Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 21 Desember 2020

Kala Senja Kalamata


Seorang bapak berbaju putih sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Daun-daun kering yang jatuh dari pohon berserakan di halaman rumput juga di sepanjang paving block jalan setapak.
"Pak loket tiket masuk dimana?" Tanyaku.
"Silahkan langsung masuk, Isi buku tamu saja!" Jawabnya.
Aku segera menuju komplek Benteng. Di ujung jalan setapak seorang pria memakai topi coklat, berbaju biru sibuk memotret sekeliling benteng. Wah keduluan, gumamku. 

Yowes aku langsung masuk ke dalam benteng motret-motret juga. Hhmm aku agak bingung memotret sudutnya karena dari segi arsitektur benteng ini berbentuk segi empat yang tidak beraturan (triangulasi) dengan 4 sudut yang ujungnya meruncing dan memiliki ceruk bidik (embrasure) di masing-masing bastion. Ketebalan dinding benteng 60 centimeter dan tingginya 3 meter. Dindingnya tersusun dari batu andesit dan batu karang yang direkatkan dengan memakai Kalero, sejenis kapur yang dihasilkan dari pembakaran batu karang. Kapur tersebut dicampur dengan pasir dan air rendaman kulit pohon Lubiri. 

Aku memanjat dinding benteng untuk melihat lebih jelas sekelilingnya. Benar juga Benteng ini berbentuk penyu kalau dilihat dari atas dan sekilas mirip benteng yang ada di Pulau Bandaneira. Dua bastion yang menjorok ke laut untuk menghalau serangan laut dari kapal musuh. Sementara dua bastion yang lain untuk menghadang serangan dari darat. Ujung bastion yang didarat ini lebih tinggi daripada yang menjorok laut jadi pemandangannya lebih jelas. Pulau Maitara dan Pulau Tidore terlihat sebagai latar belakang yang menawan. Suasana disini tidak seramai Benteng Tolukko, aku jadi lebih tenang memotret. Tidak lupa foto-foto narsis di sini. Mumpung background cakep hehehe. 

Ternate Pulau kecil yang dipenuhi benteng. Pulau ini di masa lalu sebagai pusat rempah-rempah yang menjadi incaran bangsa Eropa. Benteng Kalamata adalah benteng ketiga yang aku kunjungi. Berlokasi di Kayu Merah, Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara. 

Benteng Kalamata dikenal juga sebagai Benteng Kayu Merah karena terletak di daerah Kayu Merah. Benteng ini pertama kali dibangun oleh bangsa Portugis bernama Fransisco Serao atas gagasan Antonio Pigafeta tahun 1540 dan diberi nama Benteng Santa Lucia. Keinginan Portugis meluaskan kekuasaannya dan monopoli perdagangan mengalami benturan dengan Sultan Baabullah. Pada tahun 1575 Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keadaan tersebut dimanfaatkan Spanyol, Benteng Santa Lucia dikuasai dan dijadikan sebagai pos perdagangan dan pos pertahanan. 

Namun itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 April 1798 Benteng berhasil direbut Kaicil Nuku, Sultan Tidore ke-19 dibantu armada Inggris. Kaicil Nuku dikhianati Inggris sehingga benteng itu berhasil dikuasai dari tahun 1801 sampai tahun 1810 saat Belanda mengambil alih. Belanda mengganti namanya dari Santa Lucia menjadi Kalamata, mengambil nama dari Kaicil Kalamata seorang Pangeran Ternate, kakak Sultan Mandarsyah dan paman dari Sultan Kaicil Sibori Amsterdam. Kaicil Kalamata disebutkan dalam sejarah mengabdi pada Sultan Hasanuddin di Kerajaan Gowa. 


 

Perlahan matahari mulai condong ke barat dan aku harus pergi meninggalkan senja di Kalamata. 

Well, wherever you go becomes a part of you somehow - Anita Desai. 

Foto/tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 10 Desember 2020

Tebing Karang Fautusi

"Hati-hati pak," Nelis berteriak dari atas, bersamaan dengan itu beberapa batu jatuh dari atas. Jatuh tak seberapa jauh dariku, untuk aku sempat memiringkan tubuh. Huft, adegan batu yang jatuh diantara dinding tebing yang sempit ini nyaris menimpaku. Jantungku berdetak kencang. Aku melepaskan sulur-sulur akar pepohonan dan terdiam beberapa saat untuk menenangkan diri. Setelah merasa lebih tenang, aku mulai memanjat lagi pelahan dengan memilih menggunakan tanganku untuk bergantung pada sulur batang pohon daripada menggunakan pijakan kaki. Untung banyak batang pohon menjalar semacam sulur di sepanjang dinding tebing. Aku juga terbantu karena Nelis telah mengambil dulu tas kameraku sehingga tidak mengganggu aku memanjat di dinding yang cukup sempit.

Fautusi, Dinding Batu di Selatan Timor
Lega setelah berhasil naik ke atas. Sebenarnya saat kita 'agak' kesasar lebih mudah kalau mengambil jalan kembali daripada memaksa menaiki tebing. Tapi rupanya jiwa Momon sebagai orang yang pernah masuk kelompok pecinta alam di kampus masih ada, jadi lebih melanjutkan jalan dengan menaiki tebing daripada kembali.

Saat berada di salah satu tebing tertinggi, barulah aku bisa melihat pemandangan keseluruhan di Fautusi. Ada tiga tebing yang menjorok ke laut di Fautusi. Dua tebing bagian atasnya datar dan tidak terlalu tinggi, tapi cukup dibandingnya dengan posisi laut. Kedua tebing itu cocok kalau untuk dijadikan tempat camping. Sedangkan tebing bagian tengah tempat yang aku jangkau ini berbentuk runcing di kiri dan kanan, hanya menyisakan jalan setapak yang sedikit miring. Harus hati-hati, melihat dinding tebing di kiri dan kanan berwarna putih menandakan dinding ini belum berumur lama. Kemungkinan tebing ini pernah longsor.

Untuk informasi, tebing kapur itu walaupun awalnya berwarna putih tapi jika terkena panas lama-lama akan menghitam. Jadi dia melihat tebing kapur berwarna putih sebaiknya berhati-hati karena itu menunjukkan tebing itu baru terbuka, sangat mungkin karena batuan sebelumnya mengalami longsor.

Tebing karang yang tinggi di pinggir pantai mengingatku pada pantai-pantai di Pacitan. Tidak banyak pemandangan tebing seperti ini di pulau Timor. Justru pemandangan tebing seperti ini aku lebih sering aku dapatkan saat mengunjungi pulau Sumba sisi selatan.  Dengan ketinggian tebing lebih dari 30 meter, jelas tanjung ini lebih menonjol daripada pantai berpasir putih di bawahnya. Ada pantai dengan pasir putih? Ada dan sebenarnya juga indah pemandangannya. Mungkin lain kali aku kalau kembali kesini akan menyempatkan diri menikmatinya pantainya.

Perjalanan 3 jam Plus-plus
Aku sudah mengirimkan rencanaku ke 'Tanjung Fautusi' kepada teman-temanku di grup WA "Mlaku-mlaku" beberapa hari sebelumnya namun tidak banyak yang menjawab. Giliran ada yang menjawab pun semua mengatakan tidak bisa karena bla..bla..bla... yang artinya satu: tidak yang ada berminat. Justru sebuah mention WA datang dari seorang teman cewek yang berminat ikut, cuma di WA itu ada tambahan kata-kata "kalau diijinkan ortu". Wah kalau ada kata-kata sakti begini mendingan 'dicoret' dulu dari daftar. Bukan diskrimatif atau apa, masalahnya aku sendiri tidak tahu persis lokasi dan kondisi jalannya. Aku gak berani mengambil risiko bikin nyasar anak perempuan orang, apalagi kalau ada suatu kondisi yang kita tidak tahu yang bisa jadi membuat kita menghabiskan malam di jalan.

Akhirnya, pada hari-H hanya 3 orang yang akan jalan yaitu aku, Momon, dan Nelis. Menggunakan dua motor, aku sendiri dengan motor ADV dan Momon yang membonceng Nelis mengunakan motor Vixion (kalau gak salah). Karena tidak ada rencana menginap, jadi tidak mempersiapkan banyak bekal, untuk makan siang rencana akan membeli nasi kuning yang banyak di seputaran kota Kupang. Walaupun akhirnya beli nasi campur biasa di tengah perjalanan di daerah Oesao.

Sesuai dengan petunjuk Maps, untuk menuju ke Fautusi harus berbelok ke kanan di pertigaan Oesao. Ada dua pilihan jalan yang bisa dipilih, tidak masalah mau yang mana karena keduanya akan mengarah ke desa Tesbatan.

Tiga jam duduk di atas motor tanpa berhenti dari Kota Kupang sampai ke Tanjung Fautusi dengan jalan yang 'sebagian besar' berupa aspal tak mulus jelas sebuah rekor tersendiri buatku. Yang pasti perjalanan itu telah berhasil membuat pantatku terasa kebas dan panas, bahkan aku merasakan sedikit rasa nyeri di tulang ekor. Padahal aku cuma duduk sendiri di atas motor yang tentu lebih leluasa dibanding Momon yang duduk diboncengan bareng Nelis.

Sisa akhir perjalanan ke Fautusi adalah melewati jalan kebun sampai turun ke sungai dan menyusuri jalur sungai sejauh tiga kilometer. Perjalanan dengan menyusuri jalur sungai inilah yang aku kuatirkan dari awal perjalanan. Selain kondisi sungai yang berupa pasir dan bebatuan, sungai ini juga rawan karena sewaktu-waktu bisa diluapkan oleh air. Apalagi jika sampai ada turun hujan di daerah hulu sungai.

Kendaraan berhenti di sebuah perkampungan kecil yang berisi beberapa rumah di pinggir pantai. Disitulah akhir jalan. Setelah kami minta ijin memarkirkan kendaraan, kami meneruskan perjalanan dengan menaiki bukit yang di belakang rumah warga. Kata salah seorang warga, ikuti saja jalan di sana karena tebing itu sudah pernah didatangi orang termasuk pernah digunakan untuk kegiatan off-road. Karena berpikir jalur jalannya sudah jelas, kami memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa minta bantuan warga untuk mengantar.

Kejutan Tak Disangka
Ternyata perjalanan masuk tidak seperti yang kami duga, awalnya memang mudah mengikuti jalan hingga akhirnya semakin ke dalam jalan semakin tidak jelas. Bahkan kami benar-benar bingung saat jalan terhalang dengan sulur batang. Jika memang itu jalur jalannya seharusnya tidak ada batang sulur melintang di jalan. Jenis hutan terbuka seperti yang ada di pulau Timor memang kadang agak menyulitkan karena antara jalan dan bukan jalan kadang berbeda tipis.

Ini belum termasuk percabangan jalan yang tidak jelas. Kadang kami tinggal mengikuti jalur yang lebih terbuka jika antara dua cabang jelas terlihat perbedaannya. Tapi lebih sering kami harus menebak arah yang benar. Sampai akhirnya jalan makin tidak jelas sehingga aku dan teman-teman memutuskan naik ke salah satu bukit untuk memastikan keberadaan kami. Dan ternyata benar, kami salah jalan!

Pengalaman naik ke atas dengan memanjat tebing batu yang aku ceritakan di awal sebenarnya bukan salah satu kejadian tak terduga yang harus aku alami.

Saat pertama kali aku sampai di salah satu tebing, dikejutkan dengan badai yang tiba-tiba datang. Saat itu disisi utara langit langit masih cerah, namun sebaliknya di sisi selatan justru gulungan awan tampak menghitam. Dan benar saja, dari laut menderu angin yang sangat kencang. Bukan cuma menerbangkan pasir, ternyata angin juga menerbangkan batu-batu kecil. Kita bertiga bahkan berlari terhuyung-huyung saat lari kembali ke dalam hutan berharap pepohonan akan mengurangi kekuatan angin dibanding di tebing yang kering hanya ada pohon Lontar dan rumput kering.

Akhirnya kami berteduh disebuah bangunan kecil dari pohon lontar yang sudah lapuk dan ditinggalkan pemiliknya. Setelah memasang flysheet untuk menutup bagian atap yang bocor besar, hujan ternyata datang. Hujan di bulan begini? Ya, pada saat yang bahkan Kupang pun tak pernah terkena gerimis. Siapa yang menyangka bahwa di Fautusi akan turun hujan disertai angin kencang seperti ini. Sungguh aneh, dan sungguh suasana yang ada pada saat di tebing waktu itu terasa menyeramkan. Menunggu hujan reda, sambil beristirahat kami membuka bekal makan siang kami. Nasi kucing yang ternyata berisi nasi lebih banyak daripada lauknya terasa nikmat mengisi lambung. Dalam kondisi begini, makanan apapun akan terasa nikmat bukan?

Bahkan saat kembali hujan yang turun lebih kencang, walhasil kami berjalan beriringan dengan menggunakan flysheet untuk pengganti payung. Kami harus berjibaku dengan tanah liat yang memenuhi sepatu yang membuat langkah kaki menjadi lebih berat. Aku harus beberapa kali berhenti untuk membersihkan sol sepatu dari lumpur saking tebalnya lumpur yang menempel.

Informasi Lokasi
Tanjung Fautusi terletak di sisi Selatan pulau Timor yang letaknya berdekatan dengan Pulau Menipo (Kabupaten Kupang) yang berbatasan dengan Oetune (Kabupaten Timor Tengah Selatan) dengan jarak tempuh tiga jam. Waktu tempuh ini bukan karena faktor jauh, tapi lebih karena kondisi jalan yang membuat kecepatan kendaraan lebih rendah. Termasuk juga karena harus menyusuri alur sungai sejauh 3 km untuk ke lokasi.

Untuk menuju ke lokasi, dari perkampungan hanya bisa ditempuh jalan kaki melewati hujan terbuka dengan pepohonan yang tidak tertutup. Tidak ada papan petunjuk, setidaknya hingga saat ini. Untungnya aku mendengar dari teman yang sudah kesana baru-baru ini kalau jalan sudah dibangun sampai di pinggir hutan, jadi kita tidak perlu harus turun ke sungai untuk sampai Fautusi.

Meskipun begitu jika semua rombongan masih awam dengan lokasi ini, aku menyarankan menggunakan jasa pemandu dari warga sekitar yang sudah terbiasa kesini. Jangan hanya mengandalkan GPS, karena menurutku GPS tidak dapat diandalkan di tempat ini.

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 16 November 2020

Nyanyian Senja Padang Humon


Berdiri di padang yang berada di ketinggian, jajaran tanah Timor tampak seperti lapisan-lapisan roti yang dihamparkan di atas sana dan dituangkan selai lemon berwarna kuning oranye di atasnya. Tanah Timor masih belum selesai mengejutkanku dengan tempat-tempat barunya. Fuiihh, tempat yang baru mulai dikenal yang memiliki pemandangan indah seperti ini kadang membuatku heran. Bagaimana bisa tidak ada yang memberitahu ada tempat seperti ini?  Apalagi tempat ini memiliki jarak yang jauh lebih dekat dari Kupang dibandingkan tempat lain, misalnya Fatumnasi. Apa yang membuat tempat-tempat indah seperti ini tersembunyi selama ini?

Berada di ketinggian di atas 1100 mdl seperti ini, aku harus berdebat dengan Sani tentang warna silau terang memanjang di atas layer-layer perbukitan. Apa kesimpulannya? Tidak penting.. Sungguh, lebih baik kalian tidak usah penasaran apa yang aku perdebatkan waktu itu. Bahkan perdebatan itu lebih absurd daripada mimpi, sangat absurd. Tidak masalah, toh tergila-gila dengan pemandangan seperti ini juga sebenarnya berasal dari pikiran absud. Namun semua perdebatan absurd itu terjawab begitu ada warna kuning memantul dari bawah. Ternyata itu adalah garis laut, whattt!?!!

Ternyata mataku sudah tertipu, aku kira dengan ketinggian seperti ini dan pemandangan layer-layer perbukitan tidak mungkin bisa melihat horison laut. Tapi nyatanya itu adalah horison laut. Ternyata di bukit ini kita masih bisa melihat matahari tenggelam di horison laut. Yeayy!!!!

Nama yang Salah

Kuperkenalkan kalian pada kalian nama bukit ini: Padang Humon. Eh, bukannya seharusnya Fatu Monas? Bukannya di Google Maps tercatat dengan nama Fatu Monas? Sabar-sabar.. aku coba jelaskan bagaimana Padang Humon ini sekarang justru dikenal dengan nama Fatu Monas.

Nama yang dikenal masyarakat tentang perbukitan ini adalah Padang Humon. Karena luas, jadi padang ini dikenal dengan dua nama. Padang Humon Besar yang lokasinya dari pinggir jalan sampai dengan turun entah ke berapa aku lupa menghitung. Sedang di sisi Barat yang ada yang disebut dengan Padang Humon Kecil. Nama itu aku dapatkan dari seorang bapak tua yang sedang duduk di bawah pohon bersama dua anak kecil yang masih SMP. Mereka akan mengambil hasil panen yang berada di seberang bukit lain, cukup jauh menurutku waktu mereka mengarahkan telunjuk mereka ke utara jauh di bawah perbukitan.

Padang Humon sendiri dari dulu lebih sering digunakan masyarakat untuk menggembalakan ternaknya. Dengan cuaca di tempat ini yang sejuk ditambah dengan rumput yang selalu ada tentu melepaskan ternak di tempat ini cara mudah untuk menggembalakan ternak tanpa takut hewan ternak kelaparan. Satu-satunya permasalahan adalah air, karena sepanjang mata memandang tidak ada embung atau danau kecil untuk tempat ternak mencari air untuk minum.

Lalu Fatu Monas sendiri asalnya dari mana? Nah itu yang jadi pertanyaanku awalnya. Aku sendiri tidak tahu nama Fatu Monas sampai kemudian aku mencoba check-in di Maps namun tidak menemukan nama Padang Humon namun justru nama Fatumonas. Aku baru tahu setelah perjalanan berikutnya ke Timau, dan Fatumonas sebenarnya adalah nama desa. Iya, beberapa kilometer setelah melewati Padang Humon aku sampai di kawasan pemukiman dan itulah desa Fatumonas. Artinya jelas nama Fatumonas untuk padang sabana itu salah. Mungkin aku nanti akan coba perbaiki kesalahan nama itu di Google Map jika memungkinkan.

Maps Ngaco!
Lagi-lagi ini adalah perjalanan yang secara tidak disengaja telah membuatku nyasar sampai ke Padang Humon. Aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana memberitahu google mencapai lokasi ini. Jadi dari awal perjalanan, aku men-set lokasi tujuan di Google Maps itu Lelogama. Lelogama yang adalah wilayah kecamatan menjadi tujuanku? Bagaimana Maps akan mengarahkan? Nah itulah awal masalahnya.

Karena aku men-set tujuanku bukanlah titik namun wilayah jadi perkiraan waktunya benar-benar menjadi kacau. Lihat saja, mendekati lokasi Maps menunjukkan waktu perkiraan tiba kurang dari 5 menit. Beberapa saat setelah kembali berjalan aku kembali berjalan tiba-tiba waktu bertambah menjadi 15 menit, lho kok bisa?!? Aku coba berpikir mungkin masalah akurasi GPS. Sialnya semakin aku berjalan waktu seperti mundur, terakhir aku lihat jarak tempuh masih kurang setengah jam. Dari situ akhirnya aku memilih mengabaikan perkiraan waktu yang ada di Maps dan terus berjalan mengikuti jalan.

Setelah Maps dengan segala kekacauannya akhirnya memang berhasil memperbaiki perhitungan waktunya. Setelah melewati hutan dengan pepohonan Ampupu aku semakin yakin mendekati wilayah Lelogama. Dan di akhir Maps telah membawaku ke perkampungan yang masih sepi dengan kontur perbukitan sabana berwarna hijau kekuningan dengan ternak-ternak yang dilepaskan begitu saja.

Seandainya saja aku men-set lokasi tujuanku ke Fatumonas mungkin lebih Maps bisa menunjukkan lokasi lebih akurat. Ah sudah terjadi, ya sudahlah!

Padang Humon: Senja dan Milkyway

Padang Humon ini punya view sabana dengan jarak pandang yang cukup luas karena posisinya lebih tinggi dari sekitarnya. Setidaknya pemandangan ke arah barat tidak terganggu sama sekali. Walhasil, dari tempat ini kita bisa leluasa melihat matahari tenggelam di garis horison laut (jika cuaca cerah). Rerumputan di padang ini khas daerah pegunungan yang tidak tinggi jadi menarik enak untuk duduk di atas rumputnya. Tapi hati-hati, jangan sampai menduduki ranjau.. ranjau di tempat ini adalah tai sapi atau tai kuda. Begitu banyaknya tai sapi di bukit ini, benar-benar harus hati-hati melangkah apalagi menjelang gelap. Padang Humon bukanlah satu-satunya padang di tempat ini, namun mungkin salah satu lokasi yang strategis untuk menikmati senja.

Aku sudah setidaknya tiga kali ke tempat ini, dan selama 3 kali itu beruntung mendapatkan momen saat matahari tenggelam di ufuk barat. Padahal 2 kali selalu di awali dengan kondisi langit yang mendung, membuat pada saat itu aku pasrah jika tidak bisa melihat sunset karena matahari terhalang awan.

Perjalanan pertamaku justru sekitar bulan Juli yang pada saat itu masih musim kemarau jadi langit cenderung bersih. Pada waktu itu mungkin Padang Humon baru mulai dikenal masyarakat sehingga tiap akhir pekan selalu dengan masyarakat yang datang dengan segala jenis kendaraan. Aku sengaja datang menjelang sore namun tetap banyak yang bertahan menunggu sunset. Setelah matahari menghilang satu demi satu pengunjung mulai pulang. Bahkan sebelum gelap suasana sudah kembali sepi, kecuali 2 buah tenda yang berdiri di bagian atas bukit. Rupanya ada rombongan muda-mudi yang merencanakan bermalam di tempat ini.

Karena langit cerah, aku mencoba peruntungan dengan tetap di padang sampai gelap. Walaupun dekat dengan perkampungan namun ternyata malam di sini masih gelap pekat tidak ada polusi cahaya. Mungkin karena perkampungan berada jauh di bawah bukit jadi terhalang pepohonan dan perbukitan.

Dan benar, sekitar jam 7 malam galaksi Milkyway tampak semakin jelas di langit membentang dari utara ke selatan. Benar-benar tampak jelas karena atmosfer di tempat ini yang masih bersih. Mungkin satu dua truk pengangkut material yang akan kembali kadang mengganggu pandangan. Selebihnya aku benar-benar leluasa menikmati langit malam sebelum nanti jam 10 bulan mulai keluar.

Catatan untuk ke lokasi Padang Humon:

  1. Jarak tempuh dari Kota Kupang sampai ke Padang Humon sekitar 3 jam lebih 15 menit dengan kecepatan rata-rata. Perjalanan pulang mungkin bisa lebih cepat karena jalan cenderung terus menurun. Persiapkan kendaraan (motor/mobil) dengan baik terutama rem-nya. Dengan ketinggian 1.100 mdl, jalur ke Lelogama lebih banyak dipenuhi perbukitan sehingga banyak jalur tanjakan agak ekstrem dan belokan tajam.
  2. Kondisi jalan saat ini bagus walaupun jalan tidak terlalu lebar. Hanya ada 2 titik jalan yang belum beraspal masih berupa jalan tanah putih berbatu, namun tidak bermasalah walaupun dilewati saat musim hujan. Namun jika ban kendaraan bagus setidaknya menghindari masalah slip di dua titik ini. Masih ada 1 jembatan kayu, walaupun masih kuat untuk dilewati kendaraan bahkan sekelas truk besar, sebaiknya tetap berhati-hati.
  3. Pada bulan-bulan tertentu (terutama saat musim hujan) daerah Lelogama sering berkabut. Pastikan lampu kendaraan tidak bermasalah karena kadang kabut sangat tebal yang membuat jarak pandang sangat terbatas. Lampu kendaraan yang menyala membantu kendaraan lain mengenali ada kendaaran di depannya.
  4. Jangan paksakan untuk menaikkan kendaraan di atas bukit. Saat ini memang memungkinkan menaikkan kendaraan sampai ke atas bukit karena tidak ada penjaga. Namun jika hal itu sering dilakukan lama-lama rumput akan rusak.
  5. Belum ada bangunan untuk urusan kencing atau buang air besar. Jadi pertimbangkan untuk mengatur jumlah minuman yang harus dikonsumsi. Tapi tetap agak sulit untuk tidak kencing disini, dengan kondisi hawa yang dingin seringkali membuat keinginan kencing tak tertahankan.
  6. Jaga kebersihan! Semenjak Padan Humon ini dikenal oleh masyarakat dan banyak dikunjungi selalu menyisakan persoalan sampah. Bawa kembali semua sampah, jangan ditinggalkan di lokasi ini. Cukup tinggalkan kenangan indah saja.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 10 November 2020

Bira Bergembira


Elemen air selalu memberi kesegaran dan mood booster yang sempurna. Mandi, berenang, ataupun hanya mendengarkan gemericik air dan deburan ombak sungguh menyenangkan. Pilihanku berakhir pekan adalah pergi ke Pulau Bira. Kebetulan perjalananku ke Pulau Bira ini diorganisir sebuah grup trip.  

Titik kumpul kami di Pelabuhan Muara Karang, Jakarta Utara. Kapal kayu milik nelayan setempat yang disewa sebagai sarana transportasi kami. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan ke Pulau Bira kami kadang memotret obyek foto yang menurut kami menarik. Namun jarak tempuh yang hampir 4 jam membuat aku mengantuk dan terlelap.

Aku terbangun saat sampai dermaga pulau. Tibalah aku di Pulau Bira besar dengan pasir putih yang cantik dan pepohonan teduh disepanjang pantai. Panitia segera membagi cottage/penginapan para peserta trip. Kebetulan saat pembagian cottage, aku mendapat cottage lumayan bagus. Rumah panggung kayu dengan kamar tidur yang dilengkapi AC, tempat tidur plus tirai kelambu pengusir nyamuk dan Kamar mandi yang ada bathtub shower-nya. Setelah pembagian cottage kami ke dermaga untuk snorkeling di sekitar Pulau Air sampai menjelang matahari terbenam.

Kecipak-kecipik suara hentakan kaki di air laut oleh mereka yang sedang berenang, snoorkling. Berenang-renang sambil bermain dan memberi makan remahan roti tawar pada ikan-ikan yang bersliweran kesana kemari. Ikan-ikan tipikal seperti dalam film animasi "Finding Nemo". Saat ikan-ikan berkumpul itulah momen yang tepat untuk memotret. Berfoto sambil berenang diantara ikan-ikan.

Kami telah sampai di dermaga Pulau Bira ketika matahari perlahan-lahan tenggelam. Pendaran warna merah jingga begitu menawan. Sunset selalu membuat sebuah hati mendadak romantis atau bisa juga menjadi mellow. Langkah kakiku pun menjauhi dermaga saat hari mulai gelap. Kegiatan malam diisi dengan makan malam bersama sambil memperkenalkan diri ke tiap peserta trip agar semakin akrab. Selepas makan malam lanjut tidur persiapan trip besok.

Rencana pagi-pagi aku ingin melihat matahari terbit. Lewat subuh aku bersama tiga orang teman, para perempuan berjalan menuju dermaga belakang. Aku pikir karena kemarin sore telah menikmati sunset jadi hari ini ingin menikmati sunrise. Kami Melewati rimbun semak belukar. Suasana masih gelap dan aku merasa ada yang memperhatikan dari arah semak-semak yang gelap itu. 

Jantungku berdegub kencang. Well, Something isn't right. Tetapi aku tidak bilang pada teman-temanku, khawatir nanti mereka panik dan histeris. Tiba di persimpangan kami bingung mau pilih jalan yang mana. "Balik ke cottage yuk!" Ajakku. Mereka pun langsung setuju.  Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku. Akhirnya kami kembali ke cottage. Di cottage aku masih memikirkan siapa kira-kira yang memperhatikan kami tadi. 

Aku kembali lagi ke dermaga belakang menjelang pukul 5.30 pagi bersama teman-teman ketika suasana mulai terang untuk menyaksikan matahari terbit. Perlahan-lahan cahaya keemasan menyembul dari balik cakrawala. Memecah langit dengan kilaunya. 

Setelah sarapan kami ke Pulau Atol yang tidak jauh dari Pulau Bira. Pulau Atol bekas karang yang terkenal abrasi dan menjadi dataran Pulau dengan pasir putih yang cantik. Pantulan sinar matahari membuat pasir terlihat berkilauan seperti mutiara. Serasa berada di kepulauan Maldives. Tidak ketinggalan kami berfoto dan snorkeling disekitar Pulau ini. Wah ada yang dapat bintang laut hasil snoorkling. Jangan lupa untuk mengembalikan ke biotanya lagi. Sayang menjelang siang kami harus kembali ke Pulau Bira untuk makan siang dan persiapan kembali ke Pelabuhan Muara Karang.

Mau tahu dimana Pulau Bira? Pulau Bira masuk dalam kawasan konservasi Kepulauan Seribu dan masih wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pulau Bira terbagi menjadi dua, Bira Besar dan Bira Kecil. Kebetulan aku bermalam dalam cottage atau rumah kayu di Pulau Bira Besar. Ada dua dermaga di pulau ini, dermaga depan ketika kapal/perahu pertama singgah dan dermaga belakang tempat perahu bersandar untuk kegiatan snoorkling. Dahulu Pulau Bira termasuk private island, pulau pribadi milik seorang pengusaha/konglomerat ternama negeri ini. Di masa jayanya dulu ada kolam renang, lapangan golf 9 hole, 20 cottage, dan helipad. Sekarang yang tersisa hanya 8 cottage dan Pulau Bira telah menjadi milik Pemerintah DKI lagi. 

Ada sebuah tulisan di artikel salah satu blog wisata yang mungkin menjawab pertanyaanku selama ini. Pulau Bira pada tahun 1869 pernah punya mercusuar yang dihuni keluarga Belanda. Namun tidak diketahui keberadaan mereka selanjutnya. Dari cerita para penduduk sekitar Pulau keluarga Belanda itu menjadi hantu. Mereka sering melihat penampakan pria berjenggot, anak kecil dan perempuan. Apakah mereka yang memperhatikan aku kemarin di pagi buta itu? Kalau benar itu mereka, jadi mirip cerita film liburan di Pulau berhantu, Spooky. Well, buat para adrenaline junkies yang ingin uji nyali, this is your turn guys!

Foto & tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 23 Oktober 2020

Yuk Kepo-in Museum Negeri NTB



"Saya terakhir ke museum waktu masih sekolah SD!" Ujar Pak Imam, driver yang mengantar kami, saat aku bilang padanya rute selanjutnya. Entah dia terkejut atau exciting karena kami minta diantar ke museum. Jadi selepas mengunjungi Pantai Ampenan, kendaraan kami pun melaju ke Museum Negeri Nusa Tenggara Barat.
 

Seperti apa kata Pak Imam, sampai di tujuan aku melihat banyak anak-anak sekolah dasar berpakaian bebas di teras. Wah senangnya ketemu seumuranku. Aku juga masih imut-imut seperti anak SD lho. Uuhuuuyy. Jangan lupa segera membeli tiket masuk dan mengisi buku tamu. Seorang bapak pengurus museum yang ramah menghampiri sebagai pemandu kami. 

Di depan pintu masuk ada display pigura berisi kain tenunan khas Lombok yang dibubuhi tulisan dan tanda tangan dari para tamu kehormatan. Salah satunya dari Putri Maha Cakri Sirindhorn Kerajaan Thailand yang pernah datang berkunjung di tahun 2016. Beliau seorang profesor antropologi wajar sangat peduli dengan sejarah budaya. Dari berita media elektronik yang sempat aku lihat, Putri Maha Cakri Sirindhorn setelah menyaksikan gerhana matahari di Pulau Ternate, Maluku Utara, beliau melanjutkan mengunjungi Pulau Lombok. Kok hampir sama ya, aku juga setelah dari Ternate tahun 2017 pergi ke Lombok tahun 2019. Perjalananku seperti napak tilas perjalanan Sang Putri Thailand.  








Di ruang depan, saat menoleh ke kiri pandanganku langsung tertuju pada dua maket gunung. Maket itu menggambarkan penampakan Gunung Rinjani dan Gunung Tambora yang tersohor itu. Siapa yang tidak tahu Gunung Rinjani? Gunung yang memiliki kawah cantik Segara Anakan lengkap dengan mitos yang menggetarkan nyali dan menjadi salah satu destinasi idaman para pendaki di Indonesia untuk ditaklukkan. Ada lagi Gunung Tambora. Gunung yang terkenal kedasyatan erupsinya hingga melenyapkan tiga kerajaan pada masa itu (Kerajaan Tambora, Kerajaan Panetek, Kerajaan Sanggar). Erupsinya menyebabkan Benua Amerika dan Eropa mengalami musim dingin yang panjang, tahun tanpa musim panas yang menyebabkan gagal panen dan bencana kelaparan.
 

Di sebelah kanan ada seekor buaya berukuran besar yang telah diawetkan. Buaya muara dari Dompu, Sumbawa dengan panjang mencapai empat meter dan lebar hampir satu meter. Buaya tersebut ditangkap pada tahun 2010, kemudian diawetkan dan diserahkan ke museum. 

Ruang penghubung di antara ruangan depan dengan ruangan belakang museum di sisi kiri terdapat Nekara yang sudah tidak utuh. Sedangkan di seberang kanan terdapat maket Candi Borobudur. 

Di ruang belakang yang lebih luas dipajang koleksi kostum pernikahan dari kelompok etnis Sasak, Samawa dan Mbojo. Di sebelahnya tampak Jaran Kamput, Kuda kayu yang dinaiki anak-anak yang telah dikhitan untuk diarak keliling kampung. Terlihat tiga orang anak tampak serius menulis di dinding kaca display. 

Ada alat menenun lengkap dengan kain hasil tenunannya. Daun Lontar beserta alat pengukir/pemahat daunnya. Wah, ada Kitab Cerita Angling Dharma yang ditulis aksara pegon (aksara arab berbahasa jawa). Beberapa fosil, koin kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda, serta senjata tradisional Kesultanan Bima. Sayang aku tidak bisa memasuki ruang emas karena terkunci. Aku hanya bisa mengintip disela-sela kaca. Tampak topi kopiah yang terbuat dari emas sebagai mahkota Sultan Bima. 

Sebuah tarikan yang kuat membuatku menghampiri koleksi topeng-topeng kuno itu. Hhmm wajah yang terpahat ditopeng begitu hidup. Begitu pula dengan benda-benda penolak bala, pakaian sang spiritualis bernuansa magis. Entah mengapa aku tertarik memperhatikannya lebih lama. Mungkin kehidupanku yang telah lalu adalah seorang penyihir hahaha. 

Setelah puas keliling melihat-lihat isi di dalamnya, aku bertanya pada bapak pengurus museum yang sabar mengiringi kami. 

"Menurut bapak, koleksi andalan utama museum ini apa, Pak?" tanyaku.
"Untuk sementara belum ada. Belum ada koleksi khusus yang menjadi andalan museum ini" jawab pengurus museum.

"Sayang sekali sebenarnya lontar-lontar yang banyak itu bisa jadi koleksi andalan museum ini lho, Pak!" saranku.
 

Buat anda yang ingin mengunjungi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat lokasinya ada di Jalan Panji Tilar Negara No.6, Taman Sari, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat 83117. Dengan areal seluas 8.613 m2 dan luas bangunan 3.160 m2, museum ini memiliki koleksi hampir mencapai 8.000 buah berupa koleksi sejarah, biological, geologist, arkeologi, filologi, numistik, heraldik, budaya dan keramik. Diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef pada tanggal 23 Januari 1982. 

 

Museum Negeri tak hanya menyimpan benda-benda bersejarah, ada beberapa koleksi museum yang dipercaya oleh masyarakat memiliki kekuatan ghaib. Benda penolak roh halus, pengusir roh jahat, serta penangkal petir menjadi bagian dari koleksi yang dapat anda lihat ketika berkunjung juga ke museum negeri. Museum dibuka setiap hari kecuali hari Senin mulai pukul 08:00 WITA. 

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 September 2020

Sunset di Tanjung Toda


Aku tak sanggup beranjak dalam takjub, malam bergerak dengan ditutup pertunjukan senja yang memukau. Awan jingga menyaput biru kelam langit. Sebuah pelepasan yang begitu manis meski segelas kopi panas tak ada dalam genggaman tanganku, sudah tandas beberapa menit yang lalu. Ah senja dan kopi tidak selalu bersama ternyata.

Dua Jam 'Tanpa Arah'

Tak ada niatan sama sekali ke tempat ini, waktu itu cuma terpikirkan mau jalan saja. Terus mikir mau ngajak siapa yang bisa diajak jalan 'dadakan' tanpa perlu direncanakan dulu. Jalan seperti ini memang biasa bagiku karena beberapa kali perjalanan yang direncanakan malah berakhir batal atau tertunda lama. Apalagi kalau merencanakan perjalanan dengan teman yang tidak biasa jalan, duh dari awal emang harus siap untuk batal. 

Berdua sama temanku, Sani - orang Yogya yang hobinya juga jalan gak jelas- kami berdua berboncengan ke arah Timur. Kemana? Masih belum jelas. Ada beberapa rencana tempat seperti ke Fatuleu, atau ke Lelogama, atau sekedar ke Bendungan Raknamo. Entah, semua ide bersliweran tapi seperti gak 'nyantol' sampai selepas Oelamasi baru kepikiran untuk coba menjelajahi wilayah Sulamu.

Aku sendiri lupa-lupa ingat apakah pernah pergi ke Sulamu atau tidak, karena kalaupun pernah mungkin itu tahun 2000-an dimana kondisi jalannya masih ampun-ampunan. Sekarang sih sudah jauh lumayan bagus. Jadi aku bisa sampai ke sebuah kawasan yang penduduknya sangat padat yang berada di ujung utara teluk Kupang. Sebuah dermaga rakyat dengan mercusuar menjadi penanda kawasan itu. Tempat ini mengingatkanku pada kampung orang Bajo atau Buton cenderung rumahnya berdiri rapat.

Di depan dermaga tampak sebuah pulau kecil yang diberi nama pulau Tikus. Kalian mungkin sudah tahu kenapa pulau itu diberi nama pulau Tikus, ya karena jika dilihat dari atas tampak seperti tikus dengan ekor putih. Ekor putih itu sebenarnya adalah pasir putih, cuma itu adalah gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah daratan berpasir yang hanya muncul saat laut surut. Pulau Tikus itu sebenarnya menarik perhatianku, bahkan seorang nelayan tua menawarkan untuk mengantarkanku ke pulau itu. Tapi dari kejauhan aku melihat pasir putih yang merupakan ekor pulau Tikus sedang tidak ada, yang artinya air sedang tidak surut. Dan satu lagi yang mengganggu, sepanjang pantai sampai ke pulau itu banyak botol mengambang yang artinya ada tanaman rumput laut. Artinya untuk pulau itu harus memutar perahu dulu tidak bisa tembak lurus langsung dari dermaga.

Karena tidak ada tempat yang tepat untuk melihat matahari terbenam, aku dan Sani meneruskan perjalanan ke arah barat melewati jalan kecil diapit rumah-rumah yang bersesakan. Membingungkan, aku bahkan harus bertanya beberapa kali untuk keluar dari kampung kecil ini. Jalan terakhir melewati jalan tanah di pinggir pantai, itu pun harus melewati lorong antar rumah yang sebenarnya bukan untuk motor.

Tanjung di Kecamatan Sulamu

Tanjung Toda, itu nama yang disebutkan oleh John. Pria berbadan kecil yang lebih sering menghabiskan hari-harinya di tempat ini mengurus rumput lautnya. Sebuah rumah beratap alang-alang pendek adalah tempatnya bermalam selama tinggal di sini. Kebetulan hari ini cukup banyak masyarakat yang berprofesi sebagai petani pembudidaya rumput laut yang memilih bermalam disini, bekerja sekaligus bersantai di hari libur.

Tanjung Toda ini namanya belum ada dalam pencairan google maps mungkin karena tak dianggap sebagai tempat wisata. Memang mungkin kurang cocok untuk menjadi tempat wisata karena sepanjang pinggir pantainya berupa batu karang. Ada pasir putih, hanya tidak lebar dan sebagian besar hanya muncul saat laut sedang surut saja seperti sekarang. Saat itu, pantai dapat digunakan untuk untuk mandi dan bersantai.

Di sepanjang jalur pantai Tanjung Toda banyak bangunan kecil beratap alang-alang yang digunakan oleh petani pembudidaya rumput laut, salah satunya John. Benar, sepanjang pinggir laut Tanjung Toda memang dipenuhi benda plastik minuman botol yang digunakan masyarakat untuk mengikat tali-tali yang dipasang rumput laut agar tetap mengambang di permukaan.

Sepanjang sore itu, beberapa pria dewasa tampak berjalan hilir mudik di laut yang airnya setinggi dada mereka. Mereka tampak menarik-narik sesuatu dari tali yang digunakan untuk mengikat rumput laut. Mungkin mereka sedang membersihkan rumput laut dari gulma/tanaman pengganggu. Sementara anak-anak yang kecil lebih banyak bermain di pinggir laut.

Rumput laut memang tampaknya telah menjadi mata pencaharian masyarakat Sulamu. Tanaman ini dibudidayakan di sepanjang pantai mulai dari dermaga perikanan Sulamu sampai ke Tanjung Toda ini. Alhasil, pemandangan botol-botol plastik mengambang menjadi pemandangan setiap hari di sini.

Sebuah Tempat Dimana Matahari Mengucapkan Selamat Malam

Ada daerah yang memiliki pantai dengan pasir putih yang tidak berada jauh dari tanjung Toda, tapi aku memilih tidak melihat sunset dari sana karena matahari tidak tenggelam di horison laut. Beda dengan tanjung Toda, karena matahari benar-benar tenggelam di horison laut. Di tanjung Toda ini, matahari selalu jatuh di horison laut apapun bulannya.

Siapa yang menyangka, tempat ini adalah tempat dimana matahari terbenam di laut yang akan selalu menyapamu. Tak banyak hiruk pikuk, karena hanya mereka petani rumput laut dan keluarganya yang menyapamu. Tak ada wisatawan yang suka memenuhi laut untuk menikmati senja yang kadang berisik dengan musik berdentam-dentam, dengan suara bass yang nyaris bikin copot jantungmu. Tidak, semua keriuhan semacam itu tidak ada saat ini. Hanya pekik teriakan anak-anak yang disahut oleh lengkingan balik burung-burung laut.


Kadang tempat yang tidak memiliki pasir pantai bisa begitu menyenangkan apalagi dengan begitu aku tak akan dipusingkan bahwa tempat ini akan didatangi banyak orang. Kupikir tidak, tempat ini tidak terlalu menarik untuk didatangi apalagi untuk wisata. Tapi bagi kalian yang ingin menikmati sunset, tempat ini bolehlah kalian kunjungi. Jangan lupa membawa kopi.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya