Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 28 Juni 2018

Gagal Kemping di Hutan Mutis

Pohon Santigi di hutan bonsai gunung Mutis
Hutan bonsai alam di hutan Mutis
"Beberapa waktu ini kampung kami sedang ramai dengan keberadaan Teku. Ini kami sekarang tiap malam harus bergiliran ronda malam untuk menjaga kampung." Pak Anis menceritakan tentang kondisi keamanan di daerah Fatumnasi belakangan ini sambil menunjukkan sebuah ketapel dan beberapa paku yang telah dibuat sedemikian rupa dengan helaian rafia membentuk bulu sebagai peluru. Begidik kami waktu mendengar kalau peluru paku ini telah direndam dengan racun ular hijau. "Pake tai ayam pak?" tanyaku. Pak Anis mengiyakan walau sedikit keheranan aku bisa tahu cara pembuatan racun ular itu.

Ingatanku kembali pada pertemuanku dengan orang tua dari Pacitan yang ingin memberikanku sebuah senjata ekor pari yang telah direndam ramuan racun ular hijau. Dia memberitahukanku cara membuat racun ular hijau itu bisa bertahan lama di ekor pari, yaitu dengan menggunakan tahi ayam. Bayangkan, ekor pari saja bisa menyebabkan kesakitan luar biasa bila melukai badan orang apalagi jika ditambahkan racun ular hijau. Untungnya aku lebih memilih menolak pemberiannya. Aku tak ingin segala senjata yang justru membuatku tidak tenang jika melakukan perjalanan. Kadang alat yang kita sebut untuk menjaga diri justru memancing orang untuk mencoba kita.

Rencana Kemping di Telaga yang Batal
Aku menengok ke arah Tardi memberi isyarat tentang kelanjutan rencana kami yang akan memasang tenda di telaga dalam hutan Mutis. Tardi yang banyak tahu tentang Mutislah yang mengusulkan kepada kami untuk bermalam di tepi telaga hutan Mutis. Katanya pada saat pagi hari banyak binatang seperti kuda dan sapi yang minum air di telaga. Tentu itu akan menjadi kesempatan menarik untuk mendapatkan foto-foto satwa itu.

Sekarang masalahnya adanya isu keberadaan teku yang seperti dinyatakan pak Anis. Pak Anis dan beberapa warga di Fatumnasi tentu tidak berani menjamin keselamatan kami jika bermalam di luar kampung, apalagi sampai di dalam hutan. Menurutnya, teku-teku ini biasa bersembunyi di dalam hutan dan keluar pada waktu malam hari. Pak Anis menyarankan menginap di rumahnya saja, nanti pagi-pagi buta baru berjalan menuju puncak gunung Mutis. Itu jalan paling aman katanya.

Cukup dilematis juga. Mempertimbangkan beberapa pilihan, akhirnya kami memutuskan sekedar berjalan-jalan saja di sekitar hutan Mutis dulu dan tidak jadi menginap. Walau menginap, keberadaan kami sepertinya akan tetap merepotkan karena mereka sendiri harus menjaga kampung. Padahal waktu itu istri pak Anis sudah sempat membereskan kamar untuk dapat kami gunakan menginap.

Perjalanan yang Tertunda
Jalan menuju Gunung Mutis
Jalan menuju ke arah Fatumnasi
Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, kami berkemah malam sebelumnya di perbukitan Upasikolen. Masalahnya banyak barang kami yang kebasahan. Wal hasil, begitu pagi itu matahari pagi keluar menyinari perbukitan tempat kami memasang tenda hal yang kami lakukan pertama adalah menjemur beberapa barang yang basah semalam. Untungnya memang cuaca pagi ini cerah, sangat cerah bahkan awan tebal yang menghiasi langit kemarin nyaris tidak bersisa.

Bahkan saat aku sudah selesai memotret matahari terbit dan turun ke arah kemah, aku melihat mereka masih asyik terbenam dalam hangat selimut. Tardi yang sudah bangun lebih pagi cuma karena tidak melihat seorangpun yang keluar akhirnya hanya duduk-duduk sambil masak air panas. Dia sedikit protes saat tahu aku kembali dari memotret, katanya kalau tahu aku sudah naik ke atas bukit tentu dia bakalan nyusul.

Kami sendiri untungnya tidak terlalu terburu-buru ke Mutis, karena rencanaya kami mau bermalam di telaga dalam hutan Mutis untuk dapat menikmati suasana hutan saat fajar menyapa. Sayangnya seperti ceritaku di awal, kami tidak diijinkan berkemah di dalam kawasan hutan Mutis kali ini oleh pak Anis. Sekitar jam sepuluh kami baru berkemas jalan kembali ke arah Fatumnasi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami memasang tenda.

Kami sampai di rumah pak Anis sekitar jam setengah sebelas. Pak Anis ini kebetulan rumahnya dekat dari gerbang masuk kawasan gunung Mutis sekitar setengah kilometer saja, tidak jauh dari homestay pak Matheos Anin yang sudah dikenal dikalangan para traveller yang berwisata ke gunung Mutis.

Cagar Alam Mutis: Bukan Tempat Wisata
Menjelang siang, kami baru memasuki gunung Mutis menggunakan motor. Sebenarnya di depan gerbang masuk gunung Mutis ada rumah penjaga yang digunakan untuk meminta ijin jika ingin masuk ke kawasan gunung Mutis. Sekedar infor saja, kawasan gunung Mutis ini masuk dalam kategori cagar alam. Makanya di gerbang masuk tertera tulisan besar "Cagar Alam Mutis". Artinya tempat ini adalah kawasan yang dilindungi dimana segala bentuk eksploitasi tidak diperbolehkan termasuk untuk pengembangan wisata. Satu-satunya kegiatan yang diperbolehkan di kawasan cagar alam adalah penelitian.

Tardi yang telah lama kerja di WWF dan ikut membidani perkembangan Mutis sampai kemudian menjadi cagar alam ikut memberikan informasi penting kepadaku. Aku baru tahu ternyata lumayan banyak juga spesies yang ada di gunung Mutis seperti Rusa Timor (Cervus Timorensis), Kuskus, Biawak Timor (Varanus Timorensis), Ular Sanca Timor (Phyton Timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus Jonguilaceus), Pergam Timor (Ducula Cineracea). Kuskus? Kuskus warna putih? Iya, kamu gak salah dengar. Di hutan Mutis ini masih ada binatang bernama Kuskus. Sayangnya tidak mudah dilihat karena dia mahluk malam hari.

Memasuki hutan Mutis seperti memasuki taman yang tidak diatur oleh manusia tapi oleh alam itu sendiri. Rerumputan yang menghampar disepanjang jalan memasuki hutan Mutis tampak begitu rapi diantara jajaran pohon Ampupu. Keberadaan pohon Ampupu yang terjaga ini juga rupanya menjadikan keuntungan tersendiri yaitu adanya lebah madu. Nah selain kalian bisa berburu kain-kain tenun ikat khas Mollo disini kalian juga bisa mencari lebah madu untuk oleh-oleh.

Motor kami berhenti sampai di batas sungai yang agak curam karena Tardi menggunakan motor matic jadi agak sulit melewatinya. Untungnya diperjalanan kami bertemu dengan mobil dobel gardan yang masuk ke dalam. Ya udah, numpang naik lah. Lumayan bisa menghemat tenaga.


 
Sayangnya hujan turun kembali siang itu memaksa kami mencari tempat berteduh. Sebuah pohon Ampupu besar yang berlubang bagian tengahnya menjadi tempat kami berteduh menunggu hujan berhenti. Ada bekas terbakar di dalamnya. Pada bulan-bulan panas masyarakat atau petugas jagawana akan membakar lumut yang menempel di pohon Ampupu. Tujuan pembakaran ini untuk menghambat pertumbuhan lumut sehingga tidak akan memakan batang pohon. Lumut-lumut ini jika dibiarkan akan membuat batang bagian bawah pohon Ampupu melapuk, yang pada gilirannya akan menumbangkan pohon. Cuma kadang ada saja pohon Ampupu yang ikut terbakar dan justru tumbang karena terbakar batangnya.

Hutan Bonsai Alam di Gunung Mutis
Salah satu pohon Santigi di hutan bonsai alam hutan Mutis
Satu yang paling menarik dari gunung Mutis adalah keberadaan hutan bonsai alamnya. Ada hawa mistis yang menyelimuti kawasan hutan bonsai alam yang tanahnya dipenuhi oleh lumut-lumut. Jika kalian yang pernah ke tempat ini tentu mengerti, pohon-pohon yang membentuk lainya bonsai alam ini adalah pohon Santigi. Beberapa orang mungkin menyebut pohon ini dengan nama Stigi atau Drini, yang konon batangnya dipercaya bertuah. Kenapa menarik, karena jenis pohon Santigi yang tumbuh di hutan ini adalah jenis pohon Santigi yang biasa tumbuh di kawasan pesisir berkarang, berpasir atau disekitar kawasan Mangrove. Bayangkan bagaimana pohon-pohon Santigi ini bisa terjebak di antara tanaman Ampupu dan bertahan sampai dengan saat ini di ketinggian alam gunung Mutis yang memiliki tinggi di atas 2.000 mdpl.

Apakah jenis Santigi di hutan ini bukan jenis Santigi yang tumbuh di gunung? Memang ada jenis Santigi yang tumbuh di gunung namun biasanya berukuran lebih kecil dengan daun muda berwarna ungu kemerahan atau merah. Lagian Santigi gunung biasanya tidak dapat tumbuh terlalu besar. Itu informasi yang aku peroleh kalau tidak salah.

Rata-rata pohon Santigi di hutan bonsai ini sudah tua, disekeliling tanahnya sampai di pokok batangnya dipenuhi lumut hijau. Uniknya lagi, hanya di hutan bonsai ini pohon Santigi bisa hidup dan berbentuk seperti ini. Itu pun di sekitar tidak ada lagi bakalan pohon baru yang hidup disekitar pepohonan ini, padahal umumnya Santigi berbuah dan biji buahnya bisa menghasilkan tanaman baru. Jika pohon-pohon Santigi itu mati tidak akan tergantikan oleh pohon baru.

Kalian yang pernah mengunjungi hutan ini beruntung sekali. Karena bila pohon-pohon Santigi pada gilirannya mati sepertinya hutan ini hanya akan cerita saja.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Juni 2018

Wisata Meko Waktunya Berbenah


Beberapa waktu lalu temen WWF si Tardi yang kasih pesen "Yuk, ikut bantu nulis tentang Meko, kita mau launching perdana pusat informasi dan paket wisata Taman Laut Pulau Meko".. Well, it's really excited me. Ajakannya sungguh menggodaku. Bayangkan dulu kami untuk bisa menjangkau Meko harus melakukan perjalanan yang cukup sulit. Kami waktu itu hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong tentang Meko. Tidak ada informasi jelas bagaimana cara kami kesana. Bahkan setelah menyeberang ke Adonara pun masih harus tanya-tanya ke penumpang lain yang punya informasi tentang Meko.

Beningnya pantai di Kepulauan Meko
Susahnya menuju ke Meko pada waktu itu, kondisi jalan yang belum bagus dan informasi yang minim. Makanya waktu itu kami memilih hanya sampai ke kampung Waiwuring, baru menyewa perahu untuk sampai ke Kepulauan Meko. Ya untungnya kami masih punya jiwa kluyuran yang tidak masalah dengan kesulitan. Tapi tentu berbeda dengan traveler umum yang tidak selalu mau menempuh kesulitan seperti kami. 

Buat kalian yang ingin membaca ceritaku waktu ke tempat ini bisa menbaca tulisanku disini: Mengejar Pasir di Kepulauan Meko.

Tempat yang punya gosong pasir putih ini emang keren banget, dan pastinya waktu itu belum banyak tereksplore. Pada waktu itu kami ya lebih banyak menikmati pantai dan gosong pasirnya. Taman lautnya yang keren cuma bisa kita lirik dari atas perahu. Apa daya waktu itu kami tidak punya peralatan snorkling untuk bisa menjelajahi cantiknya taman laut di Meko.

Kondisi infrastruktur dan kesiapan masyarakat di sekitar Taman Laut Pulau Meko membuat kekayaan alam Meko tidak banyak memberi manfaat untuk masyarakat Meko sendiri, yaitu masyarakat desa Pledo. 

Ajakannya tentu tak perlu ditanyakan dua kali, kecuali tentu saja masalah cuti yang harus aku bereskan hehehe. Tak sabar aku menunggu tanggal 28 Juni ini untuk kembali ke Meko.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 20 Juni 2018

Camping Mutis: Usapikolen

Matahari terbit di bukit Usapikolen
Usapikolen pagi ini langitnya cerah walau dinginnya serasa menggigiti tulang. Sleeping bag yang aku kenakan sebagai selimut lumayan mengurangi rasa dingin. Tak ada kain hangat, bahkan saat ini pun aku cuma memakai sarung dan kaos oblong. Sambil mulai memasang kamera ke atas tripod sambil berjalan pelan dengan santai mencoba menjelajah pemandangan di sekeliling bukit ini. Masih cukup waktu untuk menunggu matahari terbit. Benar kata Tardi, bukit Upasikolen ternyata bukan cuma tempat yang paling pas untuk menikmati matahari terbenam tetapi juga matahari terbit.

Selalu ada pelangi setelah hujan
Beberapa kuda di bawah bukit makin bergerak menjauh menuruni perbukitan di sebelahnya. Suara ringkikannya mengingatkanku suara yang kudengar tadi malam di samping tenda. Dengusan yang begitu terasa dekat sekali yang membuatku bertanya-tanya apa yang membuat mereka tertarik mendatangi tenda kami. Tak cuma kuda, bahkan aku bisa mendengar bunyi lonceng sapi juga. Padahal kemarin sore mereka justru menjauh saat kami datangi. Aku sempat berpikir lain waktu terdengar dengusan dari luar tenda. Bahkan tanganku sempat meraih salah pisau lipat yang ada di samping tenda untuk berjaga-jaga. Hanya setelah aku yakin mereka cuma kuda dan sapi aku bisa melanjutkan tidurku. Mungkin mereka tertarik dengan bau masakan dari sisa piring-piring yang aku sengaja taruh diluar biar terkena hujan.

Menikmati matahari terbenam di Usapikolen
Dari tempatku berdiri aku bisa melihat jelas dua tenda yang terpasang kemarin sore di salah satu bukit. Satu tenda besar yang kami bertiga tempati: aku, Imam dan Al-Buchori. Dan satu lagi yang ukurannya lebih kecil ditempati sendiri oleh Tardi. Seorang teman yang baru kami kenal siang kemarin saat sedang mengisi BBM di Pom Bensin. Aku tersenyum sendiri membayangkan yang terjadi kemarin sore. Yah, tenda-tenda itu didirikan susah payah dalam kondisi hujan yang kencang. 


Matahari tenggelam di antara air hujan di rerumputan
Belok kanan.. belok kanan.. suara Tardi terdengar samar diantara deru hujan yang makin kencang. Tardi yang dari awal berada di depan kami membelokkan motor matic-nya ke arah perbukitan. Aku dan Imam yang membonceng Al mencoba mengikuti masuk ke arah perbukitan. Tardi sedari pertengahan jalan sudah mengenakan mantel hujan berbeda dengan kita bertiga yang justru tidak membawa peralatan terpenting itu di saat seperti ini. Setelah menghentikan kendaraan di salah satu tanjakan kami mulai berjalan ke arah bukit paling ujung untuk memasang tenda. Sayangnya di bukit kedua yang kita tuju telah dipenuhi dengan kuda dan sapi. Akhirnya kami mengalah memasang tenda di bukit pertama.

Jalan menuju Fatumnasi dari bukit Usapikolen
Jalan menanjak menuju Fatumnasi
Di tengah guyuran hujan yang tidak juga mereda, kami harus segera memasang tenda. Tardi dan Al merentangkan salah satu hammock-ku yang tahan air untuk menjadi pelindung saat aku dan Imam memasang tenda. Air hujan dan kabut yang datang cukup membuat acara memasang tenda jadi lama. Selesai kedua tenda terpasang, kami semua kecuali sudah basah kuyup termasuk tas-tas yang kami bawa. Sialnya baju dan celana ganti yang aku punya ada dibagian bawah yang ikut terkena rembesan air. Rupanya aku salah meletakkan posisi tas yang justru membuat rain cover tas bagian bawah menjadi tampungan air hujan. Yang paling terselamatkan tentu saja si Tardi yang dari awal menaruh semua barangnya ke dalam kantung dry bag.

Dan semalaman aku meringkuk tidur ke dalam tenda dalam kondisi tanpa baju alias bugil.. Widih, beruntunglah perjalanan kali ini isinya cuma mahluk berbatang semua. Coba kalau ada cewek yang ikut, bisa berabe nih urusannya tidur macam begini. Emang asyik kalau jalan gini pake kena acara kehujanan.


Pemandangan bukit Tunua dari Usapikolen
Lupakan acara api unggun yang selalu menyertai kami setiap kali nenda. Bukit Upasikolen ini adalah bukit yang hanya ada rumput tanpa pepohonan jadi tidak ada yang dapat kami jadikan api unggun. Kalau ingin mencari kayu bakar harus turun ke bawah bukit. Lagian dalam kondisi hujan seperti ini siapa juga orang gila yang mau bikin api unggun.

Dan sekarang lihat, pagi ini mereka belum ada yang bangun dari tidurnya. Kurasa mereka terlalu sayang meninggalkan kehangatan sleeping bag demi melihat sinar matahari pagi. Apalagi satu mahluk bernama Imam yang lebih mirip kelelawar, betah melek sampai pagi tapi justru tidur lelap saat pagi..

Kenapa kok kami di Usapikolen? Tardi lah yang membuat ide ini. Menurutnya, dari pekerjaannya yang lama berada di Fatumnasi. Usapikolen adalah satu satu tempat keren buat menikmati matahari tenggelam dan matahari terbit. Dari dulu dia ingin sekali nenda di sana tapi belum kesampean, jasi sekaranglah kesempatannya. Karena aku sendiri tidak paham dengan Fatumnasi (baru pertama nih) ya akhirnya pilih ngikut saja dengan pilihannya.



Buat yang belum tahu, Usapikolen ini adalah kawasan perbukitan yang letaknya sebelum masuk ke Fatumnasi. Usapikolen ini karena konturnya yang berada di perbukitan yang cukup tinggi dari sekitarnya jadi memang pemandangannya cukup lega. Jika naik ke salah satu bukit yang berada di bukit yang berada di sebelah kanan jalan, kalian bisa melihat sebuah bekas bukit yang warnanya putih rata di bagian atas. Itu adalah bukit Marmer Tunua yang dulu pernah menjadi lokasi pertambangan marmer. Itulah tempatku bermalam besok.
Jadi kalau nanti kalian ke Fatumnasi, bolehlah mampir sebentar ke
Usapikolen sebelum masuk Fatumnasi. Syukur-syukur kalau mau nenda disini.

Teman jalan ke Fatumnasi kali ini: Imam 'Boncel'; Al-Buchori; dan Tardi Sarwan
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 10 Juni 2018

Habis Hujan Terbitlah Bintang: Pantai Tebi

Bermalam di pantai Tebi Kupang
Senja merangkak menuju malam, hujan yang datang seakan mentertawakan kami yang meringkuk kedinginan di dalam tenda. Di pantai yang entah apa namanya, berempat kami: aku sendiri, Imam, Trysu dan Chori duduk berselimut sleeping bag ngobrol gak jelas menunggu hujan reda. Tak ada yang menyangka bahwa hari ini akan hujan lebat setelah seminggu ini kulihat langit selalu cerah. Parahnya hujan datang mendahului kami sebelum selesai memasang tenda. Hasilnya ya beginilah, basah kuyup mengigil. Tahu kan jika sekumpulan pria terjebak dalam tenda, mereka berubah menjadi mahluk-mahluk bodoh dengan semua kelakuannya.

Sambil menunggu hujan reda aku menyiapkan makan malam. Untung untuk masalah logistik kita sangat aman, bahkan sambal bawang extra pedas untuk mahluk-mahluk gila sambel-pun sudah tersedia satu botol. Oh iya, dalam perjalanan kami sempat mendapatkan 2 buah semangka dan beberapa jagung muda dari penduduk di sekitar pantai Teres. Rupanya kami datang pas lagi musim panen jagung dan semangka.

Satu Lagi Pantai Perawan
Pantai Tebi dari jalan
Pantai ini salah satu pantai yang tepat untuk melarikan diri dari keriuhan kota dan kepenatan kerja. Nyaris tidak ada penduduk yang melewati tempat ini, masih sangat sepi. Mungkin juga karena jalur ini baru saja dibuka. Memang masih ada sinyal selular, tetapi tidak pernah lebih tinggi dari EDGE. Yah masih mendingan daripada pantai Puru yang sinyalnya hanya muncul jika kalian mau naik di salah satu bukit batu.

Pantai Tebi namanya, itu yang tertulis di mbah 'Google Maps' tentang pantai ini. Entah siapa yang memberi nama pantai itu. Tidak ada rumah penduduk di sekitar pantai ini yang dapat aku tanyai. Bahkan jalan menuju pantai ini bisa dibilang jalan yang baru dibuka. Lalu bagaimana aku tahu pantai ini? Sebenarnya tidak ada satupun dari kami yang tahu pantai ini. Itulah enaknya jalan dengan mahluk-mahluk seperti mereka, gak masalah untuk dijalan yang bahkan kita gak tahu bakal dimana.

Pose di Pantai Tebi
Semua ini, bermula dari ajakan untuk mencoba ke bukit Fatubraun. Karena lokasi Fatubraun dekat dengan daerah pesisir selatan Kabuparen Kupang, kami memutuskan akan kembali menginap ke Pantai Teres. Pantai Teres ini pernah aku datangi dulu bareng Imam dan Adis 'Pipi' namun tidak sampai bermalam disini, baca ceritanya di Sisi Selatan Kupang: Pantai Buraen. Tuh kan, waktu nulis pantai ini aja salah, seharusnya ke Pantai Teres tapi malah aku kira namanya Pantai Buraen.

Ada ide untuk menginap di Pantai Teres, sayangnya salah satu sudut pantai Teres yang layak untuk mendirikan tenda sudah banyak sampah berserakan. Artinya daerah ini sudah sering didatangi wisatawan. Jadi Pantai Teres kita coret, aku hanya membawa oleh-oleh sepotong kayu kering yang berbentuk papan dari pantai ini. Lumayan untuk jadi talenan.

Karena itu, akhirnya kami sekalian memutuskan mengikuti jalan baru yang sepertinya baru saja dikerjakan. Jalan baru menanjak ternyata membelah bukit. Tanpa membelah bukit sepertinya akan sangat curam sehingga mustahil bisa dilewati kendaraan. Dari puncak, pemandangan laut selatan tampak berwarna biru tosca.

Berkutat dengan Api Unggun
Selesai hujan, persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara menghidupkan api unggun. Masalahnya semua kayu yang kami bisa kumpulkan dalam kondisi basah. Padahal stok kayu kering di sekitar pantai cukup banyak. Akhirnya kami sibuk mencari plastik-plastik bekas atau sandal bekas untuk membantu menghidupkan api. Lumayan susah sih, hampir sekitar satu jam kami berkutat sampai api unggun benar-benar bisa menyala.

Meringkuk di Pantai Tebi
Terus terang kalau di pantai seperti ini, kami rata-rata menghindari tidur di tenda, lebih enak tidur menggunakan sleeping bag di dekat api unggun. Masalahnya di tenda kalau tidak hujan seringkali terasa gerah.

Cuma kali ini meskipun tetap memilih tidur di depan api unggun masih ada perasaan kuatir juga. Apalagi sekitar jam 2 pagi saat aku sedang mencoba memotret. Dari kejauhan ke arah laut tampak gumpalan awan dengan badai petir. Meskipun petir beberapa menyalakan langit tapi tak terdengar suara gemuruh guntur yang menyertainya. Artinya jarak petir masih cukup jauh. Tapi memang rejeki, sampai pagi tidak ada hujan yang turun lagi.

Temen jalan kali ini: Imam 'Boncel; Trysu Sianipar, Al Buchori 'Chori'

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 29 Mei 2018

Milkyway di Atas Langit Pantai Liman


Ini perjalananku satu tahun yang lalu bareng Imam dan Adis pas lagi bulan puasa. Ceritanya sih lagi pengen moto Milkyway di pantai Liman. Kenapa kok cuma mau moto Milkyway sampai harus ke Liman yang musti nyebrang pulau dan menginap di sana? Kalau mau flashback ke ceritaku sebelum ini Jelajah Semau: Perjalanan ke Liman (2), pantai Liman itu bagiku masuk tempat paling keren untuk sekitaran Kupang. Waktu yang kalian buang untuk kesini itu worthed banget dengan view yang akan kalian dapat. Jika memotret siang hari aja cakep banget gimana coba kalau memotret Liman dengan latar Milkyway? Nah itulah yang aku masukkan ke wishlist jika kembali ke Liman.


Lha kok dilalah.. eh istilah dilalah itu bahasa Indonesianya apa ya? hihihi... Imam dan Adis malah mau jalan pas bulan puasa. Eh koreksi, perjalananku ini bukan puasa sekarang ya tapi puasa tahun kemarin. Waktu itu mikir juga bisa apa gak kalau ke Liman pas kita lagi puasa. 
Karena dari pengalaman perjalananku tahun 2014 dulu di sini: Jelajah Semau: Perjalanan Tanpa Arah (1), kita yang gak puasa saja merasakan haus yang gak ketulungan. Kering banget, meeenn..
Awalnya sih banyak yang mau ikut ke pantai Liman tapi satu persatu pada mundur begitu tau kita jalan pas bulan puasa. Lha gak puasa aja kerongkongan kering apalagi pas puasa begini.
Ya akhirnya aku dan Imam sepakat jalan menjelang sore biar pas kesana tinggal berbuka.



Alkisah, begitulah perjalanan itu dilakukan dan sampailah kita ke Liman dengan selamat sentosa mengantar kami bertiga ke gerbang Liman yang merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur.. halah.. Ah gak gitu ding, ternyata walau kita sudah pernah kesana tapi tetap saja gak bisa mengukur waktu dengan tepat. Lagi-lagi kita melewati jalan yang berbeda dari jalan yang kita tempuh sebelumnya. Jadilah kita pakai acara bertanya lagi ke penduduk untuk memastikan arah jalan. Ternyata kita gak sejago itu men..

Dan alhasil saat matahari tenggelam kita masih sepertiga terakhir menuju pantai Liman. Perkiraan waktu kita ternyata berantakan. Ya udah akhirnya kita buka puasa dulu di pinggir jalan. Kopi di termos udah oke, tapi tetep saja ada insiden kecil: pecahnya 2 telor di-tas-ransel-ku dan mengeluarkan bau yang khas dan sedap. Padahal itu telor cuma 6 biji yang rencananya pas 3 biji untuk berbuka dan 3 biji untuk sahur nanti. Jika begitu, berapa biji jumlah telor yang tersisa untuk makan sahur. Pilih jawaban yang anda anggap benar: 
a. Habis, sisa 4 biji telor yang habis pada saat berbuka. Lo kira kita buas sama makanan gitu?
b. Sisa 4 biji telor karena kami mahluk yang tidak rakus dan sayang binatang.
c. Aku gak tau karena setauku telor gak ada bijinya
d. Emang gue pikirin. Situ yang makan telor ngapain gue yang pusing.
Terus jawaban yang betul yang mana? Mau tau atau mau tau banget? #culekmatapenulisnya.


Ahsu dahlah.. lebih baik kalian liat sendiri foto-foto milkyway hasil jepretanku aja lah. Daripada aku bingung harus nulis apa lagi. Bukan karena gak asyik perjalanannya lho ya. Wo jangan salah, gak ada yang gak asik jalan-jalan begitu apalagi ditemeni 2 mahluk krucil itu. Semakin banyak insiden semakin asik, lha kehabisan gas gara-gara buat masak nasi aja tetep asik kok.

Oh ya ada satu yang gak asik. Mereka berdua itu kan sebenarnya tau kalau aku orang yang gak bakal tahan melek semaleman. Tetep pasti aku harus tidur. Nah malam itu di pantai Liman, pas jam sebelas Milkyway-nya udah pas berada di tengah-tengah. Karena gak mungkin nungguin sampai jam 2 pagi, jadi sebelum tidur aku pesen ke mereka buat bangunin aku jam dua-an gitu supaya bisa moto Milkyway. Bocoran dikit, 2 krucil itu biasa gak tidur sampai pagi. Jadi mereka itu mungkin garis evolusinya kalau gak dari kalong ya burung hantu.


Dan setelah aku terlelap tidur, aku dibangunin saat jam 3 pagi. Aku bangun dan mereka dengan entengnya bilang, itu milkyway-nya sekarang udah ketutup sama awan. Tadi jam dua milkyway-nya asik banget terang benderang. Lho kok gak bangunin aku jam segitu? Mereka berdua ngeles, katanya udah panggil-panggil aku tapi gak kenceng. Beuh, dikiranya sekarang ini kita tinggal di tempat yang rumah tetangganya dempet-dempetan gitu? Ini pantai biar kita teriak kenceng juga gak ada orang yang dengar, paling banter cumi-cumi jengkel dan semprotin tinta ke mukamu.


Tapi point pentingnya adalah Pantai Liman adalah salah satu tempat terbaik untuk melihat Milkyway. Karena tempatnya jauh dari keramaian jadi tidak ada polusi cahaya sedikitpun. Lagian juga jarang yang datang sampai menginap di pantai ini karena bagaimanapun cerita mistis masih melingkupi pulau Semau. Salah satu alasan kenapa orang jarang berani bermain sampai malam di pulau Semau.

Cuma paginya aku baru tahu kalau ternyata ada orang lain yang juga memasang tenda semalam. Ada dua orang bule sepasang ikutan nenda agak jauh dari kita. Aku tahunya pagi-pagi pas lagi moto liat satu perempuan pake two-piece sama satu cowo pake.. ah gak penting.. mandi di laut. Just say hello aja sih, gak enak mau ngajak ngobrol.. tau kan bule yang kalau sudah seperti itu artinya minta privasinya dijaga.

Udah ah, udah kebanyakan cerita. Kalau mau tahu cerita Liman silahkan baca-baca tulisanku di atas ya. Salam mlaku-mlaku...


 
Catatan: Kelihatan gak ikhlas banget mau mengakhiri tulisan hihihi. Begini, kalau kalian akan menginap sebaiknya ngobrol dulu dengan penduduk kampung yang kalian ketahui untuk mendapatkan informasi seputar keamanan tempat menginap. Pada umumnya Semau itu bisa dibilang aman, hanya kadang ada saja isu yang kadang membuat warga resah dengan orang-orang baru. Seperti dulu pernah marak cerita orang potong kepala, atau penculik anak-anak. Isu-isu seperti bisa membuat penduduk curiga dengan para pelancong. Lagian dengan mengobrol akan membuat mereka lebih nyaman. Jangan jadi kayak ninja yang datang dan pergi cuma bekal lempar asap.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 04 Mei 2018

Kelor Onrust Cipir, Sekali Dayung Tiga Pulau Terlampaui

Benteng Mortelo Pulau Kelor
Mau week end kemana? Ingin piknik seharian tetapi tidak mau jauh dari Jakarta? Baiklah, pilihanku pergi ke Kepulauan Seribu. Melihat laut, mencium udara pantai, bermain air. Refreshing. 

Pagi-pagi aku pergi ke Pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Utara. Dari Muara Kamal sudah ada perahu yang siap menyeberangkan ke Pulau Kelor. Aku pun harus berjalan hati-hati meniti bilah-bilah bambu yang menjadi dermaga kecil tempat perahu bersandar. Sekitar pukul 9 pagi kapal pun berangkat. Perahu kayu dikemudikan dengan mesin tempel berbahan bakar solar. Ongkos Pergi Pulang sekitar Rp40.000-50.000 saja. Kebetulan aku mengambil trip perjalanan tiga pulau (Kelor, Onrust, Cipir) jadi biayanya lebih murah. Sekitar 80-ribuan saja sudah termasuk makan siang. Hemat banget.

Saat berada di perahu, angin laut menerpa wajah, aahh segarrr. Dalam perjalanan ini kami melewati pancang-pancang bambu yang biasa digunakan sebagai tempat untuk memancing. Dibawahnya dibuat keramba untuk memelihara ikan hasil tangkapan nelayan. Jantungku berdesir karena khawatir perahunya tersangkut pancang bambu yang lapuk. Well, biarpun sudah menyeberangi laut tetap saja kita masih di Jakarta, karena Kepulauan Seribu masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta.  

Pulau Kelor
Dunia memang tidak selebar Pulau Kelor. Tidak sampai setengah jam perahu sudah tiba di dermaga Pulau Kelor, pulau pertama yang aku kunjungi. Dari dermaga pulau terlihat para pengunjung yang memadati pulau kecil ini. Perahu datang dan pergi membawa para turis lokal. Ohh ternyata pulau ini sedang dalam tahap renovasi. Para pekerja sibuk mengerjakan bangunan panggung terbuka, gazebo, dan fasilitas umum seperti toilet dan musholla.

Walaupun hanya satu dan ditopang dengan bambu agar tak runtuh, Menara Pandang atau lebih dikenal sebagai Benteng Mortelo tetap menjadi spot favorite yang wajib dikunjungi wisatawan di pulau Kelor ini. Di kawasan Kepulauan Seribu ada 3 benteng Mortelo yaitu di Pulau Kelor, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari. Setelah melepas lelah, bermain air dan berfoto, kami melanjutkan ke Pulau Onrust.

Pulau Onrust
Perahu kami pun telah tertambat di dermaga Pulau Onrust. Pandanganku tertuju pada Kincir Angin Mini yang sebenarnya dibangun sebagai pengingat bahwa dahulu pernah dibangun Kincir Angin Besar untuk menggerakkan galangan kapal. Disebelah kiri terlihat ada prasasti berupa tulisan yang dipahat pada batu besar. Dalam prasasti  mengurai sekilas sejarah Pulau Onrust. 

Aku menyusuri jalan setapak menuju rumah yang berfungsi sebagai Museum. Disini temuan artefak dipajang berikut maket yang menjelaskan peta dan posisi bangunan pada masa itu. Miniatur kapal pun ditampilkan juga. Temuan artefak Pulau Onrust yang menjadi Masterpiece berupa sepasang sepatu besi/sepatu selam. Artefak lain yang ditemukan pipa Gouda (pipa cangklong a la Belanda), pecahan keramik, pecahan meriam, peluru, pecahan botol, umpak batu, ubin batu dan sejumlah koin VOC tahun 1814.

Setelah dari Museum Onrust aku pun berjalan mengelilingi pulau. Menyusuri jalan setapak, melewati bekas bangunan yang tak terpakai dan komplek makam. Makam pribumi dan non pribumi yang dikebumikan. Rata-rata meninggal akibat terjangkiti wabah kolera. Aku pun mempercepat langkahku. 

Pulau Onrust dan Pulau Cipir masuk dalam Taman Arkeologi. Tahun 1615 Belanda mendirikan Galangan VOC di onrust. Pada tahun 1658 dibangun benteng kecil kemudian diperluas tahun 1671 berbentuk segilima, bersamaan juga dibangun Gudang Dok dan Kincir Angin. Pulau Ini sempat diserang oleh armada Inggris tahun 1800-1801. Sepeninggal Inggris, Belanda membangunnya kembali. Sempat menjadi Karantina Haji pada tahun 1911.

Bangunan yang dikawasan Pulau Onrust baik yang terpendam maupun di permukaan tanah dapat diketahui asal waktunya melalui bahan penyusunnya, yakni bata dan material perekatnya. Struktur bangunan dari periode awal (abad ke- 17 sampai abad ke-18)umumnya terdiri dari bata-bata berukuran besar berwarna merah dengan bahan perekat semen bercampur pasir dan kerang. Bata-bata bangunan abad ke-19 berukuran lebih kecil, meski berwarna dan berbahan perekat yang sama. Contohnya pada benteng-benteng berbentuk bundar di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Sementara itu bata-bata abad ke-20 berukuran lebih kecil lagi berwarna kekuningan dan berbahan perekat campuran pasir dan semen saja.

Peran Onrust di abad 17 sebagai tempat persingggahan kapal-kapal pengangkut komoditi Asia sebelum dibawa ke Eropa. Benteng Mortello dibangun pertamakali di Pulau Onrust pada abad ke 19. benteng ini hancur pada serangan Pasukan Inggris dan akibat Letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Tetapi kerusakan fatal terjadi ditahun 1958 karena perusakan besar-besaran. Berdasar struktur fondasi yang terdapat di Onrust dan Cipir , diperkirakan benteng Mortello Onrust berbentuk bundar seperti yang ada di Kelor dan Bidadari berupa Menara Pandang /Menara Mortello.

Setelah makan siang dan melepas lelah, rombongan kami melanjutkan menyeberang ke Pulau Cipir yang tak jauh dari Pulau Onrust. Ini adalah pulau ketiga dan terakhir yang kami kunjungi.

Pulau Cipir
Cipir (Kuyper) Pulau di Selatan Pulau Onrust. Pulau Cipir pastinya memiliki keterikatan dengan Onrust. Bukti terkuat dengan dibangunnya dermaga jembatan penghubung antar pulau yang sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja.  Namun sekarang dermaganya tampak jauh lebih bagus. Sekilas mirip sebuah resort atau tempat peristirahatan.

Disini banyak anak-anak dan remaja berenang di pantainya. Gazebo disepanjang pantai berikut toilet merangkap tempat bilas setelah berenang. Di pantai yang dekat dengan bekas jembatan terlihat beberapa tenda kemping, tempat mereka berkemah. Sebenarnya berbanding terbalik dengan keadaan di dalam pulau ini. Bekas bangunan karantina berupa bangsal yang dilengkapi toilet dan rumah sakit tampak spooky alias menyeramkan.

Sedikit sejarah Pulau Cipir, saat itu tahun 1668 dibangun dermaga bongkar muat, galangan kapal kecil, dan dermaga penghubung. Pada tahun 1675 dibangun gudang tempat penyimpanan barang-barang. Kemudian tahun 1905 mulai dibangun lagi sebagai Stasiun Pengamat Cuaca. Namun tahun 1911 hingga tahun 1933 Pulau Cipir berubah menjadi Karantina Haji dengan dibangun rumah sakit bagi yang baru kembali dari Mekah.

Cukup banyak kegiatan yang kami lakukan disini. Bermain air di pantai dan menikmati minuman air kelapa muda yang menyegarkan disaat panas terik. Pastinya berfoto-foto mengisi waktu luang sambil menunggu perahu untuk membawa kami kembali ke Muara Kamal.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya