik ojek aja ke sana. Dengan ongkos 40rebu akhirnya aku diantar naik motor (ini karena Niken mikir kelamaan waktu ditanya jalur angkot ke arah sana, katanya jarang naik angkot). Tapi aku bersyukur pake ojek, nanti setelah muter-muter disini baru tahu walau jaraknya dekat sering kali harus naik angkot beberapa kali karena di Bandung banyak yang jalannya searah. Gebleknya itu tukang ojek juga gak terlalu paham. Aku nyaris dikesasarkan ke arah mana aku juga gak tau. Untung aku lihat papan penunjuk jalan warna ijo gede. Aku yang kasih tau "Akang, salah jalan deh kayaknya, bukan belok sini tapi tetep lurus tuh". Untungnya orang Sunda gak ngototan ya, dia milih minggir dan minta aku nanya ke orang di deket situ.
Taman Hutan Raya Juanda
Jembatan untuk melihat curug Omas Maribaya |
Tiket masuk ke THR ini 10rebu tambah jasa asuransi 500 rupiah. Karena belum makan siang, aku cari makan siang dahulu di warung deket sini. Banyak yang lagi tutup gak tau kenapa, sehingga aku masuk ke salah satu warung di bagian pojok. Sayangnya waktu aku mau nitip tas tenyata ibu penjualnya udah mau tutup. Akhirnya aku bisa menitipkan tas backpack ke salah satu warung dipinggir pintu masuk, yang emang biasanya tidur di dalem situ. Lumayan bisa patah bahuku kalau harus bawa itu tas, maklum itu semua barang buat jalan dari Kupang ke Jakarta aku bawa semua (masak nginep mahal-mahal di hotel cuma buat nitip tas, gak keren banget kan).
Taman hutan di THR Juanda |
Rasanya gak mungkin sehari ini aku bisa menghabiskan seluruh obyek disini, jadi aku harus memilih obyek yang sudah kutarget. Akhirnya aku memilih obyek yang paling ujung, yaitu air terjun Maribaya yang berjarak sekitar 5km dari pintu masuk.
Dari pintu masuk, suasana hutan yang rindang langsung menyapa. Begitu melewati jembatan kecil aku langsung berbelok ke kanan ke arah curug Omas Maribaya. Beberapa ratus meter perjalanan awal jalannya masih besar, di beberapa titik ada bangunan-bangunan tempat orang berjualan tapi semuanya sepi. Ternyata dari informasi, hutan ini baru dibuka kembali minggu ini setelah sebelumnya ditutup beberapa hari akibat longsor besar yang terjadi di beberapa titik yang memutuskan beberapa jalur. Ini terjadi akibat hujan yang mengguyur kencang seharian Rabu minggu kemarin.
Suasana hutan yang rindang di curug Omas Maribaya |
Beberapa ratus meter setelah keluar dari gua Belanja jalan setapak tampak hilang berganti gundukan tanah, namun pohon-pohon telah dibersihkan sehingga tetap dapat dilewati. Kondisi seperti ini ada di beberapa tempat, sebagian sudah dapat dilewati khususnya motor namun beberapa masih sulit dilewati karena kondisi longsoran yang cukup parah. Seperti yang sudah aku jelaskan di depan. Hutan raya ini terletak dibawah lereng patahan Lembang yang sempit sehingga di kanan kiri hutan adalah tebing-tebing. Kalau tidak ada longsoran sebenarnya suasananya jalannya cukup bagus, setidaknya bisa digunakan untuk gowes (bersepeda).
Air terjun Omas Maribaya dari jembatan |
Di beberapa ratus meter mendekati curug Omas Maribaya, longsoran besar memutuskan jalur jalan. Untung masih ada jalan di pinggir sungai yang masih bisa dilewati.
Akhirnya perjalananku terbayar di depan curug Omas Maribaya. Air yang deras terjun dengan kuatnya ke bawah. Di atasnya terdapat jembatan besi kecil memanjang menyeberangi curug ini. Disekitar air terjun ini ada beberapa bangunan tempat makan dan bersantai. Suasanannya sungguh rindang. Untuk bisa memotret air terjun Omas Maribaya aku harus ke arah jembatan yang di bawah. Air terjunnya sangat kencang, bahkan kadang tempias airnya jauh melebihi tinggi air terjun itu sendiri.
Dibawah jembatan aku berdiri untuk memotret air terjun ada percabangan sungai dengan suara yang bergemuruh menadakan terjadi benturan arus yang sama-sama kuat. Menurut catatan, pusaran air di bawah jembatan adalah pertemuan sungai Ci Gulung dari arah utara (arah belakang aku berdiri) dengan sungai Ci Kapundung yang datang dari arah timur (arah sebelah kiri aku berdiri)
Formasi batuan dinding Sesar Lembang yang keras diperkirakan telah menghalangi lahar letusan Gunung Tangkuban Perahu di masa purba mengalir ke arah selatan /Cekungan Bandung. Namun dinding batuan Sesar Lembang tersebut telah menghalangi aliran air di bawah permukaan tanah mengalir ke arah Cekuangan Bandung.
Sungai Ci Gulung dan Ci Kapundung merupakan sedikit sungai yang mampu menerobos Patahan Lembang. Menciptakan celah sempit di sekitar Maribaya, kedua sungai tersebut membentuk jalur sungai Ci Kapundung yang mengalir ke selatan dan menjadi sumber air baku yang sangat penting bagi Kota Bandung.
Selain sebagai sumber air bagi PLTA Dago Bengkok, Sungai Ci Kapundung menyatu dengan aliran sungai Ci Tarum di sekitar selatan kota Bandung, dan menjadi sumber air bagi tiga bendungan besar di Jawa Barat: Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ketiganya menghasilkan listrik bagi jaringan listrik Jawa-Bali hingga lebih dari 4 miliar KWh/tahun dan mengairi lebih dari 200.ooo hektar sawah di Jawa Barat.
Tuh, kan.. jadi harusnya orang Bandung pernah kesini atuh.. itu air penting banget buat kehidupan kalian orang Bandung. Bukan cuma Bandung eh tapi juga Jawa dan Bali.
Disekitar curug Omas Maribaya ada juga jalur joging yang lumayan bikin capek.
Di Puncak Patahan Lembang
Sekitar jam setengah lima aku, memutuskan untuk naik ke atas puncak Patahan Lembang yang berupa bukit batu. Untuk ke atas bukit itu, kita harus keluar dulu dari THR Juanda. Itu saran dari akang pengojek yang sekaligus yang mengantarkanku sampe ke atas. Setelah mengambil tas yang lumayan berangkat, aku duduk manis di belakang ojek yang terus naik ke atas bukit ke arah puncak Patahan Lembang.
Pemandangan dari salah satu bukit batu Patahan Lembang |
Patahan Lembang merupakan retakan sepanjang 22 kilometer, melintang dari timur ke barat. Berawal di kaki Gunung Manglayang di sebelah timur dan berakhir sebelum kawasan perbukitan kapur Padalarang di bagian barat. Patahan itu tepat di antara Gunung Tangkubanparahu dan dataran Bandung sehingga membentuk dua blok, utara dan selatan.
Hawa sejuk cenderung dingin langsung menyerbu begitu motor yang aku tumpangi melintasi perkampungan Cibeurea (kata akang ojek sih, tau tuh kalau aku disesatkan)
Sesampainya di atas, akang membawa aku ke sebuah gundukan tanah yang ternyata merupakan bagian atas dari bukit batu yang tampak waktu dari Omas Maribaya. Dari sini sebenarnya dengan leluasa kita bisa melihat beberapa gunung yang mengelilingi Bandung, seperti gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang. Sayang suasana saat itu mendung dan kabut sehingga gunung-gunung hanya tampak bagian lerengnya saja.
Tiga anak kecil aku temui sedang merokok di balik salah satu batu. Haduh, mau ngerokok takut ketahuan sampai sembunyi di bawah batu yang terjal seperti ini.
Jalan-Jalan di Bandung
Setelah ke atas puncak Patahan Lembang, aku turun kembali ke daerah Dago. Waktu masih jam lima sehingga aku memutuskan jalan kaki ke Gedung Sate, sekalian menikmati suasana kota Bandung. Di sepanjang jalan menuju gedung Sate, beberapa lokasi di pinggir jalan beberapa pedagang mulai menggelar dagangan. Pokoknya senjatanya Google Maps dan diaktifin GPS-nya. Alasanku berjalan kaki karena lagi-lagi waktu tanya angkot untuk sampai ke Gedung Sate ternyata tidak bisa sekali naik angkot harus berganti angkot. Wah alamat bisa kelamaan kalau naik angkot nih, mending jalan kaki.
View gedung sate bonus mahasiswa demo kenaikan BBM |
Ternyata di Bandung banyakan orang muda-mudi dan sebagian orang dewasa membawa tas ransel di belakangnya, wah banyak temennya nih. Bedanya tas mereka kecil dan tampaknya tidak banyak tentengan (keliatan kempes gitu) sedangkan aku bawa tas gemuk kayak orang mau pindahan (namanya juga bekal cabut dari hotel jadi semua barang dibawa). Sementara di bagian depan terlihat kemacetan jalan karena sepertinya sedang ada demo. Waktu tanya dimana gedung sate-nya sama salah satu orang yang sedang nongkrong, ternyata gedung sate ya yang sedang di demo. Lah, kenapa demonya di gedung sate?? Ternyata oh ternyata gedung sate itu kantor gubernur hehehehe... (keliatan banget bego-nya).
Karena sedang ada demo, makanya jadi gak bisa masuk karena gerbang dikunci dan dijaga sama polisi dan security. Tau kan demo apaan? Itu tuh, demo BBM yang mau naik. Aku inget waktu dengan corong di mulut tuh mahasiswa bilang: "Kami bukan tidak kuat BBM naik, tapi kami tahu bahwa kenaikan BBM menyengsarakan masyarakat. Membuat masyarakat yang miskin semakin miskin dan lain-lain bla..blaa..blaaaaaaa...... " sampai mulutnya keluar busa (untung gak mati abis ngomong gitu) dan supaya seru pasti pakai acara bakar ban bekas (untungnya gak bakar stasiun SPBU ya). Yang aku heran, kok banyak banget wartawan yang meliput, bahkan kalau gak salah ada juga dua stasiun tivi yang ikut ngeliput padahal tuh yang demo gak sampai 20 orang juga. Tapi biar 20 orang mengatasnamakan gabungan mahasiswa Bandung (seharusnya kalau sedikit pake nama Liga Mahasiswa Bandung aja).
Jam setengah tujuh, aku bingung mau balik lewat mana. Lagian juga gak tau dimana ada travel. Karena angkot gak tau jurusan mana yang harus dinaiki dan males harus minta tolong temen. Akhirnya aku putusin mau jalan kaki lagi dari Gedung Sate kembali ke Pasteur. Kalau lihat pake Gmaps sih gak jauh gak sampai satu jengkal kok (ya iya lah, layar cuma 4,3 inchi hahahaha).
Setelah jalan lewat jalan Trunojoyo, aku mampir makan di daerah Balubur. Ternyata di Balubur, ada tempat untuk penjualan tiket travel Bandung-Jakarta. Sayangnya, travel untuk berangkat malem terakhir setengah 12 udah abis tinggal sisa yang jam 7 malem yang untung lagi telat jadi kemungkinan jam 8 malem baru jalan. Gak ada pilihan lain, akhirnya aku pilih travel jam segitu, tapi berharap semoga travelnya kena macet biar bisa tidur di travel, daripada tidur di emperan Jakarta.