Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 01 April 2013

Menatap Pagi di Bromo

Semburat warna pagi dari penanjakan: view gunung Bromo dan Semeru
Menunggu pagi memancarkan sinar matahari membuat jari-jari tangan kananku yang memakai sarung tangan terasa kaku dan dingin. Serba salah, jika aku memakai sarung tangan terus terang aku kesulitan untuk mengoperasikan tombol-tombol dan tuas kamera Canon EOS 550D. Suhu di Penanjakan memang masih belasan derajat, masih terbilang suhu biasa saja bagi penduduk di sini tapi tetap terlalu dingin bagiku meski telah menggunakan penutup kepala dan sarung tangan. Untung aku bisa menaruh tripod dan kamera persis di depan pagar walaupun di bagian bawah, di bagian atas orang sudah ramai berkerumun menunggu matahari pagi muncul dari sisi Timur. Beberapa kali setelah menjepretkan kamera aku mengibas-kibaskan tangan yang serasa kaku mengusir rasa kejang  dan beku.

Perjalanan yang tak kurencanakan pada awalnya, karena memang awalnya aku malah merencanakan untuk melakukan backpacking antar kota keliling Jawa dalam beberapa hari. Karenanya aku tidak membawa banyak pakaian toh pertimbanganku aku bisa beli beberapa baju di tempat yang aku singgahi. Namun karena perhitungan waktu yang bergeser sehingga akhirnya aku tidak jadi backpacking-an. Tapi ada sisa waktu yang jika kuperhitungkan bisa untuk mengunjungi Bromo.

Menunggu di stasiun Senin, cukup nyaman
Perjalanan dimulai dari rumah adikku di Cibubur, Jakarta Timur. Aku berangkat jam dua siang karena belum membeli tiket kereta api karena ternyata tiket kereta api tidak bisa dipesan setelah H-2, jadi harus dibeli langsung di stasiun. Dengan pertimbangan arus sore yang macet,  kakakku menyarankan untuk naik dengan commuter dari stasiun Depok.

Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di stasiun. Situasi stasiun Senin agak membuatku kaget karena walaupun gedung-gedungnya masih sama namun situasinya sudah berubah banyak banget. Aku buru-buru saja antri di bagian pembelian tiket namun setelah sampai depan baru tahu kalau harus menulis di lembar pemesanan tiket. Haduh, akhirnya aku balik ulang cari tempat mengambil lembar pemesanan tiket. Begitu dapet kertasnya gantian aku celingukan cari ballpoint... Ternyata beli tiket sekarang lebih ribet, cuma lebih aman juga sih jadi gak ada calo yang mondar-mandir tawarin tiket. 

Akhirnya jam enam aku bisa duduk di kursi nomor 7 di bagian Ekonomi AC. Awalnya aku mau ambil yang bisnis, tapi ibu yang menjual ballpoint dan membantuku menulis malah menuliskan kelas kereta api Ekonomi AC bukan Bisnis seperti mauku. Ternyata dia benar, walaupun suasana tempat duduk sama dengan kelas Ekonomi namun  lebih nyaman karena ada AC di dalamnya, dibanding dengan kelas Bisnis yang hanya mendapatkan kipas angin.

Setelah melewati 12 jam perjalanan dengan kereta api, paginya kereta api sampai juga di stasiun Pasar Turi, Surabaya. Setelah minum kopi dan sarapan pagi, aku melanjutkan perjalanan ke terminal Terboyo. Dari terminal Terboyo aku mengambil bis Patas AC jurusan ke Malang. Aku sebenarnya mengambil jurusan yang kurang pas, tapi jalur ini aku ikuti berdasarkan hasil pencarianku diinternet tentang rute perjalanan ke Bromo. Sekitar tiga perjalanan, sampailah aku di terminal Arjosari, Malang. Cuaca sampai di Malang mulai menunjukkan mendung. 

Setelah mengisi perut lagi di terminal Arjosari, aku mencari informasi ke orang-orang. Dari mereka aku mendapatkan arahan supaya naik bis jurusan Malang-Probolinggo. Kembali perjalanan hampir tiga jam aku lalui di atas bis untuk sampai ke Probolinggo. Hujan turun deras sekali waktu bis melewati daerah Lawang, sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena aku saat itu belum tahu sejauh mana Probolinggo.

Setengah empat, bis masuk ke terminal Probolinggo. Dari terminal Probolinggo, aku keluar dan berjalan beberapa meter ke sebelah kiri terminal. Di depan warung makan ada mobil angkutan jenis Colt warna biru jurusan terminal Probolinggo-Bromo. Karena menurut penjelasan mas Suhan yang menyupiri, baru enam orang yang siap ke Bromo. Semangkuk bakso dan kopi kedua kembali mengisi perutku menunggu penumpang lain.

Tunggu punya tunggu, baru tambah satu orang yang datang. Karena sudah sore, aku coba tanya mas Suhan gimana caranya supaya kita bisa berangkat lebih cepat. Mas Suhan menawarkan alternatif, angkutan miliknya bisa muat sampai dengan 15 orang dengan biaya 25ribu  per orang. Kalau mau berangkat sekarang mas Suhan mau kalau tiap orang mau bayar lebih menjadi 50ribu per orang. Aku coba sampaikan hal ini ke teman-teman baru seperjalanan, namun ada sedikit kendala satu orang bule cewek yang keberatan membayar 50ribu. Dia sendiri tetap menolak meskipun yang lain bersepakat membayar lebih untuk selisih lebih sehingga bule itu tetap membayar normal 25ribu. Menurutnya itu gak fair. Dia bahkan lebih memilih untuk ditinggal dan berangkat besok. Setelah merayu sekitar sepuluh menit (asli yang ini ngarang, gak ada orang lihat jam cuma buat tahu berapa lama proses merayu hihihi) akhirnya si bule cewek itu mau juga ikut dan dia mau bayar 50ribu. Nah lho, giliran mau ikut maunya harganya tidak dibedakan... (icon bingung)

Ternyata setelah dihitung ada tambahan satu orang bule lagi. Wah mas Suhan lagi beruntung, artinya mas Suhan dapat 350ribu untuk keberangkatan hari ini.

Cemoro Lawang berselimut kabut
Colt yang dikendarai mas Suhan akhirnya melaju menyusuri Probolinggo sampai kemudian masuk ke kanan. Jalan yang semula datar mulai berubah menanjak, penunjuk ketinggian di jam tanganku menunjukkan kenaikan ketinggian yang begitu cepat. Di kendaraan, kami mulai saling berkenalan. Ada Sarah yang datang sendiri, rencana awalnya dia mau ke Bromo bersama teman-temannya. Katanya, dua orang temannya nanti datang menyusul menggunakan kendaraan sendiri. Ada pasangan yang awalnya kukira keduanya peranakan China, apalagi yang pria mengaku dengan nama Achlung (siapa yang tidak mengira kalau nama Achlung itu peranakan China?) dengan teman perempuannya bernama Dinda. Yang bule terus terang aku lupa namanya, karena yang paling sering ngobrol sama bule itu ya si Sarah. Jarak sejauh kurang lebih 65km ditempuh dalam waktu hampir satu setengah jam. Jalan sempit dan berkelok-kelok dengan jurang-jurang yang dalam tampak di depan mata menuju ke Cemoro Lawang. Itu adalah tempat tujuan kami, yang merupakan desa terakhir yang berhadapan langsung dengan gunung Bromo.

Setengah enam kami sampai di Cemoro Lawang. Memasuki beberapa desa terakhir ke arah Bromo, mata kami disambut pemandangan sawah-sawah yang ditanami kol, wortel dan beberapa tanaman khas daerah ketinggian. Masyarakat yang berjalan rata-rata menggunakan jaket tebal dan bertopi rajut. 

Sesuai dengan arahan mas Suhan dan cocok dengan informasi yang kuterima, maka kami menuju ke Wisma Yog. Ternyata sewa di Wisma ini sudah naik dari informasi terakhir yang aku terima. Namun pak Yogi yang sendiri menyambut kami menunjukkan kami bangunan baru di bagian belakang yang ada kamar mandi di dalam. Kalau di bagian depan yang tidak punya kamar mandi di dalam harganya 125ribu sifatnya sharing kamar mandi. Kalau di bangunan belakang harganya 200ribu yang ada air panasnya.

Hamparan pasir dan Bromo di senja  hari
Cemoro Lawang suhunya terasa dingin, walaupun perkiraanku masih di sekitar belasan derajat. Namun ketinggian desa ini telah menunjukkan 2200 meter dpl. Untungnya jika datang pada bulan-bulan seperti ini suhunya tidak terlalu dingin hanya hujan sering terjadi. dari Cemoro Lawang, gunung Bromo telah nampak karena memang Cemoro Lawang tepat berada di pinggi jurang dari kawasan Bromo. Karena kabut belum turun, tanah berpasir tampak jelas mengelilingi gunung Bromo. Dari sini tampak sebuah bangunan di kejauhan yang kata pak Suhan adalah sebuah pura.

Untuk perjalanan esok hari kita sepakat akan menyewa Jeep yang memang biasa digunakan untuk mengunjungi Bromo. Namun terjadi sedikit permalahan karena jumlah orang yang akan ikut angkanya tidak genap hanya sembilan orang. Satu buah Jeep dapat digunakan maksimal untuk enam orang, dua di depan dan empat di belakang. Biaya sewa Jeep dipatok 450ribu untuk dua lokasi yaitu Penanjakan dan Bromo. Kalau ingin menambah lokasi harus menambah biaya langsung ke sopir Jeep-nya, menurut mas Suhan sekitar 100ribu per lokasi tambahan. Akhirnya aku sepakat dengan Achlung, Dinda dan Sarah untuk menyewa Jeep karena kami rencana akan sampai ke dua lokasi tambahan selain Penanjakan dan Bromo yaitu lautan pasir dan padang savannah.

Di sepanjang jalan menuju kesini sudah banyak berdiri wisma dan hotel, demikian di daerah Cemoro Lawang sehingga fasilitas-fasilitas tambahan dengan mudah ditemui seperti jika lupa membawa jaket tebal bisa menyewa di sini dengan sewa sekitar 25ribu. Topi rajut dan kaos tangan juga barang harus disiapkan. Topi-topi ini banyak dijajakan oleh masyarakat sekitar dengan harga 10ribu per topi, sedangkan kaos tangan seharga 5ribu.

Hari ini kami berangkat tidur lebih awal karena rencananya kami berangkat setengah empat pagi untuk melihat sunrise. Jam setengah empat saat kami bangun sudah banyak aktifitas dari Wisma ini dan beberapa wisma di sebelahnya. Achlung dan Dinda bersiap dengan sebuah tas kecil di belakang. Aku sendiri menebak-nebak apa isi tas backpack kecil itu. Sementara yang lain tidak membawa tas lain kecuali tas kamera termasuk aku. Setelah perlengkapan seluruh siap kami mulai meluncur. Dari Wisma Yog, Jeep kami berputar ke kanan menuju jalan ke arah bawah. Setelah melewati pos penjagaan, kendaraan kami mulai menurun tajam melewati jalan yang sebagian telah di beton. Dalam suasana yang terasa gelap, Jeep menderu membelah lautan pasir, beberapa kerlip lampu yang bergerak menunjukkan ada kendaraan jeep lain yang telah berjalan di depan kami. Setelah melewati lautan pasir, kendaraan kembali naik menanjak ke arah perbukitan dengan jalanan yang sempit dan berkelok-kelok tajam. Setengah jam sampailah kami di ujung Penanjakan. Suasana sudah ramai sekali, banyak Jeep yang telah terparkir. Sepanjang jalan menuju ke atas juga sudah banyak warung-warung makan dan souvenir yang dibuka. Semangkuk mie dan segelas kopi kembali mengisi perutku sebelum kami naik ke atas, lumayan untuk mengusir hawa dingin. Maklum dengan ketinggian yang lebih dari 2250 meter dpl dan sepagi ini, suhu yang mungkin sudah di bawah belasan membuat tangan kaku jika tak bersarung tangan.

View Bromo saat matahari pagi tertutup awan
Sesampai di atas, suasana masih tampak gelap. Namun rupanya sudah banyak orang yang berdiri menunggu matahari terbit. Aku lihat beberapa fotografer ada yang sudah mencoba memotret mungkin ingin mengabadikan suasana malam. Ruangan terbuka mulai penuh sesak terutama di bagian pinggir pagar. Nyaris tak mungkin aku bisa mendapatkan spot jika disini. Aku coba berkeliling melihat-lihat apakah ada lokasi nyaman untuk memotret pemandangan berlatar Bromo. Aku berjalan ke samping kiri ke arah sebuah menara pemancar. Dari samping  terdapat jalan menurun ke bawah, dan ternyata tak ada seorang pun yang berdiri di situ, entah alasannya apa. Akhirnya aku putuskan turun ke sana sehingga bisa memasang tripod dan kamera tepat di pinggir pagar. Tapi ternyata itu tak lama, melihat aku berdiri sendirian di bawah, beberapa orang mulai ikut turun tapi tetap tak berani dekat dengan kameraku. Beberapa fotografer bahkan ada yang keluar pagar agar tidak terhalang oleh adanya pagar.

View Bromo saat matahari mulai meninggi
Akhirnya pagi yang ditunggu pelahan mulai datang, sayang awan masih ingin bermanja-manja tak menghilang. Dikejauhan di hamparan pasir Bromo, kabut putih mulai datang menutupi dataran. Tanganku yang tidak bersarung tangan membuat rasa kebas, dingin seperti makin parang menjelang pagi. Bromo mungkin hari ini tidak memberikan pertunjukan terbaik, namun tetaplah rasanya menyenangkan sekali bisa berdiri di Penanjakan memperhatikan sang surya mau berbaik hati menampakkan sinarnya membasuh lekuk-lekuk Bromo dan Semeru di kejauhan menjadi prasasti gambar yang menawan. Sebenarnya posisi matahari terbit kurang terlalu pas di atas Penanjakan karena pada posisi ini Bromo ada di sebelah Selatan sehingga posisi matahari terbit dan Bromo sekitar 90 derajat, artinya tak memungkinkan mendapatkan gambar kedua obyek itu bahkan dengan lensa 11mm sekalipun (17mm kalau di kamera bersensor APS-C). Mungkin kalau aku ke Bromo lagi aku akan mencari lokasi dimana Bromo dan matahari bisa berdampingan.

Seorang penunggang kuda berlatar Pura Luhur Poten Bromo
Sekitar jam tujuh kami mulai turun ke bawah. Jeep kembali menderu membelah jalan menuju ke bawah. Achlung menawari kue, dan ini sudah yang ketiga. Artinya tas backpack kecil mereka rupanya isinya makanan semua. Pantas saja mereka berdua subur hahaha... Sesuai urutan track, setelah dari Penanjakan kami akan menuju ke kaldera Bromo. Karena matahari sudah muncul, kami sekarang bisa melihat dengan jelas kepulan debu yang ditinggalkan Jeep saat melintasi pasir Bromo. Paduan yang eksotis, hamparan pasir yang tampak menggambarkan suasana panas berpadu dengan kabut tipis yang turun menutupi bukit-bukit sebagai gambaran hawa dingin. Kami berhenti beberapa ratus meter dari tangga menuju ke puncak Bromo. Beberapa orang dengan sigap menawari kami untuk naik kuda. Karena terus terang aku ingin menikmati suasana begini aku memilih untuk berjalan kaki. Beberapa wanita tampak memilih naik kuda, cukup menyenangkan sebenarnya. Dari titik pemberhentian sampai ke depan tangga Bromo dan mengantar kembali mereka biasanya meminta harga 100ribu. Perjalanan ke puncak Bromo melewati pura yang tampak di kejauhan dari Bromo. Pura yang disebut dengan Pura Luhur Poten Bromo inilah yang menjadi pusat lokasi waktu acara Kasada yang biasanya diselenggaran pada hari ke-14 bulan Kasada dalam kalender masyarakat Hindu Tengger. Jelas saat ini aku tak bisa mengikutinya karena kemungkinan Kasada tahun ini jatuh pada bulan Agustus-September. 

Jalan menanjak menuju Kaldera
Cukup capek juga untuk bisa sampai di bawah tangga gunung, dari sini terdapat anak tangga naik menuju kaldera bromo, jumlahnya sekitar 250 anak tangga dengan bentuk yang curam. Perjalanan ke atas cukup menguras tenaga tapi bukankah itu bagian dari perjalanan? Sesampainya di atas, aku disuguhi pemandangan lubang kaldera yang tertutup asap putih yang keluar terus menerus. Di sisi lain sebuah bendera Malaysia sedang berkibar di pegang dua ibu-ibu gemuk yang rupanya bangga bisa sampai di atas Bromo. Perjalanan kembali, aku dan teman-teman mampir lagi ke  tempat ibu-ibu yang sedang menjajakan makanan. Sebungkus mie lagi-lagi bersemayam di perut kami. 

Acara turun semuanya bersepakat naik kuda, tentunya setelah acara tawar harga disepakati. Sepertinya harga 20ribu untuk turun dengan kuda cukup masuk akal. Wal hasil, hanya akulah satu-satunya yang berjalan kaki bolak-balik. Hehehe... lumayan hemat 20ribu. Lagian sayang kan kalau bisa naik jalan kaki masak turun gak kuat jalan kaki (pembenaran atau irit ya?.. )

Dari puncak Bromo, Jeep kembali meluncur menyusuri pasir mengantar kami ke track berikutnya, Pasir Berbisik. Ternyata lokasi lautan pasir yang sekarang dikenal dengan nama pasir berbisik ini berada di sebelah selatan Bromo. Lokasi ini terkenal dengan sebutan itu sesuai dengan film yang pernah dibuat berlatar Bromo dengan judul yang sama, Pasir Berbisik. Sesampai disana kami disuguhi view lautan pasir yang luas sekali, yang cocok untuk dibuat set film padang pasir. 

Kepulan debu dari Jeep di lautan pasir Bromo
Tak lama kemudian kami di antar ke track terakhir: Padang Savanna. Jika sebelum kami disuguhi pasir maka di padang Savannah ini kami disuguhi pemandangan hamparan rumput dan bunga-bunga khas daerah dingin yang sedang berbunga. Warna-warna putih bunga rumput, bunga kuning dan ungu tampak mendominasi pandangan termasuk beberapa perdu yang telah mati berwarna coklat.

Seharusnya sesuai dengan perhitungan, kami sudah harus menyelesaikan semua track sebelum jam setengah sepuluh agar bisa menuju ke satu lokasi lagi yang dari kemarin sudah diincar oleh Achlung, namanya air terjun Madakaripura. Tapi ternyata perhitungan kami meleset karena kami baru selesai dan mau kembali ke Cemoro Lawang jam 10 lewat. Saat kami kembali, cuaca yang semula cerah mulai tampak mendung. Kabut mulai turun pelahan sehingga jalan menjadi temaram.

Sesampainya di Wisma Yog kami kembali berunding apakah akan melanjutkan ke air terjun Madakaripura ataukah langsung kembali ke Probolinggo. Mas Suhan yang mau mengantar kami sebenarnya mengingatkan kondisi yang tidak tentu dari Madakaripura terutama jika cuaca sedang hujan dan berkabut terus menerus seperti ini. Selesai berkemas-kemas dengan semua barang, dengan Colt yang dikendarai mas Suhan kami meluncur turun. Kami sepakat jika cuaca seperti sekarang ini terus menerus kami akan langsung kembali ke Probolinggo, namun jika di percabangan arah Surabaya dan Probolinggo cuaca cerah kami akan melanjutkan ke lokasi Madakaripura.

Achlung dan Dinda di Pasir Berbisik
Ternyata sepanjang jalan cuaca makin pekat, tak lama kabut yang makin gelap berubah menjadi hujan sehingga nyaris aku hampir membatalkan perjalanan ini. Apalagi setelah melewati pasar Sukapura dan mendekati ke arah cabang pertigaan hujan masih juga turun walau kabut mulai berkurang. Namun ternyata di pertigaan cuaca justru cerah sehingga walau ada kemungkinan tak bisa sampai ke Madakaripura kami mencobanya. Dari percabangan, kami turun ke arah jalur ke Pasuruan/Surabaya. Kami turun terus ke bawah sampai bertemu papan petunjuk bertulis arah ke Madakaripura. Dari percabangan kendaraan kami masuk ke dalam sekitar empat kilometer ke dalam sampai bertemu di pintu masuk bertuliskan nama lokasi air terjun Madakaripura. Di depan tampak patung Gajah Mada sedang dalam posisi semedi. Menurut cerita, di bawah air terjun Madakaripura terdapat sebuah gua yang menjadi tempat pertapaan maha patih Gajah Maja. Sayang cuaca gerimis. Karena sudah merasa tanggung kami dengan menyewa jas hujan dengan ditemani guide tetap masuk ke dalam lokasi air terjun yang jaraknya sekitar satu kilometer ke dalam. Perjalanan ke dalam tidak mudah karena jalan setapak yang pernah dibangun telah banyak yang hancur diterpa banjir bandang yang kerap datang. Itu lah kenapa saat kondisi cuaca tidak bagus, lokasi air terjun ini sering kali ditutup untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan seperti kejadian beberapa hari lalu. 

Kalau aku hitung lebih dari delapan kali kami harus bolak balik menyeberangin sungai yang penuh batuan. Kadang-kadang kami berjalan di sisa jalan setapak yang masih bagus namun pada jalan yang telah hancur dan tidka menyisakan apapun mau tidak mau kami harus melintasi sungai kembali. Cukup melelahkan, sementara hujan gerimis terus membasahi jas hujan. Beberapa orang mulai menunjukkan keputusasaan karena rasanya sudah jauh berjalan namun tidak bertemu dengan air terjun yang dimaksud. Sampai kemudian kami melihat puncak dari air terjun yang begitu tinggi hingga semangat kami kembali. setelah melewati sungai terakhir yang agak dalam yang membuat celanaku basang sampai di atas lutut maka di tepi batu besar kami disambut air terjun kecil-kecil yang turun seperti gerimis. Ternyata untuk sampai ke air terjun kami harus melewati beberapa air terjun yang jatuh. Akhirnya kami sampai di depan air terjun Madakaripura. Kelelahan kami terbayar.... namun sayang kamera tetap harus diam tenang di dalam ransel, tempias air yang terbentur di tanah terlalu kuat apalagi dengan kondisi gerimis seperti ini. Pantas saja setiap orang yang telah sampai ke air terjun ini pasti pulang dengan kondisi basah kuyup. Sepertinya payung menjadi properti yang tidak boleh tidak harus dibawa jika ingin datang dan memotret disini, syukur-syukur jika kamera dan lensa yang dibawa berbodi tahan cuaca (weather seal) karena sepertinya tempias air yang halus rawan merusak kamera yang tidak didesain di kondisi seperti ini.



Sebelum pulang, kami mampir di satu-satunya warung yang buka tak jauh dari air terjun. Lagi-lagi mie rebus kembali kami santap, tapi sekarang tersedia gorengan yang baru selesai diangkat dari penggorengan. Madakaripura sepertinya harus aku kunjungi lagi lain waktu tentu dengan persiapan yang lebih matang.

Akhirnya kami kembali kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Rencana Achlung dan Dinda akan sehari menginap ke Malang sebelum kembali ke Jakarta. Sedangkan Sarah akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan malam hari ini sehingga aku dan Sarah sepakat kembali ke Surabaya.

Ini adalah jejak pertamaku memulai petualangan ke tanah Jawa dengan catatan perjalanan yang melibatkan foto... semoga jejak pertama ini akan berlanjut ke jejak selanjutnya.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 05 Maret 2013

Ranamese, Rindu pada Hening

Di tepi danau Ranamese, tumbuhan air memenuhi bawah danau
Aku menulis ini bukan karena bosan jalan-jalan atau gak ada stok tempat tujuan lain lagi sehingga harus menulis yang sama.. itu lagi itu lagi... Tapi karena ada sesuatu hal yang membuat kegiatan jalan-jalan dan moto-moto terhenti. Tetapi karena kesibukan yang seharusnya gak perlu dibuat sibuk. Tak lain dan tak bukan karena harddisk-ku tewas. Sayangnya, kerusakan harddiskku terlambat aku sadari yang mengakibatkan seluruh file yang ada di dalamnya hilang tak terselamatkan... foto-foto dan video perjalanan juga data lainnya selama enam bulan terakhir raib lenyap. Jadi saat itu lebih disibukkan untuk mengembalikan data-data pekerjaan yang terus terang bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan ulang. Ayo.. ayo.. yang ikut berduka bisa menyumbangkan uang duka ke rekeningku hahahaha...

Tapi ternyata foto-foto ini masih sempat aku olah walaupun hanya menyisakan ukuran layak tayang di website saja, itupun sayangnya juga tidak lengkap. Tapi daripada itu hilang lebih baik aku upload saja di sini, walau sebenarnya cerita di sini belum lengkap karena awalnya aku ingin sekalian menuliskan lokasi air terjun Watu Teber yang tidak jauh dari danau Ranamese.

Senja di pantai Cepi, Borong
Perjalanan ke Ranamese baru bisa terlaksana hari Sabtu padahal sudah hampir seminggu tinggal di Borong. Apalagi kalau bukan masalah hujan yang rajin mengguyur tanah Flores belakangan ini, masih untung tidak meninggalkan jejak banjir seperti di Jakarta. Rencana perjalanan ke Ranamese sebenarnya ada dua tujuan: pertama, memperkenalkan lokasi baru ke Putra yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, kedua ada rencana yang belum tuntas yaitu mengelilingi danau Ranamese.

Kami mematangkan rencana setelah melihat cuaca siang terang, memang mungkin sekali cuaca berubah sewaktu-waktu tapi ini adalah hari terakhir kami. Minggu rencana kami akan kembali bertugas ke kota lain.

Sekitar jam tiga lewat, kami bertiga, aku, Angga dan Putra diantar mobil kijang pak Victor kami ke pertigaan arah masuk ke pasar. Di sini banyak sekali mobil-mobil plat hitam yang beroperasi layaknya angkutan umum antar kota. Umumnya mobil-mobil sejenis Avansa dan paling banyak APV memiliki jalur tempuh pendek, Borong-Ruteng atau Borong-Bajawa. Kami naik sebuah APV hitam yang sedang kosong yang menawarkan jalur Borong-Ruteng. Tak menunggu lama, si sopir memutuskan langsung berangkat. Aku sempat heran karena biasanya hari Sabtu banyak yang pulang. Just info, Borong adalah kota dari Kabupaten Manggarai Timur yang baru terbentuk beberapa tahun lalu jadi suasananya masih seperti kampung di Jawa. Karena baru banyak pegawai yang sebagian mutasi dari kabupaten induk Manggarai masih tinggal di Ruteng. Jadi hari Sabtu adalah kesempatan untuk pulang dan menikmati Minggu di rumah. Namun rupanya sebagian pegawai sudah pulang hari Jum'at karena Sabtu ini adalah hari libur. Sopirnya ternyata orang Ruteng jadi sekalian sambil mengantar kami langsung kembali ke Ruteng.

Sebuah rakit dari kayu di tepi danau Ranamese
Setengah jam perjalanan yang terus menanjak akhirnya kami sampai di depan gerbang kantor bekas KSDA yang sudah kosong sekaligus pintu gerbang menuju ke danau Ranamese. Sopir APV minta uang seratus ribu waktu aku tanya biaya mengantar kami. Sebenarnya pak Victor sudah memberitahu kami kalau ongkos dari Borong sampai dengan Ruteng itu hanya dua puluh lima ribu, jadi kalau sampai Ranamese cukup lima belas ribu. Mengingat kami cuma bertiga yang naik jadi kami bayar saja seratus ribu, lebih murah dibanding kami menyewa sendiri mobil kesini. Walau pun mendung untung kabut tidak turun, padahal di Ranamese kabut mudah sekali turun jika sore menjelang apalagi jika sedang musim hujan begini. Untungnya di musim hujan begini, suhu justru menjadi tidak dingin. Aku bisa bandingkan saat kesini bulan Juli, walau tidak kabut namun suhunya benar-benar menggigit tulang.

Beberapa puluh meter masuk ke jalan setapak sampai kami di pinggir danau. Kami berputar menelusuri jalan tanah berbatu menuju ke bangunan seperti dermaga kecil. Putra dan Angga hanya sampai disitu saja sementara aku memutuskan untuk melanjutkan jalan mengitari danau.  Rumput-rumput telah mulai meninggi menutupi jalan setapak yang batunya terasa licin oleh air yang mengalir dari sela-sela tanah. Tapi rumput-rumput yang tinggi ini juga membantuku berpegangan karena beberapa titik jalan yang meninggi ada yang longsor. Sukses melewati longsoran tanah aku harus rela disambut pohon-pohon besar melintang yang kulit batangnya terasa basah berlumut ditanganku. Perjalanan seperti ini, aku seperti melewati jalan yang lama tak tersentuh. Sementara di kejauhan danau, beberapa orang yang sedang asyik memancing menimbulkan tanya, darimanakah mereka berjalan sampai kesana? Apakah ada jalan lain ataukah menggunakan rakit bambu/kayu itu untuk sampai kesana?

Sepuluh menit kemudian aku sampai di turunan, tampak sebuah rakit dari kayu bersusun yang digunakan orang untuk menyeberang bersandar di tepi tanah lapang berumput. Lumayan, aku bisa sedikit menarik napas di sini. Aku cukup dekat dengan seorang pemancing yang tampak duduk tenang di atas rakitnya. Kepulan asap sesekali tampak dari sela bibirnya saat dia menghembuskan asap rokok ke udara.

Tapi aku belum setengah jalan sehingga aku putuskan untuk kembali melanjutkan jalan. Kali ini memang lebih sulit. Jejak jalan tidak seterang sebelumnya yang walau telah longsor masih tampak. Kali ini rimbunan rumput dan batang-batang pohon yang rumbuh mendatar menutupi jalan. Beberapa kali aku harus mereka jalan yang ada. Tampaknya jalan yang ini benar-benar sudah lama tidak dilewati. Tanah basah bahkan telah berlumut, harus hati-hati jika tidak ingin terpeleset. Kali ini waktu terasa lebih lambat, beberapa menit aku berjalan tidak mendapatkan kemajuan berarti. Langit mulai gerimis kembali, saatnya aku memutuskan untuk kembali. Sepertinya aku harus melanjutkan jalan di lain waktu. Jam tangan sudah menunjukkan waktu lebih dari setengah lima. Saat kami bertiga kembali sampai di tempat kami berbelok pertama kali, aku baru menyadari setidak nya ada empat lintah telah sukses menghisap tubuhku. Yah lumayan untuk mereka yang mungkin telah lama tidak mendapatkan darah segar hehehehe.

Tiba-tiba dari balik jalan kecil lain muncul orang tua yang sedang memanggul joran pancing. Aku penasaran bertanya: "pulang mancing pak?" 
"Iya," sahutnya singkat sambil tersenyum
"Kalau mau ke sana itu," tunjukku ke arah dua orang yang masih mancing sesore ini, "untuk mancing bisa lewat jalan itu pak?" arah kepalaku menunjuk belakang jalan bapak tua.
"Iya, lewat sini bisa berputar sampai ke sana"
Oh, rupanya aku salah arah jalan, harusnya aku lewat jalan ini. Hahaha, lain kali aku harus mencoba lewat sini.

Acara hari ini kami akhiri dengan mampir di warung kopi persis setelah masuk gerbang menuju Ranamese. Penjual kopi ini adalah penjual kopi yang sama yang biasanya ada di jalan atas tepat di samping tembok yang dibangun untuk melihat danau Ranamese. Kata ibunya, mereka tidak diperbolehkan berjual di tempat itu lagi sehingga mereka pindah kesini. Lumayan lah jadi lebih dekat daripada sebelumnya harus naik ke atas lagi.

Segelas kopi panas dan semangkuk mi rebus segera terhidang nikmat terasa di saat hawa dingin begini. Kami sepertinya pengunjung terakhir karena ibu itu juga sudah mulai berkemas memberesi warungnya. Menurut informasi, bisanya jam terakhir ada kendaraan adalah jam setengah enam tapi bisa lebih awal kalau hari-hari sepi.

Wal hasil setengah jam menunggu di warung kopi ternyata belum ada satu kendaraan travel pun yang lewat. Akhirnya sambil menunggu kendaraan lewat, kami memutuskan sambil berjalan ke arah atas. Menunggu kendaraan travel menjadi acara yang agak bikin cemas karena sudah mulai lewat jam setengah enam masih juga belum nongol. Kami sedang bersiap-siap untuk naik kendaraan apa saja truk, pick up sekalipun yang arahnya ke Borong. Untung di menit terakhir sebuah APV putih lewat menawarkan tumpangan ke Borong. 


Kami bertiga menjadi penghuni terakhir APV yang membuat APV menjadi penuh sehingga cukup untuk menghitung keuntungan si sopir. Acara naik APV diiringi sedikit accident. Saat aku hendak memutuskan membuka sedikit kaca agar udara masuk, tiba-tiba seorang nona yang duduk di depan mobil muntah  di samping. Keruan saja muntahannya memenuhi kaca samping tempat aku duduk. Untung aku belum buka kaca, seandainya aku lebih dulu pasti ada acara orang muntah karena kena muntah.... hahahahaha.. 

Acara kembali ke Borong lebih murah, kami hanya diminta lima puluh ribu bertiga. Lumayan setengah harga dari perjalanan berangkat.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 03 Februari 2013

Bajawa Lagi: Air Panas dan Foto Makro

Air terjun yang panas bercampur dengan air dingin: Pemandian Air Panas Mengeruda, SoA
Nyaris tiap hari mendung menutupi langit saat sore mulai menjelang, kadang pula pagi pun langit sudah dipenuhi mendung. Bajawa yang berada di ketinggian di atas 1.100 dpl memang bulan-bulan seperti ini harus rela menikmati mendung atau kabut seharian. Untungnya cuaca begini justru Bajawa tidak terlalu dingin. Aku yang tidak mempersiapkan untuk penugasan di tempat yang terkenal dingin tidak terlalu risau jika keluar dari hotel hanya memakai rompi saja. 
Sore yang sering berkabut dan hujan
Coba saja kalau kondisi begini terjadi di bulan Mei sampai dengan Agustus, mungkin aku tidak akan berani keluar dengan baju seperti itu. Meski hawa lebih hangat, tetap saja air yang mengalir dari kran kamar mandi serasa air es yang dicairkan. Jadi tetap saja pagi-pagi aku, Angga dan Putra teriak-teriak cari om Sipri yang menjaga hotel Kembang untuk minta disiapkan air panas. Wal hasil, mandi pagi dengan air panas menjadi rutinitas tiap hari, tapi cukuplah mandi sekali sehari. Malas juga kalau harus minta dibuatkan air panas sore hari.
Menu kopi pagi dan sore hari juga menjadi kebiasaan tersendiri jika di Bajawa. Memang aku sendiri tidak minum kopi tiap hari, namun aku mengambil setengah cangkir kopi pagi kadang-kadang. Aroma kopi yang sedap membuatku membiarkan aku keluar dari kebiasaanku, toh tidak setiap hari kulakukan. Jangan tanya Angga, bahkan dia bisa membawa satu termos kopi untuk diminum semalaman. Tak heran jika dia sering tidur di atas jam dua belas malam. 


Berita buruknya aku menjadi tak bisa keluar hotel untuk sekedar jalan-jalan, padahal aku berniat untuk kembali memotret sungai Waewoki yang aliran air sungainya mengelilingi sebagian kota Bajawa. Angga sendiri berminat untuk bisa mengunjungi kampung Bena. Aku juga mau kembali melihat air terjun Ogi. Putra tidak ada rencana karena memang dia baru sekali ini penugasan kesini sehingga tidak punya gambaran mau kemana. 
Setiap pagi, untuk memanaskan kameraku aku akhirnya lebih sering memotret di sekeliling hotel. Kebetulan bagian belakang hotel banyak dipenuhi tumbuhan merambat yaitu tanaman labu jepang dan ubi rambat, sehingga banyak sekali serangga seperti kutu, kepik, tawon juga bekicot namun yang berukuran kecil.
Yah, kegiatan kecil ini cukup menghiburku saat menunggu kendaraan yang menjemput kami datang. Kadang kalau sedang keasyikan berburu binatang-binatang kecil ini aku sampai harus diingatkan Angga bahwa kendaraan sudah menunggu.
Sampai akhir penugasan aku dan teman-teman tidak juga mendapatkan kesempatan. Akhirnya kami mencoba berspekulasi untuk mencoba mampir ke air panas Mengeruda di Soa yang berada satu arah dengan bandara. Kebetulan pesawat dari Bandara Soa ke Kupang berangkat jam 10.20 WITA, sehingga jika kami berangkat pagi-pagi kami dapat ke sumber air panas itu setengah atau satu jam cukuplah.
Hari Sabtu pagi cuaca cerah, kami sendiri sudah selesai berkemas-kemas. Namun celakanya acara makan soto pagi ini justru yang batal karena soto telah habis padahal itulah hal pertama yang harus kami lakukan jika hendak berendam di air panas. Dulu waktu pertama kali kesini, ada kejadian buruk menimpa teman kami. Selesai berendam dia pusing dan lemas sekali karena sebelumnya tidak makan. Mungkin karena sudah terlalu lemas sekembalinya ke hotel dia sempet sakit sampai muntah-muntah. Untunglah pagi ini ada tukang bubur lewat, semangkuk bubur kacang hijau campur ketam hitam langsung mengisi lambung kami.

Air Panas Mengeruda, SoA
Jam setengah delapan, aku berempat dengan Angga, Putra dan pak Joko mulai keluar hotel. Setelah kenyang dengan bubur dan roti tentunya. Dul sendiri yang menyetir kendaraan Innova, sehingga kendaraan bisa diambil dengan memotong jalan. Aku kurang tahu persis dari titik mana dia memotong jalan tapi lumayan juga waktu yang dihemat. Jam delapan lewat sepuluh menit kemudia kami telah sampai di pelataran parkir.
Sungai pertemuan air panas dan dingin
Hal pertama yang tampak adalah tempat ini sangat sepi bahkan penjaga pintu masuk dan petugas penjual tiket tidak ada sama sekali. Deretan tempat berjualan juga belum berisi satu penjual pun, padahal sudah jam delapan. Di depan pintu masuk dengan jelas terpampang jam buka lokasi jam 07.00 - 19.00. Kalau boleh dibilang ada penjaga, maka itu seekor anjing hitam yang sedang nyenyak tertidur di depan pintu gerbang sebelah kanan.
Untungnya pintu gerbang sebelah kiri masuk. Daripada menunggu penjaga gerbang, kami memutuskan masuk lewat gerbang kiri dengan pertimbangan nanti uang masuk bisa dibayar saat kami kembali.
Terlihat sudah ada beberapa bangunan baru yang berdiri dibanding beberapa waktu dulu aku kesini pertama. Namun sayangnya, justru beberapa bangunan lama banyak yang rusak. Rupanya masalah pemeliharaan memang menjadi momok bagi pemerintah daerah. Kegiatan pemeliharaan yang seharusnya lebih diutamakan sepertinya malah justru yang seringkali mendapat perhatian terakhir.
Kami berlimalah rombongan pertama dan sepertinya satu-satunya. Menurut pak Dul, memang pemandian air panas Soa ini hanya ramai di hari libur itu pun tidak pagi-pagi tapi siang dan sore harinya.
Pemandian Soa bagian tengah yang paling panas
Angga langsung memilih masuk ke kolam di tengah, sebuah cekungan yang berbentuk lingkaran yang sudah disemen di sekelilingnya, bagian tepat dimana sumber air panas itu muncul. Perjalanan sebelumnya aku menghindari bagian kolam yang di tengah ini karena menurutku memang panas sekali. Karena Angga sudah masuk terlebih dahulu akhirnya aku ikut masuk juga yang disusul pak Joko, sedangkan Putra memilih tidak mandi dan hanya mencelupkan kakinya saja. Air di sini awalnya terasa panas sekali dan bau belerang juga tercium walau tidak terlalu kuat, tapi setelah masuk ke dalamnya beberapa saat akhirnya tubuhku bisa menyesuaikan diri. Hampir lima belas menit kami berendam di sini, lalu kami mencoba pindah ke bawah. Jadi dari cekungan tengah ini, air mengalir ke bawah menuju ke sungai. Nah di bagian turunan bawah sini terjadi pertemuan air panas yang berasal dari cekungan dan air sungai yang dingin. Air panas yang turun terasa kencang sekali menunjukkan kalau saat ini memang debit air panas sedang tinggi. Mungkin itulah suhu bagian tengah tidak sepanas pada saat debit airnya tidak sebesar saat ini.
Aku baru merasakan lemas saat ganti baju, padahal aku hanya berendam tak lebih dari setengah jam. Untung saat di luar, aku melihat ada warung kecil yang sudah buka. Jam sembilan kami mulai meluncur untuk check-in di bandara. Sambil menunggu check-ini aku, pak Joko dan Dul mencari makan di sekitar bandara. Semangkuk soto Lamongan membuat tenagaku terasa kembali, padahal dari tadi aku merasa lemas terus walau sudah minum di warung di depan pemandian.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 29 Januari 2013

Melihat Kembali Gasing "Mainan Yang Nyaris Hilang"

Seorang anak melemparkan gasing ke arah gasing yang ada, yang terlempar dan berhenti kalah.
Bulan November kemarin aku mengunjungi kembali kota Waikabubak, ibukota dari kabupaten Sumba Barat. Sebenarnya tujuan tugasku kali ini adalah ke Waibakul, kota dari kabupaten Sumba Tengah. Sayang di Sumba Tengah baru ada satu tempat menginap yaitu wisma pemda yang saat itu baru penuh karena sedang digunakan untuk acara diklat. Akhirnya aku harus mencari hotel di Waikabubak. Untungnya jarak ke dua tempat itu tak terlalu jauh hanya setengah jam perjalanan dengan kendaraan. Jalannya pun tak banyak tikungan tajam.

Cuaca seminggu ini juga kurang mendukung, nyaris mendung tiap hari menyelimuti kota Waikabubak praktis aku tidak bisa keluar berjalan-jalan seperti biasa. Alasan utama kenapa dua bulan ini mandek menulis.

Tapi dua hari terakhir tampaknya awan tidak semendung biasanya jadi aku mencoba berjalan sedikit jauh ke arah luar kota. Tapi lagi-lagi cuaca memang tidak bisa diduga. Keruan saja aku harus kembali balik ke hotel saat tiba-tiba rintik-rintik hujan turun begitu saja padahal awan tidak terlalu tebal.

Dalam perjalanan balik aku memutuskan untuk singgah sebentar ke arah kampung Tarung, karena hujan mulai berhenti lagi. Kampung Tarung sendiri juga cukup rimbun dengan pohon-pohon besar di sekeliling kampung jadi mudah bagiku untuk berteduh sekiranya hujan datang lagi. Kali ini aku sengaja berjalan tidak masuk ke dalam perkampungan tapi berjalan mengitari kampung. Berbeda dengan jalan masuk ke kampung yang tidak boleh dilewati sembarangan, jalan melingkar mengitari kampung masuk jalan umum. Setahuku kemarin saat pertama kesini, jalan melingkar ini tembus ke arah pasar Waikabubak. Jalan ini menanjak naik. Sekedar informasi, kampung-kampung adat asli Sumba dibangun di atas bukit sementara sawah-sawah dan gembalaanlah yang ada di padang-padang datar.

Di sebuah jalan setengah perjalanan aku berhenti, dari tempat aku berdiri tampak pemandangan persawahan di bawah sampai dengan di kejauhan. Cukup luas juga sawah di Waikabubak. Sayang matahari senja masih senang bersembunyi di balik gumpalan awan-awan berwarna kelabu.

Beberapa kerbau tampak digiring masuk pemiliknya masuk ke atas kampung Tarung. Sepertinya hendak dimasukkan kandang. Kerbau-kerbau bertanduk besar merupakan ternak kebanggaan bagi orang Sumba. Upacara-upacara penting seperti perkawinan, kematian, acara bangun rumah adalah acara-acara yang akan melibatkan kerbau baik sebagai daging untuk dimakan atau dipersembahkan sebagai alat tukar (belis dalam adat perkawinan Sumba). Dari ukuran tanduk-tanduk yang besar menjulanglah dapat dihitung kira-kira berapa nilai jual kerbau itu.

Beberapa puluh meter terdengar keramaian anak-anak. Saat aku naik ke atas kampung tampak beberapa anak berkumpul di tengah lapangan kampung. Tampak benda berwarna kuning kayu berputar di tengah mereka. Lalu seorang anak yang memegang sebuah benda berbentuk kerucut di bawah dan sebuah lekukan untuk menggulung tali melemparkan benda itu sambil menarik ujung tali sehingga benda itu berputar cepat meluncur ke arah benda berputar diam. Sayang lemparan itu hanya nyaris mengenai sehingga sekarang di arena tampak tiga buah benda berputar.

Inilah permainan "gasing", sebuah permainan yang nyaris tidak akan ditemui lagi di kota-kota besar. Namun di sini, gasing masih menjadi permainan yang sering dimainkan anak-anak. Gasing di sini berbahan kayu yang rata-rata dibuat oleh mereka sendiri. Setelah memilih kayu dengan ukuran yang sesuai mereka akan meruncingkan ujung kayu hingga berbentuk kerucut dengan membuat lekukan ke dalam untuk tempat memutar tali. Tali yang sebagian dibuat dari tali nilon dan sebagian dibuat sendiri dengan akar kayu digunakan sebagai alat yang akan membuat gasing ini berputar.

Mereka makin semangat waktu aku mengabadikan permainan mereka. Masing-masing mencoba menunjukkan kemampuannya untuk membuat gasing lawan terpental. Ada seorang anak yang tidak berbaju yang tampaknya paling jago, gerakan tangannya cepat sehingga membuat gasing yang terlempar berputar sangat  cepat sehingga saat gasing dengan telak menghantam gasing lawan langsung membuat gasing lawan terlempar dan berhenti berputar.

Aku menikmati momen melihat mereka asyik bermain gasing. Sebuah permainan yang juga pernah kumainkan waktu kecil. Sepertinya tahun 95-an permainan ini sudah sulit di temui terutama di daerah Jawa kecuali mungkin di desa-desa yang masih jauh dari kota.

Suatu ketika nanti mungkin permainan gasing juga akan hilang disini, mungkin generasi berikutnya akan lebih suka bermain yang lebih berteknologi dan gasing tiba-tiba saja menjadi benda aneh.

Ah, tiba-tiba saja aku ingin bernostalgia ke kampungku dulu.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 Januari 2013

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam raya nusantara. 

Seperti halnya suku Mbare di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu. Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.

 Salah satu tradisi suku Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka. Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat, Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.

Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak jauh berbeda.
Pada setiap ajang pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah babak belur.

Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena
Arena Mbela. Disinilah aksi sang ksatria lelaki Mbare mempertahankan warisan leluhur
 Penulis: Yanto Mana Tappi
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 Oktober 2012

Menangkup Riak di Pulau Kera

Keindahan pasir putih dan pantai jernih pulau Kera
Sudah lama sekali sebenarnya keinginanku untuk sampai ke pulau Kera. Godaan ingin ke sana awalnya muncul saat bermain di pantai Ketapang Satu di depan kantor cabang Bank BNI. Saat laut surut dan tenang, dari kejauhan tampak selarik garis putih jelas sekali. Dari pesawat pun, penampakan pulau Kera begitu menggoda mata. Sebuah onggokan pulau yang dikelilingi pasir putih dan warna hijau dan tosca air laut mengelilingi daratan. 

Itu sudah beberapa bulan yang lalu, sampai kemudian ada kabar dari teman-teman di FI Regional NTT yang berencana akan merayakan ulang tahun keberadaan FI dengan hunting foto di pulau Kera. Agak bimbang sebenarnya mengingat deadline waktu pendaftaran seminggu sebelum keberangkatan. Jelas bukan hal mudah bagiku mengiyakan karena penugasan keluar kota nyaris tak bisa diprediksi.

View dari atas kapal waktu mendekat ke pulau
Untung seminggu sebelum keberangkatan, besar kemungkinan aku akan tetap penugasan di dalam kota sehingga akhirnya kuputuskan untuk mengikuti event yang digelar pak Kris dan teman-teman dari FI Regional NTT. Menurut panitia yang menyusun acara ini peserta yang berangkat ada 50 orang, naik 5 orang dari jumlah awal yang dibatasi hanya 5 orang saja.

Pada hari H-nya, Yoas sama Bembim yang sudah janjian sehari sebelumnya waktu hunting foto di Nunsui menjemputku datang pas jam 5 pagi. Cukup pagi untuk bangun, namun tidak cukup pagi untuk mengejar matahari terbit di pulau Kera. Kami ngumpul dulu di Dunel seperti kesepakatan awal karena memang tidak semua teman-teman yang ikut tahu persis lokasi pelabuhan Polair yang ada di Bolok. Dari Dunel beberapa teman yang menggunakan motor memilih ikut bareng Yoas, sekitar jam 5.20 WITA barulah kami meluncur ke bawah menuju ke  Bolok.

Rencananya kami akan menggunakan dua buah kapal milik Polair. Satu kapal berbentuk mirip ferry roro yang bagian depannya tidak lancip tapi ada pintu yang bisa dinaik turunkan, jenis yang biasanya digunakan untuk mengangkut kendaraan/barang. Hampir jam tujuh barulah kapal-kapal kami meluncur membelah selat yang berada diantara pulau Timor dan pulau Semau. Matahari sudah beranjak naik, dengan jarak tempuh sekitar setengah jam lebih dari Bolok maka sudah pasti kami tak akan bisa mendapatkan matahari pagi.

Peserta 50 orang ini lebih didominasi kaum adam, beberapa kaum hawa memang ikut tapi tidak banyak. Itupun ada beberapa orang yang memang ikut untuk sesi hunting foto model. Hal baru aku ketahui belakangan. Sepertinya aku tidak cukup siap dengan sesi ini, karena memang dari awal tujuanku kesini untuk melihat langsung pulau Kera. Sehingga dua lensa yang aku bawa dua-duanya adalah lensa lebar.

Teman-teman FI Regional NTT berpose bersama di pulau Kera
Beberapa ratus meter memasuki kawasan perairan pulau Kera, air yang bening menampakkan pemandangan bawah laut yang begitu jernih. Terumbu-terumbu karang masih hidup subur di daerah ini. Paduan langit yang membiru, pasir putih yang memanjang dan air jernih berwarna hijau dan tosca membuat paduan alam yang begitu menarik. Karena belum terlalu surut satu kapal bisa merapat hampir ke bibir pantai, sementara kapal satunya tak bisa merapat sehingga hanya merapat ke kapal satunya saja.

Memotret perahu yang berlabuh di pantai
Setelah acara makan pagi dan beberapa acara pembuka seperti pemotretan teman-teman FI di lokasi untuk dokumentasi acara, aku, Yoas dan Soni memilih untuk memutari pulau yang tidak terlalu besar ini. Teman-teman FI di acara ini mengusung tema: Lost in the Exotic Island, menurutku cukup pantas pulau ini menyandang sebagai predikat Exotic Island. Hamparan pasir putih yang halus mengelilingi seluruh pulau. Itupun belum lagi kalau mau masuk ke dalam laut untuk melihat terumbu-terumbu karang yang menurut Yoas paling banyak ada di sisi barat dan utara pulau.

Tak seperti yang pernah dikatakan pemda bahwa pulau Kera ini adalah pulau kosong dimana penghuni yang ada hanya penghuni sementara yang menunggui bagan atau keramba, ternyata aku menemui banyak rumah-rumah darurat namun memang benar-benar untuk hunian dan bukan sekedar rumah untuk menjaga keramba. 

Rumah-rumah penduduk pulau Kera, masih darurat
Kondisi rumah-rumah di sini cukup memprihatinkan karena gubuk-gubuk dari batang bebak yang dibangun jarang yang utuh namun masih harus ditutup di sana-sini entah menggunakan kain terpal, plastik, seng, apa saja asal dapat menutupi dinding-dinding yang berlubang. Di bagian tengah oleh masyarakat dibangun sebuah musholla sederhana jika tak ingin dibilang memprihatinkan juga. Menurut salah seorang penduduk, di pulau ini didiami sekitar 100 jiwa termasuk anak-anak. Beberapa rumah memang sudah ada yang memiliki sendiri listrik dari panel tenaga surya yang terpasang, namun beberapa menggunakan mesin genset yang digunakan bersama. Pola seperti ini juga aku temui di beberapa pulau di kawasan NTT, biasanya mesin genset ini hanya dihidupkan dari sore hari sampai malam selain untuk aktivitas malam termasuk menonton televisi. Nanti pada jam 9 malam (kadang-kadang bisa lebih kalau ada acara tv yang menarik seperti sepakbola) mesin genset ini dimatikan dan pulau ini akan benar-benar gelap.

Anak-anak di pulau Kera
Untuk kegiatan mandi sehari-hari, penduduk di pulau Kera menggunakan air sumur yang mereka bangun tak jauh dari musholla. Air ini masih payau sehingga memang hanya digunakan untuk kegiatan MCK saja, sedangkan untuk minum dan masak mereka biasanya mengambil air dari daerah Kelapa Lima atau Pasar Oeba. Satu jerigen besar biasanya mereka membayar dua ribu rupiah.

Pohon-pohon di pulau ini tidak ada yang tumbuh benar-benar besar, seperti kondisi tanah yang dipenuhi pasir membuat pohon tidak bisa tumbuh maksimal.

Tak sampai satu jam, aku, Yoas, Radith dan Sony habis mengelilingi pulau kecil ini. Dari pagi suhu di sini sudah terasa panasnya, apalagi ketika mulai menjelang siang hawa panas terasa menyengat. Aku, Yoas dan Radith sempat berteduh di bawah sebuah bangunan kecil yang digunakan sebagai menara mercusuar.

Saat aku kembali dari berkeliling, rupanya sesi pemotretan model sudah selesai dan masing-masing sudah mulai berburu obyek masing-masing. Acara makan siang  adalah acara bakar ikan, kasihan juga melihat teman-teman membakar ikan di siang yang terik begini. Angin yang kencang sempat membuat tenda darurat kami hancur, dimulai dari sobeknya bagian atas karena tidak kuat menahan tekanan angin. Alhasil, acara makan harus dilakukan di tenda darurat yang lebih sempit.

Berburu ikan lele laut dengan tombak dan racun pohon Tuba
Awalnya aku dan Yoas berencana untuk kembali siang ini karena memang rencananya ada sebagian teman yang berniat untuk pulang siang. Namun entah karena apa akhirnya malah tidak ada yang kembali siang. Dengan terpaksa aku harus ikut rombongan karena memang tidak mungkin aku kembali hanya beberapa orang saja, minimal harus 20 orang agar kapal yang kembali tidak perlu harus balik lagi. Cukup lelah sebenarnya menunggu sampai sore sementara panas begitu terasa menyengat. Karena itulah aku tidak ikut saat teman-teman FI mengadakan acara bakti sosial ke warga pulau ini. 

Menjelang sore, beberapa teman mulai lagi sesi pemotretan model karena laut mulai surut. Lagi-lagi aku lebih tertarik dengan kerumunan anak-anak yang ada di kejauhan. Rupanya mereka sedang memburu ikan di celah-celah karang. Yang unik mereka dengan mudah menombak ikan-ikan seperti lele itu. Sudah beberapa ikan yang mereka tombak namun ikan-ikan yang lain tidka tampak lari seperti biasanya kalau aku mengejar ikan. Rupanya sebelum mereka menombak anak-anak ini memasukkan sebuah kayu yang mereka sebut batang kayu  Tuba. Batang kayu Tuba yang telah ditumbuk-tumbuk supaya mengeluarakan getah beracun ini jika dimasukkan di air  membuat ikan-ikan menjadi teler. Pantas saja mereka bisa mendapatkan begitu banyak ikan dengan menombak. Tak kurang, lebih dari 60 ikan seperti lele dengan garis-garis gelap mereka tangkap. Pantai ini memang selain eksotis juga masih kaya dengan ikan dan binatang laut lainnya. Di sini sebenarnya juga ada penyu tapi tidak setiap saat bisa ditemui, juga beberapa burung yang bermigrasi biasanya singgah disini.

Menombak ikan yang teler
Dari informasi ini baru aku tahu juga, kalau nama pulau Kera ini bukan berarti monyet karena orang ntt kalau menyebut monyet itu kode. Nama Kera itu rupanya berasal dari kata Kerang yang lama-lama kehilangan huruf sengau 'ng'-nya. Mungkin ini dari penyebutan orang-orang bajo penghuni pulau ini yang biasanya menyebut 'ng' di bagian belakang kata menjadi 'n'.

Sekitar jam 5 sore kami kembali namun terjadi masalah kecil karena terlalu surut kedua kapal tidak bisa ke pinggir. Alhasil kami semua harus mengalah dan berjalan agak ke tengah agar bisa naik ke atas perahu. Dengan ketinggian sedalam pinggang, mau tidak mau aku harus melepas seluruh peralatan termasuk rompi dan aku taruh di atas pundak untuk menghindari terkena air laut. Perjalanan kembali kali ini lebih lambat, sehingga dari atas kapal kami bisa menikmati pemandangan matahari yang bulat tenggelam di ufuk barat dibawah bayangan pulau Semau. Namun sesampainya di darat kami baru mendapatkan alasan mengapa perahu kami lebih lambat. Awalnya kukira karena ombak yang membuat perahu harus berjalan pelan, ternyata bukan namun karena mesin kapal kami mati satu. Wah, pantas saja tiba-tiba nahkoda kapal meminta sebagian teman berpindah ke kapal satunya yang lebih kecil rupanya itu jawabannya. Untuk hal itu baru aku ketahui belakangan, seandainya hal itu diketahui dari awal, bisa menimbulkan kehebohan karena banyak diantara teman-teman yang ternyata tidak bisa berenang.

At least, congrats buat Fotografer Indonesia Regional Nusa Tenggara Timur buat acara perayaan ulang tahun pertamanya dengan acara hunting di pulau Kera ini. Tanpa acara kalian mungkin masih lama aku mewujudkan impian untuk menginjak tanah ini. Walaupun setelah ini sepertinya akan acara perjalanan kedua ke pulau Kera karena seorang teman yang memiliki perahu sudah menawarkan untuk perjalanan ke sana.

Sekarang baru membangun rencana baru untuk ke pulau Semau dan pulau Tikus.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya