Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 19 Maret 2018

Huta Siallagan, Tradisi Kanibal yang telah punah

Huta Siallagan

"Orang Batak suaranya keras tetapi hatinya lembut", tutur Pak Roy Siallagan, guna mencairkan suasana ketika aku baru datang. Beliau adalah Pemandu Wisata yang menyambut dan mengawalku dari pintu masuk Huta. Aku tersenyum mendengarnya. Beliau bermarga Siallagan, penanda masih keturunan para Raja Siallagan. 

Rumah adat Huta Siallagan
Begitu memasuki Huta disebelah kiri disambut dengan Rumah Bolon (rumah raja) dan Sopo (lumbung padi).  Terlihat ramai turis Oma dan Opa dari Belanda telah lebih dahulu memasuki huta. Rumah Bolon, rumah contoh Adat Batak. Di dalamnya ada tungku api batu, perkakas memasak yang terbuat dari tanah liat, alat pemintal benang, alat menenun Kain Ulos, beberapa lembaran Kain Ulos yang digantung.

Tempat duduk Huta Siallagan
Batu Parsidangan berada di Pusat Huta dibawah Pohon Hariara, dianggap sebagai pohon suci Suku Batak. Akar-akar pohon Hariara yang besar dan kuat seperti menopang Batu Parsidangan yang diperkirakan berumur 200 tahun lebih.  Pak Roy bergegas mempersilahkan aku ke situs batu parsidangan set pertama. Akupun duduk di kursi yang terlihat lebih besar, ternyata itu kursi untuk raja. Aku pun duduk di singgasana layaknya seorang raja dan mendengarkan penjelasan panglimanya hehehe.

Batu Parsidangan Set yang pertama berupa kursi untuk Raja, Ratu, Tetua Adat, Pemimpin Huta, Tetangga, Tamu Undangan, Pemimpin Spiritual/Dukun. Persidangan akan digelar Raja bila ada kasus yang besar dan berat hukumannya. Terdakwa biasanya seorang musuh, pengkhianat, pembunuh, perampok dan pemerkosa.

Tempat memancung di Huta Siallagan
Batu Parsidangan Set yang kedua berupa kursi untuk Raja, Meja Batu, Tempat Eksekusi. Setelah ditetapkan hukuman kepada terdakwa berupa hukuman mati. Terdakwa akan digeledah di atas meja batu sebelum digiring ke tempat eksekusi. Dukun/pemimpin spiritual akan memeriksa bilamana terdakwa memiliki jimat-jimat atau ilmu kekebalan yang harus dimusnahkan. Kemudian rekontruksi pelaksanaan eksekusi dimulai, mata terdakwa ditutup kain dan Sang Algojo membawa parang yang sangat tajam akan memancung kepala terdakwa dengan sekali tebasan. Jasad terdakwa pun diambil jantungnya dan dimakan oleh Raja untuk menambah energi kesaktian Sang Raja. Agak ngeri mendengarnya.

Narsis di Huta Siallagan
Huta Siallagan berlokasi di Ambarita, Desa Siallagan-Pindaraya, Simanindo, Samosir, Sumatera Utara. Huta berarti Perkampungan sebagai rumah dari suku bangsa Siallagan. Marga Siallagan keturunan dari Raja Naiambaton garis keturunan dari Isumbaon anak kedua Raja Batak. Raja Pertama Raja Laga Siallagan. Raja Hendrik Siallagan mempunyai keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Keturunan Raja Siallagan masih tinggal di kampung Ambarita dekat dengan Makam leluhur. Huta Siallagan dengan total area 2,400 dengan batu yang mengelilinginya sebagai benteng sekitar 1,5 - 2 ton beratnya. Pepohonan bambu yang mengelilinginya sebagai pertahanan dari binatang buas dan musuh yang menyerang.

Danau Toba
Dalam perjalananku menuju Huta Siallagan ini, langkahku sempat terhenti di sebuah sisi danau. Merasakan angin semilir menerpa wajah. Menghirup udara pagi yang segar dengan bau rumput dan tanaman hijau yang khas menyegarkan. Terlihat Kapal yang berasal dari Dermaga Ajibata mengarungi danau menuju Dermaga Tomok. Langit biru dengan selaput awan tipis menaungi Danau Toba, berpadu perbukitan hijau yang mengelilinginya tampak begitu cantik.  

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 02 Februari 2018

Sam Poo Kong, Persinggahan Sang Laksamana

Kelenteng Sam Poo Kong
Pose dulu di depan kelenteng Sam Poo Kong
Mau jalan-jalan ke China tapi belum punya waktu dan biaya? Ngga usah galau. Datang saja ke Semarang, Jawa Tengah. Tepatnya ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Apalagi jika kita berfoto dengan memakai baju tradisionalnya, pasti teman-temanmu yakin kamu sudah di China.

Perjalananku ke Semarang sebenarnya untuk mengisi waktu luang saat berada di Batang. Waktu itu sedang ada Pemilukada Bupati Batang. Kebetulan dari kakakku, aku mengenal dan mengunjungi salah seorang pasangan kandidat calon Bupati Batang tersebut. Dari depan hotel tempat aku menginap banyak lewat bus arah Semarang. Jarak tempuh Batang ke Semarang  sekitar 2 jam. Setelah sampai di Terminal Bus Terboyo lanjut dengan angkutan umum menuju Sam Poo Kong. Lokasi berada di Jalan Raya Simongan, Bongsari. Mudah menemukannya karena dilewati jalur angkutan umum.

Kelenteng Sam Poo Kong
Patung Laksamana Cheng Ho
Patung Laksamana Zheng He yang tinggi dan besar menyambut dikejauhan saat masuk gerbang Sam Poo Kong. Nuansa merah-merah mendominasi sebagaimana warna klenteng pada umumnya. Warna merah adalah warna kebahagiaan. Dijajaran sebelah kanan tiga buah bangunan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan. Berhadapan dengan tiga bangunan utama adalah panggung terbuka yang biasanya menampilkan pertunjukan drama kolosal cerita Laksamana Zheng He/ Cheng Ho dan cerita rakyat lainnya.

Disebelah kiri tempat persewaan pakaian tradisional khas China berikut penata rias dan juru fotonya disediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto dengan latar belakang kelenteng. Sebenarnya aku ingin memakai baju tradisonal tersebut tetapi mengingat harus segera pergi ke tempat lain, akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku cukup puas berfoto di depan patung tinggi besar Sang Laksamana. So little time so much to do, mengutip lagunya Arkarna, Grup band asal Inggris.

Kelenteng Sam Poo Kong adalah petilasan atau bekas persinggahan. Pendaratan pertama Laksamana Zheng He  di Pulau Jawa pada tahun 1406. Pada persinggahan kelima tahun 1416 menurut cerita Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati laut Jawa, namun saat melintasi Laut Jawa awak kapalnya banyak yang jatuh sakit termasuk Juru Mudinya yang bernama Wang Jing Hong, kemudian ia memerintahkan membuang sauh kemudian merapat ke Pantai Utara Semarang dan berlindung di sebuah goa di sebuah bukit batu/gunung batu. 
Kelenteng Sam Poo Kong
Sementara  Juru Mudi-nya menyembuhkan diri, Zheng He melanjutkan perjalanan ke Timur. Selama di Simongan wang Jing Hong Juru Mudinya menggarap lahan, membangun rumah dan mendirikan masjid dan tahun 1417 Wang  Jing Hong mendirikan patung Zheng He di Gua tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan tersebut berada di tengah kota Semarang karena Pantai Utara Jawa mengalami proses pendangkalan akibat adanya proses sedimentasi. Inilah awal mula pembangunan Kelenteng Sam Poo Kong. Tahun 1704 akibat hujan badai goa runtuh, kemudian masyarakat membangun goa buatan yang terletak disebelah makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong.

Siapakah Laksamana Zheng He(Cheng Ho)? Laksamana Agung Zheng He/Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Ma San Bao (1371 - 1437) adalah seorang Pelaut, Penjelajah, Diplomat dan Laksamana. Lahir di Kunyang, Yunnan, Tiongkok tahun 1371 dari pasangan suami istri Ma Hazhi dan Wen. Awal karir menjadi Kasim dibawah Kekaisaran Yong Le dari Dinasti Ming. Beliau memimpin armada muhibah mengunjungi negara-negara diseberang lautan sebagai duta perdamaian. Di tahun 1405 pelayaran Muhibah pertama beliau  memimpin 317 kapal megah dengan 28.000 personil, berangkat dari Suzhou, Pelabuhan Liujiagang mengunjungi Arab, Afrika Timur, Sri Lanka, Kalikut (India Barat) India, Brunei, Kepulauan Malaysia, Thailand, Champa, Sumatera, Palembang, Jawa. Dalam perjalanannya beliau mendapat banyak hadiah berupa Gaharu/Kayuwangi, Onta, Zebra, Jerapah. Beliau juga memberikan hadiah kepada daerah-daerah yang dikunjunginya berupa Emas, Perak, Porselen Keramik, Sutera. 

Kelenteng Sam Poo Kong
Gerbang masuk ke kelenteng Sam Poo Kong
Dalam tujuh kali pelayaran besar, beliau telah berhasil mengunjungi Selat Hormuz, Teluk Persia, Aden, Afrika, Mogadishu, Burawa (Somalia), dan Malindi (Kenya). Menurut Gavin Mendez, Sejarahwan Angkatan Laut Inggris, sejumlah kapal dari armadanya dibawah pimpinan Hong Bao telah mencapai Benua Amerika tahun 1421.

Beliau wafat tahun 1435 ditengah perjalanan pulang dari Kalikut (India Barat), meski di China  dibangun makamnya tetapi tanpa jenasah. Jenasah beliau diperkirakan dihanyutkan ditengah laut. Ada pula sejarahwan yang menyakini jenasah beliau dikebumikan di Semarang.

Sam Poo Kong dalam dialek Hokkian atau San Bao Dong (Mandarin) artinya Gua San Bao. Dalam dialek Fujian San Bao menjadi Sam Poo. Sam Poo Kong sendiri adalah gelar yang diberikan warga China Semarang kepada Laksamana Zheng He/Cheng Ho atas jasa-jasanya. Beberapa gelar lain yang disematkan kepada Zheng He adalah, Sam Poo Tay Djien (Laksamana), Sam Poo Tay Kang (Kasim), Sam Poo Tay Rin (Pembesar).

Kelenteng Sam Poo Kong
Panggung terbuka di kelenteng Sam Poo Kong
Komplek Kelenteng Sam Poo Kong terdiri atas sejumlah anjungan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan (makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong, Kyai Jangkar tempat jangkar/sauh kapal Laksamana Zheng He, Kyai Cundrik Bumi tempat penyimpanan persenjataan dan Mbah Tumpeng tempat penyimpanan bahan makanan). Kelenteng Besar dan Gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan. Gua yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Poo Tay Djien (Zheng He).

Di Gedung Batu ada tanda yang berciri keislaman dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Quran". Disebut Gedung Batu karena bentuknya sebuah Gua Batu Besar yang terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan China menganggap bangunan itu adalah sebuah Kelenteng mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan China sehingga mirip sebuah Kelenteng. Sekarang tempat itu dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau sembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut di dalam gua batu diletakan sebuah altar dan patung-patung Sam Poo Tay Djien. Laksamana Zheng He/Cheng Ho adalah seorang muslim tetapi oleh mereka dianggap dewa, hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tao menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.



Saranku bila kita mengunjungi kelenteng ini saat Imlek atau Perayaan Tahun Baru China dan kegiatan keagamaan lainnya karena lebih meriah dengan ornamen hiasan Lampion-lampion. Biasanya pada Bulan Agustus merupakan perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He sebagai salah satu agenda wisata utama di kota Semarang. Perayaan ini dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie di Gang Lombok. Kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan Patung Sam Poo Kong dari Kuil Tay Kak Sie ke Gedung Batu.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 22 Januari 2018

Danau Oemenu: Gelombang Tinggi

Danau Oemenu I yang airnya berwarna kehitaman dan banyak batang pohon tumbang

Aku terus bergerak menerobos, aku mulai tidak bisa membedakan jalan karena jalur yang coba aku ikuti bisa tiba-tiba menghilang tertutup belukar. Saat aku memilih jalur lain hal yang sama kembali terjadi. Atau saat aku memaksa menerobos belukar, beberapa meter kemudian tiba-tiba aku menemukan jalan lagi.

Aku sesekali menengok ke belakang memastikan Obet dan Adis tidak jauh tertinggal di belakang. Semakin mendekati suara gelombang aku semakin bersemangat menaiki tebing karang sehingga beberapa saat lupa tidak menengok ke belakang sampai kemudian aku menyadari Obet sudah berada persis di belakangku namun tidak dengan Adis.

Adis berdiri diam terpaku beberapa meter dengan pandangan ke arah bawah tebing. "Dis!" aku memanggilnya pelan tapi dia seperti tidak menyadari. Aku memutuskan kembali untuk membantunya,
"Bet kamu di sini aku mau nyusul Adis".
"Dis, aku kesana ya" Tanpa menunggu persetujuannya aku kembali turun.
Baru beberapa langkah aku kembali, seperti menyadari sinar senterku yang mengarah kepadanya Adis seperti tersentak menengok ke arahku. "Tidak usah, lanjut" teriaknya.

Melewati tebing menuju ke danau Oemenu II
Di atas tebing terbuka barulah aku bisa melihat ada laut di depan kami. Ah, ada kelegaan di dada kami yang tidak terungkapkan. Setidaknya kami lebih mudah mencari jalan kembali dari pinggir laut. Kami pelahan mencari jalan pelan menyusuri karang terjal menuju ke arah pantai.

Tapi kelegaan kami hanya sebentar, ternyata tebing karang ini tidak memiliki pantai. Dan aku benar-benar tidak mengenal daerah ini. Entah di pantai mana sekarang kami berada. Hanya dalam gelapnya laut mata kami masih bisa melihat adanya sebuah pulau di depan yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Nantinya kami akan tahu bahwa kami sampai di depan Pulau Tubafu (ada yang menyebutnya Tubuafu yang artinya tugu batu).

Kami terduduk lemas di salah satu tebing karang. Jam sebelas malam, kelelahan, kehausan, tidak ada sinyal dan tak ada arah yang harus kami tuju. Empat jam lebih kami berjalan, akhirnya kami memutuskan akan bermalam di atas tebing yang kebetulan ada pasir-pasir pantai yang menutupinya sehingga dapat kami gunakan untuk sekedar duduk bersandar. Pertimbanganku dengan kondisi seperti ini, mencoba berjalan kembali justru akan banyak menguras tenaga.

Suasana siang hari di danau Oemenu II
Sayangnya kondisi tebing yang kami pakai tidak dapat untuk tidur rebahan juga masih cukup terbuka. Kondisi ini selain menyulitkan untuk istirahat juga sulit melindungi kami sekiranya ada angin kencang.

Aku berinisiatif mencari tempat yang lebih layak, karena aku lihat muka Adis dan Obet yang sudah tampak kecapekan, akhirnya aku memutuskan mencari sendiri. Pelahan aku mencari jalan ke arah pantai berharap ada daerah turunan yang cukup tersembunyi dan rata untuk kami bermalam.  
Pelahan aku mendekati ke ujung karang, namun tampaknya tidak ada tempat yang cukup rata atau pantai yang bisa kami gunakan untuk bermalam.

Samar-samar mataku melihat karang yang agak tinggi di sebelah kanan. Karena mungkin karang itu tempat yang paling pas untuk melihat kesekeliling aku memutuskan naik ke atas. Berdiri di atas karang itu pemandangan yang aku lihat lebih luas, walaupun di sekeliling tetap saja didominasi kegelapan. Bayangan pulau Tubafu dari atas sini semakin terlihat utuh. Sepertinya pulau itu tak lebih dari pulau batu dari karang-karang tinggi yang naik ke permukaan.

Ujung danau Oemenu II tempat pak Koster menangkap kepiting
Ombak pantai selatan ada beberapa meter di hadapanku malam ini tampak tenang. Memang tidak setenang pantai utara. Bunyi ombak yang menabrak karang deburnya memang masih terdengar keras. Benakku berkecamuk banyak pertanyaan yang tiada habisnya.

Dalam pekat malam yang nyaris tak bisa terlihat apa-apa aku mendengar suara gelombang yang mendekat ke karang. Seharusnya setelah itu aku mendengar suara debur saat gelombangnya terpecah dinding karang. Namun ternyata kembali sunyi. Apakah telingaku salah .........

Tiba-tiba beberapa saat kemudian ada warna putih muncul mengambang beberapa meter di atas kepalaku. Dalam waktu singkat penglihatanku itu, aku mencoba menerka. Apakah itu GELOMBANG??

Terlambat! Sesaat kemudian gelombang besar itu menghantamku. Aku dilanda kekagetan luar biasa, sepersekian detik sebelum gelombang itu menerjangku, aku membalikkan badan. Byarr!! Punggungku dihantam gelombang cukup keras, aku oleng namun tetap keras bertahan untuk tidak terbanting. Sekali aku terjatuh karang-karang tajam ini akan melalapku habis.

Laut kembali sepi.... Jantungku berdegup kencang, kejadian yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Masih masih berdiri dengan posisi punggung melengkung mendekap tas Adis. Dalam selintas pikiran itu, aku justru terpikir untuk menyelamatkan tas Adis yang berisi kamera. 
Beberapa menit berlalu dalam suasana mencekam. Setelah aku yakin tidak ada kejadian lagi, aku beringsut kembali ke tempat Adis dan Obet.

Obet dan Adis tampak keheranan saat aku kembali dalam kondisi basah kuyup. Entah apakah mereka bisa memperhatikan mukaku yang pucat. Adis cuma diam memandangku, antara prihatin dan iba. Obet yang biasanya cerewet pun kali ini tidak berkomentar apapun.

Aku meletakkan tas Adis yang dari tadi aku dekap dan melepaskan kaos yang sudah basah semua. Aku bersandar di salah satu dinding karang tanpa bisa berkata-kata. Apakah ini peringatan.... atau kah sekedar salam kenal? Aku tak mengerti.......

Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini, batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini. Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Malam yang Panjang di Hutan Puru
Aku tersentak, refleks kaget terbangun saat kepalaku terantuk karang yang tajam. Aku mencoba memperbaiki dudukku dalam kondisi mata yang masih berat. Aku coba melihat dua orang temanku yang juga mencoba tidur di antara sela-sela karang yang bisa digunakan untuk bersandar. Tidak mudah tertidur di situasi seperti ini. Sekeliling kami adalah karang-karang tajam, hanya sedikit yang rata itu pun karena tertutup oleh pasir pantai. Inilah satu-satunya tempat kami beristirahat malam ini.

Suasana danau Oemenu II
Tiba-tiba aku bergidik merasakan hawa dingin. Saat musim panas seperti ini memang justru pada malam hari menjelang pagi justru suhu sering drop. Hal yang sama aku alami jika di Kupang. "Mam kita cari ranting ke hutan sana untuk api unggun?" Obet rupanya juga telah terbangun. 
Aku meraba kantong berharap masih ada korek api yang aku simpan, ah syukur rupanya masih ada di saku celanaku.

Aku dan Obet pelahan turun ke bawah mencari ranting yang bisa kami gunakan untuk api unggun. Tuhan masih menyayangi kami, saat mencari kayu aku menemukan sebuah sandal di sela karang entah milik siapa. Plastik, sendal adalah keajaiban dalam kondisi kami saat ini yang akan membantu api menyala lebih lama.

Akhirnya api unggun yang kami buat bisa menyala, lumayan mengusir rasa dingin yang kami rasakan. Kami duduk mengelilingi api unggun, beberapa percakapan kecil terjadi sekedar untuk membunuh waktu yang rasanya bergerak melambat. Tapi tidak ada yang mencoba percakapan dengan apa yang barusan kami alami. Tidak ada.. setidaknya saat ini....

Satu demi satu kami tumbang lagi setelah tidak kuat dijalari rasa kantuk. Ya kami harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pagi nanti.....

Suara Yang Menyelamatkan
Sekitar jam enam pagi saat kami mulai berjalan, suasana agak redup tapi kondisi sekitar jauh lebih jelas terlihat dibanding semalam. Tiba-tiba aku seperti mendengar sayup bunyi lonceng. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk memastikan suara itu yang tercampur dengan bunyi debur ombak.

Aku melihat Obet yang wajahnya seketika berubah cerah, "Mam itu lonceng gereja kan? Iya, Mam! Itu bunyi lonceng gereja" katanya saat suara seperti lonceng terdengar makin menguat. "Puji Tuhan.." Wajah Obet benar-benar tampak cerah. Wah aku lupa kalau pagi ini hari Minggu pastilah itu lonceng gereja untuk kebaktian Minggu.

Kami berjalan lebih semangat kembali ke hutan menerobos semak belukar mengikuti suara lonceng yang kami dengar. Kali ini kami bergerak lebih pasti karena suara gereja terdengar jelas arahnya. Langit yang terang juga membantu kami melewati hutan. Sekaligus kami jadi menyadari bahwa di belakang pantai Eno'niu itu sebenarnya adalah hutan bukan hanya beberapa pepohonan milik masyarakat seperti yang aku kira.

Jam setengah delapan akhirnya kami bertiga bertemu jalan. Ada kelegaan luar biasa yang melingkupi kami. Saat menelusuri jalan, beberapa puluh meter di depan kami lewat seorang mama tua yang berdandan rapi yang menurutku mau ke gereja.
"Mam, aku yang meminta tolong ibu itu ya?" Obet menawarkan diri dengan sangat bersemangat. Yah giliran seperti ini, dia lah yang paling semangat. Dan taukah kalian, adegan selanjutnya tidak lebih adalah melihat pemutaran film India dengan semua melodrama-nya. Obet memang jago kalau urusan seperti itu.

Akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya air yang memasuki tenggorokanku setelah semalaman didera kehausan. Kebetulan mama Viko juga ada kue-kue yang rencananya mau diberikan ke gereja. Ah rejeki anak sholeh, akhirnya bukan cuma mendapatkan minuman kami juga diberikan makanan. Kata Mama Viko, kue-kue yang kami makan itu memang rencananya mau dibawa ke gereja. Mama Viko sendiri biasa berjualan kue di pantai Puru.

Tapi ada satu keanehan yang aku simpan dalam hati. Sejak Obet menceritakan tentang peristiwa kesasarnya kami dan pengalaman bertemu danau, rasanya tidak ada yang menjelaskan tentang keberadaan danau itu. Entah kenapa, mereka tampaknya menghindari menceritakan danau itu.



======= 

Note: Cerita ini bukan pengalamanku sendiri melainkan teman-temanku yang kesana. Awalnya aku diajak namun karena ada kesibukanku akhirnya mereka bertiga yang kesana yaitu: Imam "Bocil" , Adisti "Pipi", dan Alberth "Obet"
Seharusnya aku ikut kesana, namun karena sedang ada kesibukan akhirnya cuma mereka bertiga. Aku kesananya pada hari Minggu setelah pagi-pagi ada telepon dari Vivi, temennya Adis, yang tanya apa Adis menghubungiku. Kata dia waktu itu, malam kejadian itu ada pesan masuk dari Adis, yang berpesan kalau sampai pagi tidak menerima kabar dari dia supaya menghubungiku.



Catatan Tentang Danau Oemenu
Beberapa bulan sebelumnya aku (penulis) dan mas Eko pernah datang ke danau Oemenu  ditemani pak Frengki dan pak Koster. Kata pak Koster waktu itu tempat itu jarang diketahui orang umum bahkan masyarakat sekitar sini. Pak Frangki sendiri mengakui kalau dia sendiri jika tidak ditemani pak Koster masih suka kesasar ke tempat ini.

Pak Koster cerita jika ada beberapa kali orang bule yang datang ke sini minta diantarkan ke danau Oemenu. Bukan pantai Puru? tanyaku waktu itu. Tidak pak, mereka datang ke sini ya maunya melihat Danau Oemenu. Sebelumnya mereka kesini dan membantu masyarakat memasang pipa untuk menarik air dari mata air menggunakan mesin genset. Sayangnya sekarang sudah tidak ada jejaknya, entah karena mesin gensetnya rusak.

Kebetulan sekitar danau Oemenu itu ada sebuah gua bawah tanah yang ada mata air besar yang tidak pernah kering. Mata air ini dulu suka disebut gua ABRI (sorry kalau salah, aku agak lupa penyebutan pak Koster tentang mata air ini) karena dulu tentara pernah memasang pipa untuk mereka gunakan mengambil air di sini. Cukup dalam, aku bisa mendengar suara airnya saat tes dengan melemparkan batu ke dalam gua. Tapi tetap tidak bisa melihat airnya, mungkin juga karena bentuk lekukan guanya.

Pertanyaan yang belum dijawab pak Koster waktu itu darimana orang-orang bule itu tahu tentang keberadaan danau Oemenu dan mata air itu. Setelah kejadian itu, aku baru berpikir lagi apakah ada hubungan antara bule-bule yang datang itu dengan penampakan orang-orang Belanda di danau Oemenu? Entahlah, alam kadang memberikan cerita kepada kita dalam potongan-potongan puzzle.


Tulisan sebelumnya: Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 18 Januari 2018

Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu

Danau Oemenu I yang airnya berwarna gelap
Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini , batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini . Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Rencana Nenda di Snaituka
Sore sekitar jam lima sore, kami bertiga baru masuk ke gerbang wisata Pantai Puru. Jalan dari desa Puru ke pantai ini yang paling memakan waktu. Tanah putih berdebu yang sudah tidak rata membuat motor tidak dapat dipacu. Jam lima namun cuaca masih terasa panas, maklum bulan Oktober seperti ini memang Kupang lagi panas-panasnya.

Pantai Snaituka rencana kami menginap
"Wah, pak Imam..." sapa ramah seorang pria berbadan gempal yang bertugas menjaga tempat ini sambil menyalamiku, "Eh, ada mbak Adis juga" senyumnya makin terbuka lebar saat mengetahui Adis juga datang.
"Mau nginep pak hari ini?" tanyanya. Namanya Pak Frengki, pria ramah ini memang sudah kami kenal lama, hanya Obet yang belum kenal dia karena memang baru sekali ini kesini.
"Iya, sudah sepi ya pak?" tanyaku sambil memandang sekeliling. Jika sudah terlalu sore seperti ini, sebagian besar pengunjung sudah kembali sehingga pantai Etiko'u tampak sepi.
"Iya biasa kalau hari begini. Nginap di tempat biasa kan pak," tanya pak Franki sambil menunjuk lopo yang biasa aku gunakan untuk menginap jika kesini.
"Mau ke pantai sebelah saja pak, bisa kan?"
"Bisa, tapi saya gak bisa temani. Ada acara malam ini."
"Nanti malam kalau sempat saya mampir ke tempat mas Imam," ujar pak Frangki sambil mulai membenahi beberapa barangnya. Katanya sih ada acara di tetangganya hari ini. Pak Frangki memang biasanya kalau pas kami menginap suka datang ke sini buat ngobrol-ngobrol sambil membakar api unggun.

Tanpa menunggu pak Frangki jalan, kami langsung berjalan masuk ke kiri menuju ke arah rerimbunan bakau. Kali ini tidak seperti biasa, kami berencana akan menginap di pantai Snaituka. Pantai Snaituka terletak disebelah pantai Etiko'u yang dibatasi pepohonan bakau dan bekas rawa yang mengering selama bukan musim hujan.

Sesampai di pantai Snaituka kami menaruh semua barang di dekat pepohonan yang pasirnya agak tinggi karena di bawah pohon kelapa masih terlalu banyak tanaman perdu yang batangnya banyak duri, tempat yang ideal untuk memasang tenda . Aku melihat matahari sudah mendekati batas horison dan pantai Snaituka bukan lokasi terbaik untuk menikmati pemandangan itu. Yap, tenda kami berencana tidur di pantai Snaituka tapi kami menghabiskan hari di pantai Eno'niu. Pantai terbaik untuk menikmati senja karena dari tempat itu matahari tampak tepat jatuh di horison air. Setelah berembuk, kami sepakat untuk menunda pasang tenda dan menikmati senja dulu di pantai Snaituka.

Aku bahkan memilih meninggalkan semua peralatan termasuk air minum karena aku pikir pantai Eno'niu yang cuma berjarak seratusan meter dari pantai Snaituka tidak praktis jika sambil membawa air minum. Walau jaraknya dekat tapi menuju pantai Eno'niu tidak mudah karena antara dua pantai ini dibatasi karang tinggi. Memang ada jalur yang dalam dilewati sesuai namanya yaitu Eno'niu (pohon asam), tapi tetap saja harus melewati karang tinggi yang tajam.

Kemalaman di Eno'niu
Pantai Eno'niu yang terlindung karang di kiri kanan
Karena terlalu asyik menikmati pantai Eno'niu, kami bertiga baru tersadarkan jika langit sudah terlalu gelap. Giliran mau balik ini lah yang menjadi masalah. Jalan kita masuk ke tempat ini sudah terlalu gelap padahal saat terang saja kita harus ekstra hati-hati.

"Mam, kita lewat jalan lain ya" Obet bertanya tapi aku tahu anak ini sebenarnya takut.
"Takut Bet?"
"Gak lah, aku cuma takut kalian kesusahan lewat.. Aku cuma pengen lewat jalan lain saja kok"
"Ya udah. lewat balik jalan tadi aja" 
"Jalan lain aja, aku gak suka jalannya kalau gelap. Bukan takut sih, tapi agak gimana gitu. Lewat jalan lain ya"
Tokek satu ini memang begini. Aku tahu dia sebenarnya takut dengan ketinggian, apalagi harus lewat melalui jalan masuk tadi saat gelap begini. Tapi tetap saja kelakuannya sok cool (baca: kedinginan).

Sebenarnya kalau sedang surut kita bisa berjalan menyusuri pinggir pantai. Tapi saat ini justru air baru setengah tinggi sehingga ombak bisa menjangkau sampai ke pinggir karang jelas bukan ide bagus. Masalahnya beberapa kali ke sini aku belum pernah ditunjukkan jalan lain selain lewat karang dan pinggir pantai. Aku sendiri tidak tahu ada apa dibalik pepohonan pantai Eno'niu. Aku pernah naik di salah satu karang bareng mas Beki tapi waktu itu yang tampak disekeliling hanya pepohonan dan karang-karang tinggi. Entah berapa jauh jarak ke perkampungan dari tempat ini.

"Dis, bawa minum?"
"Gak"
"Obet?"
"Gak lah, kan kita tinggal semua di tenda"
"Ah, sial!"

Salah satu jalan menuju ke pantai Eno'niu
Cukup lama aku harus menimbang. Tidak ada minuman, tidak ada pisau, dan tentu saja tak ada sinyal di sini. Cuma ada satu senter, dan itu aku saja yang bawa. Tidak ada pilihan untuk bertahan disini. Memang ada ceruk di salah satu tebing yang bisa kita gunakan untuk bermalam hanya bukan saat ini, bukan pada saat seluruh barang kami tinggal di dalam tenda.

Akhirnya aku memutuskan masuk ke dalam rerimbunan pepohonan dimana ada sebuah jalan kecil disitu. Aku melihat sebuah jalan kecil temukan saat langit masih cukup tadi sore. Aku sendiri tidak tahu pasti di balik pantai Eno'niu adalah sebuah hutan, hanya perkiraanku saja. 

Aku fikir setidaknya jika aku terus berjalan mengikuti arah kiri aku akan bisa sampai ke salah satu pantai entah pantai Etiko'u atau syukur bisa ke pantai Snaituka. Atau sesial-sialnya tetap akan ketemu jalan kampung.

Di depan jalan kecil yang tidak kami kenal ini kami terhenti sejenak. Ada secuil doa yang diam-diam aku panjatkan bahwa ini bukan keputusan yang salah. Aku di depan memimpin jalan dengan senter di kepala. Obet di belakangku dan yang paling belakang adalah Adis dengan mengunakan cahaya senter dari hape masing-masing. Kenapa justru Adis yang notabene cewek justru yang paling belakang? Kalian pasti tahu apa sebabnya.

Bertemu Danau Oemenu
Aku menyusuri jalan dengan hati-hati. Setiap ada kemungkinan ke kiri aku akan memilih jalan itu. Semakin dalam aku masuk, pepohonan semakin lebat, jalan pasir putih mulai digantikan dengan karang yang tidak rata. Semakin ke dalam jalan yang mulai tambah tak jelas, beberapa kali kakiku harus terantuk akar kayu yang menjalar di sepanjang jalan.

Danau Oemenu I menjelang tengah hari
Aku terus berjalan yang pelahan menanjak sampai pada titik tertinggi dan berhenti di antara bayangan tinggi karang yang menjulang dengan akar pohon yang menutupinya, mungkin pohon beringin.

Dalam keremangan malam, cahaya senterku menangkap bayangan gelap air jauh di bawah. Aku tidak terlalu yakin. Aku berhenti menunggu Obet dan Adis mendekat. "Itu dibawah air Bet?" tanyaku setelah Obet menjajariku.
Mata Obet menatap lekat-lekat ke bawah mengikuti arah pandanganku. Tak ada jawaban.
"Bet, kita cek ke bawah dulu?"
"Kamu aja cek mam, aku tunggu di sini jagain Adis," usul Obet disambut muka galak Adis yang merasa dimanfaatkan sama Obet.

Danau Oemenu II yang airnya berwarna hijau
Sambil mencari pijakan pelahan aku turun ke bawah meninggalkan mereka berdua menunggu di atas. Beberapa langkah turun, samar aku bisa mencium bau anyir. Aku diam agak ragu, aku melihat ke atas melihat apakah mereka berdua juga membaui hal yang sama. Semakin turun ke bawah bau anyir semakin tercium kuat. Jalan menurun agak curam tapi terbantu dengan sulur-sulur yang melintang sepanjang jalan bisa untuk membantu pijakan atau pegangan.

Sekarang di depanku tampak sebuah kubangan air sebesar rawa yang airnya yang tampak pekat kehitaman. Pepohonan besar yang mengelilinginya tampak seperti bayangan mahluk hitam besar penjaga rawa. Hawa dingin menerpa sebelah kananku begitu halus. Refleks aku menolehkan pandangan ke kanan dan sebuah jalan kecil samar dan di depannya ada ............

Tak ada apa-apa.. hanya hitam gelap....

"Dis.. Bet.. turun, kayaknya ada jalan di depan sini," aku berteriak ke arah Adis dan Obet berdiri menungguku di atas.

========
Malam terasa begitu sunyi sehingga bunyi-bunyian dari binatang malam sangat jelas terdengar seperti bersahut-sahutan. Aku bahkan dengan jelas bisa mendengar kaki Imam merosot turun ke bawah. Satu-satunya yang membantu mengusir sunyi pada saat ini adalah celotehan Obet yang tidak jelas. Cukup membantuku mengabaikan kelebatan-kelebatan suara kaki yang bergerak cepat di belakangku.

"Dis, kita turun," Obet menoleh kepadaku. Sebelum aku mengiyakan ternyata Obet sudah turun duluan, padahal kukira dia mau meminta aku turun duluan. Mahluk satu ini dalam situasi tertentu kadang kelihatan kampretnya.

Mas Eko menuju ke danau Oemenu II
Kami berdua turun mengikuti jejak Imam sambil menjangkau sulur-sulur pohon untuk dijadikan pegangan. Tak berapa lama Obet sudah berdiri menjajari Imam. Aku yang masih beberapa meter di belakang Obet dan Imam saat tiba-tiba merasakan beberapa langkah kaki bergerak mendahuluiku.  

Saat aku menoleh ..... pandanganku terpaku pada sosok pendek bergerak turun di sampingku. Wajahnya terlihat samar gelap seperti muka yang bersembunyi di balik bayangan. Satu satunya tiba-tiba berhenti dan seperti menyadari sesuatu tiba-tiba menengok ke dan menatapku. Mata bulat menyudut berwarna merah sesaat membuatku diam terpaku. Lalu dia bergerak menghilang di kegelapan hutan. Mata itu mengingatku pada mata seekor rusa.

Seperti tersadar kalau tanganku sudah tidak memegang hape yang aku gunakan sebagai pengganti senter, sontak aku meraba-raba tanah mencarinya. Untung cahaya hape menyala sehingga sebentar sudah aku temukan lagi. Aku memejamkan sejenak, pengalaman tadi membuat jantungku berdetak kencang. Sepertinya ini adalah permulaan, batinku.

Aku mendengar Imam dan Obet memanggil-manggil namaku. "Iya, gak pa-pa!" sahutku supaya mereka tidak merasa kuatir.

Pelahan aku kembali turun ke arah mereka. Tak berapa lama kemudian aku sudah berdiri beberapa meter di depan mereka. Ada kelegaan di mata mereka melihatku.

Tiba-tiba ada hembusan angin dingin dari belakang mereka ke arahku. Aku menahan diri untuk tidak melihat. Sedetik.. dua detik.. tidak ada apa-apa. Tiba-tiba ada beberapa kali yang melintas di sampingku yang membuatku tanpa sadar melihat ke arah mereka.

Mataku mengikuti arah mereka hingga akhirnya tertumbuk ke arah dimana angin dingin tadi bertiup dan di balik bayangan pepohonan aku melihatnya.....
=========

Aku dan Obet menoleh ke arah Adis karena tiba-tiba merasakan suasana senyap. Aku melihat Adis terdiam. Karena tidak melihat gerakan gadis itu akhirnya aku dan Obet bersamaan teriak memanggilnya. Untung tak lama kemudian Adis menjawab. Ah aman, pikirku.

Aku berjalan beberapa langkah ke depan untuk memastikan jalan yang akan kami lewati. Saat aku menimbang arah tiba-tiba mataku tertumbuk pada pandangan Adis di belakangku. Sontak aku mengikuti arah pandangnya dan ...........  

Hanya ada kegelapan kosong, selain bau anyir air lumpur rawa ini tentu saja. "Dis," panggilanku pelan seperti tidak didengarkannya, pandangannya tetap seperti semula seperti terpaku.
"Dis," aku memanggil sedikit lebih keras. Adis tidak menjawab tapi buru-buru bergerak ke arahku disusul dengan Obet kemudian. "Kita jalan," katanya seperti menghindari sesuatu.

Milkyway di atas langit Puru
Kami kembali berjalan menembus hutan yang tidak tahu kapan berakhirnya. Perjalanan berikutnya bukan makin mudah karena kami justru harus melewati karang yang lebih tajam-tajam dibanding sebelumnya. Beberapa sulur ternyata ada duri. Aku tak tahu kalau beberapa sulur yang mirip akar itu sebenarnya pohon tuba yang memang tumbuhnya menjalar, cuma bedanya sepanjang batangnya banyak duri. Aku sudah mengabaikan rasa perih yang beberapa kali kurasakan saat salah memegang sulur.

Aku selalu mencoba memilih ke kiri berharap untuk setidaknya bertemu dengan pantai. Namun entah mengapa selalu ada dinding karang terjal yang membuat aku harus berjalan memutarinya. Ada suara ombak yang aku dengar tapi sulit menentukan di sisi mana karena suara itu bisa jadi dari pantulan bukit-bukit karang. Suara ombak itu seperti berasal dari beberapa sisi. Beberapa kali aku coba mengikuti suara ombak tapi berakhir di dinding karang yang tidak bisa dilewati.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tidak ada tanda-tanda bakal menemukan pantai. Rasa kuatir mulai merambati hatiku. Celotehan Obet bahkan sudah tidak terdengar lagi, hanya sekali-kali. Tapi cukup membantu mengurangi beban, apalagi berjalan tak tentu arah selama tiga jam membuat kerongkongan kami kehausan.

Dalam langkah dengan keyakinan yang makin goyah, langkahku seperti menemukan titik terang saat aku bisa mendengar lamat-lamat di depanku. "Bet, itu suara ombak dari depan kan?" aku coba mencari pendapat lain. Obet menganggukkan kepada enggan, semangatnya mulai patah.
Aku cuma berharap dia tidak benar-benar kehilangan semangat. Satu-satunya yang tetap membuat kami bertahan di saat seperti ini. 

Dengan sebagian semangat yang masih tersisa, aku mulai baik pelahan ke atas batu karang menembus sulur-sulur yang makin rapat. Makin ke atas, asal suara ombak makin terdengar jelas, sehingga aku makin yakin kami makin mendekati pantai.

=========
Aku tidak peduli betapa tenggorakanku sudah mengering dari tadi, aku hanya mengikuti langkah mereka berdua yang terus berputar-putar di hutan ini. Bahkan saat Imam mulai tampak semangat mengikuti bunyi ombak yang diyakini telah dekat pantai.

Aku hanya ingin keluar dari hutan ini, tidak ada yang lain. Perkenalan dua kali tadi cukup membuatku yakin bahwa mereka tidak menyukai kami di sini.

Beberapa kali aku harus merelakan kakiku terluka terkena ujung karang yang tajam. Awalnya memang terasa pedih namun karena terlalu sering aku justru malah mengabaikannya. Lain dengan Obet, tiap kali kakinya terkena sulur atau tersangkut karang masih saja sumpah serapahnya keluar. Mujur masih ada suara dia, setidaknya keheningan hutan ini tidak segera membunuh semangatku.

Aku sempat berfikir untuk mengajak mereka turun ke danau itu, tapi lagi-lagi aku memilih diam. Walaupun aku bisa melihatnya belum tentu perjalanan ke bawah mudah. Sambil terus berjalan mataku mencuri lihat ke arah danau berharap ada jalan mudah turun ke sana.

Tiba-tiba di ujung danau aku melihatnya......... Dia hanya menatapku, tidak hanya satu...
==========


(bersambung ke Danau Oemenu: Gelombang Tinggi)
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 05 Januari 2018

Menaklukkan Benteng Tolukko


Pernah lihat acara TV Takeshi's Castle? Sebuah acara reality show yang aslinya berasal dari TV Negara Jepang, menyiarkan ujian permainan ketangkasan demi menaklukan Benteng Kastil Takeshi.  Bagi yang berhasil melewati semua ujiannya dianggap sebagai pemenang dan berhak atas sejumlah hadiah. Nah, benteng ini mengingatkan aku dengan benteng yang ada di reality show Takeshi's Castle itu. Benteng yang bentuknya seperti bidak catur dan juga seperti benteng-benteng yang ada dalam negeri dongeng.

"Ino Wosa Lafo Waro Masejarahnya", tulisan spanduk dalam bahasa Ternate yang berarti, Mari Masuk Supaya Kita Tahu Sejarahnya, terpasang di pintu gerbang masuk benteng. Undak-undakan tangga diapit pot-pot tanaman hias yang cantik menghampar seakan menyambut pengunjung yang datang.

Aku melewati lorong dan menuruni undakan tangga menuju ke arah belakang benteng dengan view laut. Pemandangannya bagus, aku betah berlama-lama di spot ini. My favorite spot! Dari sini tampak lautan luas dan Pulau Tidore dengan Gunung Kie Matubu-nya dikejauhan. Disisi kanan benteng terlihat Gunung Gamalama seakan merengkuh. 

Benteng ini dikelilingi oleh tembok yang tebal dan kokoh. Ada bagian dari dinding tembok dibuat seperti menonjol keluar, tempat ini disebut Bastion. Dulunya digunakan sebagai pertahanan, tempat moncong meriam atau senjata untuk menghalau musuh yang datang dari laut. Disini juga ada ruangan bawah tanah dengan beberapa bilik ruangan.

Asal nama Tolukko berasal dari salah satu nama Sultan Ternate yang bernama Kaicil Tolukko yang memerintah sekitar tahun 1692. Namun sumber lain mengatakan karena masyarakat tidak jelas melafalkan nama Benteng Santo Lucas (nama benteng pertama kali) sehingga menjadi Tolukko. Lokasi berada di jalan raya utama provinsi tidak jauh dari Kedaton Kesultanan Ternate, tepatnya di Kelurahan Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. 

Benteng pertama kali dibangun oleh Fransisco Serao, Panglima Portugis pada tahun 1540 dan diberi nama Santo Lucas. Alasan dibangunnya benteng sebagai basis pertahanan sekaligus pusat penyimpanan rempah-rempah (Cengkih, Pala, Kayu Manis, Merica) dalam menguasai dan mendominasi jalur rempah atas bangsa Eropa lainnya (Spanyol & Belanda). Letak benteng yang strategis diatas bukit dan dekat dengan perairan/laut untuk mengawasi kapal-kapal  lewat dan situasi yang terjadi di Kedaton Kesultanan Ternate.

Setelah perlawanan rakyat Ternate dibawah pimpinan Sultan Baabullah, maka kekuasaan Portugis berakhir pada tahun 1577. Benteng Santo Lucas pun berhasil dikuasai Kesultanan Ternate.

Dalam suatu pertempuran Belanda berhasil merebut benteng ini dari Kesultanan Ternate pada tahun 1610 dan mengganti namanya menjadi Hollandia. Benteng Hollandia kemudian direnovasi oleh Pieter Both. Berdasar kerjasama antara VOC dan Kesultanan Ternate pada tahun 1661, Sultan Mandar Syah diberi ijin untuk menempati benteng ini dengan personil yang dibatasi. Pada Tahun 1864 Residen P. Van Der Crab memerintahkan untuk mengosongkan benteng karena sebagian bangunan telah rusak.


Benteng Tolukko dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku pada tanggal 1 Juli 1996. Setahun berselang tepatnya tanggal 25 Nopember 1997 diresmikan penggunaannya oleh Prof.DR. ING Wardiman Djojonegoro, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. 

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 18 Desember 2017

Keraton Ratu Boko, Istana Kedamaian dan Kejayaan Abadi

Candi Ratu Boko
Gerbang masuk kedua dari Candi Ratu Boko
Megah dan agung, kesan pertama yang aku rasakan saat memasuki keraton ini. Gerbang gapura berdiri kokoh diapit dinding benteng dengan anak tangga untuk masuk ke atas.  Gerbang gapura pertama dengan 3 pintu dan dilanjutkan gerbang gapura kedua dengan 5 pintu. Tulisan pada Gapura Pertama "Panabwara" ditulis oleh Rakai Panabwara (Keturunan Rakai Panangkaran). Penanda Panabwara sebagai penguasa keraton ini.

Gerbang gapura ini spot yang paling diminati pengunjung untuk berfoto. Apalagi bila matahari terbenam, kesan dramatis menambah indahnya obyek foto. Dari gerbang gapura ini tampak pesawat-pesawat terbang melintas dan pemandangan sekitar Yogyakarta. 

Candi Ratu Boko
Candi pembakaran (kremasi)
Setelah melewati gerbang gapura kedua, disebelah kiri terlihat candi pembakaran/kremasi.  Dibelakang tempat kremasi terdapat sumur suci yang mata airnya tak pernah kering. Air dari sumur suci ini biasanya digunakan untuk ritual keagamaan umat Hindu dan Buddha. Dulu aku sempat membasuh tanganku dengan air di sumur ini, tetapi sekarang sudah tidak bisa karena bibir sumur sudah dikelilingi dengan tumpukan batu yang tinggi. Bila ingin melihat bersantai sambil menikmati alam di ketinggian, ada gardu pandang yang letaknya tidak jauh dari candi Pembakaran/kremasi ini.

Tempat lain yang menurutku menarik adalah Kaputren/kolam. Kita harus ke sisi kanan melewati dua bangunan Paseban yang saling berhadapan, Pendopo dan lorong selasar yang diapit dinding dikanan-kirinya untuk menuju Kaputren/kolam. Kaputren ini terbagi dua bagian dipisahkan oleh dinding, dan dihubungkan dengan pintu gapura kecil. Bagian pertama dengan 3 kolam yang besar, dan bagian kedua dengan 7 kolam kecil-kecil. Rasanya ingin bermain air di kolam ini, sepertinya menyenangkan.

Disebelah kiri terpisah jauh dari Kaputren ada goa-goa yang dahulu biasanya digunakan bermeditasi. Ada Goa Lanang  dan Goa Wadon.

Keraton Ratu Boko berada di Desa Bokoharjo dan Desa Sambireja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. 3 km disebelah selatan komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta. Berada diatas puncak bukit yang tingginga kurang lebih 200 meter. Situs ini memiliki lokasi seluas 25 hektar terdiri dari, Gerbang Utama, Candi Pembakaran dan Sumur Suci, Paseban, Pendopo, Keputren/Kolam, dan Gua. Diperkirakan dibangun abad ke-8 masa Wangsa Syailendra/ Dinasti Syailendra ( Rakai Panangkaran, Raja ke-2 dari Kerajaan Medang/ Mataram Kuno).

Nama Ratu Boko berasal dari legenda masyarakat setempat Ratu Boko (Bahasa Jawa adalah Raja Bangau), Ayah Lara Jonggrang. Namun kutipan kisah Mas Ngabehi Purbawidjaja dalam Serat Babad Kadhiri menggambarkan keberadaan Situs Ratu Boko dalam versi yang lain.

Kaputren Candi Ratu Boko
Kaputren di kawasan Candi Ratu Boko
Dalam Serat Babad Kadhiri mengisahkan Prabu Dewatasari dari Keraton Prambanan. Raja Prambanan adalah Prabu Boko seorang raja yang ditakuti karena gemar makan daging manusia. Sebenarnya Prabu Boko seorang perempuan yaitu Permaisuri Raja Prambanan yang bernama Prabu Prawatasari, titisan raksasa yang bernama Butho Nyai. Kecantikannya tiada tanding dan tingginya melebihi rata-rata orang dewasa sehingga dia mendapat nama alias Roro Jonggrang/Lara Jonggrang. Setelah melahirkan putranya Prabu Boko mempunyai kebiasaan makan daging manusia. Prabu Dewatasari murka dan mengusir Prabu Boko dari istana. Prabu Dewatasari menyesal karena telah mengusirnya dan membuat patung yang mirip dengan Permaisuri Prawatasari/Prabu Boko untuk mengenangnya. 

Berdasar tulisan seorang Arkeolog Belanda bernama H.J.De Graaff pada abad 17 menginformasikan adanya penemuan reruntuhan bangunan istana di Bokoharjo.Tahun 1790 Van Boeckholtz mempublikasikannya dan menarik ilmuwan untuk menelitinya. Awal Abad ke 20 FDK Bosch kembali meneliti dan menyimpulkan bahwa reruntuhan di Bukit Boko merupakan bekas keraton.
  
Gerbang kedua Candi Ratu Boko
Tangga dari gerbang kedua di Candi Ratu Boko
Prasasti Abhya Giri Wihara 792 M yang ditemukan di situs Ratu Boko, menyebut Tejahpurnapane Panamkarana/ Rakai Panangkaran (746-784 M) dan kawasan Wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara. Disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mengundurkan diri dari raja untuk mendapatkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan Buddha, dengan dibangunnya Abhyagiri Wihara. Ratu Boko/ Abhyagiri Wihara lebih dulu dibangun dibandingkan Candi Borobudur (pemerintahan Rakai Garung Samaratungga) dan Candi Prambanan (pemerintahan Rakai Pikatan).

Gerbang masuk Candi Ratu Boko
Menurut Prasasti Siwagrha 856 Masehi Abhyagiri Wihara dirubah dari Wihara menjadi benteng pertahanan oleh Balaputradewa dalam perebutan tahta dengan Rakai Pikatan (menantu Rakai Garung Samaratungga, anak Rakai Patapan Pu Palar). Balaputradewa adalah putra Rakai Warak Samaragrawira, Raja ke-4 Medang. Akhirnya Balaputradewa pergi ke Sri Wijaya dan menjadi raja disana (Sriwijaya adalah kerajaan yang telah ditaklukan oleh Rakai Panunggalan/Dharanindra Raja ke-3 Kerajaan Medang, Kakek Balaputradewa).

Disebutkan juga dalam Prasasti Siwagrha, Rakai Walaing Pu Kumbayoni (tahun 856-863 Masehi), seorang raja bawahan Medang dalam pemberontakannya dengan Rakai Pikatan, berhasil merebut Abhyagiri Wihara dan menamainya Keraton Walaing. 

Menurut Prasasti Mantyasih yang diprakarsai oleh Rakai Watukura Dyah Balitung (tahun 898-908 Masehi), Walaing adalah keturunan Punta Karna, yang menulis Prasasti Mantyasih tahun 907 Masehi. Sedangkan menurut prasasti yang ditemukan di Keraton Ratu Boko ini diketahui Rakai Walaing Pu Kumbayoni adalah cicit Sang Ratu di Halu, diidentifikasikan Sang Ratu di Halu memiliki hubungan kerabat dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Pendiri Kerajaan Medang.

Pada masa itu terjadi beberapa kali pemberontakan karena masing-masing pihak merasa berhak atas tahta Medang. Penguasaan atas Abhyagiri Wihara berpengaruh pada perubahan struktur bangunan dari corak  Buddha (Rakai Panangkaran) ke corak Hindu (Rakai Walaing).



Sekarang bila kita mengunjungi Candi Prambanan diberikan promo tiket paket untuk ke situs Keraton Ratu Boko. Kita hanya membayar Rp. 65.000 untuk dapat dua tiket masuk obyek wisata, Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko. Dari Candi Prambanan disediakan shuttle bus menuju Keraton Ratu Boko pergi pulang. Jarak dari pintu masuk menuju komplek keraton sekitar 100 meter. Melewati taman dengan hamparan rumput hijau dan tanaman hias. Taman telah dilengkapi bangku taman dan wastafel untuk cuci tangan di tiap gazebo. Tidak jauh dari taman juga ada Toilet/WC umum dan Mushola. 

Tahun 2017 ini ketiga kali aku mengunjungi situs Keraton Ratu Boko. Masih seperti dulu terlihat sepi tetapi sebenarnya ramai. Pertama kali kesini tahun 2005. Aku ingat jariku tertusuk duri tanaman perdu yang tumbuh di sekitar Pendopo. Kunjungan kedua tahun 2008. Selepas kunjungan kedua itu aku bermimpi aneh. Rasanya aku berada di atas sebuah gunung atau bukit yang dikelilingi air. Sebuah suara membisikiku seakan memberitahu nama tempat yang aku pijak. 

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya