Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Rabu, 31 Oktober 2018

Mekko: Asa Dari Laut

Jump!! Meloncat dari perahu ke dalam Kolam raksasa | WWF Indonesia
Sudah dua malam aku menginap di rumah pak Jabar, dan selama itu pula aku merasakan sedikit menjadi orang Mekko. Setidaknya aku sudah tidak mandi dua hari ini hahaha... tidak usah terlalu melankolis, Nisa yang menjadi satu-satunya cewek dalam rombongan kami saja juga sukses tidak mandi. Yang para lelakinya gak usah ditanya lah. Kami kebetulan menjadi volunteer dari WWF untuk membantu masyarakat Mekko mengabadikan keindahan Taman Laut Mekko. 

Pak Bakri yang menjadi leader di Bangkit Muda-Mudi Mekko
Ada banyak cerita yang akan kami dengar hari ini: utamanya dari mereka yang sekarang tergabung dalam kelompok Bangkit Muda-Muda Mekko. Kelompok yang digawangi pak Bakri ini awalnya berangkat dari kelompok sepak bola di kampung Mekko. Tiap tahun mereka akan bertanding, kesulitan pertama adalah mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan mereka. 

Dari kelompok yang semula hanya berurusan bagaimana mencari dana untuk kegiatan sepak bola mereka, menjadi upaya mereka untuk dapat membuat pendanaan mandiri. Dan mata mereka melihat lebih jauh dari balik kampung ini. Mereka tinggal di tempat yang dikaruniai banyak potensi yang bisa mereka garap. Dan mereka yang menjadi pemilik dari semua keindahan itu hanya menjadi penonton selama ini. 

Ya, terbatasnya akses ke kampung mereka membuat masyarakat Mekko tidak bisa mengharapkan wisatawan yang berkunjung ke Mekko mendatangi kampung mereka. Itu baru masalah akses jalan dan alat transportasi, masalah utama yang mereka lawan justru dari kampung mereka sendiri. Menyadarkan nelayan untuk menghentikan penangkapan hiu adalah salah satu upaya tak mudah yang mereka lakukan. Upaya mereka untuk terlibat dari manfaat ekowisata laut Mekko bukannya jalan cepat, tapi jalan panjang yang harus mereka lalui beberapa tahun ini. 

Salam hiu dari Bangkit Muda-Mudi Mekko
Jauh sebelum upaya ini, dulu mereka juga bermasalah dengan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan. Memang sekarang sudah tidak ada yang melakukannya lagi karena mereka sudah tahu kalau hal itu masuk kejahatan yang dapat dipidana. Namun sebagian terumbu karang di Mekko telah terlanjur hancur.

Dan saat ini adalah gong pertama yang mereka tabuh untuk memperkenalkan bahwa dari kampung ini telah siap orang-orang untuk memandu para wisatawan yang ingin menikmati keindahan Mekko. Leaflet tentang Muda-Mudi Mekko bisa klik disini.

Sebenarnya di Mekko tidak hanya bicara tentang gosong pasir yang putih menawan ataupun terumbu karangnya, atau tempat-tempat yang akan menghasilkan foto-foto yang 'instagramable'. Tidak seluruh yang indah dan menarik difoto kawasan Mekko bisa didatangi begitu saja oleh wisatawan. Ada beberapa tempat yang membutuhkan perlakuan khusus seperti kawasan anakan hiu, misalnya.  Ini beberapa destinasi yang ada di Mekko:


Pulau Pasir Putih 
Gosong pasir di Mekko yang ada hanya air, pasir putih dan langit
Ini adalah destinasi pertama yang paling dikenal masyarakat luar tentang Mekko. Ada yang menyebutnya gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah untuk pulau pasir yang muncul saat laut surut. Namun memang gosong pasir di Mekko ini tidak benar-benar hilang walau saat puncak pasang, hanya saat pasang tinggi sekali saja seluruh pulau akan hilang. Jika pasang biasa, umumnya tidak seluruh gosong pasir ini hilang. Jadi gosong apa pulau? Ah, entahlah. 


Karena berupa gosong pasir, tentu saja seluruh kawasan ini berupa pasir putih saja di tengah laut dikelilingi warna air tosca dan kawasan terumbu karang di sekitarnya. Jika berkesempatan, para wisatawan bisa melihat kawanan burung yang memenuhi gosong pasir ini. 

Keindahan kawasan ini jempolan, terbukti daerah ini sering didatangi kapal wisata dan wisatawan asing. Wisatawan lokal lebih jarang karena faktor transportasi menuju ke tempat ini. Tentu keberadaan pemandu wisata lokal dari Mekko bisa membantu wisatawan menjadi lebih mudah menjangkau tempat ini. 

Di sebelah pulau pasir ini terdapat pulau Keroko yang katanya jika puncak surut dapat dilewati dari pulau Pasir Putih ke pulau Keroko. Sebenarnya di sekitar pantai ini pernah menjadi kawasan terumbu karang yang indah, namun sepertinya harus menunggu lebih lama sebelum kalian bisa menikmati terumbu karang di sekitar gosong pasir.

Kolam Renang Raksasa 
Kalau sudah masuk ke dalam jadinya lupa diri
Jangan bayangin ada yang bangun kolam renang di Mekko ya.. istilah kolam renang raksasa ini karena di tengah laut di depan pulau Keroko terdapat sebuah perairan luas yang dangkal dengan pasir putih rata. Jadi jika berada di sana serasa masuk di kolam renang yang besar. Kolam renang raksasa ini paling enak dinikmati bersama keluarga karena umumnya berombak tenang dan tentu saja tidak dalam. Bahkan pada saat puncak pasang sebagian besar perairan ini kedalamannya tidak lebih dari dua meter. 

Betah berendam di sini karena tidak kuatir tenggelam atau kaki terinjak karang. Hampir seluruh kawasan itu hanya berupa pasir putih saja, jadi tidak perlu kuatir kaki terluka karena menginjak karang yang tajam atau terkena bulu babi. Cerita tentang binatang ini, dulu aku pernah merasakan tertusuk durinya. Duh rasanya pegel gak ilang-ilang, jauh lebih pegel daripada nungguin bini belanja muter-muter di toko hahahha.

Hanya saja kadang-kadang dari batas kolam suka ada hiu yang lewat. Tapi tak usah kuatir, umumnya hiu di kawasan itu bukan tipe agresif yang menyerang manusia. Kadang kala beberapa hiu yang masih kecil yang lewat, tapi kemarin sempat lihat juga hiu yang sudah cukup besar lewat di pinggir kawasan ini.


Terumbu Karang Mekko 
Dengan kondisi perairan seperti Mekko ini, tentu saja keberadaan terumbu karang yang indah bukan hal yang mustahil. Dan di Mekko ini ada beberapa spot yang menawarkan keindahan terumbu karang. Ada spot terumbu karang yang cocok dengan snorkeling terutama yang kedalamannya di bawah tiga meter, dan ada spot terumbu karang yang lebih cocok untuk diving yang kedalamannya lebih dari tiga meter. 

Dulu kalau berniat ke Mekko untuk menikmati pemandangan terumbu karangnya, mau gak mau harus membawa peralatan sendiri. Inilah salah satu yang ditawarkan dari pemandu wisata dari Bangkit Muda-Mudi Mekko, mereka juga menyiapkan peralatan snorkeling lengkap sehingga wisatawan tidak perlu membawa peralatan sendiri. Oh iya ada pelampung juga terutama buat yang tidak bisa berenang, jadi walau tidak mahir berenang tetap bisa menikmati keindahan terumbu karang. Rugi lho kalau ke Mekko gak bisa menikmati keindahan terumbu karangnya. 

Kalau untuk yang berencana diving, memang tetap harus menyiapkan peralatan sendiri karena dari kelompok saat ini belum memiliki peralatan untuk diving. Mungkin saja mereka suatu saat nanti siapa tahu mereka dapat berkembang lebih jauh untuk menyediakan peralatan diving. 

Kawasan Anakan Hiu 
Ada kawasan yang menjadi habitat tempat tumbuhnya anakan hiu. Sebenarnya kawasan ini bukannya tempat wisata, jadi memang yang berniat untuk ke tempat ini harus dengan pemandu yang memahami karakter kawasan ini. Jika wisatawan dibiarkan ke tempat ini tanpa arahan, maka justru wisata akan berubah menjadi ancaman bagi keberlangsungan ekosistem di kawasan ini. 

Jadi untuk lokasi ini, wajib hukumnya menggunakan jasa pemandu, agar wisatawan tidak melakukan sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan wisata itu sendiri. Tentu saja, pemandu yang diperbolehkan seharusnya juga yang telah memahami benar bagaimana memperlakukan kawasan ini. Untungnya para pemandu wisata di Mekko telah dibekali kemampuan memandu di kawasan itu. 

Namun begitu, tetap diperlukan campur tangan pemerintah untuk bisa menetapkan area habitat anakan hiu ini sebagai kawasan konservasi sehingga wisata di tempat ini dibatasi sehingga mengganggu perkembangan habitat anakan hiu tersebut. 

Aku jadi teringat bagaimana susahnya perjalananku pertama ke tempat ini. Waktu itu aku hanya sampai di Waiwuring saja karena akses ke desa Pledo yang tidak dapat dilewati pada musim hujan. Dengan perahu laut dari Waiwuring kami menempuh perjalanan ke pulau Mekko selama satu jam-an. Aku hanya mengunjungi tempat-tempat wisatanya dan tidak berkunjung ke kampung Mekko. 

Dan kini, aku di atas mobil pickup yang mengantarkan kembali ke Larantuka. Kembali melewati jalanan yang langsung tertutup debu begitu roda mobil menggilasnya. Namun sekarang jauh lebih lebih baik, ruas jalan telah diperlebar. Akses jalan ke tempat ini sebentar lagi semoga akan bagus. Ada informasi katanya setelah pelebaran akan dilanjutkan dengan pengaspalan. Semoga...

Duh, aku akan merindukan tempat ini. Mungkin saat kembali ke sini aku tidak akan menemukan nikmatnya tidak mandi selama tiga hari. Juga nikmatnya hidup tanpa melihat smartphone yang sinyalnya susah dicari karena terlalu sering berlari. Juga menikmati perjalanan melibas debu tanah dengan mobil pickup di bawah terik matahari. Tak apalah, saat semua akses itu ada, kesempat mereka untuk menikmati air untuk mandi, sinyal untuk menelepon... dan aku kembali mencari tempat susah sinyal untuk didatangi. 

Om Ayom yang kalau sudah petik gitar suka lupa diri
Mekko telah jauh meninggalkan kami, tersamar pandang oleh debu tanah yang tergilas roda. Namun keindahannya dan keramahannya tak pernah hilang. Bait-bait syair yang didendangkan om Ayub di pinggir pantai tentang Mekko kembali terdengar: 

Ayo ke Mekko.. 

Mekko di Pledo 
Pulau Pasir di Mekko .. 
Habitat Hiu di Mekko 
Terumbu karang terjaga 
Hamparan bakau terjaga 
Begitu indah alamnya, menenangkan jiwa 

Ayo ke Mekko 

Pulau kalong di Mekko 
Jingga senja menawan 
Menikmati alamnya bersama-sama penghuninya 

Alam Mekko yang indah 
Kami selalu menjaga 
Demi generasi kita 

Ayo bersama jaga Ayo ke Mekko..  Mekko di Flotim 

nb. Terima kasih untuk temen-temen yang bersama-sama berbagi cerita yang tidak pernah terlupakan tentang rasanya tidak mandi, tidak pake hape dan makan nasi pake kopi: kang Tardi Sarwan dan blognya Bentang Alam Semesta, Nisa Syahidah, pungga telusuri.id yang always selalu berkaos merah om Syukron, dua videografer yang bersedia foto 'nude' Yanuar dan Chafiz 
Sebagian foto yang bukan milik sendiri telah mendapatkan persetujuan WWF Indonesia untuk digunakan di tulisan ini.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 16 Oktober 2018

Wajah Kampung Mekko


Wajah polosnya yang kusam karena sering terpapar matahari tidak mengurangi kecantikannya. Matanya yang besar dengan bulu mata lentik tampak bersinar senang menutupi senyum malu-malu saat lensaku mengarah ke wajahnya. Namun begitu melihat wajah mereka sendiri di layar kamera seketika suara mereka menjadi riuh. Kepolosan mereka begitu alami, mereka begitu menikmati hidup disini, ditengah segala keterbatasan yang ada. Dunia mereka memang bukan dunia pura-pura, kebahagiaan dan kesedihan mereka akan terpancar apa adanya. 

 Aku menatap ke ujung dermaga, menunggu sang matahari terbit dan memamerkan cahaya kekuningan ke seluruh penjuru. Beberapa orang duduk di pantai sambil bernyanyi, anak-anak muda desa Pledo bermalam di sini. Beberapa sampan masih berjajar di sepanjang dermaga. Masih banyak sampan yang berlabuh di sepanjang pantai di sisi lain dermaga. Kata pak Said, beberapa hari ini angin sedang tidak bersahabat sehingga hasil tangkapan minim. Mereka hanya bisa mencari ikan di perairan yang agak ke dalam karena di perairan luar ombaknya terlalu kencang. 

Oh ya, tentang orang-orang yang berkumpul di dermaga itu. Aku bahkan mendengar suara mereka bernyanyi dari tengah malam sampai menjelang pagi. Kemarin memang ada hajat besar di dusun Mekko yang membuat keramaian hingga tengah malam. Kalian tahu kan, di tempat terpencil yang minim hiburan seperti ini. Acara apapun adalah kesempatan yang tak disia-siakan. Hajatan dari desa Pledo pun bahkan didatangi oleh masyarakat dari dusun-dusun lain di desa Pledo. 

Selepas dermaga dusun Mekko terbentang segenap keindahan alam yang akan membuat siapa pun terpukau: gosong pasir putih, kolam renang raksasa, pulau yang dipenuhi ratusan kelelawar, dan tentu saja air sebening tosca. Jangan tanya dengan terumbu karangnya yang masih keindahannya masih terjaga. Lihat saja kawanan anakan hiu yang ada di tempat ini, itu pertanda bahwa kawasan pulau Mekko ini masih memiliki sumber makanan bagi para predator. Dan semua itu masih asli. 

Tapi coba tengoklah ke belakang, di tanah berpasir kering dimana puluhan rumah berdiri disebuah kampung yang mereka panggil MEKKO. Rumah-rumah petak yang sebagian dari kayu dan pelepah pohon aren, sebagian besar berukuran kecil. Kebanyakan rumah dibangun begitu saja di mana ada tanah kosong, jadi tampak agak berantakan. Di dusun Mekko ini kalau tidak salah ada sekitar 70-an KK. 

Umumnya mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Orang-orang Mekko adalah nelayan tangguh karena mereka adalah orang Bajo (:Bajau). Mereka bukan hanya ulung dalam mencari ikan dengan pancing dan jala, mereka juga ulung mencari ikan dengan menyelam. 

Kemampuan menyelam ini pernah dituturkan pak Said, bahwa beberapa nelayan yang sudah mahir menyelam untuk mencari ikan biasa sekali menyelam ke bawah bisa sampai 10-20 menit. Ini bukan sebuah kisah dongeng belaka. Aku pernah menyaksikan sendiri mereka menyelam ke bawah dan bermenit-menit tidak keluar dari air. Penelitian tentang kemampuan orang Bajo menyelam lama dan melihat jelas dalam air tanpa bantuan alat-alat modern ini pernah diteliti oleh peneliti Lembaga Biologi Molekuker Eijkman Pradiptajati Kusuma bersama timnya yang jurnalnya terbit di European Journal of Human Genetics. Menurut penelitian itu, kebiasaan mereka menyelam dan melihat ke dalam air sudah diwariskan secara genetik. Keahlian itu bisa dilacak dengan melihat jejak adaptasi pada gen, khususnya gen yang berhubungan dengan fungsi mata dan paru-paru. 

Bukankah dengan kemampuan itu mereka amat mudah mencari penghidupan dari laut? Ya, dulunya mereka dengan mudah mencari ikan dan binatang-binatang laut yang dapat dijual atau dikonsumsi. Ada masa-masa keemasan, yaitu saat terjadi booming makanan dengan menggunakan bahan sirip hiu. Pada saat itu permintaan hiu untuk diambil siripnya meningkat. orang dari Surabaya bahkan rela berkeliling jauh ke dalam pelosok NTT untuk mencari bahan makanan yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Mitos khasiat sirip hiu seperti menjaga tubuh sehat dan awet muda, meningkatkan kejantanan pria, dan sialnya mitos seperti itu seperti sekam di atas api yang makin ditiup makin membakar. 


 Hiu-hiu yang tertangkap biasanya dijual ke pedagang khusus diambil sirip hiunya. Sisa dagingnya mereka jual di pasar atau dibarter dengan sayur-mayur atau kebutuhan pokok lain dari masyarakat kampung atas, istilah untuk masyarakat yang tidak berprofesi sebagai nelayan tapi sebagai petani atau peladang. Cerita pak Said, bahkan tengkulak tak akan keberatan datang langsung ke Mekko jika ada hari itu ada banyak tangkapan hiu. Hilir mudik transaksi hiu ini pelahan menguras jumlah hiu yang hidup di perairan Mekko. 

Untunglah penangkapan hiu pelahan berkurang sampai kemudian berhenti sama sekali. Sosialisasi sampai kemudian ancaman dari pemerintah membuat satu demi satu nelayan melepaskan mata pencahariannya sebagai penangkap hiu. Kadang mereka saat tangkapan ikan kurang bagus masih terpancing untuk kembali menangkap hiu. Namun karena kegiatan memperdagangkan hiu dianggap kegiatan ilegal, perdagangan sirip hiu juga makin meredup hingga nyaris tidak ada lagi pedagang yang datang untuk mencari sirip hiu. 

 Pagi itu aku melihat ibu Jumra, anak perempuan Pak Daeng sedang memperbaiki sebuah jala. Katanya, jala itu robek saat beberapa hari jala mereka tanpa sengaja menangkap hiu. Gigi Hiu yang tajam dengan mudah merobek jala yang mereka pasang karena ukuran talinya kecil. Apakah hiu tak bisa ditangkap dengan jaring itu? Tanyaku polos. Ibu Jumra tertawa, katanya cuma hiu kecil yang mungkin bisa ditangkap dengan jala seperti ini. Mereka menunjukkan di dinding belakang rumah jala yang khusus untuk menangkap hiu. Oh rupanya jala untuk menangkap hiu talinya berukuran lebih besar dan mata jalanya juga besar-besar. 

Jala-jala dengan mata besar digantikan dengan jala bermata kecil, namun hiu-hiu yang dulu tertangkap tidak digantikan begitu saja dengan ikan-ikan lainnya. Menangkap ikan biasa tidak langsung menggantikan nilainya dibanding menangkap hiu. Satu-dua hiu yang tertangkap oleh nelayan sudah menghasilkan untung bagi mereka. Apalagi pada saat tertentu mereka bisa menangkap hiu sampai sepuluh sebelas ekor dalam sehari. Dan sekarang mereka mengeluhkan sulitnya menangkap ikan biasa. Mereka tidak tahu, bahwa hiu-hiu yang mereka tangkap tanpa sadari telah salah satu yang membuat jumlah ikan di kawasan itu berkurang jumlahnya. 

Hiu-hiu yang ada di sebuah kawasan perairan adalah puncak rantai makanan. Mereka bukan dipandang sebagai penyantap habis ikan, mereka menjadi satu kesatuan dari ekosistem di kawasan perairan itu. Penangkapan berlebihan hiu yang ada pada gilirannya akan merusak keseimbangan ekosistem itu, dan berujung pada berkurangnya jumlah ikan di perairan itu.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 30 September 2018

Nenda di Bukit Marmer Tunua

Pemandangan pagi dari Bukit Marmer Tunua

Segelas kopi panas dari air yang baru selesai dimasak menemani kami di atas Bukit Tunua. Duduk di ujung salah satu bukit dan menunggu matahari yang berbentuk sempurna bulat terbit dari ufuk timur. Oh, iya.. hawa pagi ini tentu saja masih dingin seperti biasa. Lagian mana ada tempat yang tidak dingin dengan ketinggian di atas 1.400 mdpl. Ditambah lagi yang kami injak adalah lantai marmer. Lantai marmer? Kalian tidak salah mendengar. Bukit Tunua sudah habis dipangkas bagian atasnya menciptakan sebuah bidang landai dari batu marmer. Menginjak lantai marmer siang hari saja tetep terasa dingin apalagi pagi seperti saat ini.




Andai saja kalian mengalami sendiri hujan yang mengguyur semalaman, kalian 
akan tahu betapa sempurnanya pagi ini untuk mentertawakan apa yang terjadi tadi malam. Kebahagiaan kadang sederhana, hadapi kesusahan dan setelah itu ijinkan kami merayakannya setelah berhasil melewatinya.

Perubahan Rencana Bermalam
Pasca batalnya rencana kemping di dalam hutan Mutis yang aku tulis sebelumnya disini, kami harus memikirkan kembali kemana kami harus bermalam hari ini. Terlalu sayang melewatkan tambahan libur paskah ini untuk langsung pulang.


Aku sendiri mengusulkan memasang tenda di bukit marmer Fatunausus. Pemandangan paginya menurutku keren di sana tapi tidak aku sendiri tidak yakin dijinkan atau tidak kalau memasang tenda di sana karena setauku bukit di Fatunausus masih ada yang mengelola. Lupakan rumah pak Anis untuk bermalam, kami sudah merencanakan naik kembali ke atas Mutis lain waktu supaya cita-cita memasang tenda di dalam kawasan hutan Mutis bisa terlaksana.

Akhirnya kami sepakat mau mencoba menginap di bukit marmer Tunua yang tampak bagai dataran berwarna putih dari atas bukit Usapikolen. Kebetulan pula Tardi punya teman sekantor yang rumahnya berasal dari daerah Tunua. Klop dah, jadi malam ini kita fix nenda di bukit marmer Tunua.


Habis makan siang di rumah pak Anis, sekitar jam 2 kami mulai turun dari Fatumnasi. Oh, iya kami tambah perbekalan dengan minta nasi putih ke pak Anis. Sebagaimana gantinya kami tukar dengan beras yang tidak jadi kami masak. Sebelumnya ada insiden kompor gasku patah sehingga tidak bisa digunakan. Cuma tersisa kompor Tardi dan Imam yang keduanya menggunakan bahan bakar spiritus. Masalahnya entah kenapa spiritus Imam bocor jadi menguap habis. Jadilah kami berbagi spiritus, jadi masak nasi bukan pilihan bijak.

Di kampung Tunua kebetulan baru ada petunjukan paskah di depan halaman salah satu rumah penduduk. Mereka sebenarnya tidak keberatan dengan rencana kami memasang tenda di atas bukit hanya mereka sebenarnya sudah mempersilahkan jika kami mau tidur di kampung mereka. Karena mereka khawatir hujan akan turun deras seperti beberapa hari ini. Tapi tentu saja kami lebih memilih memasang tenda. Godaan tidur di atas bukit marmer Tunua lebih menggoda.

Hujan Kembali
Memasang tenda di lantai marmer bingung cara mengikat tenda
Baru saja motor kami berhenti, langit yang sedari tadi mendung gelap berubah menjadi hujan. Kami bergegas naik ke atas mencari tempat yang bisa untuk berteduh. Kondisi bukit yang sudah nyaris rata nyaris susah mencari tempat berteduh. Wal hasil kami cuma bisa berteduh di salah satu ceruk dari batuan marmer. Lumayan bisa mengurangi basah jaket yang aku gunakan walau dinginnya tambah parah.



Setelah agak reda kami mencari tempat yang pas untuk memasang tenda. Lagi-lagi kami mengalami kesulitan. Tak ada tanah disini karena semuanya hanyalah batu marmer. Pasak yang coba kami tancapkan ke sela-sela retakan batu tak bertahan, lepas tiap kali dipasang. Akhirnya kita memilih menggunakan tali tenda saling terhubung, mengikatnya satu sisi ke pohon kecil di samping dan mengikat ke batu sebagai pemberat ke sisi lainnya.



Tapi di pertengahan, hujam kembali turun.. bah, kami kembali harus memasang tenda dalam kondisi basah. Dua hari kami nenda, dan setiap kali membuat tenda kami selalu kehujanan. Bahkan kali ini hujan terjadi semalaman. Dan lagi, aku malam ini harus tidur tanpa baju dan celana karena semuanya basah. Terus terang hujan malam itu lebih menguatirkan kami. Berbeda jika kita memasang tenda di tanah air segera meresap di tanah. Di lantai marmer seperti ini, kami merasakan air mengalir deras di terpal bawah walau tak sampai membuat kami basah. Semalaman kami mendengar guruh seperti suara aliran air deras di bawah, sungai kecil pasti sedang dipenuhi air malam ini.


Pemandangan pagi di perkampungan Tunua

Tengah malam kami sebenarnya mendengar bunyi siulan beberapa kali dari arah hutan di bawah kami. Karena sudah mendengar cerita tentang teku, kami memutuskan mematikan seluruh lampu. Aku baru tahun keesokan harinya tentang suara siulan ini. Rupanya semalam beberapa pemuda kampung mencurigai keberadaan kami adalah gerombolan teku. Untungnya kami wakmtu masuk ke kampung tepat saat ada keramaian perayaan paskah, jadi selain bertemu tetua kampung juga sempat meminta ijin terlebih dahulu. Rupanya isu teku juga sudah memasuki kampung Tunua.


Pagi itu akhirnya kami membuktikan tidak sia-sia kami nenda di puncak bukit marmer Tunua. Selepas tengah malam hujan akhirnya berhenti sehingga pagi ini langit sudah kembali cerah. Seperti biasa aku tidak akan melewatkan suasana pagi seperti ini, walaupun harus bergelung dengan sleeping bag sebagai selimut pembungkus badan untuk mengurangi rasa dingin.

Acara pagi itu bertambah ramai saat anak-anak muda kampung Tunua ikut naik ke bukit dan berkumpul bersama kami. Dari merekalah akhirnya kami tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Dari mereka kami juga kami tahu bahwa apa yang dilakukan Al malam sebelumnya sebenarnya sebuah kecerobohan yang bisa membahayakan keselamatan kami. Malam sebelumnya sewaktu kami nenda di bukit Usapikolen, Al bermain cahaya senter dan anehnya waktu itu juga ada cahaya balasan dari seberang. Ternyata para Teku berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan cahaya senter. Ah, untung tidak tidak terjadi apa-apa pada kami.



Dan seperti biasa karena suasana yang masih dingin kami agak malas segera membereskan peralatan. Setelah matahari mulai meninggi selepas jam sembilan barulah kamu berkemas. Sebelum pergi kami sempatkan mampir ke rumah kepala dusun yang kebetulan anaknya bekerja satu kantor dengan Tardi.

Thanks buat perjalanannya guyz: Tardi Sarwan; Imam 'Boncel', Al Buchori

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 23 Juli 2018

Bermalam di Pantai Kura Kura

Pantai Kura Kura Kupang
Taburan bintang di langit Pantai Kura Kura
Bangun.. bangun... bangun... dalam kondisi baru saja tertidur aku dibangunkan Imam dan Trysu. "Air naik tinggi mas" kata Imam tampak mengangkat beberapa barang. Aku mengucek-ucek mata untuk melawan kantuk. Begitu mataku mulai terang, aku melihat tempias ombak sudah mencapai dua meter menuju tenda. Aku buru-buru ikut bangun.
Tengah malam, kami semua harus bergegas membereskan sleeping bag dan memindahkan barang-barang di bawah ke dekat tenda. Api unggun yang letaknya beberapa meter ke arah pantai sudah padam diterjang gelombang. Air pasang telah mengurung tenda kami, untungnya tenda dipasang di gundukan pasir yang paling tinggi sehingga belum terjamah air laut.


Menikmati milkyway
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas, tengah malam. Kami semua hanya dapat duduk di sekeliling tenda dengan harap-harap cemas. Air sudah naik tak lebih dari satu meter dari tenda. Tak ada yang dapat tidur, kami hanya menunggu bahwa itu batas tertinggi air. Jika air naik lebih tinggi lagi alamat tenda kami akan terendam air. Mata kami tertuju ke salah satu celah bukit batu di sebelah tenda, satu-satunya jalan jika air laut terus naik. Celah itu kecil tapi cukup untuk kami melarikan diri. Kekuatiran kami kedua jika tiba-tiba muncul gelombang tinggi. Memang sekarang bukan musimnya gelombang saat ini, tapi kalian tahu kan jika pantai selatan tidak pernah bisa diprediksi gelombangnya. Untungnya letak pantai ini dikeliling bebatuan karang sehingga gelombang dari laut pasti sudah terpecah sebelum menuju pantai. 

Jam setegah satu air mulai turun kembali, pertanda pasang tertinggi sudah lewat. Duh leganya perasaanku. Walaupun begitu kami tidak berani berpindah sampai air bener-bener turun agak jauh. Jam satu barulah kami mulai tenang, satu demi satu kami kembali ke dalam sleeping bag dan melanjutkan tidur. 

Badanku seperti terayun-ayun pelan, tapi aku malas sekali membuka mata. Ayunan itu sepertinya bertambah kuat. Aku memaksakan membuka mata dan.. ternyata sleeping bag-ku telah terendam air laut sebagian. Aku merasakan dingin menerjang bagian bawah. Aku panik sementara suasana yang gelap membuatku kesulitan melihat ke arah tenda. Apakah semua senter dimatikan?
Sambil mencoba keluar dari sleeping bag aku berteriak memanggil Imam.. tidak ada jawaban. 
Trysu!.. trysu!.. teriakku.. tidak ada jawaban... Al!.. Al!.. tidak ada jawaban juga. Ah sial kemana mereka semua? Tanyaku dalam kepanikan karena sleeping seperti terkunci sementara aku semakin terseret ke tengah. 

Tiba-tiba mataku menatap ke atas bukit batu tampak mereka bertiga. Mereka mencoba berteriak kepadaku. Ah bagaimana mereka bisa naik ke atas dan meninggalkanku. Suara Imam terdengar lantang "Mas, cepat naik ke atas! Ombak besar!"
Aku semakin panik dan mendorong lebih kuat sehingga akhir sleeping bag terobek. Aku buru-buru keluar dan pada saat itu dari pantai sebuah bayangan hitam datang cepat dan saat aku tersadar tiba-tiba telah mendorongku ke bawah. Aku terpelanting masuk ke dalam pasir. 

Gelap... gelap... aku coba menggapai ke atas... Tak ada suara tapi kepalaku rasanya tertekan dan semakin panas.. Aku semakin panik, tanganku semakin meronta kuat..
Dan..


Pemandangan matahari terbenam di Pantai Kura Kura
Aku terbangun.. sial, rupanya aku hanya bermimpi. Langit memang masih gelap tapi lumayan terbantu dengan penerangan bulan yang masih tampak di antara pepohonan. Air laut sendiri sudah jauh surut dibanding semalam. Wajah-wajah Imam dan Trysu yang begadang menunggu ombak tampak pulas tak terganggu. Al yang tidur sendiri di dalam tenda. Aku melihat jam, sudah jam lima rupanya. Sebenarnya aku masih enggan beranjak dari sleeping bag, tapi sepertinya sayang jika tidak mencoba menjelajah sekitar tempat ini pagi ini. Aku mulai membereskan peralatan sleeping bag dan menyiapkan kameraku.

Pantai yang Tidak Bernama 
Aku memberi nama pantai ini Pantai Kura-kura karena memang di google maps pantai ini tidak memiliki nama. Dan karenanya pula dengan terpaksa untuk tulisan kali ini aku tidak dapat akan memberikan posisinya dengan gambar peta seperti biasanya. Maaf sekali ya.

Pertama kali aku ke pantai ini sebelumnya hanya berdua dengan Imam, dan hal yang pertama aku temui sepertinya adalah jejak penyu saja. Dan satu lagi yang miris adalah adanya sebuah tempurung penyu yang sudah tinggal rangka diletakkan tergeletak di atas batu. Sepertinya pernah ada yang mendatangi tempat ini untuk berburu penyu. Sayang sekali, padahal penyu sekali bertelur di suatu tempat cenderung akan kembali ke tempat yang sama sejauh apapun mereka berkelana. 

Pasir putih di Pantai Kura Kura
Pantai berpasir putih ini dikelilingi karang-karang tinggi dan terjal dan di bagian depan juga ada beberapa bukit karang sehingga nyaris seluruh pantai terlindungi oleh karang. Jalan masuk ke tempat ini juga tidak mudah karena untuk turun ke pantainya harus melewati tempat yang tidak ada jejak jalannya. Beberapa jejak jalan yang pernah dibuat sepertinya mulai menghilang, mungkin karena sudah lama tidak pernah didatangi orang.

Aku beruntung bisa melihat pantai ini, makanya perjalan ke dua aku bersama empat teman lainnya Imam, Trysu, Daud, dan Al kembali ke tempat ini untuk berkemah. Walaupun malamnya kami harus menjalani kondisi horor seperti yang aku ceritakan di awal tulisan. 

Setidaknya peristiwa malam itu membuat kami belajar. Artinya jika bermalam di pantai ini sebaiknya pahami pasang surutnya. Yang pasti, jika sedang purnama atau bulan mari sebaginya tidak memasang tenda di sini. Karena pada saat puncak pasang sepertinya tidak ada pantai yang tersisa kecuali sebagian kecil pasir di sudut bukit karang kami memasang tenda. Itu pun kemungkinan saat purnama darah sangat mungkin seluruh pantai ini akan tergenang air dan ombak yang besar akan mencapai ke arah bukit karang.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 05 Juli 2018

Selamat Pagi dari Pantai Oa

Pagi melintas di Pantai Oa
Seorang nelayan melintas di pagi hari
Pelahan kabut di pantai mulai naik menutupi pemandangan perbukitan di kaki gunung Lewotobi. Bukan, kabut itu bukan dari atas tapi dari air laut dingin yang menguap terkena sinar matahari. Tidak terlalu tebal karena matahari masih sangat leluasa menerobos. Pemandangan pagi hari yang aku liat saat itu sungguh membuatku terdiam. Sering kutemui laut biru tosca dengan pasir putih tapi suasana seperti ini tidak setiap hari aku akan melihatnya.

Pemandangan Pantai Oa berlatar kabut dan gunung Lewotobi
Beruntung aku dapat menginjakkan kaki di putihnya pasir pantai ini. Pantai Oa seperti punya daya magis tersendiri, bagi kalian yang bersedia membuang kantuk dan menghampirinya. Walau memang ini bulan bukan waktu terbaik untuk melihat matahari terbit. Bulan Juni matahari terbit posisi sedang diantara celah pulau Solor dan Adonara sehingga aku tidak mendapatkan momen matahari terbit dari ufuk timur. Menurut pak Yan, sekitar bulan September ke atas barulah matahari bisa nampak jelas karena terbit dari horison laut.

Selamat Pagi dari Pantai yang Sunyi 
Pagi yang dingin di Pantai Oa
Pagi ini pantai Oa memang masih sepi, sebagian besar perahu masih tersimpan di masing-masing gubuk. Sedari aku bangun pagi tadi, hanya ada dua nelayan yang datang untuk melaut. Aku dan Tardi ikut juga membantu mengangkat perahu untuk memindahkannya ke pantai.

Apakah mereka malas melaut? Bukan, tapi hari ini adalah Minggu yang artinya masyarakat desa tentu masih harus pergi ke gereja sebelum menjalani aktivitas nelayannya. Menurut cerita pak Yan, dulunya jam gereja itu jam delapan sehingga masyarakat biasanya pagi-pagi bisa melaut dulu sebelum ke gereja. Namun rupanya ini menyebabkan jemaat gereka berkurang. Makanya dari kesepakatan desa Pantaioa, akhirnya jadwal ibadah ke gereja digeser ke jam enam supaya tidak ada warga yang tidak sempat pergi ke gereja. Pastilah saat ini mereka sedang ibadah di gereja.
 

Bahkan sampai matahari naik melewati celah antara pulau Adonara dan pulau Solor tetap tidak ada aktivitas nelayan. Selepas matahari meninggi pun hanya ada satu nelayan yang turun melaut dengan menggunakan jala di pinggir pantai.

Perjalanan Tak Direncanakan
Bekerja tak harus di kantor kan
Perjalanan ke pantai Oa sesungguhnya tak direncanakan, atau rencana dadakan. Sehari sebelumnya sekitar jam satu siang saat itu kami masih berdiri di atas perahu yang akan menghantarkan kami ke Larantuka. Lupakan gunung Batu Tara yang sudah kami rencanakan, ombak laut saat ini sedang tidak bersahabat. Teman kami, pak Said, seorang nelayan yang biasa mengantar tamu dengan perahunya sanksi kami bisa menjangkau Batu Tara saat ini. "Gelombang baru besar sekarang pak, taruhan nyawa kalau kesana," katanya.

Di kepalaku beredar beberapa tempat yang mungkin belum kukunjungi. Tak ada ide, beberapa tahun ini aku jarang menginjakkan tanah di pulau Flores membuatku sedikit pikun tentang lokasi-lokasi baru yang belum aku kunjungi. Tardi lah yang memberikan ide untuk menginap di pantai Oa. Pak Ayom yang pernah bertugas disana untuk pendataan. Katanya tempatnya bagus dan masih tenang, dan terutama masih belum banyak dieksplore. Apa yang paling menarik disana? Pasir putih, matahari terbit... bukan.. tapi disana masih belum ada sinyal.. asyik banget kan, karena seasyik-asyiknya tempat itu belum asyik banget kalau masih ada sinyal hihihi...

Gubuk untuk menyimpan perahu nelayan
Aku mulai jalan jam setengah empat, dengan jarak yang aku perkirakan sekitar dua jam-an mungkin sebelum gelap kami sudah sampai. Emang lagi sial, belum setengah jalan motor yang aku pinjam bannya kempes. Apesnya, posisi kami saat itu di tengah-tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Aku lupa nama tempatnya. Akhirnya nelpon om Umbu buat dapet motor pengganti. Hampir satu jam menunggu barulah om Umbu datang sendirian.

Suasana pagi yang tenang di Pantai Oa
Selepas Maghrib barulah kami merasakan hawa dingin yang menyusup ke dalam jaket. Rupanya kami baru sampai Boru. Boru yang berada di kaki gunung Lewotobi memang hawanya sejuk sehingga tampak menghijau sepanjang tahun. Kami mampir makan di satu-satunya warung Padang yang menunya seperti warung Jawa di Boru.

Saat jalan malam itulah aku baru menyadari kalau lampu depan tidak ada covernya sehingga tidak ada reflektor pengumpul cahaya. Karuan saja aku gak bisa melarikan motor kencang. Bayangkan saja motor jalan malam dengan lampu yang jangkauannya pendek dengan kondisi jalan nyaris tanpa penerangan. Tambahan lagi jalannya tidak memiliki marka jalan yang berupa garis putih di sepanjang jalan untuk penanda.

Memasang Tenda Malam Hari
Kami memasang tenda sekitar jam sepuluh malam ditemui pak Yan. Untunglah bulan masih cukup besar sehingga menerangi pantai ini sehingga tidak terlalu gelap. Barulah setengah jam kemudian setelah ngobrol beberapa saat pak Yan pamit meninggalkan kami dengan janji besok pagi dia atau anaknya Elthon akan menemui kami.

Memasang tenda untuk bermalam di Pantai Oa
Saat kami tiba bulan sudah muncul. Kurang beruntung, padahal di jalan kami sempat melihat milkyway yang sangat jelas terlihat karena langit yang tidak berawan. Mungkin aku harus kesini lagi dan berharap keberuntungan berikutnya membuatku bisa memotret milkyway di Pantai Oa.

View pantai Oa diterangi bulan
Agak malam datang seorang pria tua dengan wanita muda yang sepertinya anak perempuannya. Dugaannya kami tidak keliru, saat ngobrol bapak tua itu mengatakan kalau mengantar anaknya ke pantai untuk menelepon. Pantas saja, sementara kami mengobrol, wanita muda muda itu tampak berkutat memencet-mencet hape di dekat salah satu pohon. Kata pak tua, di desa nyaris tidak ada sinyal. Untuk bisa mendapatkan sinyal harus ke pantai ini. Itu pun hanya beberapa titik dekat pohon yang bisa mendapatkan sinyal dan selebihnya hanya spot kosong. Mungkin kalian sangsi hal ini. Tapi percayalah saat kamu berkerumun di salah satu pohon untuk mendapatkan sinyal, saat itu kalian percaya bahwa sinyal juga pilih-pilih tempat nongkrong.

Setelah itu pantai kembali sepi dan menyisakan kami berdua ditemani bulan yang juga belum naik terlalu tinggi dari batas horison. Karena kami sudah kenyang tentu saja tinggal acara terakhir: Tidur.

Bagaimana Menuju Kesana
Entah kenapa, Google Maps tidak dapat menunjukkan petunjuk arah dari Larantuka menuju PantaiOa. Jadi untuk dapat memperkirakan jalur jalannya aku mencoba mencari arah jalan Larantuka - Pantai Waiokang baru aku perkiraan jika belok di titik tertentu.


Jadi jika berangkat dari Larantuka arahkan ke Selatan jalur Larantuka-Maumere, ikuti jalan sampai ke pertigaan Kantor BRI daerah Boru. Dari sana belok masuk ke kiri menuju ke pasar Boru.

Bulan mengintip di sela pepohonan
Dari pasar ikuti jalan ke kanan terus sampai nanti bertemu dengan pertigaan Desa Lewa. Ambil jalan yang sebelah kanan, kondisinya agak jelek beberapa puluh meter lalu jalan akan kembali bagus. Nanti selepas sekolah dan menara telekomunikasi akan bertemu cabang jalan didaerah persawahan/kebun berupa jalan rabat di sebelah kiri. Masuk ke jalan rabat tersebut beberapa kilometer nanti akan sampai ke desa Pantioa.

Desa pantai Oa sendiri terletak di daerah tanjung selatan Flores. Ada dua pantai di sana: (1) Pantai Oa yang berada di teluk menghadap ke Timur, cocok untuk melihat matahari terbit, (2) Pantai Roka, yang menghadap di sisi lain desa Pantaioa, cocok untuk melihat matahari terbenam. Tapi aku sendiri batal mengunjungi pantai Rako.

Jika kalian membutuhkan orang di desa Pantaioa yang dapat dikontak silahkan hubungi pak Yan (hape: 0822-4780-7816) atau anaknya pak Elton (hape: 0822-3697-2273 | email: nikolaus_tapun@gmail.com | ig: @nikolaus_tapun). Tapi sebaliknya kirim pesan dulu karena desa Pantaioa belum ada sinyal karena sinyal disana sangat pemilih.. nunggu yang cocok baru dia kasih sinyal. Dan satu lagi, jangan marah kalau balasannya lama, maklum harus nunggu dapat sinyal dulu kaka.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya