Cahaya terang benderang dan hiruk pikuk juga masih mewarnai gedung-gedung di seberang walaupun sudah jauh berkurang, hanya pecinta malam yang masih sanggup bertahan meski jam telah menunjukkan waktu di atas jam 11 malam. Satu-satunya yang masih bertahan bekerja dengan urutan yang tidak berubah dan bergeser adalah beberapa pasang lampu lalu lintas merah-kuning-hijau. Jika di kota-kota kecil macam kotaku lampu-lampu ini telah berganti warna kuning tapi disini warna hijau dan merah tetap dipaksa melek bekerja tanpa henti, atau akan muncul kesemrawutan yang lebih bikin mereka stress. Tapi rupanya kelenggangan tidak beranjak lama, beberapa pasang muda mudi mulai datang memenuhi tempat ini. Ada yang sedang memotret, mungkin mereka dari luar kota yang ingin menjadikan foto kenangan. Wanita-wanita dengan baju bertali tanpa lengan seperti menantang dingin duduk bercengkerama dengan taburan asap-asap disela kata-kata yang mereka keluarkan.
Jakarta memang bersolek luar biasa, rasanya tak cukup gedung hari ini, besok lusa ada saja gedung yang berdiri. Bahkan berapapun watt listrik ditambah tak pernah cukup memuaskan kemegahan Jakarta. Dan seperti sebuah cahaya bagi kunang-kunang, Jakarta telah menjadi magnet bagi banyak orang untuk mengadu nasib di kota yang katanya sangat keras ini. Yang menang dan maka akan tersedia kubus-kubus terang bercahaya warna-warni. Yang kalah? entah kalah ataukah baru memulai, tapi bisa kau layangkan pandangan di pinggir-pinggir jembatan, seperti ada refleksi berkebalikan yang sempurna.
Aku teringat pemain Gambang Kromong yang beberapa hari ini beraksi di lobby hotel bintang empat di kawasan Kebon Sirih yang aku tempati beberapa hari ini. Memainkan musik pengiring lalu lalangnya orang keluar masuk. Mata-mata tua yang bermain musik ini, apakah dibenaknya dengan semua tempat ini? Para penghibur ini hanya mengais sedikit dari yang dapat mereka ambil. Aku tak tahu dimana dia tinggal, mungkin masih di sini atau bisa juga sudah di pinggiran kota.
Mengaca pada lantai pualam dan dinding-dinding kaca
aku terpatri pada kemegahan dan gemerlap cahaya ribuan watt
aku menatapmu dari balik kaca stasiun busway yang sesak
Kotak-kotak kaca saling bertumpuk laksana kubus dan semuanya cepat
saling berderap, saling menderu, saling berpacu serba bergairah untuk
yang bernama uang dan sedikit kesenangan
aku berdiri memunggungimu sembari meremas uang seribu yang telah lecek
dahaga pun tersiap puluhan minuman serba warna, semuanya ada di tempat sama: hotel dan restoran
aku masih menikmati nasi uduk teh Neni waktu semua itu menyapaku
Aku melihat kolong jembatan dan pencakar langit, aku melihat kursi-kursi di etalase dan di pinggir jembatan
aku melihat yang membuang makanan lezat dan yang mengais sampah makanan basi
refleksimu sungguh membuatku ragu, inikah atau itukah
Aku tak hendak mengerti dirimu, tidak sama sekali... karena aku hanya singgah disini
aku bisa mencintai siapa saja tapi bukan dirimu yang sungguh tak kumengerti
engkau adalah pergulatan zaman yang terburuk namun diperebutkan
Maka biarkan aku menyingkir, dan melihatmu hanya sesekali
(Djakarta, September 21, 2011)