Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 04 September 2012

Pantai Oetune: Keindahan Yang Masih Tidur


Hamparan pasir kuning keputihan dan laut yang hijau kebiruan, keindahan pantai Oetune
Ketidaksengajaan, itulah sebenarnya awal perjalananku sampai ke Oetune. Seminggu sebelum keberangkatan ke SoE, aku sudah berencana untuk mbolang ke Fatumnasi. Apalagi kalau bukan karena hasutan perjalanan mbak Dian Olly yang dengan sangat kejam menunjukkan foto-foto perjalanannya selama menjelajah di desa Fatumnasi, sebuah desa yang berada di ketinggian di bawah kaki gunung Mutis. Dengan pongah mbak Dian menggambarkan keindahan kampung Fatumnasi terasa membuat iri (positif) sehingga aku benar-benar berharap bisa melihat langsung Fatumnasi apalagi kalau bisa sampai menginap dan melihat pagi yang penuh kabut.

Namun rencana berubah setelah melihat kondisi medan yang harus dilalui dan waktu yang tersisa. Menurut pegawai dari Dinas Pariwisata, kondisi jalan ke arah Fatumnasi cukup sulit karena batu-batu jalan yang beraspal sebagian besar terkelupas sehingga mudah lepas. Mereka menyarankan aku untuk menggunakan kendaraan dobel gardan atau kalau dengan sepeda motor yang trail atau setidaknya motor Win (kendaraan satu ini disukai orang yang tinggal di lokasi sulit seperti ini karena selain tangguh juga cukup lincah). Tentu saja motor otomatic macam Vario milikku dan Karisma yang dinaiki Augus tidak akan sanggup menaiki jalan ke arah Fatumnasi tanpa lecet. Hiks... sungguh menyedihkan, aku harus menguburkan sementara untuk bisa menyambangi desa Fatumnasi atau menaklukkan gunung Mutis. Mungkin yang membaca ini ada yang prihatin dan mengajakku ke Fatumnasi, siapa tahu? hahahaha..........


Hamparan pasir sejauh mata memandang
Akhirnya di akhir penugasan aku dan August memutuskan untuk mengunjungi pantai Oetune. Menurut orang yang sama, pantai Oetune sebenarnya lebih bagus daripada Kolbano karena punya pantai yang landai panjang dengan pasir putih kekuningan.
Jadi lah Sabtu siang aku dan August dengan kendaraan masing-masing ke Oetune setelah check out dari hotel siang itu juga. Jadi ini sekaligus perjalanan kembali ke Kupang karena seperti aku pernah ceritakan sebelumnya pantai Oetune itu masuk dari percabangan jalan arah ke Kolbano. Percabangan yang disebut Batu Putih itu memang terletak di pertengahan antara Kupang-SoE.
Perjalanan siang seperti ini sebenarnya tidak terlalu aku inginkan mengingat perubahan cuaca terasa mendadak sekali. Jika di daerah SoE walau panas tapi angin masih terasa dingin namun begitu turun di perjalanan yang meliuk-liuk setelah melewati jalan baru aku merasakan 
udara panas yang terasa menyengat, bahkan udara yang berhembus dari sela helm terasa panas. Aku coba ukur dengan pengukur suhu di jam tanganku, dan astaga angka 40,8 derajat langsung terbaca di panel LCD. Huft.. sungguh berbeda sekali suhu di dua tempat itu. Langit saat itu juga tanpa awan sama sekali.


Augus lagi bernarsis ria di bawah pohon cemara
Setelah sampai di percabangan dan masuk ke arah Bena/Kolbano aku tetap bisa melajukan motor karena beberapa kilometer jalan telah mulus dan berwarna aspal yang hitam pertanda jalan ini baru selesai di hotmix. Cukup baik kondisinya walau ada beberapa ruas yang masih berupa jalan batu putih terutama di ruas-ruas yang baru ada pemotongan bukit. Namun disarankan jangan berada di belakang mobil-mobil besar karena selain debu batu kapur yang berterbangan menyesakkan sering kali juga batu-batu kecil terlempar dari lindasan truk.
Melewati hamparan persawahan, beberapa pedagang yang menjual semangka-semangka berwarna hijau gelap menarik mata, ingin rasanya mampir sebentar untuk mencicipi semangka-semangka segar itu. Tapi keinginan itu aku tunda, kendaraan terus melaju melewati Kuanfatu dan terus ke dalam sampai melewati jembatan dengan dua gelagar didua sisi untuk lewat kendaraan. Dengan naik motor, melewati salah gelagar tidak terlalu sulit walau tetap harus hati-hati karena beberapa papan sudah rusak dan bisa membuat roda motor tergencet.


Cemara-cemara berderet di sepanjang pantai
Tak lama kemudian sebuah papan penanda bertuliskan "Tempat Rekreasi Pantai Oetune" kecil tampak, di seberang beberapa motor yang sepertinya ojek untuk mengantar orang ke dalam. Kami berbelok masuk ke dalam, roda-roda motorku menapaki jalan berbatu. Tak lama kemudian sebuah hamparan berumput hijau terbentang dengan deretan pepohonan lontar terlihat menarik mata. Puluhan sapi milik warga dilepaskan saja di sana asyik memakan rumput-rumput yang masih hijau di musim kering begini. 
Tak lama kemudian di ujung padang rumput kami sampai di depan gerbang tempat rekreasi Oetune. Cukup dengan biaya 3.000 rupiah untuk tiket masuk per orang dan seribu untuk setiap motor kami bisa menikmati lokasi ini. Saat kami membayar petugas agak aneh melihat aku dan August. Kami tampak aneh sepertinya, karena di depan motor kami bertengger tas-tas agak besar tidak biasa digunakan untuk orang berwisata. Yah, wisata sambil pulang ya seperti ini hahahahaha.....


Batang-batang kelapa untuk duduk
Mata kami disambut deretan lopo-lopo yang dibangun pemerintah sementara laut terhalang gundukan pasir meninggi dan deretan papan-papan dari kayu kelapa menjadi tempat duduk. Begitu aku naik ke atas gundukan ini baru tampak kondisi pantai Oetune yang masih besih dengan pasir yang berwarna kuning cerah keputihan. Hamparan pasirnya tampak luas padahal saat ini bulan purnama yang artinya pasang pada saat siang hari terik begini. Mungkin saat surut pantai ini akan tampak panjang sekali. Pantai ini memang tidak salah jika mau dijadikan andalan pemerintah menjadi obyek wisata. 

Deretan pohon cemara berdiri di sepanjang pantai, dan di sisi kanan ada beberapa gundukan bukit pasir yang berbukit-bukit tampak menciptakan view yang saling melengkapi. Sangat indah, gundukan-gundukan pasir yang berbukit-bukit menjadi paduan menarik dengan hamparan pasir yang panjang dan laut yang berwarna hijau biru. Pasir-pasir ini sangat lembut dan mudah bergerak, harus berhati-hati berjalan di atasnya. Ombak saat ini memang tak terlalu besar, namun sepertinya pada bulan-bulan tertentu bisa jadi ombaknya besar sekali mengingat pantai ini berada di sisi Selatan dari pulau Timor. Untuk sebuah wisata pantai, aku merekomendasikan tempat ini salah satunya lah, bahkan Augus punya rencana untuk suatu hari bisa membangun tenda di sini untuk menikmati suasana pantai yang sangat menawan ini. Sayang hari ini aku terlupa untuk mengisi termos kecil dengan air panas, padahal biasanya aku lakukan itu. Kebiasaan minum teh atau kopi panas ditiadakan hari itu, karena termos air berisi air dingin dua hari yang lalu.


Hamparan pasir berbukit-bukit di sisi kanan pantai
Ada sedikit kejadian di lokasi ini, yaitu sebuah mobil yang terperosok masuk ke dalam pasir. Tak lain karena gaya sok pemilik kendaraan, entah apa maksudnya mobil kijang yang aku lihat parkir di pinggir pantai tiba-tiba naik ke atas dan berjalan di sepanjang pasir yang meninggi yang digunakan orang duduk menikmati laut. Perbuatan yang membuat jengkel, gayanya bermain off-road sangat tidak pantas di lokasi ini karena jelas itu bukan untuk kendaraan tapi untuk orang, sejengkel saya jika melihat motor berjalan naik di atas trotoar.
Tak tahu awalnya, tiba mobil itu menukik ke arah cerukan pasir. Tak lama kemudian terdengar bunyi menderu-deru dari mobil itu karena rodanya tenggelam di pasir. Semakin gas meninggi dan roda berputar kencang semakin dalam pasir. 

Untuk ke lokasi ini tidak terlalu sulit karena jalan yang ada batas cabang tadi sering lewat kendaraan umum dan truk yang sampai ke Kolbano, dan masuk ke dalam banyak tersedia sarana ojek itu kalau tidak mau jalan kaki. Jalan kaki juga bukan pilihan buruk.


Penjual semangga di depan tempat berjualnya
Jam setengah tiga aku dan Augus meninggalkan pantai Oetune. Kami mampir sebentar di penjual semangka yang berada di pinggir jalan Bena. Sebuah semangka seharga sepuluh ribu terasa begitu segar mengisi perut kami yang kosong karena tidak ada menu makan siang yang hinggap di perut kami. Rasanya sangat segar karena semangka-semangka ini baru dipetik dari kebun mereka sendiri. Beberapa orang tampak berhenti dan membeli semangka itu, sebagian memakannya langsung di tempat dan sebagiannya lagi untuk dibawa pulang.


Karena ukurannya agak besar, aku dan Augus hanya bisa menghabiskan separuh saja. Sisanya aku bungkus untuk aku makan di pinggir jalan. Biasanya aku kalau naik motor dari Kupang ke SoE biasa berhenti dan duduk-duduk sebentar di hutan Camplong yang teduh.
Jika  biasanya ada coklat panas, teh panas atau kopi panas yang menemani, yah berarti setidaknya ada semangka segar yang bisa menemani kami di bawah pohon di hutan Camplong.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 02 September 2012

Trap The Dream


Di sini mimpi-mimpi boleh sejenak dilepaskan, dan biarkan terbang bersama guguran daun-daun Ampupu. Tanah dipenuhi daun-daun warna coklat dan kuning pucat memenuhi hamparan kadang terbang berhambungan mengejar angin dari roda-roda yang melindas jalan yang membelah hutan.


Hutan yang sangat rindang, jajaran pokok pohon Ampupu berjajar sangat rapat, bahkan tidak memberi celah bagi sinar matahari untuk menerobos dan menyinari tanah di bawahnya. Namun matahari senja lebih cerdas, sinarnya mampu memberikan nuansa kuning bagi pokok-pokok pohon.
Angin yang dingin dan terasa menusuk kulit kadang bertiup menggugurkan lebih banyak daun yang telah menguning dari ranting-ranting, mengubur tanah lebih tinggi.
Tempat yang sepi, namun sekali dua kendaraan bermotor melintasi jalan ini, ruas jalan yang menghubungkan kota SoE dengan Mollo Utara. Lebih sering hanyalah motor-motor roda dua, namun kadang ada juga truk bermuatan penuh orang-orang melintas yang sepertinya baru kembali dari kota. Tak usah heran apalagi trenyuh melihat bak truk bisa dipenuhi lebih dari 30 orang, walaupun mereka juga sering kali memimpikan kendaraan yang lebih nyaman untuk membawa mereka pergi namun truk pun bukan pilihan buruk walau kadang jika telah penuh harus bergelantungan di samping.


Sayang hari ini terlalu sore untukmu mengeluarkan termos air panas untuk sekedar menyesap hangatnya teh atau panasnya kopi. Tapi lain kali pasti akan kulakukan. 
Sebuah tempat yang tepat untuk melepaskan jejak kebisingan kota yang singgah mengotori pikiran. Dan di sini adalah tempat untuk membekukan aroma polusi kota yang sering membuat mual. Karena di sini ambisi tidak diperlukan, untuk hidup.

Lokasi: Hutan Bu'at, SoE, Timor Tengah Selatan

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 12 Agustus 2012

Menjelajah di Hari Yang Dingin: Oehala, Supul

air terjun oehala
Empat tingkat dari air terjun Oehala, Timor Tengah Selatan 

Tahu rasanya saat bulan puasa seperti ini harus bertugas di daerah yang suhunya lagi dingin-dinginnya? Jawabannya: gak enak sama sekali. Akhir bulan Juli ini suhu di SoE lagi dingin-dinginnya, walaupun siang hari tapi angin yang bertiup membuat gemeretak gigi. Sengatan matahari lumayan membantu mengurangi rasa dingin. Berada di ketinggian +/- 780 meter di atas permukaan laut dan pengaruh musim dingin di Australia, tak heran suhu menjadi dingin menggigit seperti ini.
Jangan tanya di kamar, rasa dinginnya lebih tidak karuan, satu-satunya penyelamat adalah masuk ke dalam selimut. Sahur menjadi sarapan yang menyiksa, pilihan antara makan roti yang dibeli malam atau makan nasi padang yang penuh santan kental.
Tiap hari nyaris selalu memakai jaket penuh dan sarung tangan, paling menyenangkan saat ada matahari. 
Bagaimana menggambarkan dinginnya bahkan bisa dilihat di Kupang. Hari Senin pagi aku naik motor dari Kupang menuju SoE harus menahan rasa dingin terasa menggigit di tangan di sepanjang jalan. Bahkan aku harus beberapa kali berhenti mengibas-ibaskan saking ngilunya jari-jari tangan menahan dingin akibat tidak memakai sarung tangan.
nusa lontar siluet
Suasana pagi dari atas jembatan Noelmina di perbatasan Kupang-Timor Tengah Selatan
Bahkan sampai di jembatan Noelmina daerah Takari kabut tebal tampak menyelimuti di seberang sungai. Padahal Takari terkenal panasnya, mengalahkan panasnya Kupang. Jajaran pepohonan memenuhi kawasan pinggir sungai yang pasirnya sering ditambang ini bagai bayang-bayang tertutup kabut putih. Pohon lontar yang tumbuh jangkung tampak mendominasi pemandangan pagi di seberang sungai Noelmina yang arus airnya sedang berkurang bulan-bulan seperti ini. Padahal di atas motor aku memakai pakaian tebal dobel dan jaket, bahkan selain helm aku melapisi kepala botakku dengan ponco tetapi tetap saja dingin menerobos dari celah jaket.


danau supul niki-niki
Danau atau rawa supul dan deretan tanaman teratai
Untung beberapa hari kemudian aku sempat melakukan uji sampling penugasan ke kota kecamatan, dan pilihanku jatuh ke Niki-Niki. Sebuah kecamatan yang berada dipertengahan SoE-Kefamenanu ini cuacanya tergolong panas lumayan menyenangkan untuk mengurangi rasa dingin selama berhari-hari mendekam di kota SoE.
Siang setelah mewawancarai petugas kesehatan di puskesmas Niki-Niki aku kembali ke SoE.  Beberapa kilometer menuju setelah habis Niki-Niki aku minta sopir yang mengantar aku dan Bram berhenti di sebuah rawa yang berada di pinggir jalan. Rawa ini biasa disebut penduduk dengan nama danau Supul, katanya kalau musim hujan airnya bisa meluap sampai ke jalan. Entah ada hubungannya atau tidak, karena orang kupang mengatakan 'supul' itu artinya juga sudah penuh (su=sudah; pul=ful=penuh). Sebenarnya memang lebih tepat disebut rawa karena air disini tidak ada sungai atau sumber lain yang bermuara jadi seperti air tergenang, tapi kata masyarakat disini airnya tidak pernah sampai habis walaupun musim paling kering sekalipun.
Di rawa Supul juga digunakan masyarakat untuk berwisata, tak heran kalau hari minggu tempat ini banyak didatangi masyarakat. Juga pada hari-hari lain mudah ditemui pemancing di sekeliling rawa. Menurut seorang penduduk yang tinggal disini, sebenarnya di rawa ini ada penunggunya. Istilah untuk menyebut buaya.
Cuaca cukup sejuk, tak panas seperti bulan-bulan biasa tapi masih jauh lebih baik daripada dinginnya SoE. Sebuah dangau yang dibangun di pinggir jalan menjadi tempat yang asyik untuk berteduh atau menjadi tempat untuk membakar ikan.
Tapi sekali lagi aku harus kembali memberi catatan untuk rawa ini. Lagi-lagi waktu aku berkeliling rawa ini aku menemukan banyak sampah plastik berserakan begitu saja. Kembali aku harus mengeluhkan budaya bersih yang masih kurang di NTT ini, entah dari mana semua kesadaran ini harus mulai dibangun.


air terjun oehala
Air terjun bertingkat-tingkat
Hari berikutnya, aku dan Bram harus ke puskesmas Kapan. Perhitunganku suhu di sana kemungkinan akan lebih menggigit karena terletak lebih tinggi dari kota SoE. Letaknya yang berada di bawah kaki gunung Mutis dengan ketinggian sekitar 960 meter di atas permukaan laut. Sekedar info, kecamatan Kapan merupakan sentra jeruk. Perkebunan jeruk khas SoE yang ada disini memasok hampir sebagian besar keberadaan jeruk SoE. Karuan saja, dari berangkat aku sudah persiapkan sarung tangan rangkap dan ponco di kepala berjaga-jaga kalau suhu siang hari tidak bersahabat dengan kami. Untung sesampainya di sana matahari justru terang benderang sehingga rasa dingin banyak berkurang walau tidak sampai harus melepaskan jaket. Sekembalinya dari sana aku mengajak Bram mampir ke Oehala. seperti yang aku tulis pada tulisan-tulisan sebelumnya (baca: Air Terjun Oehala dan Re-visit: Oenesu dan Oehala), Oehala ini terkenal dengan air terjunnya.
air terjun oehala
Tingkat kelima dari air terjun Oehala
Di Oehala sebenarnya lebih panas daripada SoE karena ketinggiannya tak lebih dari 675 meter dpl bahkan waktu kita turun sampai di bawah turun lebih dari 40 meter sampai 635 meter dpl. Kebetulan pula Bram belum pernah ke air terjun ini. Karena sedang puasa, aku berdua dengan Bram sengaja menapaki tangga pelan saja menghemat tenaga karena perhitunganku di tempat ini, waktu kembali justru yang banyak memakan energi.
Besoknya setelah Bram bercerita dengan teman-teman lain mereka menjadi tertarik, apalagi waktu kita beritahu bahwa suhunya juga tidak sedingin di SoE saat ini. Sayang kendaraan yang ada cuma satu motor yang aku bawa sendiri dari Kupang, padahal kami ada empat orang. Tak kurang akal, kami mencoba mencari tukang ojek yang biasa mangkal di pertigaan. Tanpa tawar menawar kami iyakan saja permintaan 40 ribu dari tukang ojeknya.
Berempat aku, Bram, pak Joko dan pak Sunaryo dengan berboncengan kami kembali memacu motor ke arah Kapan sekitar jam setengah empat. Tak terlalu kencang karena memang jarak Oehala tidak terlalu jauh, hanya jalan masuk ke dalam sekitar tiga kilometer yang kurang bagus sehingga kecepatan jauh berkurang. Hampir setengah jam kami baru sampai ke tempat parkir Oehala.
air terjun oehala
Wajib narsis untuk bukti otentik: Sunaryo, Joko, Bram
Lokasi di tempat ini sudah banyak perbaikan. Tangga menurun menuju ke arah air terjun sekarang dipasangi pegangan dari kayu, cukup membantu kalau kaki capek menapak. Karena tangganya cukup terjal, tangga seperti ini juga mengurangi risiko orang terjatuh ke samping. Dibagian air terjun juga tampaknya sudah banyak perbaikan. Beberapa pohon tumbang yang aku temui kemarin juga telah dibersihkan. Lopo-lopo yang ada juga sudah diperbaiki walaupun di sampingnya menyisakan sebuah bangunan kamar mandi yang sudah rusak tak terpakai.
Air terjun yang bening dan dingin cukup membuat teman-teman tertarik. Warna tosca yang menempel di bebatuan memang membuat warna air tampak lebih berwarna. Beberapa lokasi yang dibersihkan cukup membantu view untuk melihat air terjun menjadi lega.
Kali ini kami eksplore sedikit ke bawah dua tingkat lebih rendah dari sebelumya. Sedikit  sulit waktu harus lewat jalan melingkar dengan berpegangan akar dan batang pohon untuk turun tapi view disitu cukup enak buat duduk-duduk.
Mungkin karena puasa beberapa kali aku harus menahan diri saat tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Aku harus diam dan menenangkan diri beberapa saat sampai perasaan itu hilang. Kemungkinan ini efek dari puasa tapi justru aku jalan lebih jauh.
Mendekati sore kami memutuskan kembali sekalian langsung mencari makan untuk berbuka puasa. Perjalanan kembali ke atas menjadi cukup menguras tenaga, tak pelak keringat mengucur di dahi dan badan membuat cuaca dingin tidak terasakan.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 24 Juli 2012

Labuan Bajo: Melangkahi Daratan

Kembali lagi ke Labuan Bajo paling tidak selama seminggu harus mendekam di hotel lagi. Waktu yang cukup singkat mengingat jadwal kegiatan yang padat sehingga sampai beberapa belum tahu mau merencanakan perjalanan kemana yang tidak mengganggu jadwal. Jangan bilang berenang atau melihat Komodo deh.
Sepertinya bakal menghabiskan waktu seminggu ini di hotel saja sampai kemudian teman-teman dari Manggarai menawarkan perjalanan ke air terjun Cunca Wulang, sebuah air terjun yang terletak tidak begitu jauh dari Labuan Bajo. Namun sebelum ke air terjun, aku dan Kadek sempat juga mengunjungi Gua Batu Cermin walaupun kedua tempat itu kita kunjungi pada waktu yang kurang tepat.

Gua Batu Cermin
gua batu cermin
Pintu masuk ke atas menuju Gua Batu cermin
Sekitar hari Sabtu acara selesai jam 4 sore, Vian menawarkan jalan ke Gua Batu Cermin yang letaknya masih di sekitaran Labuan Bajo. Sebenarnya sudah beberapa kali aku ingin ke gua itu hanya entah kenapa belum-belum juga. Kesempatan baik walau secara waktu kurang tepat. Sebelumnya aku sudah mendapat cerita bahwa waktu terbaik ke gua itu adalah siang hari tepat dimana sinar matahari dapat masuk dari lorong bagian atas dan dinding-dinding gua yang berkilauan memantul-mantulkan cahaya layaknya cermin. Tak apalah, setidaknya aku mengenal dahulu seperti apa gua itu nanti baru bisa kembali lagi di waktu yang tepat.
Dari Labuan Bajo, kendaraan pak Vian berjalan ke Utara sampai melewati rumah jabatan Bupati dan di pertigaan berbelok ke Timur masuk ke jalan lebih kecil. Tak sampai 15 menit kami menemui sampai di lokasi.
Setelah membayar tiket masuk dan biaya untuk tour guide kamu mulai masuk ke dalam area. Jalan setapak ini menerobos semak-semak bambu berduri. Seekor ular kecil sempat menghalangi langkah kami. Melihat ukuran kepala yang lebih besar dibanding tubuhnya, aku memperkirakan ular berwarna coklat kemerahan ini jenis berbisa.
gua batu cermin
Di bagian atas gua
Sebuah batu tinggi tampak menjulang keras ditutupi rimbunnya pepohonan. "Itu pintu keluar pak, kita masuk lewat sana," tunjuk Tony sang guide menunjuk ke arah jalan lebih ke dalam. Tony yang ditunjuk menjadi guide kami berpenampilan rambut gimbal ala Bob Marley, dia masih bersekolah di SMK jurusan pariwisata sementara ini dalam rangka magang.
Dari depan pintu masuk menuju gua tampak tampak tangga menuju ke atas mengitari sebuah batu yang katanya terus tumbuh tinggi sepanjang tahun. Penambahan tinggi batu itu diakibatkan tetesan air yang membawa material dari atas.
Beberapa wisman asing tampak berdiri di depan sebuah ceruk gelap pendek, aku tidak bisa memastikan darimana wisman ini berasal namun sebagian mereka boleh aku katakan tua.
Rupanya gua Batu Cermin bukanlah gua bawah tanah, namun lebih ke adanya ruangan dari batu-batu yang bersusun.
Untuk menuju ke tempat dimana lokasi batu cermin itu berada kita harus masuk ke dalam ceruk di depan para wisman itu. Rombonganku sempat tertahan karena Tony hanya membawa dua senter dan itupun yang satu mati. Untung aku sendiri selalu membawa senter kecil di rompiku. 
Guide dari rombongan wisman asing sempat mengomel kepada kami. Ternyata itu karena kurang suka dengan keisengan salah satu wisman tua yang nakal menaruh tempat sampah di depan ceruk gua yang kecil ini. Katanya mereka tidak berani karena ceruknya terlalu kecil lalu memilih berdiri di depan ceruk itu.
gua batu cermin
Fosil kura-kura di atap gua
gua batu cermin
Kelelawar berukuran kecil

Setelah menyingkirkan tempat sampah Tony mulai merunduk masuk ke dalam ke dalam ceruk gua. Dengan tinggi ceruk tak lebih dari satu sepermpat meter dan lebar yang pas badan memang bisa menciutkan nyali apalagi yang berbadan besar. Diujung ceruk pertama Tony menunjukkan baru seperti payudara wanita yang dikatakan sebagai simbol ibu. Setiap pengunjung diharuskan mengelus batu ini, karena konon yang tidak mau memegang batu ini tidak bisa kembali. Setelah beberapa meter masuk kami harus melewati lubang ke bawah lebih sempit dengan ketinggian satu meter dan stalagtit-stalagtit runcing. Kali ini aku harus merangkak. Tony mengarahkan senternya ke arah salah satu stalagtit yang patah dan ada bekas darah. Katanya seorang wisman asing baru-baru ini terluka kepalanya sampai berdarah  dan mematahkan stalagtit itu.
Setelah melewati cerukan kedua tadi kami sampai di ruangan yang agak lebar. Ruangan ini benar-benar gelap, tanpa senter bener-bener hanya pekat. Itu dibuktikan Tony waktu kita kembali dengan mematikan semua senter, betul-betul pekat karena tak ada celah cahaya bisa masuk disini.
Laba-laba di gua batu cermin
Laba-laba di dalam gua
Batu berbentuk wanita di gua batu cermin
Batu berbentuk wanita di atas dinding gua
Setelah itu aku kembali harus memasuki celah yang lebih pendek, perkiraanku tingginya tidak sampai satu meter dengan lebar yang lebih sempit daripada cerukan pertama. Dengan merangkak kami masuk ke celah itu, selain stalagtit ternyata ada juga stalagmit walau tidak runcing.
Tebing di gua batu cermin
Tebing batu tinggi gua batu cermin
Sekeluarnya dari celah kami sampai ke dalam ruangan lebar dengan ketinggian sekitar dua meter sehingga tangan kami bisa menjangkau beberapa bagian langit-langit gua. Menurut Tony, gua ini dulunya ada di kedalaman laut dan itu dibuktikan dengan beberapa fosil yang terperangkap dalam gua ini. Sebuah tonjolan seperti kura-kura yang menurut Tony memang fosil kura-kura tampak di atas atap gua. Beberapa fosil dari terumbu karang juga jelas terlihat di samping kanan gua dan masih utuh, benar-benar bahwa itu adalah fosil terumbu karang. Untuk ikan memang harus memperhatikan dengan jeli baru kita bisa mengenali bahwa itu adalah fosil.
Aku juga ditunjukkan seekor laba-laba hidup dengan sebuah belalai seperti bulu di depan muka laba-laba itu. Kalau menurut ilmu pengetahuan, binatang yang bisa hidup dan tinggal dalam kegelapan total seperti ini tidak akan memiliki mata karena memang tidak ada manfaatnya bagi pertahanan hidup. Entah, mungkin bagian belalai seperti bulu itu yang menjadi indera penglihatannya.
Kami terus berjalan ke dalam sampai di ujung gua. Dibagian ujung gua dibagian atas terbuka celah sehingga cahaya dari atas bisa menerangi bagian dalam gua. Karena cuma dari ataslah cahaya yang bisa masuk maka hanya pada saat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala. Saat itu keindahan gua ini bisa terlihat karena dinding-dingding gua yang berwarna putih dan berkilat-kilat seperti kristal akan memantulkan cahaya ke segala arah dalam gua. Menurut Tony, walau tampaknya putih Sungguh saat bukan waktu yang tepat.
Kami harus kembali karena memang gua ini buntu alias tempat masuk keluar dari arah yang sama.
Setelah kembali keluar dari gua, ternyata kami harus berjalan ke arah sebaliknya untuk keluar dari kawasan gua ini.


Air Terjun Cunca Wulang
Meloncat di air terjun cunca wulang
Seorang cewe bule (Ivanna katanya) meloncat dengan semangat
Hari Minggu jam delapan pagi rombongan kami mulai berangkat, terlambat satu jam dari jadwal yang disepakati awal karena menunggu Beny selesai ibadah minggunya. Perjalanan ke arah Timur menuju ke arah Manggarai. Satu jam awal kami masih berkendara di jalanan utama yang kondisinya masih baik walaupun sepanjang jalan dipenuhi kelokan dan tanjakan tajam, khas jalan di Flores. 
Jalan terus menanjang sampai ke daerah Kecamatan Sano Nggoang. Kendaraan kendaraan kami masuk ke pertigaan arah Warsawe. Saat itulah aku baru merasakan jalanan yang kecil rusak dan berkelok-kelok.
Setelah melewati sebuah kecamatan baru yang bahkan lebih kecil dibanding sebuah dusun, kendaraan harus melewati jalan yang baru dibuka masih berupa hamparan tanah merah. Untung kendaraan yang digunakan ketiganya cukup tangguh untuk medan disini.
Seorang penduduk bertindak menjadi guide kami karena ternyata kami harus melalui kawasan hutan negara.
Setelah perbekalan di atur cara mengangkatnya (kebetulan aku kebagian mengangkat minuman) kami mulai menerobos hutan menelusuri jalan kecil dengan akar-akar melintang menghadang jalan. Akar-akar ini sering kali bermanfaat menahan kakiku karena daerahnya yang cukup berbukit-bukit dan bertanah rawan membuat kaki terpeleset. Sebuah tongkat adalah pilihan bijak terutama untuk menahan langkah supaya tidak tergelincir. Menurut penduduk yang menjadi guide kami, jarak dari tempat berhenti menuju air terjun sekitar satu kilometer.
Genangan air terjun cunca wulang
Genangan air sungai dari air terjun
Cukup melelahkan dengan medan seperti ini, tapi suara air menunjukkan bahwa air cukup dekat memacu kembali semangat kami. Sayang ternyata itu hanyalah bunyi air sungai karena ternyata kami harus menyusuri sungai dulu untuk sampai di air terjun. Guide dengan lincah berjalan di antara batu-batu dan mengarahkan kami tempat menyeberang. Di beberapa titik terdapat genangan air yang tampak tenang dan dalam, itulah titik akhir dari air terjun Cunca Wulang.
Air terjunnya sendiri tidak bisa dilihat dari sisi bawah karena terhalang dari dinding-dinding batu terjal yang mengapit aliran airnya. Untuk bisa melihat air terjun maka kita harus naik kembali dari sisi kanan dimana terdapat batang-batang kayu saling diikat sebagai pegangan untuk naik ke atas, dan itu sangat membantu sekali karena tanahnya yang sangat terjal menjadi sulit untuk dinaiki. Setelah sampai di atas, kami baru bisa menyaksikan bentuk air terjun itu.
Ternyata air terjun Cunca Wulang bagian atasnya jatuh tepat di sebuah kawasan bukit batu berbentuk melingkar sehingga sulit untuk dilihat penuh. Aku dan Kadek hanya bisa memotret bagian atas saja. Menurut penduduk, cara melihat utuh air terjun ini adalah berenang dari sungai menuju ke cerukan air terjun itu tapi sayang kamera kami bukan kamera tahan air.
View air terjun cunca wulang
Dua bule mau berenang
Sekembalinya di bawah, terdapat rombongan tiga cewek bule datang disusul rombongan lain. 
Jika rombongan kami hanya berani loncak dari sisi bawah yang tidak terlalu tinggi maka cewek-cewek bule itu lebih berani. Setelah didahului oleh guide dari rombongan itu yang meloncat di ujung batu setinggi enam meter, dua cewe bule itu ikut menyusul. Adegan yang tentu saja tak terlewatkan kami.
Air dibawahnya yang berwarna hijau gelap langsung berdebum begitu tubuh-tubuh mereka mendarat di air. Menurut guide, kedalaman air sungainya sekitar tiga puluh meter entah benar atau kira-kira saja. Tapi memang melihat air yang permukaan bening namun didalamnya berwarna gelap bisa menjadi petunjuk bahwa di sini airnya dalam.
Sayang kami datang terlalu siang sehingga cahaya matahari kuat sekali. Walaupun suasana
di pinggir sungai yang terhalang pepohonan tetap terasa sejuk tapi tidak dengan hasil foto. Kontras yang tinggi sangat menyulitkanku mengambil foto-foto di air terjun ini.
Perjalanan yang cukup melelahkan ternyata membuat selera makan jadi meningkat tak pelak nasi bungkus yang kami bawa habis tandas dimakan dan terasa enak sekali. Apalagi makan di pinggir air terjun seperti ini.
air terjun cunca wulang
Air terjun dilihat dari atas, tidak terlihat sepenuhnya
Sayangnya saking asyiknya mengeksplore lokasi ini aku justru lupa untuk berenang, pas habis makan siang mau berenang semua sudah selesai berenang. Ada sebuah spot air terjun kecil yang sepertinya tergantung pada musim. Saat musim kering seperti ini memang hanya debit air kecil yang keluar
Perjalanan kembali menjadi perjalanan yang menantang, apalagi kalau bukan bayangan harus berjalan menanjak. Beberapa teman kembali dengan membawa beberapa tanaman pakis yang mereka diperoleh di pinggir hutan. Jika awalnya ke sini lebih bawah lokasi jalan yang menurun sekarang untuk kembali harus menapaki jalan menanjak. Cukup capek, untunglah masih ada minuman yang kami sisakan untuk kembali.
Sepertinya kami harus melakukan perjalanan kembali ke sini pada waktu yang tepat, semoga..


Selain lokasi-lokasi ini, masih terdapat beberapa lokasi lain di daratan Manggarai Barat yang layak dan harus dikunjungi seperti Danau Sano Nggoang yang sangat besar dengan kondisi airnya panas dan asam, kemudian ada juga air terjun Cunca Rami yang pernah digunakan untuk syuting salah satu iklan yang menunjukkan keindahan Indonesia Timur, serta kampung adat yang sangat menarik, Wae Rebo.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 05 Juli 2012

Pantai Namosain, Kupang

senja di pantai namosain
Pagi dingin, perahu-perahu kecil berjajar ditinggal pemiliknya. Laut sedang di puncak surutnya karena tadi malam bulan sedang purnama. Di sepanjang pantai tampak karang-karang muncul di permukaan. Matahari muncul malu-malu di antara langit yang sedang berawan, dan aktifitas-aktifitas kecil pagi segera dimulai, deru satu-dua kendaraan mulai terdengar di jalanan.

perahu bersandar di pantai namosain
Beberapa orang muncul dari sebuah perahu agak besar yang menggunakan tiang layar menuju ke pinggir pantai dimana terdapat deretan tong-tong plastik berwarna biru yang biasa digunakan nelayan untuk menampung ikan atau air. Setahuku tong-tong air warna biru itu aslinya digunakan untuk menampung bahan kimia. Beberapa tong yang tampaknya penuh itu mulai digelindingkan satu demi satu menuju pantai, entah isinya apa. Pasir putih yang lembut bagai tepung membentuk jejak panjang dari tong-tong yang mengelinding menuju ke laut. Di samping perahu itu masih terdapat dua perahu dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama, perahu-perahu layar yang biasa mengangkut barang-barang kebutuhan ke Sabu Raijua. 


memasak teripang di pantai namosainmemasak teripang di pantai namosain
Melangkah ke sisi kanan dermaga lama yang telah tinggal sisa-sisa aku melihat dua orang laki-laki jongkok di atas perahu yang tampak asapnya mengepul. Ternyata kepulan asap itu berasal dari kayu yang di bakar di atas perahu yang ditutup dengan tong bekas. Di bagian atasnya tampak sebuah panci besar dengan air yang mendidih. Tak berapa lama lelaki yang sedang menunggui panci itu mengangkat sebuat penjepit dan mengambil sebuah benda mirip ketimun  dengan berbagai bentuk. Benda yang dikenal dengan nama teripang atau timun laut ini rupanya yang sedang dimasak. Binatang yang sekarang menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi ini mulai menjadi andalan beberapa nelayan untuk mencari nafkah.
Teripang-teripang dapat mudah ditemukan karena dapat hidup di seluruh permukaan air, terutama daerah yang berair jernih, berpasir campur lumpur. Kawasan perairan NTT yang masih bersih dan belum rusak tentu merupakan kawasan yang kaya biota laut termasuk teripang ini.

senja di pantai namosainLebih pas mengunjungi Namosain ini saat sore hari, karena memang pantai ini menghadap di sisi Barat Laut. Jika beruntung mungkin bisa menemui matahari yang cahayanya menerobos keluar di antara awan-awan. Tentunya di waktu bulan-bulan yang masih banyak awan, karena di bulan-bulan Juni sampai Oktober memang langit Kupang lebih sering terang benderang tanpa awan.

Kawasan Namosain memang terasa ramai sekali saat sore, selain aktivitas para nelayan dan penjual ikan yang ada di beberapa titik juga di sepanjang pantai biasa ada aktivitas main bola oleh anak-anak sekitar sini. Karena di seberang jalan dari pantai ini memang masuk kawasan perumahan penduduk yang sangat ramai.

Kawasan ini dulu ada dermaga rakyat namun sekarang sudah hancur. Di sebelahnya sekarang ini baru dibangun baru dermaga rakyat yang masih belum selesai, mungkin tahun depan dermaga ini sudah bisa selesai. Jika sudah selesai mungkin dermaga ini bisa menjadi lokasi pancing selain lokasi Tenau yang selama ini paling sering dikunjungi pemancing.

Jika laut sedang di puncak surut maka bisa tampak beberapa terumbu karang yang menonjol keluar dari permukaan air. Kemungkinan dulu kawasan ini punya daerah terumbu karang yang bagus seperti halnya lokasi yang berada di dekat sini yang punya kawasan terumbu karang yang bagus. Namun karena menjadi lokasi nelayan, tentu saja terumbu-terumbu itu menjadi sulit berkembang. Apalagi seperti halnya lokasi-lokasi yang sudah menjadi tempat berlabuh perahu yang sering kali menimbulkan persoalan tentang sampah dan kebersihan yang sering kurang terjaga.

senja di pantai namosain
Ombak di Namosain bisa dibilang tidak besar karena berada di selat Kupang-Semau.Ombak sedikit besar pada musim-musim tertentu saja. Lokasi yang dekat dengan Kupang, pasirnya yang berwarna putih dan lembut, dan tentu saja sunset yang menawan merupakan alasan yang tak dapat ditolak untuk ke pantai Namosain. Bukan lokasi pilihan, tapi tak ada salahnya jika sedang di Kupang mengunjungi pantai ini.

Di sisi belokan dekat jembatan terdapat pembatas jalan yang merupakan lokasi strategis beberapa orang untuk menikmati sunset, terutama jika tidak ingin berbasah-basah di laut. Bukan lokasi yang tenang tentunya karena lalu lalang kendaraan yang melewati jalur ini bisa dibilang ramai sekali. Bukan hanya ramai, truk-truk kontainer biasa juga melewati daerah ini.


Kalau ingin merasakan suasana saat malam, boleh mencoba duduk di dermaga saat malam menjelang. Berjalan terus ke ujung dermaga yang masih belum selesai. Di ujung terdapat beton-beton penahan ombak. Melewatkan senja hari sampai malam menjelang menjadi hal menyenangkan. Apalagi jika ditemani segelas kopi panas. 

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 03 Juli 2012

Malam dan Bintang-Bintang

langit malam di pantai namosain
Malam hari di pantai Namosain, Kupang (dari dermaga baru)
Langit yang memerah pelahan memudar menjadi biru dan terus menggelap, awan-awan tipis bertiup ke pinggir-pinggir cakrawala menyisakan bentang langit yang maha biru. Satu demi satu bintang yang semula tak tampak mulai memamerkan cahayanya menghiasi langit. Pertunjukan senja memang telah selesai namun bukan berarti alam telah menyudahi hari, karena sekarang waktunya bintang menunjukkan diri. Apalagi bila bulan sedang berbaik hati tidak menunjukkan dirinya.


malam di pantai kawaliwu
Malam di pantai Kawaliwu, Flores Timur
Semakin malam langit semakin meriah, bintang-bintang besar kecing memenuhi seluruh hamparan langit dan di sisi timur agak ke selatan mulai tampak seperti awan tipis yang membentuk lempeng ditaburi jutaan bintang kecil. Itu adalah galaksi Bimasakti, tempat tata surya kita berada.
Kurebahkan kepalaku di hamparan kerikil-kerikil hitam yang menghampar di sepanjang pantai. Riak air laut yang riaknya berbisik tenang kadang bercampur suara binatang-binatang malam yang mulai keluar dari persembunyiaan. Kadang suara ombak lebih besar terdengar dari dayung yang mendorong sauh melaju. Tak perlu risau, biarkan seluruh dawai memasuki panca inderamu dan menggetarkan hati yang sedang merasa sendiri. Kawaliwu selalu mengakhiri hari dengan dawai alam yang selalu harmoni.


Sekarang telah tahu kah kamu kenapa aku tidak terburu-buru beranjak dari dudukku kala malam menjelang? Karena aku tak ingin melewatkan pertunjukan baru yang sedang dimulai setelah senja menghabiskan waktunya.


Bulan purnama di pantai Marapokot, Nagekeo
Bulan purnama di pantai Marapokot, Nagekeo
Kadang bila bulan purnama sedang datang maka bukit bukit-bukit tinggi atau pantai yang menghadap sisi timur menjadi tempat yang menyenangkan untuk menunggu. Di pantai Marapokot adalah lokasi yang tepat untuk menunggu bulan purnama muncul dari permukaan air laut karena pada saat itu laut pasti sedang puncak surut dan perahu-perahu juga sedang ditambatkan. Saat-saat menunggu seperti itu bolehlah sedikit menyandarkan pantat di bangku panjang warung kopi, menghirup harumnya kopi Flores sungguh nikmat sekali, seolah hari boleh berhenti sebentar di sini. Banyak teman baru yang segera akan menyapamu, dan bincang-bincang ringan menjadi pengisi hari sebelum kita berlari mengejar bulan yang lebih dahulu meninggalkan cakrawala.
Jangan takut jika kamu tidak membawa lampu blitz untuk menerangi perahu-perahu untuk latarmu, kadang nelayan-nelayan datang membawa lampu petromaks (sebagian orang menyebutnya lampung strongking) untuk memperbaiki perahu sebelum digunakan untuk mencari ikan setelah laut pasang.


Purnama di atas perbukitan Kesidari, Nagekeo
Purnama di atas perbukitan Kesidari, Nagekeo
Jika tahan dengan gigitan nyamuk-nyamuk yang kecil namun gatal sekali boleh juga menaiki bukit-bukit di Kesidari, masih di Nagekeo. Hamparan rumput sabana dan beberapa batang pohon menjadi pelengkap sempurna menikmati bulan yang sedang menuju titik terdekat dengan bumi (supermoon). Senter tentu menjadi alat yang sangat berguna terutama waktu pulang nanti, atau kaki harus rela menginjak sesuatu yang empuk yang keluar dari pantat sapi. Masih hangat, sedikit bau (sedikit?) dan tentu saja menjadi bahan lelucon segar bagi teman-teman yang lain. Tak usah senewen, bukankah bukit-bukit ini telah menjadi taman bagi sapi, kerbau dan kambing dalam mencari makan. Jika sedang menghijau, rombongan sapi-sapi dengan mudah akan kamu temui, jadi kamu hanya tamu di sini.


Bintang-bintang di atas pantai Teddys Kupang
Bintang-bintang di atas pantai Teddy's, Kupang
Jika agak enggan, mungkin cukuplah berdiri di samping dermaga yang tidak terlalu banyak cahaya mengelilingi supaya bintang-bintang tidak bermuram terhalang cahaya-cahaya buatan manusia. Jika di Kupang, pantai Namosain atau pantai Teddy's bisa menjadi tempat yang asyik buat menikmati malam. Tak selalu bisa mengabadikan malam karena kedua tempat itu masih banyak bias sinar yang membuat langit tak tampak begitu berbintang. Tapi cukup menjadi obat bila rindumu pada malam sedang membuncah.


Kadang (sering kali) aku berdiri menhampiri malam tanpa teman yang berdiri di sampingku, benar-benar sendiri. Tapi waktu seperti itu pun tak pernah mengurangi keindahan pertunjukan malam. Kadang sendiri justru membuat kita mampu menyadari betapa kita tak selayaknya egois dengan segala yang hidup karena masing-masing membawa energi hidup yang saling melingkupi. Mungkin tampak menyeramkan harus melewati pekuburan sepi dan jalan yang masih tanah dengan hanya bersandar pada sebuah senter sendirian hanya untuk menikmati malam di tempat lain. Tapi semua akan berubah jika kamu mengalaminya sendiri, karena saat melewati semua itu kamu tahu bahwa kamu tak perlu ego dengan energimu sendiri, dan saling menyapa dan menghormati energi lain yang berpapasan denganmu.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya