Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Jumat, 01 Desember 2017

Memuja Sang Dewi Danu di Ulun Danu Beratan


Aku singgah di Strawberry Farm Restaurant untuk istirahat setelah mengarungi lautan macet. Mungkin karena kunjunganku ini bertepatan dengan libur panjang 4 (empat) hari jadi akses jalan padat dimana-mana. Ice Coffee Latte dan Jus Stroberi yang segar dan mantap telah menuntaskan dahagaku. Aku pun semakin bersemangat melanjutkan perjalanan ke Pura Ulun Danu Beratan.


Begitu memasuki kawasan pura ini, disambut dengan pepohonan Pinus, Palem dan bunga-bunga Jepun atau Bunga Kamboja yang menghiasi taman dengan jalan setapak yang membelah menuju gerbang danau. Di depanku Turis Asing seorang Ibu dengan anak perempuannya yang menginjak remaja. Dari percakapan yang aku dengar, mereka dari negerinya Vladimir Putin, Rusia. Aku memang suka curious alias kepo kalau ada orang Rusia sedang berbicara. Anggap saja aku sedang berada di Laboratorium Bahasa Rusia, Bahasa yang pernah aku pelajari beberapa tahun yang lalu.

Obyek wisata Ulun Danu Beratan berlokasi di daerah Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti,  Kabupaten Tabanan, Bali. Sekitar 56 (limapuluh enam) Kilometer dari Kota Denpasar. Berada di tepi jalan provinsi arah Bedugul. Terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Dikenal sebagai danau "Gunung Suci".

Berdasar Babad Mengwi, Ulun Danu dibangun oleh Raja I Gusti Agung Putu/ I Gusti Agung Sakti dari Kerajaan Mengwi sebelum tahun Saka 1556 ( tahun 1643 Masehi). Pura ini digunakan untuk persembahan sebagai penghormatan kepada Dewi Danu, Dewi air, danau dan sungai.

Komplek Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 5 (lima) pura dan 1 (satu) Stupa Buddha. Pura Penataran Agung, Pura Dalem Purwa, Pura Taman Beji Ngebejiang, Pura Lingga Petak, Pura Prajapati dan Stupa Buddha yang dibangun sebagai wujud toleransi bagi pemeluk agama Buddha.

 

Oohh ternyata sedang ada upacara di Bale Panjang Pura Dalem Purwa untuk penghormatan kepada arwah para leluhur. Pantas saja Ulun Danu Beratan tampak dipadati penduduk sekitar. Mereka berpakaian adat berupa Kebaya, Beskap, Kain, Ikat kepala dan Ikat Pinggang khas Bali yang didominasi warna Putih dan Kuning Emas. Sambil menangkupkan dua telapak tangan di atas kepala, mereka tampak khidmat melaksanakan ritual yang dipimpin seorang Pedanda.

Nah, ini yang aku cari, spot gambar lembaran uang Limapuluh Ribu Rupiah. Coba cek yang punya lembaran uang Rp.50.000, di situ terlihat gambar Pura Lingga Petak atau lebih dikenal sebagai Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini memiliki dua Pelinggih yaitu, Pelinggih Meru Tumpang Solas dan Pelinggih Tumpang Telu. Disini terdapat sumur suci dan keramat yang menyimpan Tirta Ulun Danu (Air Suci Ulun Danu). Wisatawan dianggap belum pernah ke Bali kalau belum ke tempat ini, karena Pura Ulun Danu Beratan adalah ikon wisata Bali.

Cuaca mendung dan berkabut tidak menghalangi para wisatawan untuk berpose di ikon wisata Ulun Danu Beratan. Memang harus ekstra sabar antri untuk bisa berfoto di ikon ini. Akhirnya aku pun bisa berfoto sambil memamerkan lembaran uang Lima Puluh Ribu Rupiah-ku. Aseeekk!

Bagi pengunjung yang ingin mengarungi danau, pengelola obyek wisata menyediakan Perahu berbentuk Bebek dan Angsa yang bisa disewa perjam-nya. Kios-kios yang menjual Cenderamata/souvenir berjajar di pintu keluar obyek wisata, bersebelahan dengan parkiran. Aku sempat membeli celana kain Merah khas Bali favorite-ku.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 19 November 2017

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo, Beraksi di Tebing Breksi

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Penampakan bagian depan Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Pahatan Naga Besar bermahkota Jamang tampak menyambut di ujung tangga masuk pada bagian tebing pertama yang lebih kecil. Tangga-tangga dibuat dengan memahat dinding tebing. Pahatan Wayang Bima, Arjuna dan Sumbadra di bagian tebing kedua yang lebih besar. Beberapa pengunjung sedang berpose dengan Burung Hantu disisi tangga yang menuju puncak tebing kedua yang lebih besar.


Aku meniti tangga untuk ke puncak tebing yang kedua. Di atas angin berhembus kencang. Dari sini kita bisa melihat Bandar Udara Adi Sucipto dan Kota Yogya di kejauhan. Penduduk sekitar telah menyediakan spot-spot foto lengkap dengan dekorasi kekinian yang disukai para remaja ABG tentu saja dengan membayar sekedarnya. Beberapa contoh plang tulisan " Kawasan Wajib Senyum", "Pacaran Mulu Kapan Nikah?", Bentuk dekorasi kerang Tiram yang besar dan asesoris untuk kepala.


Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Panggung pertujukan
Di muka tebing dibangun panggung pertunjukan pentas seni budaya. parkiran luas menghampar. Di sisi kanan kios-kios makanan dan minuman yang dilengkapi fasilitas Mushola dan WC umum. Kendaraan jenis ATP dan mobil Jeep disediakan bagi pengunjung yang ingin meng-explore Tebing Breksi lebih lanjut.
Pertama kali aku datang kesini Desember tahun 2016. Aku singgah sejenak karena searah dengan tempat wisata Candi Ijo. Tebing Breksi sedang berbenah mempercantik diri. Kunjungan kedua di Bulan Oktober 2017, terlihat pagar-pagar telah dibangun disisi tangga dan atas tebing agar pengunjung terlindungi. 

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Tebing Breksi berlokasi di Sambirejo, Prambanan Kabupaten Sleman, sekitar 10 km dari Bandar Udara Adi Sutjipto Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekilas tempat ini mengingatkanku dengan lokasi wisata di Bali, Garuda Wisnu Kencana dan Pantai Pandawa.

Berdasar penetapan Surat Keputusan Badan Geologi No.1157.K/73/BGL/2014 tanggal 2 Oktober 2014 tentang Penentuan Kawasan Cagar Alam Geologi Daerah Istimewa Yogyakarta, Geosite Breksi Tuf Candi Ijo atau yang lebih dikenal sebagai Tebing Breksi adalah Geoheritage. Pengertian dari The Geological Society of America tahun 2012 menjelaskan, Geoheritage: (berasal dari kata geo - yang berarti "bumi" dan -heritage yang berarti "warisan") adalah situs atau area geologi yang memiliki nilai-nilai yang penting dibidang keilmuan, pendidikan, budaya dan nilai estetika.

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Bukti sudah sampai ke tempat ini
Menurut Tim Geoheritage dari Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Riwayat Geologi Yogyakarta terbagi menjadi 4 (empat) peristiwa, Masa Sebelum Kejayaan Gunungapi Purba (36-60 Juta tahun lalu), Masa Kejayaan Gunungapi Purba (16-36 Juta Tahun lalu), Masa Berakhirnya Gunungapi Purba (2-16 Juta Tahun Lalu) dan Masa Gunungapi Modern (2 Juta Tahun Lalu).

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo berasal dari Gunungapi Semilir yang berupa gunungapi strato (di dalam laut) yang diawali dengan terbentuknya Lava Bantal Berbah (36-16 Juta Tahun Lalu), selanjutnya terjadi letusan maha dahsyat berturut-turut sehingga salah satunya menghasilkan tumpukan abu vulkanik yang disebut Breksi Tuf Candi Ijo. Breksi Tuf Candi Ijo menumpuk secara tidak selaras di atas Lava bantal hingga puncaknya di Candi Ijo yang mempunyai ketebalan mencapai 300 meter. Tumpukan abu vulkanik Breksi Tuf Candi Ijo adalah yang paling tebal di dunia. 




Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke tebing ini. Pagi menjelang siang sampai sore menjelang malam selalu ramai. Mungkin karena tempat ini menjadi tujuan wisata kekinian yang disukai kids jaman now agar eksis di sosial media. Instagramable.

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 05 November 2017

Pura Candi Gunung Kawi, Lembah Para Raja

Gunung Kawi Ubud Gianyar
Dinding batu dengan lima pahatan candi
"Be careful, Honey!", suara perempuan terdengar dibelakangku. Ketika aku menoleh ternyata turis asing sedang menasehati anaknya pada jarak tiga anak tangga dariku. Seorang ibu muda dengan balita laki-laki yang berumur kira-kira 3 tahun. Balita berkaos putih, celana biru, dengan mata jernih dan berambut pirang, terlihat begitu mandiri menuruni anak tangga sambil diawasi ibunya. How cute adorable! 


Gunung Kawi Ubud Gianyar
Sungai Pakerisan Gunung Kawi
Aku pun melanjutkan menuruni ratusan anak tangga memasuki lembah Sungai Pakerisan. Melepaskan pandangan ke kanan hamparan hijau persawahan berundak-undak begitu cantik dengan sistem pengairan Subak. Sebuah Cakruk atau gubuk berada ditepi sawah sebagai tempat istirahat bersantai petani maupun turis. Di sisi kiri kios-kios berjajar menjual cenderamata dan oleh-oleh.


Jalan semakin menurun, anak tangga diapit dinding tebing di kanan kirinya. Seperti lorong yang berakhir di pintu gerbang masuk. Setelah aku melewati pintu gerbang tampak sebuah jembatan membelah Sungai Pakerisan. Jembatan ini menghubungkan kita dengan Gugusan Lima Candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan. 

Kawasan persawahan yang menghijau di Gunung Kawi
Candi-candi dipahat pada dinding tebing batu paras/cadas. Candi sengaja dipahat lebih menjorok ke dalam agar terlindung dari erosi. Ukuran candi kira-kira tinggi 10 meter dengan lebar 30 meter. Pada Gugusan Lima Candi terdapat tirta/mata air suci yang mengairi kolam yang ada di bawah permukaan candi yang bertingkat. Ikan-ikan emas dalam kolam bergerak kesana-kemari. Gemericik air yang mengairi kolam menyejukan hati.

Sungai Pakerisan dipenuhi bebatuan dan dialiri air yang jernih. Pohon-pohon besar tumbuh disisi sungai dengan dahan dan daun yang menjuntai. Seperti sebuah gerbang gaib penanda wingitnya tempat keramat itu. Tubuhku yang sensitif menangkap sinyal hawa dari dunia lain. Aku pun bergegas menjauh.

Aku berjalan menuju sisi barat Sungai Pakerisan tempat gugusan 4 (empat) candi berada. Ada sebuah Ceruk/goa diujung kiri sepertinya digunakan untuk Meditasi/samadhi. Disini juga dibangun Pura Kawan yang digunakan untuk berdoa.

Pura Gunung Kawi atau Candi Gunung Kawi/Tebing Kawi berupa bangunan suci Pedharman (Kuil) Raja-raja Bali. Kawi berarti pahatan pada batu padas/paras. Berfungsi sebagai tempat pertapaan dan petirtaan. Berada di tepi Sungai Tukad Pakerisan, Banjar Penaka/Dusun Penaka, Desa Tampak Siring, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Jarak tempuh dari Denpasar sekitar 1 (satu) jam atau 40 (empatpuluh) kilometer.


Legenda masyarakat sekitar menceritakan bahwa Candi Gunung Kawi dibuat oleh orang sakti yang bernama Kebo Iwa. Dengan kesaktiannya konon Kebo Iwa menatahkan kuku-kukunya yang tajam pada dinding batu paras/cadas pada Tukad Pakerisan itu. Hanya sehari semalam Kebo Iwa berhasil menyelesaikan memahat semua candi di dinding tebing.

Dalam Prasasti Tengkulak 945 Saka/1023 Masehi terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat komplek pertapaan (Kantyangan) yang bernama Amarawati. Terdapat tiga komplek candi. Gugusan 5 (lima) candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan, Gugusan 4 (empat) candi yang berada di tebing sebelah barat Sungai Pakerisan, dan candi ke-10 yang berada sebelah selatan, di Tebing Bukit Gundul.

Gunung Kawi Ubud Gianyar
Berpose di gugusan 4 candi
Disebutkan pada abad ke-11 Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 Masehi) membangun candi sebagai penghormatan terhadap ayahnya, Raja Udayana Dinasti Warmadewa Kerajaan Bedahulu/Bedulu (Kerajaan Bedahulu /Bedulu diperkirakan ada pada abad ke-8 sampai abad ke-14 diawali dari Dinasti Warmadewa). Pembangunan kemudian diteruskan oleh adiknya,  Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 Masehi). 

Raja Udayana dari pernikahannya dengan Permaisuri Gunapriya Dharma Patni, Putri dari Mpu Sendok Raja Kediri di Pulau Jawa memiliki tiga putra. Putra pertama Airlangga, putra kedua Dharmawangsa Marakata dan putra ketiga Anak Wungsu. Airlangga menjadi Raja di Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Berdasar data arkeologi berupa tulisan aksara bertipe Kadiri Kwadrat pada ambang pintu candi berbunyi "haji lumah ing jalu" berarti beliau yang didharmakan di Jalu (Jalu=Pakerisan). Dan "rwa anak ira" yang diartikan dua putra beliau (dua anak Udayana yang berkuasa di Bali yaitu Marakata dan Anak Wungsu).

Gugusan 5 (lima) candi diperuntukan Raja, Permaisuri dan anak-anaknya. Gugusan 4 (empat) candi menurut Arkeolog Belanda, Dr. R. Goris kemungkinan adalah kuil pedharman untuk ke empat selir dari Raja Udayana. Satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan dibangun untuk seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja. 

Dari berbagai referensi sejarah pada jaman itu dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya Raja Anak Wungsu. Akhirnya Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peranan penting dalam Kerajaan Bedahulu.

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 16 Oktober 2017

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Rimbun pepohonan mengelilingi pinggiran danau. Hijaunya sungguh menyegarkan mata yang melihat. Hawa sejuk diselingi angin semilir membuat suasana teduh. Kicau burung-burung kadang terdengar bagai nyanyian semesta yang menentramkan.


Danau Ngade atau sering disebut Danau Laguna Ngade. Laguna dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti  danau air asin dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut yang dangkal, karena peristiwa geografi terpisah dari laut. Meski dekat dengan laut, air danau tetap tawar rasanya. 


Danau ini terletak di Desa Ngade, Kelurahan Fitu, Kota ternate, Maluku Utara.  Berjarak 40 kilometer dari Bandar Udara Sultan Babullah, atau 18 kilometer dari pusat Kota Ternate.

Danau Ngade adalah anugerah dari Tuhan yang tak ternilai. Masyarakat menjadikan danau untuk budidaya ikan air tawar seperti Nila dan Gurame. Hasil budidaya ikan air tawar bisa kita nikmati pada restoran/warung yang terapung di atas danau. Selain itu danau juga menjadi sumber air utama untuk mengairi perkebunan milik masyarakat sekitar.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Aku bergegas mendaki menuju titik pandang tertinggi. Penduduk sekitar telah menyediakan tempat di atas ketinggian agar kita lebih leluasa melihat keindahan danau. Bunyi suara gesekan ban mobil/bus dengan aspal jalan di kejauhan, saat pengunjung ingin parkir kendaraan. Letak tanah yang miring dan curam membutuhkan ketrampilan ekstra berkendara. Disini kita dipungut biaya masuk dan parkir kendaraan.

So, here I'am. Standing on the best photo spot. Tempat ini sering menjadi incaran para Fotografer. Biasanya mereka mengambil angle foto dari atas untuk foto aerial. Hutan pepohonan, Danau Laguna, Pulau Maitara, dan gugusan pegunungan Pulau Tidore tampak menakjubkan dari sini. Biasanya air danau berwarna hijau, tetapi karena semalam hujan air danau berubah menjadi berwarna kecoklatan.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Saat lelah kita bisa minum air kelapa muda yang banyak dijual di tempat ini. Sambil duduk santai menghalau haus yang datang. Sungguh menyegarkan di kala panas terik.

Merepih alam. Melepas pandangan pada bentangan alam di ketinggian. Bak seorang penyair mencari inspirasi untuk menyusun dan merangkai kata demi kata. Aahh, Danau Ngade keindahanmu tak mampu membuatku berucap.

Lokasi Danau Ngade:
Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 04 Oktober 2017

Tohula, Benteng di Kota Hula Tidore

Aku berhenti di sela anak tangga untuk memotret pemandangan tebing di sebelah kanan tulisan Benteng Tohula. Di sebelah kiriku tampak lautan lepas dengan perahu-perahunya yang bergerak hilir mudik. Sebenarnya berhenti di satu spot foto juga sebagai salah satu cara rehat mendadak, di samping mengumpulkan pasokan oksigen agar memenuhi paru-paruku. Ratusan anak tangga yang menanjak cukup membuatku terengah-engah hehehe. 


Dibelakangku terdengar beberapa pengunjung remaja menyemangati satu sama lain. "Ayo cepat naik, masa kalah sama mereka!", seru salah seorang diantara mereka, seorang remaja berbaju putih berambut ikal sambil menunjuk sepasang suami istri paruh baya sedang menuruni anak tangga setelah selesai mengunjungi benteng. Pertanda suami istri itu sebelumnya telah berhasil mendaki. Rombongan remaja itu pun bergegas naik. Mungkin mereka merasa malu masih jauh lebih muda namun kalah stamina hahaha.


Akhirnya aku sampai juga di atas Benteng Tohula. Well, always good view from the top. Melepaskan pandangan ke kiri tampak rumah-rumah penduduk, pantai dan dermaga perahu yang ingin menyeberang dari Tidore ke Halmahera. Pulau Halmahera terlihat memanjang didepan. Rasanya aku ingin melompat ke sana. Wait for me! Aku menengok ke arah belakang,  Gunung Kie Matubu di kejauhan seperti menyembul dari balik benteng.

Benteng Tohula terletak di Desa Soasiu tidak jauh dari Kedaton Kesultanan Tidore dan pusat kota. Tohula/tahula dalam bahasa Tidore yang berarti Kota Hula. Mudah menemukannya karena berada di jalur jalan utama Tidore.  Mengunjunginya tidak dipungut biaya, baik tiket masuk, maupun parkir kendaraan. 

Adalah Sebastiano De Elaco, seorang pelaut berkebangsaaan Spanyol yang membangun benteng ini pada tahun 1512. Didirikan sebagai benteng pertahanan Spanyol ketika menduduki wilayah Tidore di awal abad 16. Persaingan dagang dan perluasan wilayah jajahan untuk menguasai jalur rempah (Cengkih dan Pala) antara Spanyol dan Portugal sebagai alasan utama dibangunnya benteng ini. Pembangunannya dimulai pada tahun 1610 sampai tahun 1662. Letak lokasi yang berada di atas bukit karang yang tinggi sebagai titik pandang terbaik untuk mengamati wilayah perairan/lautan maupun daratan Tidore.

Benteng ini kemudian ditinggalkan Spanyol setelah kekalahan dengan Belanda dalam perebutan wilayah jajahan pada tahun 1707. Rencananya benteng akan dibongkar, tetapi ditentang oleh Sultan Tidore yang bertahta saat itu, Sultan Hamzah Fahroedin dengan dalih benteng akan digunakan sebagai tempat tinggal Keluarga Sultan Tidore. Belanda pun memenuhi permintaan Sultan dengan syarat seluruh aktifitas dalam benteng tersebut dibawah pengawasan Belanda.

Undak-undakan dibuat untuk menghubungkan ruang satu ke ruang yang lain karena kontur tanah yang tinggi dan rendah. Tanaman hias berwarna-warni tumbuh di kanan kiri jalan setapak menambah keasriannya. Lampu-lampu pun ikut menghiasi taman benteng ini. Bangku-bangku juga disediakan di tiap sudut.

Sayang sekali seluruh bangunan ruangan telah roboh jadi yang tersisa hanyalah pondasinya. Tampak tangga bambu bersandar di dinding tembok benteng, mungkin untuk digunakan naik ke atas tembok. Selayaknya benteng, Bunker atau ruangan bawah tanah juga dibangun. Ada pintu gerbang yang tertutup/terkunci dibagian lain benteng. Aku tidak tahu ruangan itu berisi apa.

Sekitar lima belas menit cukup untuk mengelilingi benteng ini, tetapi bagi pecinta foto mungkin kurang untuk mengexplore hanya dalam waktu lima belas menit. Apalagi jika mengejar Sunrise/Sunset. Don't worry, My Friends, Gazebo sebagai gardu pandang disediakan bagi yang ingin santai berlama-lama disini. Jangan lupa membawa perbekalan. Sambil minum kopi, makan camilan Kue Pia ditambah menikmati pemandangan dari atas benteng. Mantap jiwa!



Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 03 Agustus 2017

'Rumah Besar' Balla Lompoa

"Silahkan masuk!" ujar Pak Andi, pengurus Balla Lompoa sambil membuka pintu ruang pusaka dan mundur selangkah  memberi aku jalan masuk. Wow.. lady first, aku merasa tersanjung. Ruang pusaka yang juga ruang pribadi raja memang sehari-hari selalu terkunci dan hanya dibuka untuk tamu-tamu tertentu.


Di bagian depan museum Balla Lompoa
Menapaki karpet merah memasuki ruang pusaka. Salakoa, sebuah mahkota Raja Gowa yang pertama kali menarik perhatianku seakan menyambut. Salokoa diletakkan di tengah ruangan sebagai pusaka utama. Mahkota emas seberat 1.768 gram berbentuk kuncup bunga teratai berkelopak lima helai daun yang dihiasi batu-batu permata.

Menurut penuturan Pak Andi, konon mahkota tersebut pertama kali dipakai oleh Ratu Tumanurunga, seorang perempuan berparas cantik yang turun dari langit sebagai Raja Gowa pertama. Ratu Tumanurunga menikahi Karaeng Bajo dan menurunkan Raja-raja Gowa selanjutnya. Oleh karena itu setiap penobatan raja selalu ada ritual pemakaian Mahkota Salokoa. Setiap tahun diadakan pencucian mahkota dengan darah kerbau penanda kesakralannya.


Dibelakang Salokoa, terlihat kursi, lukisan dan patung Sultan Hasannudin. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa yang dikenal sebagai Pahlawan Nasional melawan kolonial Belanda.

Disisi lain ruang pribadi raja terdapat perhiasan Kolara/Rantai Manila, sebuah kalung rantai emas hadiah dari Kerajaan Sulu (Negara Philipina) dan Tatarampang yaitu keris emas bertahtahkan permata hadiah dari Kerajaan Demak (Pulau Jawa). Disimpan juga Ponto Janga-jangaya (Gelang emas dua kepala naga), Sudanga (senjata sakti atribut raja yang berkuasa), Bangkarak Ta'roe (anting-anting emas), Gaukang (kancing emas). Ada juga Al Quran yang ditulis dengan tangan.

 

Balla Lompoa dalam bahasa Makassar berarti Rumah Besar. Balla Lompoa ini merupakan bangunan rekonstuksi dari Istana Kerajaan Gowa yang sekarang telah menjadi museum. Lokasi berada di Jalan Wahid Hasyim Nomor 39, Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Berjarak 10 km dari Kota Makassar. Dibangun pada masa Raja Gowa ke-13 bernama I Mangngi-mangngi Daeng Matutu. Bangunan terbuat dari Kayu Ulin atau Kayu Besi yang besar dan kuat. Beratapkan Sirap, lembaran kayu yang dibentuk menjadi atap. Di atas atap diletakkan Kepala Kerbau. Bangunan terdiri dari Teras, Ruang Utama, Ruang Dalam. Kita harus melepas sepatu/sendal dan mengisi buku tamu sebelum masuk.


Ruang utama berfungsi sebagai balairung, ruang pertemuan atau ruang menerima tamu. Ada singgasana dan lukisan Raja Gowa di apit payung kebesaran. Meja-meja panjang di sisi kanan kiri. Bernuansa warna merah dan kuning emas.

Di sisi kanan terdapat sebuah pigura yang menggambarkan silsilah raja-raja Gowa dari raja pertama Tumanurunga yang dari pernikahannya dengan Karaeng Bajo melahirkan raja Tumassalangga Baraja sampai raja terakhir Sultan Mochammad Abdulkadir Aididdin Andi Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957). Di ruang utama ini diletakkan panji-panji kerajaan juga meriam besi beserta pelurunya.


Di ruang dalam terbagi menjadi dua ruang, ruang kerajaan dan ruang pusaka/ruang pribadi raja. Di ruang pusaka/pribadi tersimpan koleksi baju tradisional, kipas kerajaan, alat-alat untuk upacara kerajaan berupa cupu, mangkok, piring keramik, lilin. Terdapat juga senjata-senjata yang dipajang seperti parang (Lasippo), badik, tombak rotan ekor kuda (Panyanggaya Barongan). Foto tiga tokoh pemimpin kerajaan Gowa, Bone, Wajo juga dipajang dalam ruang dalam.

Di teras rumah dipajang buku-buku yang menceritakan sejarah Sulawesi Selatan beserta adat istiadatnya yang dijual untuk umum. Pengunjung yang berminat bisa membelinya sebagai cenderamata/souvenir. Selain itu juga ada boneka yang mengenakan pakaian tradisional, kaos, kopiah khas Makassar, sarung, gelang dan batu-batu permata juga bisa dibawa pulang (tentu saja setelah kita membayarnya hehehe).

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya