Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 22 September 2019

Matahari Terbit di Puncak Kelimutu

Sunrise dari puncak KelimutuCahaya kekuningan tengah menghiasi langit timur, tapi matahari tak juga menunjukkan diri. Matahari dan kabut tipis di pagi ini seakan sedang bermain-main dengan harapan puluhan pasang yang sedang menanti detik-detik keajaiban pagi dari sang surya. Beberapa detik kemudian... momen itu terjadi. Sepotong cahaya bulat kuning muncul dari balik horison langit timur. Pendaran kuning cahaya matahari berpadu harmoni dengan warna biru hijau danau Kelimutu di depanku. Segelas kopi panas di tangan tertahan diseruput, sepasang bule saling mempererat genggaman tangan dengan senyum merekah, dan seorang jomblo yang duduk terdiam di atas tugu dengan sebotol air ditangannya. Tak lama kemudian kesunyian sesaat ini dipecahkan dengan bunyi klik.. klik.. kamera yang dijepretkan, pertunjukan sesaat telah selesai.


"Matahari pagi adalah keajaiban yang mengingatkan kita bahwa hari ini kita telah diberikan keberkahan satu hari lagi untuk menghirup segarnya udara dan kidung alam yang indah"


Segelas kopi instan panas diserahkan kepadaku oleh seorang bapak tua penjual minuman. Aku menarik kerah jaket lebih tinggi menghindari rasa dingin dari angin yang berhembus. Duduk sebentar setelah beberapa waktu berjongkok menghadap layar kamera di depan pagar untuk memotret, ada kelegaan setiap kali momen seperti ini. Sesuatu yang tak bosan kulakukan berulang kali dimanapun.

Cahaya kuning sesaat mulai berubah lebih terang, bayangan pepohonan yang menghitam sudah berubah menjadi hijau. Bambang dan Adhyt yang sebelumnya bareng aku sudah berjalan entah kemana. Masing-masing kita bercanda dengan benaknya sendiri. Aku sendiri masih sibuk berbagi dengan segelas kopi panas dan kabel shutter yang terhubung di kamera Fuji di atas tripod kecil.

Perjalanan Tengah Malam Buta
Jam setengah dua dini hari aku sudah membangunkan Adhyt dan Bambang, rencana untuk dapat menikmati matahari terbit di Kelimutu tidak boleh gagal. Mereka masih setengah mengantuk sebenarnya, maklum rombonganku baru sampai kemarin. Sekitar jam dua aku sudah meluncur dari Ende ke arah Timur menggunakan mobil mas Tommy. Pemilik hotel Satarmese ini asli baik banget, makanya kalau aku ke Ende selalu nginep di sana. Bukan promo lho, kalian bisa buktikan sendiri kalau kebetulan bermalam di Ende.

Jalan malam hari dari Ende ke Moni memang harus hati-hati karena kondisi jalannya berkelak-kelok menyusuri punggungan bukit. Sebelah kanan didominasi oleh jurang sementara sebagian besar jalan belum ada penerangan jalan yang memadai. Adhyt sendiri sudah njiper (baca: kecut) untuk menyetir dengan kondisi seperti itu di malam hari, plus ini baru pertama kalinya dia ke Kelimutu. Jadi perjanjiannya, untuk berangkat aku yang nyetir sedangkan pulangnya gantian Adhyt yang nyetir.

Dalam perjalanan dari Ende ke Kelimutu ini ada pemandangan unik yaitu di pasar Nduaria yang berada di sepanjang pinggir jalan. Malam itu pasar tentu tutup dan tidak ada yang menjual. Namun mereka membiarkan sayur-sayuran, buah-buahan dan barang-barang jualan lainnya di atas meja terbuka begitu saja. Kok tidak takut diambil orang? Hal itu menggambarkan bahwa di daerah ini masih sangat aman. Kalau di tempat lain, haduh jangan-jangan besok tinggal meja kosong.


Jam setengah empat pagi aku sudah sampai di Moni, tentu saja masih terlalu sepi. Tak lebih dari setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan gerbang masuk Kelimutu. Angin terasa dingin menusuk tulang. Bambang yang lupa tidak membawa jaket tenang saja menggulung badannya dengan selimut yang dia bawa dari hotel.

Ternyata palang pintu masih terpasang dan tak ada petugas, di samping gerbang ada sebuah papan petunjuk yang menjelaskan jika jam buka Danau Kelimutu 05.00 - 17.00 WITA. Fix, kita harus nunggu setengah jam lebih. Untung di samping gerbang ada sabuah warung yang memang buka 24 jam. Dih kebayang kayak apa rasanya buka warung di tempat seperti ini. Lumayan sambil menunggu palang dibuka kami dapat menikmati minum kopi dan mie instan.

Sunrise di Puncak Kelimutu
Beberapa rombongan telah berangkat naik terlebih dahulu mendahuluiku, karena aku masih sholat Subuh dulu di salah satu ruangan kantor yang jagawana yang ada di area parkiran. Bulan Mei memang mulai memasuki musim dingin di Nusa Tenggara Timur, ditambah Kelimutu sendiri berada di ketinggian.

Dalam remang kegelapan kami berjalan masuk ke jalan setapak di dalam yang cukup lebat menuju ke puncak Kelimutu. Saat itu sedang bulan purnama, cahaya bulan yang menyinari balik pepohonan cemara cukup membantu terutama di area yang tidak ada penerangan.

Karena masih gelap, aku memutuskan untuk langsung menuju tugu yang merupakan titik pandang tertinggi untuk bisa melihat ketiga danau dengan leluasa sekaligus merupakan titik terbaik untuk melihat matahari terbit.


Dari pengalamanku selama ini memang yang lebih niat datang pagi-pagi buta untuk melihat matahari terbit biasanya para bule. Wisatawan lokal sering kali datang ke Kelimutu setelah terang. Namun kali ini aku melihat beberapa rombongan yang datang justru turis dari negeri China. Ada rombongan bis segala yang didominasi golongan tua. Ada juga beberapa muda-mudi yang memisahkan diri dari rombongan tua, entah mereka rombongan yang sama atau mereka datang sendiri.

Selain turis dari China, ada pemandangan unik lain saat itu. Danau Kelimutu yang berdiri sendiri yang disebut "Tiwu Ata Mbupu" tidak tampak airnya karena dipenuhi kabut di bagian dalamnya. Ini berbeda dengan kedua danau lainnya: "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan justru cerah tanpa kabut. Tulisan tentang cerita perjalananku ke Kelimutu sebelumnya sudah kutuliskan di sini.

Mampir di Air Terjun Murundao
Aku turun sekitar jam setengah tujuh kurang dan sempat mampir sebentar ke dua danau yang saling berdekatan "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang saat itu berwarna biru tosca dan hijau. Tak lain untuk memenuhi permintaan Adhyt yang ingin melihat lebih dekat kedua danau. Di depan titik pandang yang telah dibangun pembatas itu telah ramai rombongan anak sekolah yang mungkin sedang ada acara Darma Wisata.

Karena hanya makan mie tadi pagi tentu saja kami kelaparan dan memutuskan mencari tempat makan di sekitar Moni. Ternyata tak seperti yang aku bayangkan, nyaris tidak ada tempat makan yang sudah buka sepagi ini. Untunglah setelah menyusuri kawasan Moni akhirnya menemukan sebuah tempat makan yang letaknya dekat dengans sebuah air terjun. Namanya air terjun Murundao. Dari pinggir jalan ada jalan turun sekitar seratus meteran tangga menurun sudah akan melihat air terjun itu. Pemandangannya? Yah so-so gitulah. Lagian kalau ada pemandangan air terjun sebagus itu di pinggir jalan besar pasti sudah ramai dikunjungi orang dari dulu.


Tips-tips untuk yang ingin ke Danau Kelimutu:
  1. Patuhi larangan-larangan yang ada di kawasan Danau Kelimutu seperti dilarang membuang sampah, dilarang mengambil pohon-pohon yang dilindungi, dilarang berdiri di luar pagar (terutama yang ada di dekat dua danau berdekatan).
  2. Jika ingin melihat matahari terbit disarankan menginap di daerah Moni. Namun jika menginap di Ende, usahakan sudah berangkat sebelum jam 3 pagi karena jalur Ende-Kelimutu merupakan jalan Trans Flores yang seringkali dilewati truk-truk besar.
  3. Bawa senter, karena jalur perjalanan menuju puncak Kelimutu melewati hutan yang penerangannya kurang memadai. Mungkin sekarang bawa hape sudah bisa menggantikan senter, tapi lebih nyaman jika menggunakan senter tersendiri.
  4. Bawa pakaian hangat termasuk jaket karena Danau Kelimutu berada di ketinggian yang tentu saja udaranya dingin. Apalagi saat naik ke atas saat pagi buta tentu akan terasa lebih dingin. Akan lebih bagus jika memakai topi yang bisa menutup telinga, kaos tangan dan kaos kaki.
  5. Jika perjalanan bersama teman, pertimbangan waktu yang dibutuhkan untuk naik. Walaupun jalur perjalanan ke atas Kelimutu tidak terlalu sulit mungkin beberapa orang akan merasa kecapean terutama saat menaiki anak tangga menuju tugu tertinggi.
Teman perjalanan kali ini: Adhyt dan Bambang
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 12 September 2019

Singgah ke Sade

Gerbang masuk Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

"Terimakasih atas kunjungannya!", ucap Pak Mesah usai mengantar kami keliling dusun. Aku bergegas menuju Bandar udara untuk kembali ke Jakarta.

Mengunjungi Lombok rasanya tidak lengkap bila tidak ke Dusun Sade. Sade adalah salah satu Dusun di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Berlokasi di pinggir jalan raya yang hanya berjarak 13 km atau sekitar 30 menit ke arah Bandar Udara Praya. Dusun ini masih mempertahankan Adat Suku Sasak. Mereka memegang teguh tradisi sejak pemerintahan Kerajaan Pejanggik di Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Diperkirakan dusun ini ada sejak tahun 1907, dihuni kurang lebih 150 kepala keluarga dan telah 15 generasi berlangsung.


Rumha Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Setelah mengisi buku tamu, kami diajak keliling dusun mengunjungi salah satu rumah penduduk. Bangunan rumah mirip dengan Joglo, rumah Adat Khas Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Rumah adat ini bernama Dalam Bale Tani.Rumah perpaduan bilik dinding bambu dan pintu dari kayu yang menyangga rumah. Pintunya terlihat pendek dan kecil. Menurut penuturannya, ketika kita masuk rumah dengan menundukkan kepala untuk menghormati tuan rumah. 


Dalam rumah di Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Ruangan depan/ Bale Luar sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur laki-laki. Bale dalam diperuntukkan sebagai tempat tidur perempuan dan juga tempat melahirkan. Menuju Bale dalam kita akan menaiki tiga anak tangga yang mencerminkan tahapan-tahapan kehidupan. Tangga pertama, kelahiran. Tangga kedua, berkembang sebagai manusia. Tangga ketiga, tahap akhir atau kematian.

Atapnya terbuat dari alang-alang kering yang tersusun padat dan rapi. Tiap lima atau limabelas tahun sekali alang-alang keringnya diganti. Lantai dari tanah liat. Seminggu sekali lantai tanah dibersihkan dengan kotoran kerbau sebagai upaya mencegah nyamuk/serangga dan menjaga rumah agar tetap hangat.

Berpose Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

Masjid yang bersedia hanya digunakan untuk tiga waktu sholat, karena penduduk Dusun Sade menganut "wetu tilu". Ada delapan bentuk bangunan di dusun ini, yaitu Bale Tani, Jajar Sekeran, Benter, Beleq, Berugak, Tajuk, Bencingah, Lumbung.


Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara BaratLumbung padi berbentuk lengkung terbuat dari kayu atau anyaman bambu. Disangga tiang kayu beratap alang-alang. Ada jendela kecil diatas yang berfungsi sebagai pintu masuk lumbung. Lumbung terbagi menjadi dua bagian. Bagian Atas tempat penyimpanan padi/gabah. Bagian bawah sebagai bale tempat duduk dan berkumpul. Lumbung padi hanya boleh dimasuki oleh orang yang telah kawin, menikah. 

Di kanan-kiri jalan setapak berjajar rumah-rumah penduduk yang juga menjual bermacam cenderamata, kerajinan khas Lombok, berupa kain tenun, syal, ikat kepala, topi anyaman, gelang, kalung dengan warna-warna yang cerah. Ibu-ibu sibuk menenun benang-benang agar menjadi kain.

Sejak usia sembilan tahun seorang gadis harus belajar menenun. Seorang gadis tidak boleh menikah kalau tidak bisa menenun, karena hasil tenunannya akan diberikan kepada suaminya kelak. Di sudut jalan depan rumah, tampak seorang nenek sedang menumbuk biji-biji kopi dengan alu. Hhmm harum wangi kopi menyegarkan. Aku jadi ingin membeli kopi khas Sasak ini.

Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Salah satu keunikkan Dusun Sade yaitu tradisi kawin culik. Kawin culik adalah tradisi pernikahan yang dilakukan pihak laki-laki dengan menculik perempuan calon istrinya tanpa sepengetahuan keluarga pihak perempuan. Setelah pihak laki-laki mengungkapkan isi hatinya kepada keluarga pihak perempuan, maka diadakan pernikahan dengan membawa calon pengantin perempuan kembali ke rumahnya.

Prosesi arak-arakkan pengantin disebut "Nyongkolan". Setelah acara Nyongkolan mereka akan menempati sebuah rumah kecil yang disebut Bale kodong sebagai tempat bulan madu. Kebetulan aku sempat melihat acara Adat Nyongkolan di jalan arah ke Sukarara. Wah meriah banget!

"Ini adalah pohon janji!" ujar Pak Mesah sambil menunjukkan sebuah pohon yang meranggas dan hanya tersisa batang, cabang ranting tanpa dedaunan. Biasanya pohon ini digunakan sepasang kekasih yang berjanji bertemu saat tradisi kawin culik. So sweet, aku rela diculik aahhaayyy!

Foto dan tulisan oleh Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 09 Agustus 2019

Melati Untuk Anusapati

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Harum wangi Bunga Melati tercium ketika aku memasuki komplek Candi Kidal. Tumbuhan Melati menghiasi di kanan kiri sepanjang jalan setapak. Mewarnai suasana pagi yang cerah nan indah.


Candi Kidal Malang Jawa TimurPengurus candi tampak sedang menyirami rumput dan tanaman. Beliau tersenyum ramah saat aku menghampirinya.  Seorang perempuan berbaju batik merah marun dan berkerudung coklat. Menurut penuturan beliau, Ibu Siti Romlah selaku pengurus candi, Raja Anusapati suka dengan Bunga Melati. Pantaslah hampir seluruh komplek taman Candi Kidal ditanami Bunga Melati.

Mataku tertuju pada kain putih yang terhampar memanjang disepanjang undakan Candi. Sebuah pemandangan yang jarang kulihat. Ternyata kain putih itu dipasang saat ada acara Ruwatan Murwakala Malang beberapa hari yang lalu. Masih tersisa kembang, daun pisang dan dupa di dalam kubah Candi. Sepertinya aku datang pada waktu yang tepat. Saat Candi telah diruwat dan dibersihkan dari hal-hal negatif yang buruk.

Candi setinggi kurang lebih 12 meter ini mempunyai struktur bangunan berundak yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian kaki ( Upapitha) disebut Bhurloka yang menggambarkan alam atau dunia manusia. Bagian badan (Vimana) disebut Bwahloka yang menggambarkan alam antara atau alam langit. Bagian puncak (Cikhara) disebut Swahloka yang merupakan alam surgawi atau kahyangan para dewa.

Aku berjalan mengelilingi candi. Membaca relief-relief yang tergurat di dinding Candi. Bila di Candi Borobudur membaca relief dengan mengkanankan candi, Pradaksina, tetapi di Candi Kidal membaca relief dengan berlawanan arah jarum jam, Prasawiya. 

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Terdapat tiga relief utama yang terpahat pada dinding candi. Relief Garudeya yang sedang melayani para naga, Garudeya membawa guci air amerta dan Garudeya menggendong ibunya, Dewi Winata. Disamping itu relief Kala Makara di atas pintu candi.

Kisah Garudeya bermula dari persaingan antara kakak beradik Dewi Kadru dan Dewi Winata yang menjadi istri Resi Kasyapa. Mereka berselisih mengenai warna Kuda Ucchaisswara yang muncul dari dalam samudera purba. Dewi Kadru menebak warna hitam, sedangkan Dewi Winata menebak warna putih. Sengitnya perselisihan itu membuat mereka bersepakat untuk bertaruh. Barangsiapa yang tebakannya salah dan kalah akan menjadi budak bagi yang menang.

Para Naga yang menjadi anak Dewi Kadru memberitahu ibunya kalau sebenarnya warna kuda Ucchaisswara putih yang berarti tebakan Dewi Winata benar. Tetapi Dewi Kadru bersiasat dengan menyuruh anak-anaknya untuk menyembur dengan racun bisanya agar merubah warna kuda tersebut. Akhirnya para naga berhasil merubah warna kuda Ucchaisswara menjadi hitam yang berarti Dewi Kadru pemenangnya dan Dewi Winata beserta Garudeya menjadi budak mereka.

Garudeya berusaha membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru. Para naga meminta syarat Garudeya harus mendapatkan air amerta yang dimiliki para dewa. Garudeya mencari air amerta dan bertemu Dewa Wishnu. Dewa Wishnu bersedia membantu dan minta agar Garudeya bersedia menjadi wahananya/kendaraannya. Air amerta yang didapat dimasukkan ke dalam guci. Di dalamnya diberi rumput ilalang. Garudeya berpesan kepada para naga harus bersuci dengan mandi terlebih dahulu. Saat para naga sedang mandi, air amerta diambil oleh Dewa Indra. Sisa air yang tercecer dirumput ilalang dijilati para naga hingga membuat lidah mereka terbelah dua. Akhirnya Garudeya berhasil membawa pergi ibunya, Dewi Winata dan membebaskannya dari perbudakan Dewi Kadru.

Candi Kidal Malang Jawa Timur Candi Kidal Malang Jawa Timur

Candi Kidal berlokasi di Jalan Raya Tumpang - Malang tepatnya Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.  Kidal mempunyai arti "kiri" dan istilah keduanya berarti "selatan" dari kata "kidul". Mungkin karena letak candi tersebut  berada di selatan-kiri (tenggara) dari Kerajaan Singosari yang terletak disebelah utara.

Candi Kidal adalah pedharmaan Raja Anusapati, Raja kedua Kerajaan Singosari yang bertahta tahun 1227-1248. Stana dibuat sebagai penghormatan kepada sang raja setelah mangkat. Candi Kidal merupakan tempat Abu jenasah Raja Anusapati, diruwat dan dimuliakan sebagai Siwa. Sayang Patung Siwa sudah tidak ada di candi ini. Patung Siwa tersebut sekarang tersimpan di Museum Leiden Belanda.

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Tokoh cerita Garudeya dan Dewi Winata yang terpahat di dinding Candi Kidal adalah penggambaran kisah hidup Raja Anusapati dan ibunya, Ken Dedes. Berawal dari Anusapati yang tidak tahan tiap hari mendengar tangisan kesedihan ibunya, Ken Dedes. Kesedihan Ken Dedes karena Sang Rajasa, Ken Angrok menikahi perempuan lain (Ken Umang) dan lebih menyayanginya. Ken Dedes pun pergi dari Kedhaton dan kembali ke kampung halamannya.

Anusapati menganggap Sang Rajasa adalah penyebab kesedihan ibunya yang harus dilenyapkan. Sungguh Anusapati tidak tega pada ibunya, Ken Dedes yang sangat dicintainya. Sosok perempuan yang cantik jelita dan wangi tubuhnya tetapi nestapa hidupnya. Anusapati bertujuan meruwat ibunya agar terbebas dari kesengsaraan dan kembali menjadi perempuan utama yang sempurna.


Entah karena terbawa cerita Raja Anusapati dan Ken Dedes itu, setelah aku mengunjungi Candi Kidal, malamnya aku bermimpi aneh. Dalam mimpi itu aku bertemu sesosok pria gagah bertelanjang dada dengan rambut yang digelung keatas. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya terlihat kuat dan tegas. Siapakah dia? Raja Anusapati kah?



Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 02 Mei 2019

Padang Sabana Gunung Mutis

Om Robby duduk di sebuah pokok pohon mati berselimut sarung menunggu kami yang duduk mengatur napas. Perjalanan selama 1 jam 20 menit di pagi buta dengan kondisi angin yang cukup kencang gagal membuat kami berkeringat. Aku yang tidak pernak merokok sampai meminta sebatang rokok ke Imam untuk membantuku mengurangi rasa dingin. Kami masih terselamatkan karena tidak ada hujan semalam. Jalanan tanah yang berlubang-lubang besar bekas ban mobil off-road akan menjadi kubangan air jika sampai hujan turun.

"Nature's beauty is a gift that cultivates appreciation and gratitude" ---Louie Schwartzberg

Pagi di Padang Sabana
Kami tepat keluar dari hutan dan menginjak padang sabana pertama Gunung Mutis saat matahari mulai keluar dari ufuk timur. Sayang pemandangan padang menghijau itu sebentar muncul sebentar hilang terhalang oleh awan-awan rendah yang bergerak begitu cepat.

Kami duduk beristirahat di sebuah bukit terbuka yang dipenuhi rerumputan hijau pendek rapi layaknya perbukitan-perbukitan di padang golf. Matahari yang sudah naik sepenggalan masih belum mampu mengusir rasa dingin di padang sabana ini. Tapi setidaknya berjalan selama satu jam-an lumayan membuat badan lebih hangat. Jelas perjalanan untuk mengejar matahari di puncak Mutis sudah gagal sehingga kami memutuskan untuk bersantai di padang sabana.

Sebelum kembali kami sempatkan turun ke sebuah aliran sungai kecil yang airnya super duper bening. Botol-botol air dengan segera terisi, termasuk tenggorokan kami dengan air yang segarnya mengalahkan air minum dalam kemasan.

Kami beruntung, bulan April ini beberapa pohon sedang bersemi. Pohon santigi sedang bersemi, pucuk-pucuk daun berwarna merah memenuhi ujung dahannya. Pohon santigi jenis ini mengingatku pada walpaper pepohonan di Jepang yang daunnya berwarna merah, hanya Santigi ini berwarna merah di bagian pucuknya saja. Tapi Santigi ini tak kalah indah, pohonnya yang meliuk-liuk adalah bonsai alam terbaik. Apalagi disini, pohon Santigi dipenuhi dengan lumut dan tanaman-tanaman yang tertempel di sekujur batangnya. 

Tidak beruntungnya, kami tidak menemukan banyak ternak yang mampir ke padang sabana. Hanya serombongan sapi dan kuda yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh ekor masing-masing. Entah karena sedang banyak angin, entah karena sedang dikandangkan pemiliknya. Padahal kalau melihat setiap meter pasti kami menemukan kotoran sapi atau kuda yang sudah mengering. 

Ada dua padang sabana di gunung Mutis, padang sabana pertama berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari benteng dua putri. Titik akhir yang dapat dijangkau motor kami. Padang sabana kedua yang ukurannya lebih kecil hanya berjarak 20 menit perjalanan dari padang sabana pertama.

Di padang sabana kedua yang berada di ketinggian hampir 2000 mdl itulah, tempat yang tepat untuk melihat puncak gunung Mutis. Di sebelah barat daya, tampak puncak mengerucut yang ternyata gunung Timau. Ah baru kutahu, kalau puncak gunung Mutis dan gunung Timau itu sebenarnya berdekatan.

Berjibaku dengan Dingin di Fatumnasi
Benteng Dua Putri Gunung Mutis
Angin berkesiur tak karuan, suaranya bergemuruh tak henti-henti. Pukulan angin di tenda meninggalkan suara berderak-derak selaksa ingin menerbangkan tenda beserta isinya. Pasak-pasak yang kutancapkan di bawah Benteng Dua Putri untungnya cukup kokoh menahan tenda tetap tertahan di tempatnya. Padahal kami sudah memilih memasang tenda di tempat yang cukup terlindungi dari angin. Di sisi barat dan timur ada batu karang tinggi yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan Benteng Dua Putri.

Tak heran jika tidak ada yang berminat berlama-lama di depan api unggun seperti biasa jika kami kemping. Angin terlalu dingin untuk kami lawan. Tak lama setelah selesai makan, satu demi satu dari kami masuk ke dalam tenda hingga menyisakan pak Robby sendirian di depan api unggun. 

Aku berusaha membungkus kakiku yang terasa dingin dengan sleeping bag, tak mempan! Suhu hari ini pasti di bawah 15 derajat celsius dan sialnya aku tak mengenakan kaos kaki. Keputusan yang salah besar, yang membuatku tidak bisa memejamkan mata semalaman. Aku bahkan kuatir akan mengalami hipotermia jika terus menerus seperti ini. Aku jadi menyesal tidak membawa kaos kaki dan kaos tangan.

Om Robby yang biasanya bisa tidur di luar dengan hanya berselimut sarung tenung di depan api unggun pun kali ini menyerah. Angin yang terus bertiup memang membantu api terus membara memakan pokok kayu yang sudah tumbang lama. Namun rasa dinginnya jadi menyusup ke seluruh tubuh. Om Robby akhirnya masuk ke dalam tenda bergabung denganku. Itupun dia tetap meringkuk kedinginan dalam bungkusan sarung.

Jam dua om Robby kembali bangun dan keluar tenda. Dari suara keributan di luar tenda aku perkirakan kalau om Robby sedang mencari kayu-kayu kecil untuk membuat besar kembali api unggun. Mungkin dia sudah tidak tahan harus bergelung dalam dingin di tenda. Kesempatan itu aku pakai untuk menarik sebagian sleeping bag untuk menutupi kakiku. Yah walau tidak membuat aku jadi merasa hangat dan bisa tidur setidaknya rasa dingin di kaki terkurangi.

Perjalanan ke Gunung Mutis
Bisa kemping di Mutis seperti sebuah pencapaian baru bagiku setelah kegagalanku rencana kempingku pertama kali kemari. (baca tulisanku sebelumnya di sini). Bukan obsesif sih cuma godaan kemping itu terus terngiang-ngiang di kepala tidak mau hilang.

Aku, Imam, Daud dan Rama berkendara sendiri-sendiri. Kami merasa aman untuk naik motor masing-masing karena kondisi medan yang kurang mendukung untuk berboncengan plus masing-masing membawa tas ransel besar. Lagi pula, jika ada masalah di salah satu motor kami, kami masih punya alternatif motor lain yang tidak bermasalah.


Ada insiden saat masuk ke Fatumnasi karena Daud sempat terjatuh dan tertimpa sepeda motornya saat berada di jalan tanjakan menuju ke Bukit Usapikolen. Tanjakan itu memang agak parah kondisinya baik yang dari dan ke Bukit Usapikolen. Untungnya tidak sampai luka, cuma mungkin setelah balik ke rumah baru rasain ngilu-ngilu. Biasanya begitu kalau sampai jatuh motor walau secara kasat mata tidak terluka.

Dari Kupang jam 8 pagi, kami baru sampai ke Fatumnasi sekitar jam 3 sore. Yang kami tuju seperti biasa adalah rumah pak Anis. Sayangnya pak Anis sendiri sendiri sedang sakit, katanya sudah beberapa hari ini demam jadi besok mau cek ke Puskesmas. Awalnya pak Robby sendiri tidak bisa ikut karena mau ke kantor desa untuk urusan pencoblosan. Namun karena tidak ada yang menemani kami, jadilah pak Robby memutuskan ikut dengan kami.

Setelah menandaskan segelas kopi yang disajikan di rumah pak Anis, kami langsung berangkat lagi dengan motor ke dalam kawasan hutan Mutis. Targetnya malam ini kami harus mendapatkan tempat untuk kemping.

For your information:
  1. Jalan dari Kapan sampai ke Fatumnasi banyak yang sudah diperbaiki, belum beraspal tapi sudah ditambah tanah putih sehingga jauh lebih mendingan. Motor matic sekarang bisa sampai ke Fatumnasi. Yah sedikit perjuangan ada di tanjakan sebelum dan sesudah Bukit Usapikolen yang batunya masih tinggi.
  2. Jika berencana ke puncak atau minimal sampai ke padang sabana sebaiknya gunakan guide karena tidak ada petunjuk jalan di dalam hutan Mutis. Jika mau ke puncak gunung Mutis jangan lupa bawa sirih pinang, karena serahkan ke guide-nya masalah penggunaannya. Ini bukan masalah kepercayaanmu, tapi menghormati adat dan kebiasaan setempat.
  3. Ada satu homestay disana yang dikelola pak Matheos Anin, biasanya bule-bule suka menginap disana. Aku sendiri lebih sering kontak ke pak Anis kalau ke Mutis. Ya dua-duanya oke saja, nanti mereka bisa menemani atau meminta orang untuk menemani kita.
  4. Perhatikan cuaca dan waktu kedatangan. Imam dulu pernak ke Mutis bulan Juni-Juli dan untuk sampai ke puncak sepanjang jalan cuma disuguhi pemandangan kabut, hujan dan kabut, dan endingnya ya berkubang dengan tanah.
  5. Persiapkan kendaraan sebaik-baiknya, tidak banyak yang bisa diharapkan kalau sampai ada masalah dengan kendaraan kita. Mungkin beberapa suku cadang yang kita tahu suka bermasalah dengan kendaraan kita sudah disiapkan.
Tim MLAKU kali ini, aku ditemani oleh:
  • Si Imam anak boncel, suka mencuri ketimun. Ayo lekas di kurung, jangan diberi sarung. ig: @mimamarifw
  • Ramadana, satria baja hitam yang baru saja ditugaskan di Kupang. ig: @nashrulummam
  • Daud yang jika naik motor serasa jadi "Dilan 1990", namun saat jatuh dari motor jadi "Dilanda Masalah"  ig: @daudgb

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 07 April 2019

Cunca Wulang: Keindahan yang Tidak (Lagi) Murah


Aliran sungai yang bening mengalir diantara celah-celah tebing tertangkap jelas dari jembatan gantung ini. Berdiri di jembatan gantung selalu memberikan sensasi menyenangkan bagiku. Walaupun tidak setinggi suspension bridge di Taman Nasional Gunung Pangrango, terlalu jauh kalau harus membandingkannya dengan jembatan gantung di air terjun Cunca Wulang ini. Walaupun begitu ayunan jembatan ini tetap memberikan sensasi jantung berdesir. Jembatan ini salah satu membedakan Cunca Wulang dahulu dibandingkan dengan saat ini. Baca ceritaku di Cunca Wulang dulu disini.

"In every walk with nature one receives far more than he seeks" --- John Muir

Cunca Wulang artinya Air terjun bulan. Mengapa disebut begitu? karena air terjun ini jatuh ke dalam sebuah tebing batu berbentuk lubang seperti lubang. Karena kondisinya seperti, sulit melihat penampakan air terjun untuk dari atas sampai ke bawah. Untuk bisa melihat utuh ada dua cara:
  1. Naik ke atas air terjun dan berdiri cukup dekat ke dinding tebing. Jangan kuatir, dinding air terjun ada batu padat yang tidak akan longsor oleh injakan kalian.
  2. Ini cara yang paling nikmat tapi basah. Jadi turun ke dalam sungainya dan berenang menyusuri sungai sampai masuk ke dalam dinding batu berlubangnya.
Namun, walau tidak bisa melihat air terjun secara utuh namun pemandangan aliran sungainya tetap indah karena melewati tebing-tebing batu yang pepohonan yang rindang.

Perjalanan ke Lokasi
Awalnya aku ingin ke Pulau Padar, cuma karena waktunya tidak nyambung dengan jadwal keberangkatan pesawatku. Pembatalan Padar ini akhirnya aku membuatku memilih lokasi lain yang bisa diakses melalui jalur darat.

Dengan berbekal pinjaman motor dari seorang teman, perjalanan ke lokasi aku tempuh hampir satu setengah jam mungkin lebih karena aku berjalan agak santai. Maklum naik motor sendiri jadi gak perlu terburu-buru. Lumayan bisa sambil menikmati pemandangan kota Labuan Bajo dari ketinggian.

Walau sebenarnya masih cukup hapal arah ke lokasi aku memilih bertanya arah kembali ke penduduk setelah dekat di Warsawe untuk meyakinkanku. Memang sekarang banyak aplikasi peta seperti Google Map yang dengan mudah menjadi guide andal ke lokasi-lokasi yang sudah terkenal, tapi GPS (Gunakan Penduduk Setempat) masih menjadi jurus andalanku. Ada beberapa faktor yang membuatku nyaman dengan mampir bertanya ke penduduk: (1) Cara mudah berinteraksi dengan masyarakat setempat, (2) Memastikan bahwa aplikasi peta tidak menyesatkan terutama jalur-jalur yang belum dikenal, (3) Aku masih old style yang masih nyaman bercakap-cakap dengan masyarakat.

Pembenahan Infrastruktur 
Wisata di Kabupaten Manggarai Barat mulai banyak dibenahi, termasuk di lokasi air terjun Cunca Wulang. Beberapa fasilitas mulai diperbaiki, seperti dibangunnya jalan setapak dengan beton menembus hutan menuju ke lokasi air terjun. Jarak tempuh berkurang hampir setengah waktu di banding dulu. Aku masih ingat dulu seorang teman dari bepeka sempat terduduk lemas kecapean waktu jalan balik karena kondisi jalan yang cukup sulit melewati hutan yang naik turun tajam. Apalagi menuju air terjun harus turun dari bebatuan sungai yang cukup curam. Belum selesai seluruhnya, jalan beton sudah dibangun namun pagar pengaman masih sebagian belum terpasang.

Dan juga adanya dua buah jembatan yang dibangun, satu jembatan biasa dan satu jembatan gantung. Jembatan biasa dibangun diantara dua bukit untuk memendek jarak perjalanan, sedangkan jembatan gantung untuk membantu melewati sungai. Hanya kalau melihat kualitas bangunannya, aku agak ragu jembatan gantung ini bisa bertahan lama.

Tapi itu infrastruktur yang ada di lokasi lho ya, kalau perjalanan dari Labuan Bajo ke Cunca Wulang tetap saja masih banyak yang kurang bagus. Terutama dari pertigaan Warsawe menuju lokasi air terjun.

Ada harga dengan dibangunnya infrastruktur ini, sekarang biaya masuk ke dalam lokasi bisa dibilang mahal. Ada seorang bule yang sepertinya solo backpacker keberatan dengan tarif masuknya. Kenapa? Karena ke sana diharusnya menggunakan jasa pemandu. Mau kalian jalan sendiri, berdua atau selusin tetap harus menggunakan jasa pemandu. Selamat jalan para backpacker hemat, kalian tak akan bisa berhemat berwisata di Manggarai Barat jika pergi sendirian. Tiket masuk plus jasa guide sekitar 70-ribu, itu untuk wisatawan lokal. Untuk wisatawan asing sepertinya lebih dari 100-ribu.

Sepuluh kali kalian ke lokasi itu, sepuluh kali harus membayar biaya guide lokal. Padahal tanpa guide pun dengan kondisi sekarang kecil kemungkinan seorang wisatawan akan tersesat, kecuali sengaja berjalan keluar dari trek yang ada. Ada setiap tempat wisata wajib ada? Hal itu tergantung lokasi tentunya. Jika lokasi yang belum dikembangkan dan susah diakses tentu butuh pemandu. Bahkan tanpa diwajibkan pun wisatawan akan mencari pemandu. Atau tempat bersejarah yang membutuhkan kehati-hatian dalam pengelolaan, jelas kebutuhan guide diperlukan.

Aku tidak berpendapat sendiri, silahkan kalian browsing dan cari tahu berapa banyak yang mengeluh dengan biaya tiket masuk yang dianggap terlalu mahal. Beda sekali rasanya saat aku berwisata di Jawa yang tiketnya banyak yang ramah kantong.


Aku sendiri tidak keberatan adanya guide, karena aku suka jika ada teman berbincang apalagi kalau sedang jalan sendiri. Hanya jika keberadaan pemandu menjadi kewajiban bagi seluruh wisatawan jelas itu akan membunuh keinginan banyak backpacker yang ingin menjelajah di Manggarai Barat. Tiba-tiba tempat wisata di Manggarai Barat menjadi tidak ramah terhadap para backpacker. Haruskah semua tempat wisata harus ditebus dengan kocek yang tebal?
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 17 Maret 2019

Benteng Tujuh Lapis di Fulan Fehan

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis

Kami celingukan di depan gerbang masuk Benteng Makes yang lebih dikenal dengan nama Benteng Lapis Tujuh. Sebuah bangunan yang berdiri di samping sebuah tiang dikitari pagar batu tampak kosong tak terurus, entah karena hari ini Minggu atau memang sudah tidak dipakai. Katanya untuk masuk ke dalam harus bersama penjaga yang akan melakukan ritual supaya kita diijinkan masuk.

"I believe that imagination is stronger than knowledge. That myth is more potent than history. That dreams are more powerful than facts. That hope always triumphs over experience. That laughter is the only cure for grief. And I believe that love is stronger than death." --- Robert Fulghum

Katanya, untuk memasuki benteng sampai ke pagar ke-tujuh yang disebut dengan Saran Mot ini, harus didahului dengan upacara adat yaitu meminta izin untuk membuka jalan menuju Saran. Ritual adat ini dilakukan oleh Tisi Antak Ne’an (kepala suku setempat). Ada lima tempat yang harus dilewati sambil membuat upacara adat untuk membuka jalan atau pintu menuju Saran Mot. Kalau niatnya berkunjung atau sekedar jalan-jalan menuju Saran, syaratnya bisa dengan beras yang dihambur – hamburkan sedikit demi sedikit di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh kepala – kepala suku, kemudian meletakkan sirih pinang dan uang kertas. Lain halnya kalau mau melakukan suatu upacara adat dalam Saran Mot itu sendiri, syaratnya adalah harus membawa beras, uang kertas, ayam jantan warna apa saja, tetapi khusus pintu terakhir masuk Saran harus ayam jantan warna merah dan sirih pinang.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Setelah beberapa saat bimbang, akhirnya kami masuk ke dalam setelah meletakkan beberapa uang koin dan sebatang rokok di samping pagar batu. Tentu saja dengan niat baik sekedar berkunjung. Lagian aku gak mungkin tebar-tebar beras, karena bisanya tebar-tebar mie instan hehehe.

Begitu masuk pagar batu pertama kami harus berjalan menyusuri pinggir untuk menemukan pintu pagar kedua, lalu setelah masuk pintu kedua kembali menyusuri gerbang kedua untuk menemukan pintu ketiga dan seterusnya. Hal ini disebabkan benteng memiliki lapisan-lapisan pagar dengan pintu yang tidak langsung. Entah mengapa dibuat seperti itu, kemungkinan itu adalah strategi supaya jika musuh masuk ke dalam tidak langsung bisa menjangkau pusat benteng sekaligus membingungkan musuh. Hanya perkiraanku saja.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Benteng Makes berada di bukit Makes yang masuk dalam wilayah Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ketinggian sekitar 1200 Mdpl. Jarak dari Kota Atambua menuju Desa Dirun kurang lebih 40 km, dengan waktu perjalanan ± 1,5 jam. Benteng ini berada satu wilayah yang sebut dengan Fulan Fehan, sebuha padang sabana yang telah berkembang menjadi objek wisata alam. Tempat ini sudah dikenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan Indonesia dan asing. Biasanya ramai kunjungan pada saat musim liburan. Bukit Makes dan padang sabana Fulan Fehan masuk ke dalam zona Hutan Milik Negara.

Cerita Singkat Benteng Lapis Tujuh
Benteng ini sebenarnya bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis Tujuh, karena berada di atas bukit Makes maka sering disebut dengan Benteng Makes. Benteng ini adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu, benteng perang yang pada saat itu di pulau Timor masih sering terjadi perang antar suku.

Menurut cerita masyarakat setempat Benteng Ranu Hitu/Makes sudah ada sebelum penguasaan Portugis dan beberapa kali berpindah tangan sampai akhirnya dijaga oleh tiga pahlawan lokal dari 3 suku yaitu suku Loos, suku Sri Gatal, dan suku Monesogo. Benteng ini dulu merupakan tempat para Meo, atau pemimpin perang. Di dalam benteng inilah tempat mereka mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong tubuh mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh sebelum maju ke medan perang.

Ada sebuah tradisi yang masih berlanjut dari Suku Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Suku Uma Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu. Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat berada di tempat ini.


Seperti apa Benteng Tujuh Lapis
  1. Seperti yang aku ceritakan di awal, benteng ini dibangun dari batu-batu yang disusun membentuk pagar dengan jumlah tujuh lapis pertahanan. Batu-batu yang disusun hanya diletakkan tanpa menggunakan semen atau bahan pengikat lain. Sampai saat ini bangunan ini masih kuat, pada musim hujan biasanya lebih berlumut namun mengering saat musim kemarau.
  2. Setiap lapisan pagar memiliki pintu letaknya yang tidak berada sebaris. Jadi untuk menuju ke pintu harus berjalan menyusuri gerbang lapis pertama sampai menemukan pintu kedua dan seterusnya.
  3. Di bagian pusat atau Saran Mot terdapat sebuah meriam tua yang diletakkan di depan pintu Saran Mot. Meriam tua itu katanya adalah peninggalan dari bangsa Portugis.
  4. Ada cerita yang mengatakan tentang Saran Mot, walaupun diameter lingkarannya tidak lebih dari 10 m, konon apabila melakukan upacara ritual adat dalam lingkaran kecil ini, walaupun ditempati lebih dari 500 sampai 1000 orang, akan tetap muat dalam lingkaran ini. Bagian ini cuma katanya lho ya, aku sendiri belum pernah membuktikannya.
Beberapa sumber tulisan yang aku gunakan untuk menulis ini:
  1. http://lopezdedhe22blee.weebly.com/benteng-makes.html
  2. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/situs-benteng-ranu-hitu-makes-desa-dirun-kecamatan-lakmanen-kabupaten-belu-provinsi-nusa-tenggara-timur
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya