Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 10 Juni 2018

Habis Hujan Terbitlah Bintang: Pantai Tebi

Bermalam di pantai Tebi Kupang
Senja merangkak menuju malam, hujan yang datang seakan mentertawakan kami yang meringkuk kedinginan di dalam tenda. Di pantai yang entah apa namanya, berempat kami: aku sendiri, Imam, Trysu dan Chori duduk berselimut sleeping bag ngobrol gak jelas menunggu hujan reda. Tak ada yang menyangka bahwa hari ini akan hujan lebat setelah seminggu ini kulihat langit selalu cerah. Parahnya hujan datang mendahului kami sebelum selesai memasang tenda. Hasilnya ya beginilah, basah kuyup mengigil. Tahu kan jika sekumpulan pria terjebak dalam tenda, mereka berubah menjadi mahluk-mahluk bodoh dengan semua kelakuannya.

Sambil menunggu hujan reda aku menyiapkan makan malam. Untung untuk masalah logistik kita sangat aman, bahkan sambal bawang extra pedas untuk mahluk-mahluk gila sambel-pun sudah tersedia satu botol. Oh iya, dalam perjalanan kami sempat mendapatkan 2 buah semangka dan beberapa jagung muda dari penduduk di sekitar pantai Teres. Rupanya kami datang pas lagi musim panen jagung dan semangka.

Satu Lagi Pantai Perawan
Pantai Tebi dari jalan
Pantai ini salah satu pantai yang tepat untuk melarikan diri dari keriuhan kota dan kepenatan kerja. Nyaris tidak ada penduduk yang melewati tempat ini, masih sangat sepi. Mungkin juga karena jalur ini baru saja dibuka. Memang masih ada sinyal selular, tetapi tidak pernah lebih tinggi dari EDGE. Yah masih mendingan daripada pantai Puru yang sinyalnya hanya muncul jika kalian mau naik di salah satu bukit batu.

Pantai Tebi namanya, itu yang tertulis di mbah 'Google Maps' tentang pantai ini. Entah siapa yang memberi nama pantai itu. Tidak ada rumah penduduk di sekitar pantai ini yang dapat aku tanyai. Bahkan jalan menuju pantai ini bisa dibilang jalan yang baru dibuka. Lalu bagaimana aku tahu pantai ini? Sebenarnya tidak ada satupun dari kami yang tahu pantai ini. Itulah enaknya jalan dengan mahluk-mahluk seperti mereka, gak masalah untuk dijalan yang bahkan kita gak tahu bakal dimana.

Pose di Pantai Tebi
Semua ini, bermula dari ajakan untuk mencoba ke bukit Fatubraun. Karena lokasi Fatubraun dekat dengan daerah pesisir selatan Kabuparen Kupang, kami memutuskan akan kembali menginap ke Pantai Teres. Pantai Teres ini pernah aku datangi dulu bareng Imam dan Adis 'Pipi' namun tidak sampai bermalam disini, baca ceritanya di Sisi Selatan Kupang: Pantai Buraen. Tuh kan, waktu nulis pantai ini aja salah, seharusnya ke Pantai Teres tapi malah aku kira namanya Pantai Buraen.

Ada ide untuk menginap di Pantai Teres, sayangnya salah satu sudut pantai Teres yang layak untuk mendirikan tenda sudah banyak sampah berserakan. Artinya daerah ini sudah sering didatangi wisatawan. Jadi Pantai Teres kita coret, aku hanya membawa oleh-oleh sepotong kayu kering yang berbentuk papan dari pantai ini. Lumayan untuk jadi talenan.

Karena itu, akhirnya kami sekalian memutuskan mengikuti jalan baru yang sepertinya baru saja dikerjakan. Jalan baru menanjak ternyata membelah bukit. Tanpa membelah bukit sepertinya akan sangat curam sehingga mustahil bisa dilewati kendaraan. Dari puncak, pemandangan laut selatan tampak berwarna biru tosca.

Berkutat dengan Api Unggun
Selesai hujan, persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara menghidupkan api unggun. Masalahnya semua kayu yang kami bisa kumpulkan dalam kondisi basah. Padahal stok kayu kering di sekitar pantai cukup banyak. Akhirnya kami sibuk mencari plastik-plastik bekas atau sandal bekas untuk membantu menghidupkan api. Lumayan susah sih, hampir sekitar satu jam kami berkutat sampai api unggun benar-benar bisa menyala.

Meringkuk di Pantai Tebi
Terus terang kalau di pantai seperti ini, kami rata-rata menghindari tidur di tenda, lebih enak tidur menggunakan sleeping bag di dekat api unggun. Masalahnya di tenda kalau tidak hujan seringkali terasa gerah.

Cuma kali ini meskipun tetap memilih tidur di depan api unggun masih ada perasaan kuatir juga. Apalagi sekitar jam 2 pagi saat aku sedang mencoba memotret. Dari kejauhan ke arah laut tampak gumpalan awan dengan badai petir. Meskipun petir beberapa menyalakan langit tapi tak terdengar suara gemuruh guntur yang menyertainya. Artinya jarak petir masih cukup jauh. Tapi memang rejeki, sampai pagi tidak ada hujan yang turun lagi.

Temen jalan kali ini: Imam 'Boncel; Trysu Sianipar, Al Buchori 'Chori'

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 29 Mei 2018

Milkyway di Atas Langit Pantai Liman


Ini perjalananku satu tahun yang lalu bareng Imam dan Adis pas lagi bulan puasa. Ceritanya sih lagi pengen moto Milkyway di pantai Liman. Kenapa kok cuma mau moto Milkyway sampai harus ke Liman yang musti nyebrang pulau dan menginap di sana? Kalau mau flashback ke ceritaku sebelum ini Jelajah Semau: Perjalanan ke Liman (2), pantai Liman itu bagiku masuk tempat paling keren untuk sekitaran Kupang. Waktu yang kalian buang untuk kesini itu worthed banget dengan view yang akan kalian dapat. Jika memotret siang hari aja cakep banget gimana coba kalau memotret Liman dengan latar Milkyway? Nah itulah yang aku masukkan ke wishlist jika kembali ke Liman.


Lha kok dilalah.. eh istilah dilalah itu bahasa Indonesianya apa ya? hihihi... Imam dan Adis malah mau jalan pas bulan puasa. Eh koreksi, perjalananku ini bukan puasa sekarang ya tapi puasa tahun kemarin. Waktu itu mikir juga bisa apa gak kalau ke Liman pas kita lagi puasa. 
Karena dari pengalaman perjalananku tahun 2014 dulu di sini: Jelajah Semau: Perjalanan Tanpa Arah (1), kita yang gak puasa saja merasakan haus yang gak ketulungan. Kering banget, meeenn..
Awalnya sih banyak yang mau ikut ke pantai Liman tapi satu persatu pada mundur begitu tau kita jalan pas bulan puasa. Lha gak puasa aja kerongkongan kering apalagi pas puasa begini.
Ya akhirnya aku dan Imam sepakat jalan menjelang sore biar pas kesana tinggal berbuka.



Alkisah, begitulah perjalanan itu dilakukan dan sampailah kita ke Liman dengan selamat sentosa mengantar kami bertiga ke gerbang Liman yang merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur.. halah.. Ah gak gitu ding, ternyata walau kita sudah pernah kesana tapi tetap saja gak bisa mengukur waktu dengan tepat. Lagi-lagi kita melewati jalan yang berbeda dari jalan yang kita tempuh sebelumnya. Jadilah kita pakai acara bertanya lagi ke penduduk untuk memastikan arah jalan. Ternyata kita gak sejago itu men..

Dan alhasil saat matahari tenggelam kita masih sepertiga terakhir menuju pantai Liman. Perkiraan waktu kita ternyata berantakan. Ya udah akhirnya kita buka puasa dulu di pinggir jalan. Kopi di termos udah oke, tapi tetep saja ada insiden kecil: pecahnya 2 telor di-tas-ransel-ku dan mengeluarkan bau yang khas dan sedap. Padahal itu telor cuma 6 biji yang rencananya pas 3 biji untuk berbuka dan 3 biji untuk sahur nanti. Jika begitu, berapa biji jumlah telor yang tersisa untuk makan sahur. Pilih jawaban yang anda anggap benar: 
a. Habis, sisa 4 biji telor yang habis pada saat berbuka. Lo kira kita buas sama makanan gitu?
b. Sisa 4 biji telor karena kami mahluk yang tidak rakus dan sayang binatang.
c. Aku gak tau karena setauku telor gak ada bijinya
d. Emang gue pikirin. Situ yang makan telor ngapain gue yang pusing.
Terus jawaban yang betul yang mana? Mau tau atau mau tau banget? #culekmatapenulisnya.


Ahsu dahlah.. lebih baik kalian liat sendiri foto-foto milkyway hasil jepretanku aja lah. Daripada aku bingung harus nulis apa lagi. Bukan karena gak asyik perjalanannya lho ya. Wo jangan salah, gak ada yang gak asik jalan-jalan begitu apalagi ditemeni 2 mahluk krucil itu. Semakin banyak insiden semakin asik, lha kehabisan gas gara-gara buat masak nasi aja tetep asik kok.

Oh ya ada satu yang gak asik. Mereka berdua itu kan sebenarnya tau kalau aku orang yang gak bakal tahan melek semaleman. Tetep pasti aku harus tidur. Nah malam itu di pantai Liman, pas jam sebelas Milkyway-nya udah pas berada di tengah-tengah. Karena gak mungkin nungguin sampai jam 2 pagi, jadi sebelum tidur aku pesen ke mereka buat bangunin aku jam dua-an gitu supaya bisa moto Milkyway. Bocoran dikit, 2 krucil itu biasa gak tidur sampai pagi. Jadi mereka itu mungkin garis evolusinya kalau gak dari kalong ya burung hantu.


Dan setelah aku terlelap tidur, aku dibangunin saat jam 3 pagi. Aku bangun dan mereka dengan entengnya bilang, itu milkyway-nya sekarang udah ketutup sama awan. Tadi jam dua milkyway-nya asik banget terang benderang. Lho kok gak bangunin aku jam segitu? Mereka berdua ngeles, katanya udah panggil-panggil aku tapi gak kenceng. Beuh, dikiranya sekarang ini kita tinggal di tempat yang rumah tetangganya dempet-dempetan gitu? Ini pantai biar kita teriak kenceng juga gak ada orang yang dengar, paling banter cumi-cumi jengkel dan semprotin tinta ke mukamu.


Tapi point pentingnya adalah Pantai Liman adalah salah satu tempat terbaik untuk melihat Milkyway. Karena tempatnya jauh dari keramaian jadi tidak ada polusi cahaya sedikitpun. Lagian juga jarang yang datang sampai menginap di pantai ini karena bagaimanapun cerita mistis masih melingkupi pulau Semau. Salah satu alasan kenapa orang jarang berani bermain sampai malam di pulau Semau.

Cuma paginya aku baru tahu kalau ternyata ada orang lain yang juga memasang tenda semalam. Ada dua orang bule sepasang ikutan nenda agak jauh dari kita. Aku tahunya pagi-pagi pas lagi moto liat satu perempuan pake two-piece sama satu cowo pake.. ah gak penting.. mandi di laut. Just say hello aja sih, gak enak mau ngajak ngobrol.. tau kan bule yang kalau sudah seperti itu artinya minta privasinya dijaga.

Udah ah, udah kebanyakan cerita. Kalau mau tahu cerita Liman silahkan baca-baca tulisanku di atas ya. Salam mlaku-mlaku...


 
Catatan: Kelihatan gak ikhlas banget mau mengakhiri tulisan hihihi. Begini, kalau kalian akan menginap sebaiknya ngobrol dulu dengan penduduk kampung yang kalian ketahui untuk mendapatkan informasi seputar keamanan tempat menginap. Pada umumnya Semau itu bisa dibilang aman, hanya kadang ada saja isu yang kadang membuat warga resah dengan orang-orang baru. Seperti dulu pernah marak cerita orang potong kepala, atau penculik anak-anak. Isu-isu seperti bisa membuat penduduk curiga dengan para pelancong. Lagian dengan mengobrol akan membuat mereka lebih nyaman. Jangan jadi kayak ninja yang datang dan pergi cuma bekal lempar asap.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 04 Mei 2018

Kelor Onrust Cipir, Sekali Dayung Tiga Pulau Terlampaui

Benteng Mortelo Pulau Kelor
Mau week end kemana? Ingin piknik seharian tetapi tidak mau jauh dari Jakarta? Baiklah, pilihanku pergi ke Kepulauan Seribu. Melihat laut, mencium udara pantai, bermain air. Refreshing. 

Pagi-pagi aku pergi ke Pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Utara. Dari Muara Kamal sudah ada perahu yang siap menyeberangkan ke Pulau Kelor. Aku pun harus berjalan hati-hati meniti bilah-bilah bambu yang menjadi dermaga kecil tempat perahu bersandar. Sekitar pukul 9 pagi kapal pun berangkat. Perahu kayu dikemudikan dengan mesin tempel berbahan bakar solar. Ongkos Pergi Pulang sekitar Rp40.000-50.000 saja. Kebetulan aku mengambil trip perjalanan tiga pulau (Kelor, Onrust, Cipir) jadi biayanya lebih murah. Sekitar 80-ribuan saja sudah termasuk makan siang. Hemat banget.

Saat berada di perahu, angin laut menerpa wajah, aahh segarrr. Dalam perjalanan ini kami melewati pancang-pancang bambu yang biasa digunakan sebagai tempat untuk memancing. Dibawahnya dibuat keramba untuk memelihara ikan hasil tangkapan nelayan. Jantungku berdesir karena khawatir perahunya tersangkut pancang bambu yang lapuk. Well, biarpun sudah menyeberangi laut tetap saja kita masih di Jakarta, karena Kepulauan Seribu masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta.  

Pulau Kelor
Dunia memang tidak selebar Pulau Kelor. Tidak sampai setengah jam perahu sudah tiba di dermaga Pulau Kelor, pulau pertama yang aku kunjungi. Dari dermaga pulau terlihat para pengunjung yang memadati pulau kecil ini. Perahu datang dan pergi membawa para turis lokal. Ohh ternyata pulau ini sedang dalam tahap renovasi. Para pekerja sibuk mengerjakan bangunan panggung terbuka, gazebo, dan fasilitas umum seperti toilet dan musholla.

Walaupun hanya satu dan ditopang dengan bambu agar tak runtuh, Menara Pandang atau lebih dikenal sebagai Benteng Mortelo tetap menjadi spot favorite yang wajib dikunjungi wisatawan di pulau Kelor ini. Di kawasan Kepulauan Seribu ada 3 benteng Mortelo yaitu di Pulau Kelor, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari. Setelah melepas lelah, bermain air dan berfoto, kami melanjutkan ke Pulau Onrust.

Pulau Onrust
Perahu kami pun telah tertambat di dermaga Pulau Onrust. Pandanganku tertuju pada Kincir Angin Mini yang sebenarnya dibangun sebagai pengingat bahwa dahulu pernah dibangun Kincir Angin Besar untuk menggerakkan galangan kapal. Disebelah kiri terlihat ada prasasti berupa tulisan yang dipahat pada batu besar. Dalam prasasti  mengurai sekilas sejarah Pulau Onrust. 

Aku menyusuri jalan setapak menuju rumah yang berfungsi sebagai Museum. Disini temuan artefak dipajang berikut maket yang menjelaskan peta dan posisi bangunan pada masa itu. Miniatur kapal pun ditampilkan juga. Temuan artefak Pulau Onrust yang menjadi Masterpiece berupa sepasang sepatu besi/sepatu selam. Artefak lain yang ditemukan pipa Gouda (pipa cangklong a la Belanda), pecahan keramik, pecahan meriam, peluru, pecahan botol, umpak batu, ubin batu dan sejumlah koin VOC tahun 1814.

Setelah dari Museum Onrust aku pun berjalan mengelilingi pulau. Menyusuri jalan setapak, melewati bekas bangunan yang tak terpakai dan komplek makam. Makam pribumi dan non pribumi yang dikebumikan. Rata-rata meninggal akibat terjangkiti wabah kolera. Aku pun mempercepat langkahku. 

Pulau Onrust dan Pulau Cipir masuk dalam Taman Arkeologi. Tahun 1615 Belanda mendirikan Galangan VOC di onrust. Pada tahun 1658 dibangun benteng kecil kemudian diperluas tahun 1671 berbentuk segilima, bersamaan juga dibangun Gudang Dok dan Kincir Angin. Pulau Ini sempat diserang oleh armada Inggris tahun 1800-1801. Sepeninggal Inggris, Belanda membangunnya kembali. Sempat menjadi Karantina Haji pada tahun 1911.

Bangunan yang dikawasan Pulau Onrust baik yang terpendam maupun di permukaan tanah dapat diketahui asal waktunya melalui bahan penyusunnya, yakni bata dan material perekatnya. Struktur bangunan dari periode awal (abad ke- 17 sampai abad ke-18)umumnya terdiri dari bata-bata berukuran besar berwarna merah dengan bahan perekat semen bercampur pasir dan kerang. Bata-bata bangunan abad ke-19 berukuran lebih kecil, meski berwarna dan berbahan perekat yang sama. Contohnya pada benteng-benteng berbentuk bundar di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Sementara itu bata-bata abad ke-20 berukuran lebih kecil lagi berwarna kekuningan dan berbahan perekat campuran pasir dan semen saja.

Peran Onrust di abad 17 sebagai tempat persingggahan kapal-kapal pengangkut komoditi Asia sebelum dibawa ke Eropa. Benteng Mortello dibangun pertamakali di Pulau Onrust pada abad ke 19. benteng ini hancur pada serangan Pasukan Inggris dan akibat Letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Tetapi kerusakan fatal terjadi ditahun 1958 karena perusakan besar-besaran. Berdasar struktur fondasi yang terdapat di Onrust dan Cipir , diperkirakan benteng Mortello Onrust berbentuk bundar seperti yang ada di Kelor dan Bidadari berupa Menara Pandang /Menara Mortello.

Setelah makan siang dan melepas lelah, rombongan kami melanjutkan menyeberang ke Pulau Cipir yang tak jauh dari Pulau Onrust. Ini adalah pulau ketiga dan terakhir yang kami kunjungi.

Pulau Cipir
Cipir (Kuyper) Pulau di Selatan Pulau Onrust. Pulau Cipir pastinya memiliki keterikatan dengan Onrust. Bukti terkuat dengan dibangunnya dermaga jembatan penghubung antar pulau yang sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja.  Namun sekarang dermaganya tampak jauh lebih bagus. Sekilas mirip sebuah resort atau tempat peristirahatan.

Disini banyak anak-anak dan remaja berenang di pantainya. Gazebo disepanjang pantai berikut toilet merangkap tempat bilas setelah berenang. Di pantai yang dekat dengan bekas jembatan terlihat beberapa tenda kemping, tempat mereka berkemah. Sebenarnya berbanding terbalik dengan keadaan di dalam pulau ini. Bekas bangunan karantina berupa bangsal yang dilengkapi toilet dan rumah sakit tampak spooky alias menyeramkan.

Sedikit sejarah Pulau Cipir, saat itu tahun 1668 dibangun dermaga bongkar muat, galangan kapal kecil, dan dermaga penghubung. Pada tahun 1675 dibangun gudang tempat penyimpanan barang-barang. Kemudian tahun 1905 mulai dibangun lagi sebagai Stasiun Pengamat Cuaca. Namun tahun 1911 hingga tahun 1933 Pulau Cipir berubah menjadi Karantina Haji dengan dibangun rumah sakit bagi yang baru kembali dari Mekah.

Cukup banyak kegiatan yang kami lakukan disini. Bermain air di pantai dan menikmati minuman air kelapa muda yang menyegarkan disaat panas terik. Pastinya berfoto-foto mengisi waktu luang sambil menunggu perahu untuk membawa kami kembali ke Muara Kamal.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 April 2018

Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas


Pemandangan dari Puncak Fatuberoun

Wiii... wwiiii... celetukan Al disepanjang jalan naik ke arah bukit terdengar sama kerasnya dengan bunyi motor yang menggerung keras. Jalan dari tanah liat ini sebagian terbelah membentuk rengkahan panjang seperti parit yang dalam menyisakan sepotong jalan tak lebih lebar dari setengah meter. Rengkahan ini sepertinya terbentuk oleh aliran air ini hujan keras beberapa minggu lalu. Jalan menanjak dengan kondisi itu, karuan saja membuat Al sukses tegang merasakan kengerian jika motorku sampai terperosok ke dalam rengkahan itu. Untungnya jalanan dari tanah liat yang sedang kering bukan pasir atau bebatuan yang pasti akan lebih susah.

Jalan yang Bukan Rekomendasi Mbah Gugel
Selepas menuruni sungai tadi kami memang diarahkan sama pemilik warung untuk belok ke kanan. Saat ini kami memang mengandalkan informasi penduduk yang kami temui karena mbah Gugel sudah gak sepakat, jadi kami putus sementara. Iya lah putus wong sinyal udah megap-megap gak jelas. Bisa dibilang jalan ini sedikit nekad karena kami anggap arahnya menuju arah balik ke Kupang jadi sayang kalau dilewatkan.

Pemandangan Fatubraun
Jalan yang kami lewati jelas tak ada dalam jalur yang direkomendasikan Google Maps karena jalur dari pantai Teres langsung naik ke atas bukit sudah lama dihapuskan dari petunjuk jalan. Jalur ini jelas susah untuk dilewati saat hujan. Itulah kenapa aku menyebutnya "kami beruntung", karena jika tidak ada jalur ini mungkin Fatubraun sudah aku coret dari daftar. Google Maps saja menawarkan jalur dari Teres ke Fatubraun memutar balik dengan jarak dua kali lebih jauh dari jalur yang sekarang aku lewati.

Kami sempat berhenti sebentar di salah satu bukit untuk sekedar melepas rasa pegal di tangan. Berjibaku melewati jalan seperti ini memang bikin tangan cepat kram. Untungnya jarak ke bukit Fatubraun tidak jauh lagi. Untungnya bulan-bulan ini rerumputan dan pepohonan masih hijau dapat kami gunakan untuk berteduh. Gak terbayang panasnya jika kami datang saat bulan Oktober atau November.

Pemandangan dari puncak pertama Fatuberoun
Mungkin karena hari Minggu, sampai di lokasi tempat kita parkir motor hanya tampak dua motor saja. Suasana tempat parkir bisa dibilang adem karena dipenuhi pepohonan. Aku berempat bareng Imam, Trysu dan Al naik mengikuti jalur jalan yang ditandai dengan batang kayu yang diikat antar pepohonan yang juga berfungsi sebagai pegangan. Sekitar sepuluh menit kami sampai di puncak pertama. Pemandangan dari tempat ini adalah view pantai Buraen ke arah Timur. Seandainya saja aku di tempat ini saat pagi hari tentu akan mendapatkan pemandangan pagi yang keren sekali. Ada beberapa titik yang punya spot view menarik, semuanya ke arah matahari terbit.

Dari titik spot pertama ke puncak Fatuleu tak lebih dari sepuluh menit. Jika disepanjang jalan kondisinya jalan tanah, maka beberapa meter menuju puncak barulah benar-benar memanjat dinding batu. Tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu sulit.

Yang pasti pemandangan dari Puncak ini jauh lebih lapang. Jika di titik spot pertama yang tampak adalah pantai Selatan ke arah Timur maka di puncak bukit bisa puas memandang Laut Selatan yang membentang dari Timur ke Barat. Tapi di Puncak ini tidak bisa dinaiki banyak orang karena memang tidak terlalu luas.

"Mas Beki, ikutan difoto dong biar ada buktinya".. Bah kalimat itu memang paling sering keluar dari mulutnya Imam. Padahal dari dulu aku memang males kalau ikut masuk frame, cukuplah aku yang memotret orang. Biar mulutnya mereka gak bawel bolehlah sekali-kali masuk frame biar bisa dianggap eksis. Terpaksalah aku harus memasang kamera di tripod yang sudah rapi-rapi aku packing. Huaassuuu, nih anak sekarang demen nongol di kamera. Untungnya pemandangan dari Puncak apik jadi muka-muka kita gak terlalu jadi gangguan.

Fatubraun VS Fatuleu
Pemandangan dari spot pertama Fatuberoun
Fatubraun, bukit batu karang itu sukses kemasukkan ke dalam daftar wishlist-ku. Beberapa orang yang pernah kesana cenderung membandingkan antara bukit Fatubraun dengan bukit Fatuleu. Keberadaan Fatubraun memang mulai dikenal setelah Fatuleu mulai diakrabi traveller. Menawarkan pemandangan serupa: bukit terjal dari batuan karang. Lalu apa perbedaan antara Fatuleu dan Fatubraun?
  1. Fatuleu berada di ketinggian, dari titik masuknya saja memiliki ketinggian 800 mdpl. Bandingkan dengan Fatubraun yang pada tinggi puncaknya saja tidak sampai 400 mdpl. Itulah kenapa saat pagi atau sore Fatuleu kadang masih sering diselimuti kabut.
  2. Walau dari puncak sama-sama dapat melihat laut, Fatuleu hanya bisa melihat laut sisi Barat. Jadi di atas puncak Fatuleu, di sisi barat yang kita lihat adalah pemandangan teluk Kupang. Sedangkan Fatubraun bisa melihat laut dari sisi Timur. Karena memang berada di dekat pantai Selatan Kupang, kita lebih mudah melihat pantai Selatan yang memanjang dari timur ke barat.
  3. Tingkat pendakian jelas lebih sulit di di Fatuleu dibanding Fatubraun. Walaupun jalan masuk ke Fatuleu telah dibangun tangga namun tetap waktu tempuh sampai ke puncak rata-rata satu setengah jam. Jika fisiknya anak-anak muda yang biasa naik paling cepat juga sekitar satu jam. Bandingkan dengan Fatubraun yang bisa ditempuh santai tak lebih dari setengah jam dari kami memarkir motor.
  4. Jalur jalan naik ke Fatubraun lebih didominasi tanah berbeda dengan Fatuleu yang kondisinya penuh bebatuan walaupun di dalam hutan sekalipun. Karena hal itu, di bagian atas Fatubraun masih banyak lokasi yang rata dengan pepohonan yang rindang. Jadi bisa digunakan untuk berkemah. Lain dengan Fatuleu, nyaris tidak ada satupun tempat yang rata jadi tidak mungkin membangun tenda di atas gunung Fatuleu. Bahkan menemukan tempat yang bisa menyelonjorkan kaki adalah keberuntungan di Fatuleu.
Apa Yang Dilakukan Disana?
Ngeksis di Puncak Fatuberoun
Dengan beberapa kondisi yang aku jelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan di bukit Fatubraun:
  1. Kemping di atas bukit. Di dekat parkiran adalah salah satu tempat yang enak buat kemping, selain suasananya yang rindang, banyaknya pepohonan juga membuat kita lebih aman pada saat hujan plus pohon-pohon besar untuk memasang hammock. Tapi aku sendiri lebih memilih spot puncak pertama karena selain memiliki tempat yang landai juga adanya area yang lapang. Tempat strategis untuk menikmati indahnya bintang saat malam.
  2. Spot untuk melihat matahari terbit. Karena di puncak pertama adalah dinding tebing tegak lurus menghadap ke Timur maka jika spot matahari terbit dari tempat ini adalah salat satu yang sayang jika terlewatkan. Dan satu lagi, matahari terbit itu tidak muncul dari bukit tapi dari ufuk pantai.
  3. Spot untuk melihat galaksi Milkyway. Seperti kubilang, dengan adanya puncak yang landai dan terbuka menghadap ke Timur dan Selatan tentu penampakan galaksi Milyway akan lebih mudah terlihat. Tanpa polusi cahaya, kondisi langit yang cenderung lebih cerah dan kecil kemungkinan ada gangguan kabut.. apa lagi yang kurang untuk melengkapi daftar agar galaksi Milkyway bisa tertangkap indah di kamera?
 

Temen-temen gokil yang jalan kali ini:
  1. Boncel "Imam Arif Wicaksono": facebook; instagram
  2. Trisu "Lae Sianipar": facebook; instagram
  3. Al "Al-Buchori": facebook; instagram kesian dia gak punye...
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Maret 2018

Huta Siallagan, Tradisi Kanibal yang telah punah

Huta Siallagan

"Orang Batak suaranya keras tetapi hatinya lembut", tutur Pak Roy Siallagan, guna mencairkan suasana ketika aku baru datang. Beliau adalah Pemandu Wisata yang menyambut dan mengawalku dari pintu masuk Huta. Aku tersenyum mendengarnya. Beliau bermarga Siallagan, penanda masih keturunan para Raja Siallagan. 

Rumah adat Huta Siallagan
Begitu memasuki Huta disebelah kiri disambut dengan Rumah Bolon (rumah raja) dan Sopo (lumbung padi).  Terlihat ramai turis Oma dan Opa dari Belanda telah lebih dahulu memasuki huta. Rumah Bolon, rumah contoh Adat Batak. Di dalamnya ada tungku api batu, perkakas memasak yang terbuat dari tanah liat, alat pemintal benang, alat menenun Kain Ulos, beberapa lembaran Kain Ulos yang digantung.

Tempat duduk Huta Siallagan
Batu Parsidangan berada di Pusat Huta dibawah Pohon Hariara, dianggap sebagai pohon suci Suku Batak. Akar-akar pohon Hariara yang besar dan kuat seperti menopang Batu Parsidangan yang diperkirakan berumur 200 tahun lebih.  Pak Roy bergegas mempersilahkan aku ke situs batu parsidangan set pertama. Akupun duduk di kursi yang terlihat lebih besar, ternyata itu kursi untuk raja. Aku pun duduk di singgasana layaknya seorang raja dan mendengarkan penjelasan panglimanya hehehe.

Batu Parsidangan Set yang pertama berupa kursi untuk Raja, Ratu, Tetua Adat, Pemimpin Huta, Tetangga, Tamu Undangan, Pemimpin Spiritual/Dukun. Persidangan akan digelar Raja bila ada kasus yang besar dan berat hukumannya. Terdakwa biasanya seorang musuh, pengkhianat, pembunuh, perampok dan pemerkosa.

Tempat memancung di Huta Siallagan
Batu Parsidangan Set yang kedua berupa kursi untuk Raja, Meja Batu, Tempat Eksekusi. Setelah ditetapkan hukuman kepada terdakwa berupa hukuman mati. Terdakwa akan digeledah di atas meja batu sebelum digiring ke tempat eksekusi. Dukun/pemimpin spiritual akan memeriksa bilamana terdakwa memiliki jimat-jimat atau ilmu kekebalan yang harus dimusnahkan. Kemudian rekontruksi pelaksanaan eksekusi dimulai, mata terdakwa ditutup kain dan Sang Algojo membawa parang yang sangat tajam akan memancung kepala terdakwa dengan sekali tebasan. Jasad terdakwa pun diambil jantungnya dan dimakan oleh Raja untuk menambah energi kesaktian Sang Raja. Agak ngeri mendengarnya.

Narsis di Huta Siallagan
Huta Siallagan berlokasi di Ambarita, Desa Siallagan-Pindaraya, Simanindo, Samosir, Sumatera Utara. Huta berarti Perkampungan sebagai rumah dari suku bangsa Siallagan. Marga Siallagan keturunan dari Raja Naiambaton garis keturunan dari Isumbaon anak kedua Raja Batak. Raja Pertama Raja Laga Siallagan. Raja Hendrik Siallagan mempunyai keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Keturunan Raja Siallagan masih tinggal di kampung Ambarita dekat dengan Makam leluhur. Huta Siallagan dengan total area 2,400 dengan batu yang mengelilinginya sebagai benteng sekitar 1,5 - 2 ton beratnya. Pepohonan bambu yang mengelilinginya sebagai pertahanan dari binatang buas dan musuh yang menyerang.

Danau Toba
Dalam perjalananku menuju Huta Siallagan ini, langkahku sempat terhenti di sebuah sisi danau. Merasakan angin semilir menerpa wajah. Menghirup udara pagi yang segar dengan bau rumput dan tanaman hijau yang khas menyegarkan. Terlihat Kapal yang berasal dari Dermaga Ajibata mengarungi danau menuju Dermaga Tomok. Langit biru dengan selaput awan tipis menaungi Danau Toba, berpadu perbukitan hijau yang mengelilinginya tampak begitu cantik.  

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 02 Februari 2018

Sam Poo Kong, Persinggahan Sang Laksamana

Kelenteng Sam Poo Kong
Pose dulu di depan kelenteng Sam Poo Kong
Mau jalan-jalan ke China tapi belum punya waktu dan biaya? Ngga usah galau. Datang saja ke Semarang, Jawa Tengah. Tepatnya ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Apalagi jika kita berfoto dengan memakai baju tradisionalnya, pasti teman-temanmu yakin kamu sudah di China.

Perjalananku ke Semarang sebenarnya untuk mengisi waktu luang saat berada di Batang. Waktu itu sedang ada Pemilukada Bupati Batang. Kebetulan dari kakakku, aku mengenal dan mengunjungi salah seorang pasangan kandidat calon Bupati Batang tersebut. Dari depan hotel tempat aku menginap banyak lewat bus arah Semarang. Jarak tempuh Batang ke Semarang  sekitar 2 jam. Setelah sampai di Terminal Bus Terboyo lanjut dengan angkutan umum menuju Sam Poo Kong. Lokasi berada di Jalan Raya Simongan, Bongsari. Mudah menemukannya karena dilewati jalur angkutan umum.

Kelenteng Sam Poo Kong
Patung Laksamana Cheng Ho
Patung Laksamana Zheng He yang tinggi dan besar menyambut dikejauhan saat masuk gerbang Sam Poo Kong. Nuansa merah-merah mendominasi sebagaimana warna klenteng pada umumnya. Warna merah adalah warna kebahagiaan. Dijajaran sebelah kanan tiga buah bangunan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan. Berhadapan dengan tiga bangunan utama adalah panggung terbuka yang biasanya menampilkan pertunjukan drama kolosal cerita Laksamana Zheng He/ Cheng Ho dan cerita rakyat lainnya.

Disebelah kiri tempat persewaan pakaian tradisional khas China berikut penata rias dan juru fotonya disediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto dengan latar belakang kelenteng. Sebenarnya aku ingin memakai baju tradisonal tersebut tetapi mengingat harus segera pergi ke tempat lain, akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku cukup puas berfoto di depan patung tinggi besar Sang Laksamana. So little time so much to do, mengutip lagunya Arkarna, Grup band asal Inggris.

Kelenteng Sam Poo Kong adalah petilasan atau bekas persinggahan. Pendaratan pertama Laksamana Zheng He  di Pulau Jawa pada tahun 1406. Pada persinggahan kelima tahun 1416 menurut cerita Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati laut Jawa, namun saat melintasi Laut Jawa awak kapalnya banyak yang jatuh sakit termasuk Juru Mudinya yang bernama Wang Jing Hong, kemudian ia memerintahkan membuang sauh kemudian merapat ke Pantai Utara Semarang dan berlindung di sebuah goa di sebuah bukit batu/gunung batu. 
Kelenteng Sam Poo Kong
Sementara  Juru Mudi-nya menyembuhkan diri, Zheng He melanjutkan perjalanan ke Timur. Selama di Simongan wang Jing Hong Juru Mudinya menggarap lahan, membangun rumah dan mendirikan masjid dan tahun 1417 Wang  Jing Hong mendirikan patung Zheng He di Gua tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan tersebut berada di tengah kota Semarang karena Pantai Utara Jawa mengalami proses pendangkalan akibat adanya proses sedimentasi. Inilah awal mula pembangunan Kelenteng Sam Poo Kong. Tahun 1704 akibat hujan badai goa runtuh, kemudian masyarakat membangun goa buatan yang terletak disebelah makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong.

Siapakah Laksamana Zheng He(Cheng Ho)? Laksamana Agung Zheng He/Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Ma San Bao (1371 - 1437) adalah seorang Pelaut, Penjelajah, Diplomat dan Laksamana. Lahir di Kunyang, Yunnan, Tiongkok tahun 1371 dari pasangan suami istri Ma Hazhi dan Wen. Awal karir menjadi Kasim dibawah Kekaisaran Yong Le dari Dinasti Ming. Beliau memimpin armada muhibah mengunjungi negara-negara diseberang lautan sebagai duta perdamaian. Di tahun 1405 pelayaran Muhibah pertama beliau  memimpin 317 kapal megah dengan 28.000 personil, berangkat dari Suzhou, Pelabuhan Liujiagang mengunjungi Arab, Afrika Timur, Sri Lanka, Kalikut (India Barat) India, Brunei, Kepulauan Malaysia, Thailand, Champa, Sumatera, Palembang, Jawa. Dalam perjalanannya beliau mendapat banyak hadiah berupa Gaharu/Kayuwangi, Onta, Zebra, Jerapah. Beliau juga memberikan hadiah kepada daerah-daerah yang dikunjunginya berupa Emas, Perak, Porselen Keramik, Sutera. 

Kelenteng Sam Poo Kong
Gerbang masuk ke kelenteng Sam Poo Kong
Dalam tujuh kali pelayaran besar, beliau telah berhasil mengunjungi Selat Hormuz, Teluk Persia, Aden, Afrika, Mogadishu, Burawa (Somalia), dan Malindi (Kenya). Menurut Gavin Mendez, Sejarahwan Angkatan Laut Inggris, sejumlah kapal dari armadanya dibawah pimpinan Hong Bao telah mencapai Benua Amerika tahun 1421.

Beliau wafat tahun 1435 ditengah perjalanan pulang dari Kalikut (India Barat), meski di China  dibangun makamnya tetapi tanpa jenasah. Jenasah beliau diperkirakan dihanyutkan ditengah laut. Ada pula sejarahwan yang menyakini jenasah beliau dikebumikan di Semarang.

Sam Poo Kong dalam dialek Hokkian atau San Bao Dong (Mandarin) artinya Gua San Bao. Dalam dialek Fujian San Bao menjadi Sam Poo. Sam Poo Kong sendiri adalah gelar yang diberikan warga China Semarang kepada Laksamana Zheng He/Cheng Ho atas jasa-jasanya. Beberapa gelar lain yang disematkan kepada Zheng He adalah, Sam Poo Tay Djien (Laksamana), Sam Poo Tay Kang (Kasim), Sam Poo Tay Rin (Pembesar).

Kelenteng Sam Poo Kong
Panggung terbuka di kelenteng Sam Poo Kong
Komplek Kelenteng Sam Poo Kong terdiri atas sejumlah anjungan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan (makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong, Kyai Jangkar tempat jangkar/sauh kapal Laksamana Zheng He, Kyai Cundrik Bumi tempat penyimpanan persenjataan dan Mbah Tumpeng tempat penyimpanan bahan makanan). Kelenteng Besar dan Gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan. Gua yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Poo Tay Djien (Zheng He).

Di Gedung Batu ada tanda yang berciri keislaman dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Quran". Disebut Gedung Batu karena bentuknya sebuah Gua Batu Besar yang terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan China menganggap bangunan itu adalah sebuah Kelenteng mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan China sehingga mirip sebuah Kelenteng. Sekarang tempat itu dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau sembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut di dalam gua batu diletakan sebuah altar dan patung-patung Sam Poo Tay Djien. Laksamana Zheng He/Cheng Ho adalah seorang muslim tetapi oleh mereka dianggap dewa, hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tao menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.



Saranku bila kita mengunjungi kelenteng ini saat Imlek atau Perayaan Tahun Baru China dan kegiatan keagamaan lainnya karena lebih meriah dengan ornamen hiasan Lampion-lampion. Biasanya pada Bulan Agustus merupakan perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He sebagai salah satu agenda wisata utama di kota Semarang. Perayaan ini dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie di Gang Lombok. Kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan Patung Sam Poo Kong dari Kuil Tay Kak Sie ke Gedung Batu.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya