Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 08 Juni 2020

Gunung Fatuleu, Nyaris Vertikal

Senja di gunung Fatuleu
Menatap langit senja dari puncak gunung Fatule'u
Jam lima, kami baru mencapai dua pertiga perjalanan. Bisa dibilang, dua pertiga perjalanan menuju puncak Gunung Fatule'u ini kami tempuh dalam waktu satu jam. Aku bisa melihat sorot mata penuh kegamangan dua orang temanku yang menatap dinding nyaris vertikal di depannya. "Nanti gimana turunnya?" Pertanyaan ini terlontar dari bibir Adis, satu-satunya cewek yang ikut di rombongan kami. Dan jawaban bahwa tempat kita naik inilah tempat kita turun nantinya membuat kami belum beranjak juga. Puncak Fatule'u dengan angkuhnya berdiri tegak seakan menantang nyali kami, akankah kami lanjutkan atau kembali dan membawa cerita gunung ini sampai di titik ini.

Istirahat di gunung Fatuleu
Istirahat di pemberhentian pertama gunung Fatule'u
Belakangan ini cerita tentang gunung Fatule'u menjadi hal umum di kalangan anak muda Kupang. Sampai-sampai muncul sebuah jargon "Jangan ngaku sudah pernah ke Kupang kalau belum ke Fatule'u". Beberapa teman yang lebih dulu kesana pun memposting foto-foto mereka, dari yang cuma memposting selfie berlatar gunung Fatule'u sampai yang berselfie berdiri di pucuk tertinggi. Untuk yang terakhir itu bagiku sangat konyol. Kalau kalian mau berpose di tempat berbahaya, coba minta orang lain yang memotret kalian jangan selfie karena posisi memotret selfie itu sangat tidak nyaman dan tidak aman. Jangan tambah potret-potret kekonyolan para selfiers yang berakhir di depan malaikat maut.

Entah gerangan apa yang membuat Fatule'u menjadi tempat anak muda menantang jiwa muda mereka sampai kemudian aku membuktikannya. Gunung itu indah, iya memang gunung itu indah dan bukan cuma gunung itu sendiri yang indah demikian pemandangan yang akan kamu lihat saat di atasnya. Dan gunung Fatule'u bukan cuma indah tapi begitu angkuh menantang nyali para pendakinya dengan dinding yang nyaris vertikal. Ketinggian puncak gunung sekitar 1.100 mdl, artinya sekitar 300 meter dari titik start pendakian bukan berarti itu sebuah perjalanan naik sederhana. Tidak ada start awal menanjak landai baru pelahan-lahan menanjak terjal sebagaimana kalau kita naik gunung. 

Dari awal perjalanan, kami langsung disuguhi perjalanan cukup ekstrim. Setelah kita berjalan sekitar dua ratus meter ke dalam pepohonan, maka kita akan langsung berhadapan dengan tebing batu yang harus didaki. Aku bisa melihat kegamangan di sinar mata kedua temanku yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Mereka bukan takut untuk menaikinya namun gamang bagaimana nanti mereka turunnya. Mungkin karena efek awal jalur yang langsung memanjat tebing membuat mereka dengan segera merasakan capek yang luar biasa.Di sini, aku melihat seorang Imam yang bisa tampil menjadi penyemangat. Dia dengan sabar mengajak Adis dan Rei istirahat dulu dan tidak memaksakan diri. 

Menuju puncak gunung Fatuleu
Berhenti di setengah pendakian menuju puncak
Setelah mendaki satu kali lagi barulah kami memasuki hutan. Lebih landai memang tapi tetap menanjak dan beberapa titik tetap harus dipanjat. Jadi walaupun tampak dari kejauhan agak landai, jalan sesungguhnya tetap naik turun karena nyaris seluruh gunung ini adalah dari batuan karang. Untungnya memang batuan di sini tidak mudah bergeser sehingga meski ada tonjolan kecil kami berani jadikan pegangan kala mendaki.

Hengki, seorang anak muda yang umurnya mungkin tidak lebih dari 17 tahun menjadi guide kami dengan cekatan memanjat terlebih dahulu dengan sendal jepitnya. Jalur yang dilalui di banyak titik tidak memiliki jalur jelas untuk dilewati. Beberapa kali kami kecele waktu melihat jalur yang landai tapi diperingatkan oleh Hengki pada di ujung jalan itu justru menunggu jurang. Jadi memang peran Hengki untuk menjadi guide kami sangat berarti, aku bahkan belum berani kesini lagi tanpa guide. Karena Rei sudah kepayahan akhirnya Hengki yang membawakan tas milik Rei sekaligus tas tripod-ku. Kami berpapasan dengan beberapa orang yang telah selesai dan hendak turun ke bawah. Dengan jalur tunggal seperti ini, mereka mengalah menunggu kami semua selesai naik ke atas baru gantian mereka. Inilah kesulitan berikutnya jika gunung Fatule'u didaki ramai-ramai, bisa-bisa antriannya ngalahin kemacetan Jakarta.

Puncak pertama gunung Fatuleu
Akhirnya sampai di puncak pertama
Akhirnya sampailah aku pada titik dimana orang-orang muda suka menyombongkan diri jika sudah berhasil mencapai ke atas. Tebing tegak dengan kemiringan antara 70º sampai dengan 80º setinggi 200 meter berdiri di depan kami membuat kami terhenti. Ada kegamangan akankah kami berhenti disini atau melanjutkan perjalanan menuju puncaknya yang tampak angkuh menantang siapapun yang ingin menggapainya. Aku juga sempat memberikan pilihan jika mau berhenti di sini saja karena perhitunganku pastilah perjalanan kembali akan sampai malam hari. "Kita naik saja pak, sudah tanggung nih," kata Rei. Aku salut dengan mereka berdua yang tetap bertekad untuk tetap menyelesaikan pendakian ini sampai ke puncak. 

Dan dimulailah pendakian yang sungguh menegangkan. Hengki meminta kami merambat naik melalui patahan-patahan dinding batu. Pelan-pelan kami naik ke atas. Hengki yang terlebih dahulu naik terus membimbing Rei dan Adis, sementara Imam naik dari sisi lain sambil mengamati mereka berdua. Aku sendiri naik paling terakhir untuk mengabadikan perjalanan ini dalam rana kamera. Setelah aku mengemasi kamera, aku mulai ikut naik menyusul mereka. Namun karena aku terganggu dengan sendalku, akhirnya aku memutuskan melepas sendal dan mendaki dengan kaki kosong. Justru dengan cara ini aku dengan mudah bisa menapak di dindingnya dengan cepat. Beberapa orang yang mau turun heran melihat aku yang justru naik tanpa sendal. Hehehe, mereka belum tahu kalau kakiku ini masih kaki orang kampung paling udik yang lebih nyaman jalan nyeker daripada pakai sendal. Ini kulit kaki tebelnya aja ngalahin kulit badak (untung mukanya kagak muka badak).

Bersantai menikmati senja dari puncak kedua
Pelahan tapi pasti akhirnya satu demi satu kami berhasil mencapai puncak pertama. Di atas telah menunggu rombongan terakhir yang mau turun. Jadilah saat ini kami menjadi rombongan terakhir di puncak. Dan terbayarkan perjuangan di puncak dengan pemandangan sekitar yang memukau kami, apalagi kami di puncak tepat saat matahari tidak terik karena telah menjelang tenggelam di ufuk barat. Dari puncak pertama, kami bisa melihat laut Kupang di kejauhan dan beberapa bukit lain yang menantang untuk kami datangi lain waktu. Angin dingin langsung menerpa wajahku. Maklum dengan ketinggian sekitar 1.100 mdl yang artinya lebih tinggi dari SoE, makin mendekati malam tentu akan semakin dingin. Dua botol minuman kopi panas yang disiapkan istriku terasa nikmat sekali saat diminum di suasana seperti ini. Mungkin lain kali aku bisa membawa kompor gas ke atas sini. Masak mie instan sepertinya akan menjadi kenikamatan yang tiada duanya.

Tak seperti yang kami duga, ternyata di puncak tak ada tempat landai yang datar. Walau dari bawah, penampakan gunung bagian atas seperti rata ternyata itu merupakan tonjolan-tonjolan batuan yang formasinya sekilas seperti batu utuh. Akhirnya kami duduk seadanya di puncak di batu yang miring. Ada beberapa puncak yang untuk dicapai satu sama lain tetap harus berjuang menelusuri, seperti di bagian utara tampak bendera merah putih dan bendera lain seperti bendera pramuka terpasang. Juga di sebelah timur-nya ada bendera BRI yang juga terpasang. Sayang kami tidak membawa bendera supaya bisa ikutan nampang.


Berpose dengan latar belakang gunung Fatule'u


Tapi ada satu kejadian yang membuat aku sempat marah karena salah satu temanku tanpa babibu tiba-tiba membuang begitu saja botol bekas minuman. Saat aku marah dan memberitahunya justru Hengki membuat pernyataan yang mengejutkan. "Oh tidak apa-apa pak, pengunjung lain juga udah biasa kok membuang sampah ke bawah." Gantian aku yang langsung menceramahi Hengki supaya sebagai guide dia justru harus memperingatkan pengunjung lain supaya tidak membuang sampah sembarangan, jangan justru membiarkan seperti itu. 

Aku sengaja menceritakan kelakuan temanku bukan untuk mengolok, tapi biarkan ini menjadi kesalahan pertama dan terakhir dia. Aku berharap kejadian ini diingatnya, dan bahkan bisa ikut terlibat untuk memberikan kesadaran ke orang lain agar tidak sembarangan membuang sampah. Jika setiap orang yang naik ke atas gunung Fatule'u ini kita biarkan membuang sampah begitu saja, maka dalam 5 tahun ke depan mungkin gunung Fatule'u bukan hanya menjadi gunung batu tapi juga gunung sampah. 

View gunung Fatuleu
Hengki berlatar view gunung Fatule'u dari jalan masuk
Apakah saat pengunjung dipungut 5ribu per motor (2.500 rupiah per kepala), terus pengunjung punya hak untuk membuang seenaknya dan menjadi penanggung jawab petugas di sini sepenuhnya? Ingatlah, gunung, bukit, danau dan tempat wisata lain bukanlah tempat sampah, bawalah sampah yang anda buat, syukur-syukur kalau mau ikutan membawa sampah yang dibuang orang goblok lain.

Perjalanan kembali lebih menegangkan daripada saat naik, karena kami kembali jam tujuh kurang seperempat. Dari puncak memang warna langit masih tampak tapi di bawah sudah mulai tampak gelap. Rei sempat mengalami kram kaki mungkin karena secara mental dia kurang siap. Aku harus membantunya pelan-pelan melewati puncak vertikal itu untuk turun ke bawah dibantu Imam. Aku meminjamkan senter kepala pada Rei supaya dia bisa melihat jelas, untungnya selain senter kepala aku juga membawa senter tangan 2 buah lagi. Hengki sendiri sepertinya tidak kesulitan berjalan diantara bebatuan menembus gelap. 

Berpose di atas gunung Fatuleu
Berpose sebelum melanjutkan perjalanan naik vertikal
Kami bergerak turun pelan, apabila melihat mereka kecapekan maka kami minta mereka istirahat dulu. Kami tidak mempedulikan lagi waktu yang penting semuanya dapat selamat. Mungkin kecapean, Adis sempat tergelincir dua kali. Untungnya dia tergelincir saat berjalan di jalan tanah menurun bukan saat menuruni tebing. Malam ini angin sangat membantu kami, sepanjang perjalanan turun kami tidak merasakan hembusan angin yang kuat, padahal hal yang berbeda kami rasakan saat berada di puncak. Aku hari berhati-hati saat berdiri di tebing karena hembusan angin bisa membuatku tergelincir.

Jam delapan malam akhirnya kami sampai turun di bawah. Bapak penjaga helm terpaksa tidak bisa pulang karena menunggu kami kembali. Untungnya ada sebuah warung yang pemiliknya tinggal disitu jadi kami bisa memesan kopi. Sekitar jam setengah jam setengah sembilan barulah kami mulai berangkat kembali, menelusuri jalan yang terus menurun. 



Catatan: Naik gunung ini bukan lagi sekedar mendaki tapi sudah kategori rock climbing (memanjat tebing) sehingga disarankan untuk benar-benar berhati-hati. Jangan menantang teman kecuali mereka memang berniat untuk menaikinya. Walaupun bukan lokasi yang sulit dipanjat tapi kesalahan kecil yang diabaikan bisa berakibat fatal, persiapkan fisik dengan benar. Jangan sampai anda berangkat utuh, pulang tinggal nama. Jika lokasi ini dikelola betul, saya yakin tidak akan dibolehkan orang naik tanpa pengaman/tali. Tapi bukan karena tidak ada pengaman/tali artinya tempat itu bisa sembarangan didaki.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 01 April 2020

Memecah Keheningan Candi Sumberawan

Kicauan burung bersahutan saat aku menapaki jalan setapak menuju candi. Barisan pohon pinus masih lebat tersisa di sini. Setelah meniti jembatan yang melintang di atas sebuah kali kecil tibalah aku di gerbang Candi. Bau harum bunga melati tercium sama ketika aku memasuki gerbangnya. Aneh aku tidak melihat Bunga Melati ataupun dupa disini. Jadi wangi ini dari mana asalnya?


Aku melewati pos pengurus candi yang ada di dalam komplek Candi ini. Dari sini terlihat tumpukan batu-batu dan stupa Candi di kejauhan. Batu reruntuhan candi yang satu tertumpuk dan yang lain tersusun seperti tempat semedi/meditasi berikut cupu untuk dupa.

Sesosok pria memakai jaket berwarna merah dan putih menancapkan dupa di sebuah cupu. Seketika aroma dupa menebar aura mistik. Dia duduk bersilang kaki dengan kedua telapak tangan, ujung jari jempol dan jari telunjuk saling bersentuhan, dan jemari yang lain saling merangkai. Matanya terpejam. Gerakan menghirup udara dari hidung dan melepaskannya perlahan kurang lebih lima belas menit untuk mengheningkan cipta. Tenang dan damai terpancar dari wajahnya. Suasana Candi di pagi hari yang sepi menambah kekhusyukannya.

Agar tidak menggangu meditasinya aku bergegas naik ke stupa Candi. Stupanya mirip dengan stupa tertinggi Borobudur. Stupa polos tanpa relief pahatan pada dinding candi melambangkan "suwung", kosong, hening, puncak dari semedi/meditasi. Memang candi ini biasa digunakan untuk bertapa semedi. Sayang bagian ujung stupanya tidak ada. Mungkin hilang atau telah lapuk dimakan usia.

Di seberang stupa ada sebuah sendhang atau kolam yang mata airnya keluar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang rindang dengan dahan ranting yang bergelayutan mengelilingi sendhang itu. Menambah kesan wingit area ini.


Ada sudut yang menarik perhatianku. Seperti ada tarikan energi dibalik pagar tembok itu. Benar saja ternyata ada sumber air yang disucikan di tempat ini. Ketika aku mau masuk, seekor kupu-kupu putih terbang mengitariku. Mungkinkah ucapan selamat datang dari makhluk kecil itu?

Mata air jernih yang menyembul dari sela-sela batu membuatku ingin membasuh wajah dan mencicipi airnya. Tak lupa sebelum menyentuh atau mengambil airnya kita berdoa dan meminta ijin pada Yang Maha Kuasa.


Konon Candi Sumberawan adalah petilasan dan tempat moksa Mpu Purwa, ayah dari Ratu Ken Dedes dari Kerajaan Tumapel/Singosari. Moksa adalah meleburnya raga dan roh kepada elemen alam semesta untuk bersatu dengan pemilik hidup, Tuhan Yang Maha Esa.



Candi Sumberawan ini berlokasi di Desa Toyomarto  Kecamatan Singosari, Malang, Jawa Timur. Diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Singosari oleh Raja Kertanegara. Kemudian dipugar oleh Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang datang berziarah, sebagaimana disebutkan dalam Negarakertagama 1359 M. Dalam Negarakertagama disebutkan tempat yang bernama "Kasuranggan"  yang berarti taman tempat para dewi/bidadari. Hhhmm pantas aku mencium semerbak bunga melati ketika masuk gerbang candi, ternyata itu wangi dari para bidadari. Baik Raja Kertanegara dan Raja Hayam Wuruk adalah keturunan Ratu Ken Dedes yang juga keturunan Mpu Purwa.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 29 Maret 2020

Segelas Kopi dan Alunan "La Valse d'Amélie"

Injak gas, motor hidup sebentar lalu mati, injak lagi hidup sebentar mati lagi. Setelah beberapa kali dan tahan gas motor barulah motor bisa hidup. Lagi-lagi begini nih motor yang diseting hemat keparat, dibanyakin anginnya kurangi bensinnya akhirnya motor lebih sering kentut.
Kali ini aku tetap ingin menjadi yang membonceng saja, apalagi kalau bukan karena helm pinjaman punya aroma yang tidak mengenakkan.. maaf ya saya terlalu jujur untuk ini. Kalau rambutku gondrong mungkin cuma bau di rambut tinggal disampo habis perkara, tapi karena kepalaku botak bisa-bisa terpaksa cuci pake sabu deterjen untuk kasih hilang baunya hahahaha. 
Golongan darah B memang dikaruniai lebih tahan makan daging, tapi mungkin itu pula pemilik darah B kadang agak emosional. Tidak heran kalau begitu motor hidup Kadek maunya lari saja. Agak malas mendebat kali ini, aku biarkan saja dia sama kelakuannya. Untungnya kita segolongan walaupun beda tampang. Kadek tampan, kalo aku? parah hahahahaha....... (parah pangkal pandai)
Rencana hari ini mengunjungi pohon rindang satu biji di tengah padang lapang sabana di jalur jalan Mbay-Ende. Bukan mau bakar kemenyan buat minta rejeki tapi mau moto, apa lagi. Pohon itu lumayan bertuah, terbukti cukup banyak menyelamatkan orang dari panasnya Mbay seperti sekarang ini.
Sayangnya kondisi perbukitan lagi aneh, banyak rumput kering berwarna kuning pucat tapi sebagian masih nongol warna hijau. Asli, sebenarnya aku maunya cuma rumput berwarna kuning pucat seperti minggu kemarin, rasanya rumput-rumput hijau ini malah menggangu saja.Tak apa lah, masih ada kesempatan berikutnya. Rumput di sabana ini luar biasa, biar dikeringin sampai hitam, tapi begitu ada hujan dengan ajaib bakalan hijau kembali.Pasti gara-gara hujan kemarin.


Roda motor "Megapro" menggilas batuan yang berserakan di beberapa ruas jalur Aeramo. Ini berasal dari tumpukan batu-batu dan pasir yang banyak ditimbun di pinggir sepanjang jalan. Jalur jalan yang diapit kiri kanan dengan kawasan persawahan terluas di Nusa Tenggara Timur ini rupanya sedang direhabilitasi untuk pelebaran jalan. Suasana persawahan yang sebagian besar masih menghijau ini tampak asri, tampak rumah-rumah dibangun tidak di pinggir jalan tapi agak menjorok ke dalam. Jalan kecil menuju rumah berdiri berjajar pohon kelapa kiri-kanan selang seling.  Tempat menarik yang sepertinya sudah kumasukkan dalam memori untuk nanti aku jelajahi. selain areal persawahan yang asri, Kadek yang menjadi tulang ojek kali ini menunjukkan tempat-tempat lapang yang ditumbuhi pohon-pohon asam yang rindang, dia terkesan tempat ini untuk menjadi tempat foto prewedding atau model. 
Setengah jam berikutnya aku sudah sampai di pinggir pantai Marapokot. Bingung mau kemana, akhirnya motor aku arahkan masuk kembali ke daerah pantai melewati kawasan perkampungan nelayan sebelah dermaga TPI Marapokot. Di perjalanan aku bertemu dengan orang-orang yang mondar-mandir di suatu jalan. Berbincang-bincang dengan orang tua yang sedang bertelanjang dada dan membawa handuk berjalan ke timur aku mendapatkan informasi bahwa di pinggir pantai ini terdapat sumber air panas. Dan orang tua ini mau ke sumber air panas untuk mandi.
Tertarik untuk tahu seperti apa sumber air panas disini aku mengikuti bapak tua itu. Sekitar 200 meter setelah melewati sebuah muara kecil akhirnya aku sampai disebuah kubangan air dikelilingi pohon bakau. Bau lumpur dan belerang langsung menyergap hidung. Sayang sekali sumber air panas di sini berada di rawa lumpur tidak seperti di Pantai Hading di Flores Timur yang ada di pasir sehingga warnanya bening dan tidak berbau lumpur.
Walaupun airnya berbau lumpur tapi kalau sore atau pagi hari rupanya tempat ini ramai orang yang datang untuk mandi, sepertinya mereka tidak terganggu dengan aroma lumpur campur belerang ini. Beberapa orang sempat menanyakan kalau aku hendak mandi, tapi aku mengeleng dan menolak halus. Sempat aku mencelupkan tanganku untuk memastikan bahwa air disini panas. Wah, aku lupa khasiat air panas disini, siapa tahu bisa untuk pengganti luluran lumpur hehehe.
Dari pantai Marapokot, aku dan Kadek langsung mau pulang tapi ternyata tertahan karena beberapa kali mata Kadek terkena serangga-serangga yang biasanya beterbangan menjelang malam. Aku lupa kalau daerah ini daerah persawahan yang tentu saja bukan waktu baik untuk berjalan senja menjelang malam begini. Aku masih lumayan, setidaknya serangga tidak mungkin langsung mengenai mataku karena aku berkaca mata (kadang berkaca mata harus disyukuri juga).
Akhirnya Kadek membelokkan motor ke arah pelabuhan Marapokot sesuai arahanku. Pemilik warung seorang bapak tua berambut putih yang ditutupi peci menyapaku dengan ramah menawarkan minuman. Ini kali kedua aku mengunjungi warung ini, jika kemarin aku mendapatkan ubi goreng yang enak, kali ini di atas meja yang terhidang adalah mangga. Nagekeo memang lagi musim mangga, saking banyaknya mangga bahkan minta satu mangga bisa dapat satu tas besar mangga, manis-manis pula lagi. Jadi acara kali ini no mangga
Tak lama kemudian secangkir kopi jahe panas mampir ke meja dan semangkuk mie rebus. Kadek tidak makan mie waktu aku tawari, kemungkinan dia takut rambutnya yang sudah seperti sarang burung akan tumbuh seperti mie goreng kalau terlalu banyak makan mie. Seandainya alasannya itu tentu aku memaklumi walaupun agak tidak masuk akal. (lagi berpikir bikin penelitian hubungan rambut keriting dan mie instan)
Beberapa orang tertarik dengan gaya penampilan aku yang mirip wartawan "Comberan", hanya karena melihat rompi dan tentengan kamera yang seperti orang mau transmigrasi. Walaupun setengah ngotot akhirnya mereka percaya kalau aku bukan wartawan. Akhirnya acara di warung menjadi ramai setelah mereka ingin mencoba kamera DSLR yang aku punya. Ramai karena aku pastikan hasil fotonya gagal semua karena kamera aku masih set manual semua yang tentu saja tidak bisa dibuat moto begitu saja layaknya kamera poket (pelajaran hari ini: ternyata kamera poket lebih enak dan gampang). Sepertinya setelah ini mereka bakalan berpikir bahwa orang yang menggunakan kamera DSLR kurang kerjaan dan cuma buat menghabiskan uang saja. Seorang lagi yang kebetulan sering menyopiri mobil rental untuk mengantar tamu-tamu berwisata di Flores juga menambah suasana makin ramai. Ada satu cerita lokasi yang tampaknya membuat Kadek tertarik untuk melihatnya. Lewat senja baru aku dan Kadek kembali ke hotel.


Besoknya acara hunting foto kembali di mulai, apalagi setelah seorang teman dari NPC yang merupakan musisi handal Eddy Kribo eh bukan Eddy Due Woi protes gara-gara ke hotel tidak menemukan kami. Tentu saja tidak ketemu, kita sedang bahagia terdampar di Marapokot.
Kembali ke tempat yang sama di sabana Mbay, kali ini kita mencoba naik lebih tinggi. Di jam tanganku ketinggian tempat ini menunjuk ke angka 220 meter. 


Ternyata dari tempat ini saat ini adalah spot terbaik untuk menikmati perbukitan Mbay, perbukitan tampak bertumpuk-tumpuk dengan dibatasi warna kabut yang turun menjelang malam. Sayangnya matahari lebih dulu menghilang sebelum sampai ke tempat ini, spot terbaik namun belum menjadi momen senja terbaik.


Di balik punggungku ternyata bulan pucat sedang menggantung tertutup awan tipis putih. Aku baru menyadarinya benar-benar setelah mengemasi peralatan dan berbalik untuk mencari Kadek dan Eddy yang sudah menghilang entah kemana. Beberapa saat dua pertunjukan senja berlatar tumpukan perbukitan yang dipenuhi kabut-kabut tipis dan purnama yang muncul dari balik awan membuat kita duduk terpesona dengan suasana ini.
Otak cerdas dari rambut mirip mie dengan sigap memutarkan sebuah musik orkestra lembut yang menggambarkan suasana perjalanan hati yang sendiri.   "La Valse d'Amélie" seolah melontarkan imajinasi masing-masing menikmati spot terbaik di sabana ini. Semua yang direncanakan menjadi tidak terencana. Seolah-olah kita disini karena dilontarkan waktu untuk menikmati rumput-rumput berwarna putih kekuningan yang makin memucat disinari cahaya bulan purnama yang juga pucat. Nyamuk-nyamuk sukses berpesta menggigiti kaki dengan antusias tapi tidak berhasil menarik kita untuk pulang. Rasa gatal di kaki terlalu kecil dibanding  menikmati alunan langsung  "La Valse d'Amélie" dari sabana ini. Awan kelabu dan awan terang bergantian datang, kadang diam kadang bergerak cepat.
Ternyata lewat jam 9 malam barulah kita sadar kalau kita lapar, bahkan kita lupa ancaman pulang dengan tahi-tahi kerbau yang tampak sore hari, entahlah apakah kita akan sukses melewatinya saat malam begini. Orkestra "La Valse d'Amélie" terus mengalun mengiringi langkah-langkah kaki yang hati-hati melangkah menyusuri sabana yang diterangi bulan purnama. Ada jiwa yang sama yang mendendangkannya, begitu halus namun terasakan, seperti jarum yang begitu halus pelan menghujam. 


Mbay, 11 November 2011 (saat orang-orang demen pada nikah dan orok-orok pada dipaksa lahir lewat caesar, sungguh kasihan)
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 09 Maret 2020

Seplawan yang Menawan



Semut di seberang lautan kelihatan sedangkan gajah dipelupuk mata tak nampak. Begitu penggambaran diriku yang seringnya menulis kampung orang, sampai kampung sendiri terlupakan. Kebetulan tahun 2020 ini ditetapkan oleh Bupati Purworejo sebagai Tahun Kunjungan Wisata atau lebih dikenal dengan "Visit Purworejo Year 2020". Aku memilih menulis tentang Goa Seplawan yang dari dulu sering diceritakan Bapakku tercinta.


Tiga kali mencoba ke Goa Seplawan. Pertama kali ketika aku masih sekolah menengah pertama dengan naik sepeda.Aku bersama tiga kakak dan bapakku. Perjalanan dari rumah menjelang siang, baru setengah perjalanan hari sudah menginjak sore. Kami pun batal melanjutkan ke goa dan kembali ke rumah. 

Kedua kali dengan adik dan keponakanku mengendarai motor. Kami bertiga naik satu motor, keponakanku waktu itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar jadi muat boncengan bertiga. Jalan yang curam membuat motor yang kami kendarai tidak kuat menanjak. Kami batal lagi ke goa seplawan.

Ketiga kalinya aku bersama kakak dan dua keponakanku mengendarai motor. Medan perjalanan yang naik turun, menanjak curam disarankan memakai motor kopling bukan matic. Dan bila berkendara dengan mobil pastikan ahli dan terampil. Mengapa aku bilang begitu? Well, sepanjang perjalanan aku lihat kerumunan orang dan anggota kepolisian karena kecelakaan yang menyebabkan satu truk terguling, satu mobil tergelincir dan dua motor jatuh. Meskipun di kanan kiri jalan dipasang papan peringatan untuk hati-hati berkendara.

Akhirnya aku sampai di Goa Seplawan. Sepasang patung besar perwujudan Dewa Siwa dan istrinya Dewi Parwati berwarna kuning emas berdiri dipinggir jalan setapak menuju goa. Patung ini sebagai maskot goa. Patung yang sama juga ada di bundaran taman goa Seplawan.

Ada dua tangga untuk memasuki goa.Tangga itu terbuat dari besi yang melingkar. Aku memilih tangga pertama sebagai pintu masuk dan keluar lewat tangga kedua. Begitu aku masuk mulut goa, tetesan air dari atas bebatuan staglatit menyentuh wajahku. Setelah melewati lorong yang gelap akhirnya disisi kiriku ada penerangan lampu. Di tempat itu dulu ditemukan Golek Kencono, sepasang arca emas berbentuk Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Konon bau harum semerbak ketika dua arca emas itu diangkat. Dewa Siwa dan Dewi Parwati dianggap sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Aku pernah melihat dua arca emas itu di Museum Nasional Jakarta.

Aku melanjutkan ke lorong lain goa. Goa ini terbagi dua. Ruang Pertama tempat ditemukan arca, Ruang Kedua di bagian belakang. Ruang pertama dan kedua dipisahkan dengan tangga kecil menuju atas. Untuk naik pengunjung melewati kolam genangan air yang berasal dari bebatuan staglatit. Beberapa pasang sepatu dan sandal pengunjung diletakkan dipinggir kolam. Mereka melepas sepatu dan sandalnya untuk menuju ruang kedua. Ruang kedua ini lebih luas. Seperti layaknya ruang pertemuan. Di ruangan yang luas ini sempat menjadi lokasi shooting program televisi Mister Tukul Jalan-jalan. Dari penelusuran Flashback Retrocognition-nya tim mereka, Goa Seplawan ini masuk dalam Kerajaan Galuh Wati/Galuh Purba.

Selepas dari goa hawa kantuk menyerang. Apakah karena aku lelah dari perjalanan ke Blitar, Malang dan Yogya? Atau mungkin hawa kantuk ini akibat aku kekurangan oksigen juga karena musim hujan kondisi goa dingin dan lembab yang membuatku ingin segera berendam di kasur hehehe.

Hampir lupa mengunjungi gardu pandangnya. Di dekat taman goa dibangun gardu pandang. Ternyata lokasi Goa Seplawan ada di perbukitan Menoreh yang berbatasan langsung dengan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Purworejo. Dari sini tampak laut Selatan jawa, hutan bukit yang menghijau, dan kota Purworejo dikejauhan. View-nya keren banget! Para leluhur tepat sekali memilih tempat ini yang berada di ketinggian untuk semedi bermeditasi guna mendekatkan diri pada Illahi. 



Goa Seplawan berlokasi di Katerban Desa Donorejo Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Goa Seplawan dikaitkan dengan "Parahiyangan" (alam tinggi para dewa) yang disebutkan dalam Prasasti Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di Desa Boro Wetan di tepi Sungai Bogowonto ( Prasasti Kayu Ara Hiwang sekarang berada di Museum Nasional Jakarta). Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Maharaja Medang/Mataram kuno yang bernama Dyah Balitung Rakai Watukuro melalui pejabatnya yang ditunjuk.

Dalam Prasasti tersebut diungkapkan telah diadakan upacara besar pada Bulan Asuji Tahun Saka 823, Hari ke-5, Paro Peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva (tanggal 5 Oktober 901 M). Pematokan tanah perdikan/Sima atau tanah yang dibebaskan dari pajak karena daerah tersebut ada bangunan suci tempat "Parahiyangan".

Foto dan tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 Desember 2019

Piknik Tipis-tipis Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor
"Eh itu Eri!" sambil tanganku menunjukkan kepada kakakku yang berjalan keluar stasiun. Aku baru saja tiba di Stasiun Bogor setelah naik kereta commuter line yang menempuh waktu perjalanan kurang lebih sejam dari Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Stasiun Bogor sebagai meeting point kami sebelum beranjak ke Kebun Raya Bogor. Demi mempersingkat waktu kami tidak naik angkutan umum karena jalannya hanya satu arah. Daripada kendaraannya memutar lebih jauh lebih baik kami berjalan kaki ke Kebun Raya Bogor.
Berawal dari iklan promo epic sale dari sebuah online travel agent dan juga provokasi temanku, akhirnya tergoda mengambil promo diskon hotel di Bogor.


Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor
Aku dapat promo hotel di daerah Jl. Pajajaran. Kebetulan daerah tersebut dikenal sebagai pusat kuliner. Dari situlah aku berpikir untuk piknik ke kebun raya. Aku memang sengaja memilih Bogor yang tidak jauh dari Jakarta untuk berpiknik akhir pekan di samping murah meriah pastinya. Hemat beib!



Kebun Raya Bogor
Gedung megah dengan relief Ganesha dan patung singa di kanan-kiri pintu masuk sebagai tempat aku membeli tiket seharga Rp.15.000. Dari situ aku berjalan belok kanan, lanjut belok kiri terus lurus. Sampai di pertigaan jalan, bila kita terus lurus akan ada Bunga Bangkai, Amorphophilus Titanium, maskot Kebun Raya Bogor. Tidak jauh dari Bunga Bangkai juga ada makam Keramat seorang permaisuri Kerajaan Pajajaran, Ratu Galuh Mangku Alam Prabu Siliwangi. Disebrang makam ada Jembatan Merah yang bernuansa mistis. Konon kalau ada sepasang kekasih melewati jembatan itu, hubungan mereka akan putus.

Kebun Raya BogorDari pertigaan aku memilih belok kanan melewati jembatan warna putih yang menuju taman yang luas. Tidak jauh dari Kafe yang berdiri ditengah-tengah kebun. Di bawah pohon rindang, samping kolam tempat yang tepat untuk aku menggelar kain sebagai alas duduk. Aku membawa bekal cemilan krupuk kulit, kuaci bunga matahari, tahu baso, kopi-coklat sachet, termos air panas, gelas, sendok garpu, nasi berikut makanan terenak di dunia, Rendang buatanku hehehe.


Ternyata berjalan kaki dari stasiun sampai dalam taman kebun raya cukup menguras energi. Kebetulan juga sudah masuk jam makan siang. Segera aku buka bekal makanan tadi. Menyantap makananku sambil memperhatikan sekelilingku. Di sisi kiriku spot kemah dome dipenuhi orang-orang berkaos merah biru yang sedang ada acara company gathering.

Semilir angin diantara dedaunan seperti kipas angin alami membuatku sedikit mengantuk. Mungkin juga efek kekenyangan ;) Biar mata melek segera kuseduh serbuk minuman coklat hangat. Aroma coklat yang semerbak sungguh menyegarkan. 

Kebun Raya Bogor Di samping kanan, tempat aku duduk, berdiri kokoh sebuah tugu. Tugu prasasti peringatan dua abad atau 200 tahun berdirinya Kebun Raya Bogor, Bicentenary Monument of Bogor Botanic Garden ( 18 Mei 1817 - 18 Mei 2017). Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 18 Mei 2017. Tugu tersebut berbentuk Rafflesia Padma sebagai logo dua abad yang diciptakan oleh Taja Sukarya.

Aku beranjak ke lokasi lain, danau kolam gunting yang terkenal dengan view belakang Istana Bogor. Bila dari pintu masuk kita berjalan belok ke kiri, belok ke kanan, dan lurus. Di kanan jalan terdapat monumen untuk mengenang Olivia Raffles, isteri dari Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles tahun 1814, saat Indonesia dalam peralihan kolonial Inggris dan Belanda.

Sebuah bingkai kayu membentuk gerbang dengan tulisan "Kebun Raya Bogor" menarik pandangan mataku. Sebuah dermaga kayu telah dibangun untuk spot foto kekinian dengan latar belakang kolam gunting. Jalan setapak dibentuk dari batuan kecil yang disusun sedemikian rupa berfungsi sebagai terapi telapak kaki. Hhhmm Kebun raya sudah banyak yang berubah. Terakhir aku kesini tahun 2009. Berarti sepuluh tahun yang lalu.


Kebun Raya Bogor
Aku terus berjalan menuju Danau kolam gunting dengan view belakang Istana Kepresidenan. Beberapa remaja sibuk berpose dengan kamera ponselnya. Ini memang spot favorit pengunjung. Di perbatasan antara gerbang belakang istana dan Kebun Raya dibangun tugu monumen kecil relief wajah Reinwardt untuk mengenang Prof. Casper George Carl Reinwardt yang turut berjasa membangun Kebun Raya Bogor.

Tampak seorang tentara sedang berjaga. Duduk sambil memperhatikan layar telepon selulernya. Beberapa kemah tentara didirikan dekat kolam. Sejak Istana Bogor ditempati presiden, Kebun Raya Bogor masuk dalam ring satu penjagaan. Oh ya aku datang tinggal 19 Oktober 2019, sehari sebelum pelantikkannya Presiden terpilih.

Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor merupakan Kebun botani besar yang terletak di kota Bogor. Berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda No.13, Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Jawa Barat. Luasnya mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Saat ini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut Prasasti Batu Tulis Kebun Raya Bogor pada mulanya merupakan bagian dari Samida (hutan buatan/Taman buatan) yang telah ada sejak Pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi (1474-1513). Hutan buatan ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan dan sebagai tempat memelihara benih kayu yang langka. Samida serupa juga dibuat di perbatasan Cianjur - Bogor, yang disebut Hutan Ciung Wanara. Hutan ini tidak terawat setelah Kerajaan Sunda takluk kepada Kesultanan Banten.

 
Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Van Der Capellen kemudian membangun rumah peristirahatan di salah satu sudut hutan Samida dan mulai meresmikan kebun botani pada 18 Mei 1817 dengan bantuan Prof. Caspar George Carl Reinwardt.  Pada masa peralihan kolonial Inggris- Belanda, Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles dari Inggris pernah mendiami istana dan merubah halaman tamannya menjadi seperti taman bergaya Inggris klasik.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro


http://befreetour.com/id?reff=X3KRF Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 31 Oktober 2019

Berburu Bunga Konji (Sakura Sumba)

Sumba memang menawarkan berjuta pesona wisata yang sedang digandrungi banyak orang. Alam nan elok dan budayanya yang masih kental menciptakan perpaduan magis untuk dikunjungi. Lupakan padang-padang berumputnya yang seakan membawamu kembali ke dunia para, atau pantai-pantainya yang selalu menawarkan sensasi pasir putih. Mari kita menengok dunia kecil yang ternyata juga sedang mulai digandrungi wisatawan karena dianggap unik, yaitu: Pohon Konji.



Pohon Konji, orang yang akrab dengannya menyebutnya dengan nama Sakura Sumba. Disebut begitu, karena saat puncak musim berbunga yang biasanya jatuh di bulan Oktober-Desember seluruh batang pohonnya bisa dipenuhi dengan bunga. Saat itu serasa pohon ini seolah tinggal pohon dengan bunga saja. Sangat cantik. Bunganya juga punya wangi seperti melati namun jauh lebih lembut.

Tidak hanya menyebut sebagai Sakura Sumba, pohon Konji ini bahkan dianggap sama dengan pohon Sakura yang ada di Jepang. Bahkan diklaim, ada orang yang pernah tinggal di Jepang dan tahu bunga Sakura jika harumnya bunga Sakura dan bunga Konji sama. Bahkan konon katanya ikut meramaikan keindahan bunga Konji ini. Seorang pejabat di pemerintahan salah satu kabupaten di Sumba membuat cerita yang berasal entah dari mana. "Konon, Tentara Jepang menyebarkan biji sakura di pesisir pantai utara, jalur yang mereka lewati ketika memasuki Pulau Sumba". 

Apakah hal itu benar? Walaupun cerita ini kadang dibenarkan beberapa orang yang ditanya tentang asal usul bunga ini namun jawabannya tentu saja tidak. Secara ilmiah, nama latin bunga Sakura adalah Prunus Serrulataini, masuk dalam keluarga Rosaceae dengan genus Prunus. Bandingkan dengan bunga Konji yang akrab disebut sebagai sakura Sumba memiliki nama latin Cassia Javanica,  masuk dalam keluarga Fabaceae dengan genus Cassia.


Lucunya saat aku mencoba bertanya kepada masyarakat yang tanahnya ada pohon ini, justru berkata jika dirinya tidak tahu nama pohon itu. Waktu aku tanya bagaimana cara menanamnya, dia bilang pohon itu tidak bisa ditanam. Kalau ditanam terus saja mati, justru yang tidak ditanam malah hidup subur. Nah lho! 

Apakah pohon ini hanya secara spesifik di Sumba? Tentu saja tidak. Tumbuhan ini telah banyak dikenal di dunia dengan berbagai nama. Pohon Konji juga dikenal dengan nama pink shower, apple blossom tree and rainbow shower tree. Di Jawa tanaman ini dikenal dengan nama Trengguli Wanggang atau Bebondelan oleh masyarakat Sunda.

Tumbuhan ini asal usulnya dari Asia Tenggara, namun sebab bunganya yang cantik kini lalu pohon ini dikembangkan dan ditanam secara meluas di berbagai wilayah tropis. Pohon-pohon ini cukup populer sebagai tanaman hias dan pohon peneduh di negara-negara tropis Amerika Tengah dan Amerika Latin. Pohon ini ditemukan hidup secara alami mulai dari India, Burma, Indocina, Cina selatan, Thailand, dan seluruh wilayah biogeografi Malesia. Variasi anak-anak jenisnya ditemukan hanya di wilayah Malesia tersebut. Bahkan pohon ini bunganya menjadi identitas provinsi Chainat di Thailand. Ironisnya justru pohon ini sekarang sudah jarang ditemukan di Indonesia.

Ciri-ciri
Pohon Konji, Cassia Javanica, Tengguli Wanggang, Bebondelan dan banyak nama lainnya ini pohonnya tidak terlalu besar dengan tinggi antara 3-20 meter. Batang dan cabang tanaman muda kadang-kadang dengan banyak duri bekas cabang. Tanaman ini bertahan hidup dengan menggugurkan daunnya, utama pada musim kemarau.

Daun-daun majemuk menyirip genap, demgan anak daun 5-15 pasang, bundar telur, jorong atau lonjong, pangkal membundar lebar, berujung runcing, tumpul, atau membundar. Perbungaan berupa tandan atau malai, terminal (di ujung ranting) atau lateral (di sisi), hingga 16 cm panjangnya, berbunga banyak.

Bunga dengan kelopak yang berbagi. Daun mahkota berukuran 2,5-3,5 cm panjangnya, merah pucat hingga merah tua. Tiga tangkai sari yang terbawah berbentuk S, di atas belokan menggembung berbentuk gelendong yang tebal. Buah polong menggantung, bulat torak, ukuran 20-60 cm dengan ketebalan 1-1,5 cm, hitam dan tidak memecah ketika tua, dalamnya terbagi oleh sekat-sekat melintang dijadikan ruang-ruang berbiji, sekat serupa gabus.

Manfaat
Pohon Konji, Cassia Javanica, Tengguli Wanggang, Bebondelan banyak ditanam karena kegunaannya dalam pengobatan, selain karena bunganya yang indah. Buah dan biji yang sudah matang digunakan sebagai pencahar tradisional (laksativa). Kulit dan biji digunakan sebagai antipiretik dalam pengobatan demam. Hati-hati dalam penggunaannya karena dapat menyebabkan emesis.

Air rebusan akarnya digunakan untuk membersihkan luka dan bisul. Pepagannya digunakan di Jawa dan India untuk mengatasi penyakit kulit, sementara daun-daunnya di Filipina dipakai untuk menyembuhkan sakit kulit akibat jamur. Di India, akarnya dipakai untuk mengobati demam. Pohon ini juga dimanfaatkan di Panama untuk mengobati kencing manis.

Dalam pengobatan modern, daging buahnya yang kehitam-hitaman kadang kala dipakai sebagai laksativa menengah. Simplisia (bahan obat dasar) dari buah tengguli ini dikenal sebagai Fistulae Fructus (Buah Trengguli), dan setidaknya pada masa lalu, dimasukkan sebagai salah satu simplisia yang wajib tersedia di apotik. Daging buah ini terutama mengandung hidroksimetil antrakinon, yang berkhasiat sebagai pencahar; dan juga gula, pektin, lendir, minyak atsiri yang berbau seperti madu.

Gelam (kulit batang) pohon ini juga menghasilkan zat penyamak (tanin), yang dalam penggunaannya di perusahaan penyamakan kulit biasanya dicampur dengan gelam pilang (Acacia leucophloea). Tanin dan bahan-bahan lain dari gelam dapat membentuk asam, sehingga dapat menyamak dengan cepat. Hasilnya adalah kulit dengan mutu yang baik berwarna kuning muda; sebagai bahan pembuatan sepatu, atau pakaian kuda.

 
Penutup
Ada pula upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman ini untuk tujuan wisata. "Ada ratusan anakan pohon sakura yang sedang kami perbanyak melalui Dinas Lingkungan Hidup untuk siap dikembangkan secara besar-besaran mulai tahun 2019 ini," kata Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora kepada Antara.

Aku sepakat, padang-padang sabana di Sumba akan sangat cantik apabila bisa ditanami pohon Konji ini. Mungkin suatu saat, orang-orang akan berbondong-bondong datang ke Sumba pas jatuh musim kemarau saat bunga Konji mekar.

Sumber penulisan:
http://tropical.theferns.info/viewtropical.php?id=Cassia+javanica
https://dody94.wordpress.com/2017/11/17/jenis-jenis-pohon-terbaik-untuk-peneduh-jalan/2/
http://pohon-kayu.dy.web.id/id1/1377-1267/Trengguli-Wanggang_104580_pohon-kayu-dy.html
https://www.antaranews.com/berita/784079/sumba-timur-siap-kembangkan-wisata-bunga-sakura
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya