Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 10 November 2020

Bira Bergembira


Elemen air selalu memberi kesegaran dan mood booster yang sempurna. Mandi, berenang, ataupun hanya mendengarkan gemericik air dan deburan ombak sungguh menyenangkan. Pilihanku berakhir pekan adalah pergi ke Pulau Bira. Kebetulan perjalananku ke Pulau Bira ini diorganisir sebuah grup trip.  

Titik kumpul kami di Pelabuhan Muara Karang, Jakarta Utara. Kapal kayu milik nelayan setempat yang disewa sebagai sarana transportasi kami. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan ke Pulau Bira kami kadang memotret obyek foto yang menurut kami menarik. Namun jarak tempuh yang hampir 4 jam membuat aku mengantuk dan terlelap.

Aku terbangun saat sampai dermaga pulau. Tibalah aku di Pulau Bira besar dengan pasir putih yang cantik dan pepohonan teduh disepanjang pantai. Panitia segera membagi cottage/penginapan para peserta trip. Kebetulan saat pembagian cottage, aku mendapat cottage lumayan bagus. Rumah panggung kayu dengan kamar tidur yang dilengkapi AC, tempat tidur plus tirai kelambu pengusir nyamuk dan Kamar mandi yang ada bathtub shower-nya. Setelah pembagian cottage kami ke dermaga untuk snorkeling di sekitar Pulau Air sampai menjelang matahari terbenam.

Kecipak-kecipik suara hentakan kaki di air laut oleh mereka yang sedang berenang, snoorkling. Berenang-renang sambil bermain dan memberi makan remahan roti tawar pada ikan-ikan yang bersliweran kesana kemari. Ikan-ikan tipikal seperti dalam film animasi "Finding Nemo". Saat ikan-ikan berkumpul itulah momen yang tepat untuk memotret. Berfoto sambil berenang diantara ikan-ikan.

Kami telah sampai di dermaga Pulau Bira ketika matahari perlahan-lahan tenggelam. Pendaran warna merah jingga begitu menawan. Sunset selalu membuat sebuah hati mendadak romantis atau bisa juga menjadi mellow. Langkah kakiku pun menjauhi dermaga saat hari mulai gelap. Kegiatan malam diisi dengan makan malam bersama sambil memperkenalkan diri ke tiap peserta trip agar semakin akrab. Selepas makan malam lanjut tidur persiapan trip besok.

Rencana pagi-pagi aku ingin melihat matahari terbit. Lewat subuh aku bersama tiga orang teman, para perempuan berjalan menuju dermaga belakang. Aku pikir karena kemarin sore telah menikmati sunset jadi hari ini ingin menikmati sunrise. Kami Melewati rimbun semak belukar. Suasana masih gelap dan aku merasa ada yang memperhatikan dari arah semak-semak yang gelap itu. 

Jantungku berdegub kencang. Well, Something isn't right. Tetapi aku tidak bilang pada teman-temanku, khawatir nanti mereka panik dan histeris. Tiba di persimpangan kami bingung mau pilih jalan yang mana. "Balik ke cottage yuk!" Ajakku. Mereka pun langsung setuju.  Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku. Akhirnya kami kembali ke cottage. Di cottage aku masih memikirkan siapa kira-kira yang memperhatikan kami tadi. 

Aku kembali lagi ke dermaga belakang menjelang pukul 5.30 pagi bersama teman-teman ketika suasana mulai terang untuk menyaksikan matahari terbit. Perlahan-lahan cahaya keemasan menyembul dari balik cakrawala. Memecah langit dengan kilaunya. 

Setelah sarapan kami ke Pulau Atol yang tidak jauh dari Pulau Bira. Pulau Atol bekas karang yang terkenal abrasi dan menjadi dataran Pulau dengan pasir putih yang cantik. Pantulan sinar matahari membuat pasir terlihat berkilauan seperti mutiara. Serasa berada di kepulauan Maldives. Tidak ketinggalan kami berfoto dan snorkeling disekitar Pulau ini. Wah ada yang dapat bintang laut hasil snoorkling. Jangan lupa untuk mengembalikan ke biotanya lagi. Sayang menjelang siang kami harus kembali ke Pulau Bira untuk makan siang dan persiapan kembali ke Pelabuhan Muara Karang.

Mau tahu dimana Pulau Bira? Pulau Bira masuk dalam kawasan konservasi Kepulauan Seribu dan masih wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pulau Bira terbagi menjadi dua, Bira Besar dan Bira Kecil. Kebetulan aku bermalam dalam cottage atau rumah kayu di Pulau Bira Besar. Ada dua dermaga di pulau ini, dermaga depan ketika kapal/perahu pertama singgah dan dermaga belakang tempat perahu bersandar untuk kegiatan snoorkling. Dahulu Pulau Bira termasuk private island, pulau pribadi milik seorang pengusaha/konglomerat ternama negeri ini. Di masa jayanya dulu ada kolam renang, lapangan golf 9 hole, 20 cottage, dan helipad. Sekarang yang tersisa hanya 8 cottage dan Pulau Bira telah menjadi milik Pemerintah DKI lagi. 

Ada sebuah tulisan di artikel salah satu blog wisata yang mungkin menjawab pertanyaanku selama ini. Pulau Bira pada tahun 1869 pernah punya mercusuar yang dihuni keluarga Belanda. Namun tidak diketahui keberadaan mereka selanjutnya. Dari cerita para penduduk sekitar Pulau keluarga Belanda itu menjadi hantu. Mereka sering melihat penampakan pria berjenggot, anak kecil dan perempuan. Apakah mereka yang memperhatikan aku kemarin di pagi buta itu? Kalau benar itu mereka, jadi mirip cerita film liburan di Pulau berhantu, Spooky. Well, buat para adrenaline junkies yang ingin uji nyali, this is your turn guys!

Foto & tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 23 Oktober 2020

Yuk Kepo-in Museum Negeri NTB



"Saya terakhir ke museum waktu masih sekolah SD!" Ujar Pak Imam, driver yang mengantar kami, saat aku bilang padanya rute selanjutnya. Entah dia terkejut atau exciting karena kami minta diantar ke museum. Jadi selepas mengunjungi Pantai Ampenan, kendaraan kami pun melaju ke Museum Negeri Nusa Tenggara Barat.
 

Seperti apa kata Pak Imam, sampai di tujuan aku melihat banyak anak-anak sekolah dasar berpakaian bebas di teras. Wah senangnya ketemu seumuranku. Aku juga masih imut-imut seperti anak SD lho. Uuhuuuyy. Jangan lupa segera membeli tiket masuk dan mengisi buku tamu. Seorang bapak pengurus museum yang ramah menghampiri sebagai pemandu kami. 

Di depan pintu masuk ada display pigura berisi kain tenunan khas Lombok yang dibubuhi tulisan dan tanda tangan dari para tamu kehormatan. Salah satunya dari Putri Maha Cakri Sirindhorn Kerajaan Thailand yang pernah datang berkunjung di tahun 2016. Beliau seorang profesor antropologi wajar sangat peduli dengan sejarah budaya. Dari berita media elektronik yang sempat aku lihat, Putri Maha Cakri Sirindhorn setelah menyaksikan gerhana matahari di Pulau Ternate, Maluku Utara, beliau melanjutkan mengunjungi Pulau Lombok. Kok hampir sama ya, aku juga setelah dari Ternate tahun 2017 pergi ke Lombok tahun 2019. Perjalananku seperti napak tilas perjalanan Sang Putri Thailand.  








Di ruang depan, saat menoleh ke kiri pandanganku langsung tertuju pada dua maket gunung. Maket itu menggambarkan penampakan Gunung Rinjani dan Gunung Tambora yang tersohor itu. Siapa yang tidak tahu Gunung Rinjani? Gunung yang memiliki kawah cantik Segara Anakan lengkap dengan mitos yang menggetarkan nyali dan menjadi salah satu destinasi idaman para pendaki di Indonesia untuk ditaklukkan. Ada lagi Gunung Tambora. Gunung yang terkenal kedasyatan erupsinya hingga melenyapkan tiga kerajaan pada masa itu (Kerajaan Tambora, Kerajaan Panetek, Kerajaan Sanggar). Erupsinya menyebabkan Benua Amerika dan Eropa mengalami musim dingin yang panjang, tahun tanpa musim panas yang menyebabkan gagal panen dan bencana kelaparan.
 

Di sebelah kanan ada seekor buaya berukuran besar yang telah diawetkan. Buaya muara dari Dompu, Sumbawa dengan panjang mencapai empat meter dan lebar hampir satu meter. Buaya tersebut ditangkap pada tahun 2010, kemudian diawetkan dan diserahkan ke museum. 

Ruang penghubung di antara ruangan depan dengan ruangan belakang museum di sisi kiri terdapat Nekara yang sudah tidak utuh. Sedangkan di seberang kanan terdapat maket Candi Borobudur. 

Di ruang belakang yang lebih luas dipajang koleksi kostum pernikahan dari kelompok etnis Sasak, Samawa dan Mbojo. Di sebelahnya tampak Jaran Kamput, Kuda kayu yang dinaiki anak-anak yang telah dikhitan untuk diarak keliling kampung. Terlihat tiga orang anak tampak serius menulis di dinding kaca display. 

Ada alat menenun lengkap dengan kain hasil tenunannya. Daun Lontar beserta alat pengukir/pemahat daunnya. Wah, ada Kitab Cerita Angling Dharma yang ditulis aksara pegon (aksara arab berbahasa jawa). Beberapa fosil, koin kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda, serta senjata tradisional Kesultanan Bima. Sayang aku tidak bisa memasuki ruang emas karena terkunci. Aku hanya bisa mengintip disela-sela kaca. Tampak topi kopiah yang terbuat dari emas sebagai mahkota Sultan Bima. 

Sebuah tarikan yang kuat membuatku menghampiri koleksi topeng-topeng kuno itu. Hhmm wajah yang terpahat ditopeng begitu hidup. Begitu pula dengan benda-benda penolak bala, pakaian sang spiritualis bernuansa magis. Entah mengapa aku tertarik memperhatikannya lebih lama. Mungkin kehidupanku yang telah lalu adalah seorang penyihir hahaha. 

Setelah puas keliling melihat-lihat isi di dalamnya, aku bertanya pada bapak pengurus museum yang sabar mengiringi kami. 

"Menurut bapak, koleksi andalan utama museum ini apa, Pak?" tanyaku.
"Untuk sementara belum ada. Belum ada koleksi khusus yang menjadi andalan museum ini" jawab pengurus museum.

"Sayang sekali sebenarnya lontar-lontar yang banyak itu bisa jadi koleksi andalan museum ini lho, Pak!" saranku.
 

Buat anda yang ingin mengunjungi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat lokasinya ada di Jalan Panji Tilar Negara No.6, Taman Sari, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat 83117. Dengan areal seluas 8.613 m2 dan luas bangunan 3.160 m2, museum ini memiliki koleksi hampir mencapai 8.000 buah berupa koleksi sejarah, biological, geologist, arkeologi, filologi, numistik, heraldik, budaya dan keramik. Diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef pada tanggal 23 Januari 1982. 

 

Museum Negeri tak hanya menyimpan benda-benda bersejarah, ada beberapa koleksi museum yang dipercaya oleh masyarakat memiliki kekuatan ghaib. Benda penolak roh halus, pengusir roh jahat, serta penangkal petir menjadi bagian dari koleksi yang dapat anda lihat ketika berkunjung juga ke museum negeri. Museum dibuka setiap hari kecuali hari Senin mulai pukul 08:00 WITA. 

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 September 2020

Sunset di Tanjung Toda


Aku tak sanggup beranjak dalam takjub, malam bergerak dengan ditutup pertunjukan senja yang memukau. Awan jingga menyaput biru kelam langit. Sebuah pelepasan yang begitu manis meski segelas kopi panas tak ada dalam genggaman tanganku, sudah tandas beberapa menit yang lalu. Ah senja dan kopi tidak selalu bersama ternyata.

Dua Jam 'Tanpa Arah'

Tak ada niatan sama sekali ke tempat ini, waktu itu cuma terpikirkan mau jalan saja. Terus mikir mau ngajak siapa yang bisa diajak jalan 'dadakan' tanpa perlu direncanakan dulu. Jalan seperti ini memang biasa bagiku karena beberapa kali perjalanan yang direncanakan malah berakhir batal atau tertunda lama. Apalagi kalau merencanakan perjalanan dengan teman yang tidak biasa jalan, duh dari awal emang harus siap untuk batal. 

Berdua sama temanku, Sani - orang Yogya yang hobinya juga jalan gak jelas- kami berdua berboncengan ke arah Timur. Kemana? Masih belum jelas. Ada beberapa rencana tempat seperti ke Fatuleu, atau ke Lelogama, atau sekedar ke Bendungan Raknamo. Entah, semua ide bersliweran tapi seperti gak 'nyantol' sampai selepas Oelamasi baru kepikiran untuk coba menjelajahi wilayah Sulamu.

Aku sendiri lupa-lupa ingat apakah pernah pergi ke Sulamu atau tidak, karena kalaupun pernah mungkin itu tahun 2000-an dimana kondisi jalannya masih ampun-ampunan. Sekarang sih sudah jauh lumayan bagus. Jadi aku bisa sampai ke sebuah kawasan yang penduduknya sangat padat yang berada di ujung utara teluk Kupang. Sebuah dermaga rakyat dengan mercusuar menjadi penanda kawasan itu. Tempat ini mengingatkanku pada kampung orang Bajo atau Buton cenderung rumahnya berdiri rapat.

Di depan dermaga tampak sebuah pulau kecil yang diberi nama pulau Tikus. Kalian mungkin sudah tahu kenapa pulau itu diberi nama pulau Tikus, ya karena jika dilihat dari atas tampak seperti tikus dengan ekor putih. Ekor putih itu sebenarnya adalah pasir putih, cuma itu adalah gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah daratan berpasir yang hanya muncul saat laut surut. Pulau Tikus itu sebenarnya menarik perhatianku, bahkan seorang nelayan tua menawarkan untuk mengantarkanku ke pulau itu. Tapi dari kejauhan aku melihat pasir putih yang merupakan ekor pulau Tikus sedang tidak ada, yang artinya air sedang tidak surut. Dan satu lagi yang mengganggu, sepanjang pantai sampai ke pulau itu banyak botol mengambang yang artinya ada tanaman rumput laut. Artinya untuk pulau itu harus memutar perahu dulu tidak bisa tembak lurus langsung dari dermaga.

Karena tidak ada tempat yang tepat untuk melihat matahari terbenam, aku dan Sani meneruskan perjalanan ke arah barat melewati jalan kecil diapit rumah-rumah yang bersesakan. Membingungkan, aku bahkan harus bertanya beberapa kali untuk keluar dari kampung kecil ini. Jalan terakhir melewati jalan tanah di pinggir pantai, itu pun harus melewati lorong antar rumah yang sebenarnya bukan untuk motor.

Tanjung di Kecamatan Sulamu

Tanjung Toda, itu nama yang disebutkan oleh John. Pria berbadan kecil yang lebih sering menghabiskan hari-harinya di tempat ini mengurus rumput lautnya. Sebuah rumah beratap alang-alang pendek adalah tempatnya bermalam selama tinggal di sini. Kebetulan hari ini cukup banyak masyarakat yang berprofesi sebagai petani pembudidaya rumput laut yang memilih bermalam disini, bekerja sekaligus bersantai di hari libur.

Tanjung Toda ini namanya belum ada dalam pencairan google maps mungkin karena tak dianggap sebagai tempat wisata. Memang mungkin kurang cocok untuk menjadi tempat wisata karena sepanjang pinggir pantainya berupa batu karang. Ada pasir putih, hanya tidak lebar dan sebagian besar hanya muncul saat laut sedang surut saja seperti sekarang. Saat itu, pantai dapat digunakan untuk untuk mandi dan bersantai.

Di sepanjang jalur pantai Tanjung Toda banyak bangunan kecil beratap alang-alang yang digunakan oleh petani pembudidaya rumput laut, salah satunya John. Benar, sepanjang pinggir laut Tanjung Toda memang dipenuhi benda plastik minuman botol yang digunakan masyarakat untuk mengikat tali-tali yang dipasang rumput laut agar tetap mengambang di permukaan.

Sepanjang sore itu, beberapa pria dewasa tampak berjalan hilir mudik di laut yang airnya setinggi dada mereka. Mereka tampak menarik-narik sesuatu dari tali yang digunakan untuk mengikat rumput laut. Mungkin mereka sedang membersihkan rumput laut dari gulma/tanaman pengganggu. Sementara anak-anak yang kecil lebih banyak bermain di pinggir laut.

Rumput laut memang tampaknya telah menjadi mata pencaharian masyarakat Sulamu. Tanaman ini dibudidayakan di sepanjang pantai mulai dari dermaga perikanan Sulamu sampai ke Tanjung Toda ini. Alhasil, pemandangan botol-botol plastik mengambang menjadi pemandangan setiap hari di sini.

Sebuah Tempat Dimana Matahari Mengucapkan Selamat Malam

Ada daerah yang memiliki pantai dengan pasir putih yang tidak berada jauh dari tanjung Toda, tapi aku memilih tidak melihat sunset dari sana karena matahari tidak tenggelam di horison laut. Beda dengan tanjung Toda, karena matahari benar-benar tenggelam di horison laut. Di tanjung Toda ini, matahari selalu jatuh di horison laut apapun bulannya.

Siapa yang menyangka, tempat ini adalah tempat dimana matahari terbenam di laut yang akan selalu menyapamu. Tak banyak hiruk pikuk, karena hanya mereka petani rumput laut dan keluarganya yang menyapamu. Tak ada wisatawan yang suka memenuhi laut untuk menikmati senja yang kadang berisik dengan musik berdentam-dentam, dengan suara bass yang nyaris bikin copot jantungmu. Tidak, semua keriuhan semacam itu tidak ada saat ini. Hanya pekik teriakan anak-anak yang disahut oleh lengkingan balik burung-burung laut.


Kadang tempat yang tidak memiliki pasir pantai bisa begitu menyenangkan apalagi dengan begitu aku tak akan dipusingkan bahwa tempat ini akan didatangi banyak orang. Kupikir tidak, tempat ini tidak terlalu menarik untuk didatangi apalagi untuk wisata. Tapi bagi kalian yang ingin menikmati sunset, tempat ini bolehlah kalian kunjungi. Jangan lupa membawa kopi.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 07 Juli 2020

Bukit Pandang Oemasi

Beberapa tanaman perdu mengering berubah menjadi berwarna putih


When traveling for an extended period of time, desirable changes - increased openness to experience, emotional stability, agreeableness, and creativity - emerge. Jaime Kurtz, The Happy Traveler

Bukit Pandang Oemasi, mungkin nama itu cocok aku sematkan  untuk nama tempat ini. Karena memang saat ini di Google Maps belum ada nama untuk tempat ini. Titik pandang ini adalah salah satu titik puncak perbukitan yang lebih dari dari perbukitan yang ada di kawasan ini. Kontur dari tempat ini mengingatkanku pada Ikan Foti yang juga tidak berada jauh dari tempat ini, mungkin saja keduanya berada di jalur yang sama.

Setelah jam setelah melewati pertigaan, ada sebuah jalan kecil berbelok ke sebuah tempat yang lebih tinggi daripada yang lain. Ada jajaran pohon cemara yang beberapa dahannya ditumbuhi tanaman parasit sejenis tanduk rusa. Beberapa batuan besar tampak mencuat ditutupi sekelilingnya oleh rerumputan yang pendek dan tampak rapi. Dari tempat ini, angin terasa sejuk walaupun matahari sedang garang-garangnya bersinar tanpa terhalang awan. Entah karena pengaruh bulan Juni, atau hawa di bukit kecil memang seperti ini. Hawa seperti ini memang racun. Angin yang berdesau seperti nyanyian Nina Bobo paling indah, lalu bisikan-bisikan untuk meletakkan sebentar kepala di rerumputan. Sesapan kopi hitam bahkan tak mampu melawan jika sudah di posisi seperti ini. Namun bunyi angin keras yang menabrak pepohonan cemara membuyarkan kantuk, suara seperti deru mobil truk terdengar keras memantul di bawah bukit. Ah iya, masih musim angin di bulan ini.

Y

ang sedikit mengganggu dari pemandangan di sini adalah batu-batu besar yang ada di tempat ini sudah dicoret-coret dengan cat biru oleh mahluk 'brengsek yang pengen eksis tapi tidak tahu cara yang benar'. Bahkan beberapa pohon cemara juga tidak luput aksi vandalisme mereka. Sekarang aku lagi berpikir cara untuk membuat mereka kapok melakukan vandalisme semacam itu, ada saran?

Karena siang ini adalah hari Sabtu, tidak ada seorangpun yang datang ke tempat ini. Hanya lalu lalang beberapa kendaraan roda dua dan pickup yang mereka sebut 'bis kampung' yang mengangkut penumpang dari desa sebelah ke Baun (ibukota Kecamatan Amarasi Barat). Tapi kedatangan mereka kadang-kadang tidak tidak terdengar, kalah dengan suara deru angin yang mirip suara truk tadi.

Bonusnya pada bulan begini adalah rerumputannya sering kali tidak hanya berwarna hijau tapi mulai kecoklatan (coklat terang agak kekuningan). Beberapa gerumbul tanaman liar juga mulai berubah warna memutih yang menjadikan bukit tampak berbeda.

Ada insiden yang cukup menyedihkan di lokasi ini, aku kehilangan lensa "Fujinon FX 50mm f2.0" yang belum lama aku beli. Ini gara-gara aku salah tidak memberitahu temenku Sani cara membawa tas kamera. Karena tas kameraku berbentuk slingbag, seharusnya cuma ada satu arah untuk membawanya, tapi Sani dengan enteng memutar dari depan ke belakang. Alhasil, resleting kamera jadi menghadap ke belakang. Entah resleting kurang kuat atau memang lupa tidak ditutup tapi itu yang mengbuat lensa terjatuh dan hilang dari tas tanpa kita sadari. Hiks, kalau memang rezeki anak soleh InsyaAllah itu lensa akan kembali lebih banyak.. hahaha...  ngarep. Boleh dong ah, daripada sedih bikin gak asyik.

Pas hari Minggu setelah kita jalan-jalan, aku sempat kembali ke tempat ini bareng istriku dan berharap masih akan menemukan lensa itu walaupun dengan harapan tipis. Apa daya waktu kembali ke sana ternyata tempat ini ramai waktu Minggu menjelang sore. Akhirnya aku tahu kalau tempat ini tidak sesepi yang aku kira. Rupanya banyak orang yang telah menjadikan tempat ini untuk berlibur terutama sih untuk mengambil foto walaupun belum ada nama tempat untuk bukit ini. Akhirnya aku coba mendaftarkan nama tempat ini ke Google Maps dengan nama "Bukit Pandang Oemasi", walaupun sampai dengan saat ini belum disetujui oleh Google.

Perjalanan Pertama Selama "Pandemi Corona"
Hari-hari ini akan menjadi kenangan yang tidak pernah hilang dari banyak benak orang. Ketika hari-hari tidak sama seperti yang sebelumnya kita alami. Dari yang biasa tiap malam pasti keluar walau cuma satu jam dua jam untuk belanja sekalian dengan cuci mata. Tiba-tiba tiap malam kita cuma bisa di rumah, karena jam malam tiba-tiba diberlakukan. Lampu-lampu kota yang biasanya menyala dimatikan, jam-jam tertentu mobile polisi dengan lampu biru berputar-putar patroli tiap beberapa jam. Beberapa tempat nongkrong di pinggir jalan langsung dibubarkan begitu tampak beberapa orang berkumpul. Tidak boleh, katanya.

Nama 'Corona' begitu menghebohkan dunia, virus yang konon katanya bermula dari sebuah pasar di Wuhan yang menjual daging kelelawar. Banyak kematian yang disebabkan olehnya, suatu saat hari-hari ini akan dikenang orang karena telah mengubah banyak wajah dunia.
Namun setidaknya kita harus bisa berdamai dengannya, begitu pesan pakde Jokowi padaku tempo hari. Tidak buatku sendiri sih, kamu juga.. kamu juga, kamu yang disana juga iya.
Stress juga kan kalau tiap hari terus kuatir memikirkan virus yang namanya sama dengan bentuknya ini. Udah bikin ekonomi jeblok ditambah lagi bahaya stress akut. Cukuplah petugas kesehatan rumah sakit yang kewalahan dipenuhi pasien Corona, jangan rumah sakit jiwa ikut penuh. Iya nggak gaess?? Salah satu obatnya ya jalan-jalan, tapi tetap dengan protokol kesehatan ya.

Catatan Kecil
Sebenarnya bukit pandang ini bukannya tempat tujuan, hanyalah sebuah rest area atau tempat singgah sementara dari kepenatan pantat dalam perjalanan dari Kupang menuju Pantai Nimtuka, yang mungkin akan aku ceritakan lain kali.

Tidak ada google maps sementara ini karena sampai saat ini tidak ada penanda lokasi. Aku sudah coba menambahkan tempat ini sebagai missing place namun sampai dengan saat ini masuk dalam status "review". Baru kali ini aku mendapatkan sebuah review yang cukup lama, rupanya efek corona sampai mempengaruhi di kecepatan google menambahkan lokasi baru.
Jika permintaanku menambah tempat ini sudah disetujui google maps akan langsung aku update lokasinya disini.
*update: Yeay... akhirnya google menyetujui penambahan lokasi ini.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 08 Juni 2020

Gunung Fatuleu, Nyaris Vertikal

Senja di gunung Fatuleu
Menatap langit senja dari puncak gunung Fatule'u
Jam lima, kami baru mencapai dua pertiga perjalanan. Bisa dibilang, dua pertiga perjalanan menuju puncak Gunung Fatule'u ini kami tempuh dalam waktu satu jam. Aku bisa melihat sorot mata penuh kegamangan dua orang temanku yang menatap dinding nyaris vertikal di depannya. "Nanti gimana turunnya?" Pertanyaan ini terlontar dari bibir Adis, satu-satunya cewek yang ikut di rombongan kami. Dan jawaban bahwa tempat kita naik inilah tempat kita turun nantinya membuat kami belum beranjak juga. Puncak Fatule'u dengan angkuhnya berdiri tegak seakan menantang nyali kami, akankah kami lanjutkan atau kembali dan membawa cerita gunung ini sampai di titik ini.

Istirahat di gunung Fatuleu
Istirahat di pemberhentian pertama gunung Fatule'u
Belakangan ini cerita tentang gunung Fatule'u menjadi hal umum di kalangan anak muda Kupang. Sampai-sampai muncul sebuah jargon "Jangan ngaku sudah pernah ke Kupang kalau belum ke Fatule'u". Beberapa teman yang lebih dulu kesana pun memposting foto-foto mereka, dari yang cuma memposting selfie berlatar gunung Fatule'u sampai yang berselfie berdiri di pucuk tertinggi. Untuk yang terakhir itu bagiku sangat konyol. Kalau kalian mau berpose di tempat berbahaya, coba minta orang lain yang memotret kalian jangan selfie karena posisi memotret selfie itu sangat tidak nyaman dan tidak aman. Jangan tambah potret-potret kekonyolan para selfiers yang berakhir di depan malaikat maut.

Entah gerangan apa yang membuat Fatule'u menjadi tempat anak muda menantang jiwa muda mereka sampai kemudian aku membuktikannya. Gunung itu indah, iya memang gunung itu indah dan bukan cuma gunung itu sendiri yang indah demikian pemandangan yang akan kamu lihat saat di atasnya. Dan gunung Fatule'u bukan cuma indah tapi begitu angkuh menantang nyali para pendakinya dengan dinding yang nyaris vertikal. Ketinggian puncak gunung sekitar 1.100 mdl, artinya sekitar 300 meter dari titik start pendakian bukan berarti itu sebuah perjalanan naik sederhana. Tidak ada start awal menanjak landai baru pelahan-lahan menanjak terjal sebagaimana kalau kita naik gunung. 

Dari awal perjalanan, kami langsung disuguhi perjalanan cukup ekstrim. Setelah kita berjalan sekitar dua ratus meter ke dalam pepohonan, maka kita akan langsung berhadapan dengan tebing batu yang harus didaki. Aku bisa melihat kegamangan di sinar mata kedua temanku yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Mereka bukan takut untuk menaikinya namun gamang bagaimana nanti mereka turunnya. Mungkin karena efek awal jalur yang langsung memanjat tebing membuat mereka dengan segera merasakan capek yang luar biasa.Di sini, aku melihat seorang Imam yang bisa tampil menjadi penyemangat. Dia dengan sabar mengajak Adis dan Rei istirahat dulu dan tidak memaksakan diri. 

Menuju puncak gunung Fatuleu
Berhenti di setengah pendakian menuju puncak
Setelah mendaki satu kali lagi barulah kami memasuki hutan. Lebih landai memang tapi tetap menanjak dan beberapa titik tetap harus dipanjat. Jadi walaupun tampak dari kejauhan agak landai, jalan sesungguhnya tetap naik turun karena nyaris seluruh gunung ini adalah dari batuan karang. Untungnya memang batuan di sini tidak mudah bergeser sehingga meski ada tonjolan kecil kami berani jadikan pegangan kala mendaki.

Hengki, seorang anak muda yang umurnya mungkin tidak lebih dari 17 tahun menjadi guide kami dengan cekatan memanjat terlebih dahulu dengan sendal jepitnya. Jalur yang dilalui di banyak titik tidak memiliki jalur jelas untuk dilewati. Beberapa kali kami kecele waktu melihat jalur yang landai tapi diperingatkan oleh Hengki pada di ujung jalan itu justru menunggu jurang. Jadi memang peran Hengki untuk menjadi guide kami sangat berarti, aku bahkan belum berani kesini lagi tanpa guide. Karena Rei sudah kepayahan akhirnya Hengki yang membawakan tas milik Rei sekaligus tas tripod-ku. Kami berpapasan dengan beberapa orang yang telah selesai dan hendak turun ke bawah. Dengan jalur tunggal seperti ini, mereka mengalah menunggu kami semua selesai naik ke atas baru gantian mereka. Inilah kesulitan berikutnya jika gunung Fatule'u didaki ramai-ramai, bisa-bisa antriannya ngalahin kemacetan Jakarta.

Puncak pertama gunung Fatuleu
Akhirnya sampai di puncak pertama
Akhirnya sampailah aku pada titik dimana orang-orang muda suka menyombongkan diri jika sudah berhasil mencapai ke atas. Tebing tegak dengan kemiringan antara 70º sampai dengan 80º setinggi 200 meter berdiri di depan kami membuat kami terhenti. Ada kegamangan akankah kami berhenti disini atau melanjutkan perjalanan menuju puncaknya yang tampak angkuh menantang siapapun yang ingin menggapainya. Aku juga sempat memberikan pilihan jika mau berhenti di sini saja karena perhitunganku pastilah perjalanan kembali akan sampai malam hari. "Kita naik saja pak, sudah tanggung nih," kata Rei. Aku salut dengan mereka berdua yang tetap bertekad untuk tetap menyelesaikan pendakian ini sampai ke puncak. 

Dan dimulailah pendakian yang sungguh menegangkan. Hengki meminta kami merambat naik melalui patahan-patahan dinding batu. Pelan-pelan kami naik ke atas. Hengki yang terlebih dahulu naik terus membimbing Rei dan Adis, sementara Imam naik dari sisi lain sambil mengamati mereka berdua. Aku sendiri naik paling terakhir untuk mengabadikan perjalanan ini dalam rana kamera. Setelah aku mengemasi kamera, aku mulai ikut naik menyusul mereka. Namun karena aku terganggu dengan sendalku, akhirnya aku memutuskan melepas sendal dan mendaki dengan kaki kosong. Justru dengan cara ini aku dengan mudah bisa menapak di dindingnya dengan cepat. Beberapa orang yang mau turun heran melihat aku yang justru naik tanpa sendal. Hehehe, mereka belum tahu kalau kakiku ini masih kaki orang kampung paling udik yang lebih nyaman jalan nyeker daripada pakai sendal. Ini kulit kaki tebelnya aja ngalahin kulit badak (untung mukanya kagak muka badak).

Bersantai menikmati senja dari puncak kedua
Pelahan tapi pasti akhirnya satu demi satu kami berhasil mencapai puncak pertama. Di atas telah menunggu rombongan terakhir yang mau turun. Jadilah saat ini kami menjadi rombongan terakhir di puncak. Dan terbayarkan perjuangan di puncak dengan pemandangan sekitar yang memukau kami, apalagi kami di puncak tepat saat matahari tidak terik karena telah menjelang tenggelam di ufuk barat. Dari puncak pertama, kami bisa melihat laut Kupang di kejauhan dan beberapa bukit lain yang menantang untuk kami datangi lain waktu. Angin dingin langsung menerpa wajahku. Maklum dengan ketinggian sekitar 1.100 mdl yang artinya lebih tinggi dari SoE, makin mendekati malam tentu akan semakin dingin. Dua botol minuman kopi panas yang disiapkan istriku terasa nikmat sekali saat diminum di suasana seperti ini. Mungkin lain kali aku bisa membawa kompor gas ke atas sini. Masak mie instan sepertinya akan menjadi kenikamatan yang tiada duanya.

Tak seperti yang kami duga, ternyata di puncak tak ada tempat landai yang datar. Walau dari bawah, penampakan gunung bagian atas seperti rata ternyata itu merupakan tonjolan-tonjolan batuan yang formasinya sekilas seperti batu utuh. Akhirnya kami duduk seadanya di puncak di batu yang miring. Ada beberapa puncak yang untuk dicapai satu sama lain tetap harus berjuang menelusuri, seperti di bagian utara tampak bendera merah putih dan bendera lain seperti bendera pramuka terpasang. Juga di sebelah timur-nya ada bendera BRI yang juga terpasang. Sayang kami tidak membawa bendera supaya bisa ikutan nampang.


Berpose dengan latar belakang gunung Fatule'u


Tapi ada satu kejadian yang membuat aku sempat marah karena salah satu temanku tanpa babibu tiba-tiba membuang begitu saja botol bekas minuman. Saat aku marah dan memberitahunya justru Hengki membuat pernyataan yang mengejutkan. "Oh tidak apa-apa pak, pengunjung lain juga udah biasa kok membuang sampah ke bawah." Gantian aku yang langsung menceramahi Hengki supaya sebagai guide dia justru harus memperingatkan pengunjung lain supaya tidak membuang sampah sembarangan, jangan justru membiarkan seperti itu. 

Aku sengaja menceritakan kelakuan temanku bukan untuk mengolok, tapi biarkan ini menjadi kesalahan pertama dan terakhir dia. Aku berharap kejadian ini diingatnya, dan bahkan bisa ikut terlibat untuk memberikan kesadaran ke orang lain agar tidak sembarangan membuang sampah. Jika setiap orang yang naik ke atas gunung Fatule'u ini kita biarkan membuang sampah begitu saja, maka dalam 5 tahun ke depan mungkin gunung Fatule'u bukan hanya menjadi gunung batu tapi juga gunung sampah. 

View gunung Fatuleu
Hengki berlatar view gunung Fatule'u dari jalan masuk
Apakah saat pengunjung dipungut 5ribu per motor (2.500 rupiah per kepala), terus pengunjung punya hak untuk membuang seenaknya dan menjadi penanggung jawab petugas di sini sepenuhnya? Ingatlah, gunung, bukit, danau dan tempat wisata lain bukanlah tempat sampah, bawalah sampah yang anda buat, syukur-syukur kalau mau ikutan membawa sampah yang dibuang orang goblok lain.

Perjalanan kembali lebih menegangkan daripada saat naik, karena kami kembali jam tujuh kurang seperempat. Dari puncak memang warna langit masih tampak tapi di bawah sudah mulai tampak gelap. Rei sempat mengalami kram kaki mungkin karena secara mental dia kurang siap. Aku harus membantunya pelan-pelan melewati puncak vertikal itu untuk turun ke bawah dibantu Imam. Aku meminjamkan senter kepala pada Rei supaya dia bisa melihat jelas, untungnya selain senter kepala aku juga membawa senter tangan 2 buah lagi. Hengki sendiri sepertinya tidak kesulitan berjalan diantara bebatuan menembus gelap. 

Berpose di atas gunung Fatuleu
Berpose sebelum melanjutkan perjalanan naik vertikal
Kami bergerak turun pelan, apabila melihat mereka kecapekan maka kami minta mereka istirahat dulu. Kami tidak mempedulikan lagi waktu yang penting semuanya dapat selamat. Mungkin kecapean, Adis sempat tergelincir dua kali. Untungnya dia tergelincir saat berjalan di jalan tanah menurun bukan saat menuruni tebing. Malam ini angin sangat membantu kami, sepanjang perjalanan turun kami tidak merasakan hembusan angin yang kuat, padahal hal yang berbeda kami rasakan saat berada di puncak. Aku hari berhati-hati saat berdiri di tebing karena hembusan angin bisa membuatku tergelincir.

Jam delapan malam akhirnya kami sampai turun di bawah. Bapak penjaga helm terpaksa tidak bisa pulang karena menunggu kami kembali. Untungnya ada sebuah warung yang pemiliknya tinggal disitu jadi kami bisa memesan kopi. Sekitar jam setengah jam setengah sembilan barulah kami mulai berangkat kembali, menelusuri jalan yang terus menurun. 



Catatan: Naik gunung ini bukan lagi sekedar mendaki tapi sudah kategori rock climbing (memanjat tebing) sehingga disarankan untuk benar-benar berhati-hati. Jangan menantang teman kecuali mereka memang berniat untuk menaikinya. Walaupun bukan lokasi yang sulit dipanjat tapi kesalahan kecil yang diabaikan bisa berakibat fatal, persiapkan fisik dengan benar. Jangan sampai anda berangkat utuh, pulang tinggal nama. Jika lokasi ini dikelola betul, saya yakin tidak akan dibolehkan orang naik tanpa pengaman/tali. Tapi bukan karena tidak ada pengaman/tali artinya tempat itu bisa sembarangan didaki.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 01 April 2020

Memecah Keheningan Candi Sumberawan

Kicauan burung bersahutan saat aku menapaki jalan setapak menuju candi. Barisan pohon pinus masih lebat tersisa di sini. Setelah meniti jembatan yang melintang di atas sebuah kali kecil tibalah aku di gerbang Candi. Bau harum bunga melati tercium sama ketika aku memasuki gerbangnya. Aneh aku tidak melihat Bunga Melati ataupun dupa disini. Jadi wangi ini dari mana asalnya?


Aku melewati pos pengurus candi yang ada di dalam komplek Candi ini. Dari sini terlihat tumpukan batu-batu dan stupa Candi di kejauhan. Batu reruntuhan candi yang satu tertumpuk dan yang lain tersusun seperti tempat semedi/meditasi berikut cupu untuk dupa.

Sesosok pria memakai jaket berwarna merah dan putih menancapkan dupa di sebuah cupu. Seketika aroma dupa menebar aura mistik. Dia duduk bersilang kaki dengan kedua telapak tangan, ujung jari jempol dan jari telunjuk saling bersentuhan, dan jemari yang lain saling merangkai. Matanya terpejam. Gerakan menghirup udara dari hidung dan melepaskannya perlahan kurang lebih lima belas menit untuk mengheningkan cipta. Tenang dan damai terpancar dari wajahnya. Suasana Candi di pagi hari yang sepi menambah kekhusyukannya.

Agar tidak menggangu meditasinya aku bergegas naik ke stupa Candi. Stupanya mirip dengan stupa tertinggi Borobudur. Stupa polos tanpa relief pahatan pada dinding candi melambangkan "suwung", kosong, hening, puncak dari semedi/meditasi. Memang candi ini biasa digunakan untuk bertapa semedi. Sayang bagian ujung stupanya tidak ada. Mungkin hilang atau telah lapuk dimakan usia.

Di seberang stupa ada sebuah sendhang atau kolam yang mata airnya keluar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang rindang dengan dahan ranting yang bergelayutan mengelilingi sendhang itu. Menambah kesan wingit area ini.


Ada sudut yang menarik perhatianku. Seperti ada tarikan energi dibalik pagar tembok itu. Benar saja ternyata ada sumber air yang disucikan di tempat ini. Ketika aku mau masuk, seekor kupu-kupu putih terbang mengitariku. Mungkinkah ucapan selamat datang dari makhluk kecil itu?

Mata air jernih yang menyembul dari sela-sela batu membuatku ingin membasuh wajah dan mencicipi airnya. Tak lupa sebelum menyentuh atau mengambil airnya kita berdoa dan meminta ijin pada Yang Maha Kuasa.


Konon Candi Sumberawan adalah petilasan dan tempat moksa Mpu Purwa, ayah dari Ratu Ken Dedes dari Kerajaan Tumapel/Singosari. Moksa adalah meleburnya raga dan roh kepada elemen alam semesta untuk bersatu dengan pemilik hidup, Tuhan Yang Maha Esa.



Candi Sumberawan ini berlokasi di Desa Toyomarto  Kecamatan Singosari, Malang, Jawa Timur. Diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Singosari oleh Raja Kertanegara. Kemudian dipugar oleh Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang datang berziarah, sebagaimana disebutkan dalam Negarakertagama 1359 M. Dalam Negarakertagama disebutkan tempat yang bernama "Kasuranggan"  yang berarti taman tempat para dewi/bidadari. Hhhmm pantas aku mencium semerbak bunga melati ketika masuk gerbang candi, ternyata itu wangi dari para bidadari. Baik Raja Kertanegara dan Raja Hayam Wuruk adalah keturunan Ratu Ken Dedes yang juga keturunan Mpu Purwa.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya