Halaman

Senin, 05 Desember 2011

Tapaleuk Nagekeo (Bagian I)



Tapaleuk Perbukitan Rendu 
Debu naik tinggi saat roda-roda truk menerobos jalan tanah kering berbatu. Debu nyaris menghalangi pendangan mata memaksa kami menutup kaca kendaraan. Tapi Pey yang mengendarai kendaraan yang kami tumpangi tetap melaju menembus bubungan debu jalan, menunjukkan kepiwaiannya yang sudah malang melintang dengan daerah Nagekeo yang penuh dengan jalan meliuk-liuk ini. 
Perjalanan ke Rendu yang melintasi jalur tengah merupakan jalan terdekat untuk menuju ke Bajawa, ibukota kabupaten Nagekeo ini memang dipenuhi dengan jalan naik turun dengan tikungan tajam mungkin karena daerah adalah kawasan perbukitan bebatuan, sepanjang jalan banyak diapit bukit-bukit berbatu yang telah terpotong. Jalannya pun banyak berupa jalan yang sempit sehingga kalau harus berpapasan dua kendaraan roda empat harus salah satu mengalah dahulu. 
Sekitar jam lima lewat dua puluh kami sampai di kawasan Rendu. Rendu ini merupakan kawasan perbukitan kosong yang sangat luas, daerah yang sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan ternak. Walaupun ketinggiannya sekitar 450 meter, namun rupanya Rendu bukanlah daerah subur. Meski masih terlihat kering namun rumput-rumput mulai tampak tumbuh menghijau. Hujan yang sekali dua turun beberapa waktu lalu kemungkinan penyebabnya. 
Dari Rendu ini bisa dilihat gunung Ebulobo yang sering tampak diselimuti awan bagian tengahnya dan gunung Inerie yang tampak bagai sebuah cungkup runcing segitiga. Menurut Didi yang pernah naik di kedua gunung, Ebulobo jauh lebih mudah didaki daripada Inerie karena gunung Inerie bagian atasnya lebih banyak dipenuhi pasir sehingga mudah longsor. 
Di atas salah satu bukit kami duduk-duduk menunggu senja turun. Matahari kuning sempat muncul sesaat sebelum awan menelannya kembali. Keasyikan menikmati senja di sini, entah sudah berapa banyak mangga yang masuk ke perutku. Mangga-mangga ini kami beli di pertengahan jalan menuju kesini, di daerah itu beberapa rumah yang punya mangga menjual mangganya di depan rumah, waktu itu yang menjual mangga seorang anak kecil perempuan. Ada sekitar dua puluh buah mangga, karena kami mendapat harga lima ribu rupiah per harga lima buah. Mangga-mangga ini rasanya manis bahkan walau masih keras, sehingga sedikit membuat aku dan yang lain agak lupa diri. Nanti setelah ini ada yang harus rela perutnya mulas karena sudah dalam kategori overdosis makan mangga hahaha. 
Setelah malam turun kami turun kembali ke Mbay, di rumah pak Ndus kami singgah dan ngobrol-ngobrol ditemani segelas kopi yang nikmat. Kadek sepertinya ketagihan sama kopi pak Ndus. Tanpa sadar jam 22.20 saat kami pamit dari rumah pak Ndus, suasana beranda rumahnya yang adem membuat kami jadi betah disana.


Tapaleuk Perbukitan Kesidari 
Ini adalah daerah yang paling sering aku kunjungi karena memang letaknya dekat dari Mbay. Dulunya kalau aku memotret disini sering aku tulis sebagai kawasan perbukitan Mbay, ternyata nama daerah ini adalah Kesidari. 
Besok sorenya, kami kembali tapaleuk ke kawasan perbukitan Mbay yang baru aku tahu namanya kalau daerah ini namanya Kesidari. Kalau kemarin kami hanya berempat maka kali ini mas Didi ikut serta, sayang Selvianto tidak bisa ikut karena sedang keluar kota untuk mempersiapkan pernikahannya. Di kawasan perbukitan Kesidari, kami memilih daerah yang cukup tinggi untuk bisa mendapatkan view senja. Sekarang kawasan perbukitan ini sering secara olok-olok kami sebut dengan TK (Tai Kerbau) karena memang banyak sekali ranjau tahi sapi di sepanjang perbukitan ini. 
Agak berbeda dengan dua minggu sebelumnya dimana kawasan ini lebih kering dengan rumput-rumput kering berwarna putih, sekarang telah tumbuh rumput-rumput hijau walau belum cukup rata. Hujan masih belum turun banyak sehingga belum semua daerah perbukitan hijau rata. Sore itu perbukitan di bawah tidak turun kabut seperti biasanya, langit sedang cerah walaupun di ujung barat matahari masih terhalang awan tipis. Bulan separuh tepat berada di atas kepala saat jam menunjukkan pukul enam sore. Berbeda dengan dua minggu kemarin yang saat matahari tenggelam di sisi timur bulan purnama kuning sebesar tempayah muncul di sebelah timur. 
Minggu pagi berikutnya, kami berempat, aku dengan Kadek, Eddy dan Didi kembali ke Kesidari dengan sepeda motor . Kali ini motor bergerak lebih jauh. Target kita kali ini adalah di kawasan perbukitan di sisi sebelah selatan bukit TK. Berangkat sekitar jam lima lewat tiga puluh pagi, aku yang hanya memakai rompi dan Kadek yang hanya berbaju kaos dalam putih harus rela kedinginan di boncengan saat motor-motor kami melintas ke arah perbukitan. Ini berbeda dengan penampilan Eddy dan Didi yang lengkap berjaket dan tas kamera model punggung. 
Kawasan Kesi deri ada banyak pohon yang baru belakangan baru kuketahui kalau itu adalah pohon Mengkudu hutan. Bentuk daunnya lebih kecil dibanding dengan daun Mengkudu pada umumnya, dan itu yang membuatku hampir tak mengenali. Buahnya yang bulat dan kecil-kecil juga berbeda, yang sama adalah motif dan bau buahnya. Sepertinya penduduk sekitar tidak memanfaatkan keberadaan pohon ini kecuali sekedar untuk kayu bakar, karena sepertinya pohon-pohon ini tumbuh liar. 
Kami sempat menelusuri perbukitan sampai kesisi miring menuju ke arah bawah lembah. Sisi bawah lembah ternyata banyak pepohonan, mungkin karena letaknya yang terlindungi sehingga bagian lembah tidak kering seperti bagian atas. Beberapa rombongan sapi melintas di kawasan perbukitan ini, baru kutahu kemudian bahwa masyarakat juga biasa tidak mengandangkan ternak melainkan hanya menggiring ternak-ternak ke lembah saja

2 komentar:

  1. viewnya mantap, di daerah mana ini mas?

    BalasHapus
  2. Ini di salah satu kabupaten dari pulau Flores, Kabupaten Nagekeo...

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!