Halaman

Selasa, 26 Februari 2019

Matahari Terbit dari Fulan Fehan

Sunrise di Fulan Fehan
Bentang alam di depanku terlihat samar dalam kegelapan yang makin memudar. Cahaya kuning di langit timur mencoba menyibak awan dan kabut dingin yang melingkupi perbukitan Fulan Fehan. Bukit-bukit bertumpuk membagikan pemandangan siluet yang begitu mengagumkan. Tak ada pembicaraan pagi ini, dunia pagi ini milik burung-burung yang mencicit tanpa henti tanpa jeda. Sesekali angin yang bertiup di sela-sela dinding bebatuan menciptakan siulan panjang. 

"We need to find God, and he cannot be found in noise and restlessness. God is the friend of silence. See how nature - trees, flowers, grass- grows in silence; see the stars, the moon and the sun, how they move in silence... We need silence to be able to touch souls" -- Mother Teresa

Matahari Terbit dari Perbukitan Timor Leste
Pagi-pagi buta tiba-tiba aku merasakan urusan bagian tengah tak tertahan. Dengan mata masih berat oleh kantuk aku keluar tenda. Beberapa meter aku mencari area terbuka untuk menuntaskan hasrat pagi. Setelah agak lega barulah aku mulai memperhatikan di sekeliling. Untung tidak terlalu gelap, bulan masih tersisa di ufuk barat. Bagian atas tenda sudah basah kuyup oleh embun, termasuk tripodku yang aku tinggal semalaman di luar tenda. Aku masuk ke dalam tenda mencari termos air panas. Sambil duduk di atas batu, aku menyesap air panas yang sudah berkurang panasnya. Lumayan membantu menghangatkan badan sambil menunggu pagi.

Al dan Imam masih asik tidur, hawa pagi yang dingin membuat mereka makin menggulung badan ke dalam sleeping bag yang jauh lebih hangat. Percayalah, kalau tidak karena keinginan melihat matahari pagi tentu saja aku juga akan lebih suka bergulung di dalam sleeping bag. Lihat saja Imam, begitu aku mengosongkan tempatku langsung badan dia mengambil alih.


Selesai mengemasi peralatan kamera aku mulai beranjak keluar ke arah tebing untuk memotret pagi sebelum matahari terbit. Di pertengahan jalan aku baru teringat kalau filter kameraku masih tertinggal di tenda. Sementara warna kuning di langit timur mulai jelas. Galau.. antara kembali yang mungkin saja membuatku kehilangan momen matahari terbit ataukah nekat lanjut terus dengan mengandalkan filter yang sudah terpasang di kameraku. Duh sial, pilihan seperti ini selalu dilematis. 

Akhirnya aku memilih berbalik arah kembali ke tenda hijau yang dipasang di balik gundukan bukit, setengah berlari. Itu pun harus sambil berhati-hati, beberapa batang pohon kaktus dengan durinya yang kecil tapi tajam akan jadi malapetaka jika mengenai kulitmu. Aku merasakan saat lenganku terkena duri pohon kaktus, duh itu durinya nyusup kecil-kecil banyak. Itu duri sebagian masuk ke dalam kulit dan sulit diambil, rasanya itu gak karuan.. gak sakit tapi mengganggu.

Sunrise di Fulan FehanAkhirnya cuma aku dan Al yang balik ke ujung timur bukit Fulan Fehan. Untunglah sampai disana matahari baru juga naik ke atas. Belum terlalu tinggi lah, cahaya kuningnya juga masih tertangkap jelas. Sambil berjalan menuruni bebatuan tanganku sigap membuka tuas-tuas pengait tripod. Momen pagi seringkali berlalu sebentar saja, telat kita mempersiapkan alat.. ya sudah.. duduk ngopi saja sambil liat matahari pagi bermain-main cahaya ke arah perbukitan.


Sambil memotret, mataku sekali-kali melirik ke sebelah kiri. Tiba-tiba saat keasyikan mencari angle foto tiba-tiba kakiku sudah nyaris masuk menginjak batas area hutan. Ada sebuah hutan kecil di pinggir tebing, tapi disekelilingnya ada tulisan "pamali". Hutan itu katanya adalah Benteng Kikit Gewen, tempat dimana raja timor disemayamkan. Ukurannya tidak terlalu luas seperti sebuah hutan kecil di antara luasnya sabana Fulan Fehan. Antara hutan dan padang di batasi lapisan batu-batu karang yang disusun tidak terlalu tinggi menjadi semacam pagar pembatas.


Mataku mencoba menelisik ke dalam hutan yang masih agak gelap. Angin dingin yang bertiup dari arah hutan membuat bulu kudukku meremang, dingin. Satu sisi aku ingin masuk dan melihat hutan ini, namun aku tahu tidak bisa sembarang orang yang boleh masuk begitu saja ke tempat yang sangat disakralkan itu. Butuh seorang pemandu yang merupakan juru kunci tempat ini juga bisa masuk, itu pun dengan beberapa persyaratan. Al sendiri memilih berdiri agak menjauhi hutan itu.

Akhirnya matahari keluar juga dari lanskap pegunungan yang merupakan batas antara Indonesia dan Timor Leste. Rona jingga-nya mewarnai awan tipis yang menyelimuti langit pagi itu, membuat matahari tampak redup sehingga bentuk bulatnya tergambar jelas.

Lagi-lagi Al menjadi keisenganku, aku meminta dia menjadi obyek tambahan dengan syarat tidak memakai baju. Padahal saat itu hawanya masih terasa dingin. Biar kerasa laki, biar dingin-dingin tetap berani gak pake baju. Sayang perutnya dia gak six-pack terpaksa harus dipotret dari belakang hahahaha.

Kuda-Kudang yang Merumput
Saat kembali dari memotret Fulan Fehan, beberapa ekor kuda tampak di punggungan bukit membuat aku bertanya-tanya dalam hati kapan mereka kesini karena sepagian aku tidak melihat seorang pun yang datang mengembalakan kuda kesini.

Tak berapa lama, ada sekitar tiga ekor kuda lagi yang keluar dari gerumbulan pepohonan di belakang tempatku memasang tenda. Oh rupanya kuda-kuda ini memang tidak digembalakan tapi dilepaskan begitu saja. Jadi saat malam mereka masuk ke dalam hutan kecil dan keluar lagi di padang saat pagi hari.

Sayangnya agak sulit mendekati kuda-kuda ini tanpa ada pemiliknya. Setiap aku mendekat mereka akan berjalan menjauh. Karena beberapa kali gagal mendapatkan gambar kuda-kuda ini dari dekat, ya jalan termudahnya aku mengganti lensaku dengan lensa panjang sehingga membuat kuda-kuda bisa dipotret tanpa merasa terganggu.

Tak berapa lama dari balik hutan kecil itu muncul lagi tiga ekor ekor dengan seekor kuda yang masih kecil mengikuti salah kuda yang lebih besar, kemungkinan besar itu induknya. Entah ada berapa kuda lagi yang bermalam di dalam hutan kecil itu. Merekalah sejatinya pemilik tempat ini, karena merekalah yang menjaganya. Kitalah yang sibuk mengklaimnya.



Sayang, kegembiraan memotret kuda-kuda harus dihentikan karena urusan perut bawah. Waktunya memasak untuk mengisi perut. Dan tentu saja segelas kopi di pagi seperti ini adalah keharusan.

Temen ngopi dan nenda: Al-Buchori dan Imam 'Boncel'

Jumat, 15 Februari 2019

Memandang Sang Rupawan dari Maskumambang

Pagi hari kereta yang kutumpangi tiba di Stasiun Kediri. Kota Kediri, tempat Raja Jayabaya dan Raja Airlangga pernah  bertahta di masa lalu. Kicauan suara burung-burung dari pepohonan yang ada di sekitar stasiun seakan menyambut kedatanganku. Aku pun berjalan keluar stasiun menuju jalan raya. Ketika aku melewati patung Panji Asmarabangun sambil bergumam, "Panji, Dewi Chandra Kirana sedang kelaparan!" Eeeaaaa. Untunglah banyak pedagang kaki lima yang  menjual sarapan di pinggir jalan. Menunya pecel, nasi campur dan teh manis. Duduk lesehan menyantap sarapan dan menyiapkan mobile phone untuk order driver online ke Gunung Klothok. Jarak dari Kota Kediri menuju Gunung Klothok sekitar 4 kilometer. Tepatnya di Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kediri, Jawa Timur.

Aku melewati gerbang masuk Goa Selomangleng, sebagai akses menuju kawasan Gunung Klothok. Goa Selomangleng ada di kaki Gunung Klothok. Masih satu kawasan dengan kolam renang, Bukit Maskumambang dan Museum Airlangga. Kebetulan karena ada kolam renang bisa sekalian mandi disini.

Niatku menghindari mendaki Gunung Klothok karena aku hanya ingin memotret landscape Gunung Klothok. Selain itu juga aku tidak punya waktu banyak. Maka agar aku dapat view keseluruhan gunung, aku pun mencoba memotret dari Bukit Maskumambang.
Bagaimanapun juga untuk mendapat view Gunung Klothok aku harus mendaki ratusan undakan anak tangga di bukit ini. Semangaaattt!

Gapuran masuk melihat  Gunung Klothok
Sebuah gerbang gapura mengapit undakan tangga menuju atas bukit. Di sisi kiri terdapat Prasasti baru tertulis bahwa Bukit Maskumambang juga disebut sebagai Astana Boncolono. Mbah Boncolono adalah seorang Maling Gentiri yang sakti dan memiliki Ilmu Pancasona, bila mati dan darahnya menyentuh Bumi, dia akan hidup kembali.Dia mencuri harta para saudagar dan hartawan yang berpihak kepada Kolonial Belanda. Harta yang didapat kemudian dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin yang menderita. Setelah dikalahkan pihak Belanda, jasad Mbah Boncolono dimakamkan di bukit ini. Waktu yang singkat membuatku tidak mengunjungi makamnya, meskipun aku merasakan penyambutannya :)

Kupu-kupu berwarna kuning beterbangan kian kemari saat aku mendaki bukit ini. Seperti mengiringi perjalananku. Bagi yang jarang olahraga perlu ekstra tenaga menapaki undakan yang menanjak. "Ayo-ayo!" terdengar seruan dari seorang gadis remaja berkerudung meneriaki teman-temannya yang mendaki undak-undakan bukit agar segera menyusul. Mereka tersenyum menyapa ketika melintasiku yang sedang asik memotret. Aku pun ikut menyemangati mereka mendaki ratusan undakan. 

Pemandangan dari atas bukit ini nampak si Cantik Gunung Klothok. Mengapa disebut Si Cantik? Karena dari kejauhan landscape Gunung Klothok seperti wajah seorang gadis cantik dengan hidung yang mancung, malah terkadang seperti gadis yang terbaring tidur 'Sleeping Beauty'.

Setelah puas memotret aku mampir ke satu-satunya warung di sini. Meneguk minuman isotonik biar segar lagi. Menurut bapak pemilik warung, pengunjung ramai datang ke Bukit Maskumambang di musim liburan sekolah apalagi di bulan Desember menjelang malam pergantian tahun.


Konon Gunung Klothok  sebenarnya adalah bangunan piramida. Dibangun oleh Bangsa Lemurian, leluhur Nusantara dengan Ancient Technology-nya yang tinggi. Jauh sebelum masa Kerajaan Kediri. Piramida ini pun terkubur oleh debu-debu vulkanik gunung berapi purba yang meletus bersamaan ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Walaupun demikian perlu penelitian lebih lanjut melalui carbon test, laser scanning maupun jalur penerawangan spiritual level starseed.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Mau liburan gaes klik aja http://befreetour.com/id?reff=X3KRF