Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 03 Juli 2012

Malam dan Bintang-Bintang

langit malam di pantai namosain
Malam hari di pantai Namosain, Kupang (dari dermaga baru)
Langit yang memerah pelahan memudar menjadi biru dan terus menggelap, awan-awan tipis bertiup ke pinggir-pinggir cakrawala menyisakan bentang langit yang maha biru. Satu demi satu bintang yang semula tak tampak mulai memamerkan cahayanya menghiasi langit. Pertunjukan senja memang telah selesai namun bukan berarti alam telah menyudahi hari, karena sekarang waktunya bintang menunjukkan diri. Apalagi bila bulan sedang berbaik hati tidak menunjukkan dirinya.


malam di pantai kawaliwu
Malam di pantai Kawaliwu, Flores Timur
Semakin malam langit semakin meriah, bintang-bintang besar kecing memenuhi seluruh hamparan langit dan di sisi timur agak ke selatan mulai tampak seperti awan tipis yang membentuk lempeng ditaburi jutaan bintang kecil. Itu adalah galaksi Bimasakti, tempat tata surya kita berada.
Kurebahkan kepalaku di hamparan kerikil-kerikil hitam yang menghampar di sepanjang pantai. Riak air laut yang riaknya berbisik tenang kadang bercampur suara binatang-binatang malam yang mulai keluar dari persembunyiaan. Kadang suara ombak lebih besar terdengar dari dayung yang mendorong sauh melaju. Tak perlu risau, biarkan seluruh dawai memasuki panca inderamu dan menggetarkan hati yang sedang merasa sendiri. Kawaliwu selalu mengakhiri hari dengan dawai alam yang selalu harmoni.


Sekarang telah tahu kah kamu kenapa aku tidak terburu-buru beranjak dari dudukku kala malam menjelang? Karena aku tak ingin melewatkan pertunjukan baru yang sedang dimulai setelah senja menghabiskan waktunya.


Bulan purnama di pantai Marapokot, Nagekeo
Bulan purnama di pantai Marapokot, Nagekeo
Kadang bila bulan purnama sedang datang maka bukit bukit-bukit tinggi atau pantai yang menghadap sisi timur menjadi tempat yang menyenangkan untuk menunggu. Di pantai Marapokot adalah lokasi yang tepat untuk menunggu bulan purnama muncul dari permukaan air laut karena pada saat itu laut pasti sedang puncak surut dan perahu-perahu juga sedang ditambatkan. Saat-saat menunggu seperti itu bolehlah sedikit menyandarkan pantat di bangku panjang warung kopi, menghirup harumnya kopi Flores sungguh nikmat sekali, seolah hari boleh berhenti sebentar di sini. Banyak teman baru yang segera akan menyapamu, dan bincang-bincang ringan menjadi pengisi hari sebelum kita berlari mengejar bulan yang lebih dahulu meninggalkan cakrawala.
Jangan takut jika kamu tidak membawa lampu blitz untuk menerangi perahu-perahu untuk latarmu, kadang nelayan-nelayan datang membawa lampu petromaks (sebagian orang menyebutnya lampung strongking) untuk memperbaiki perahu sebelum digunakan untuk mencari ikan setelah laut pasang.


Purnama di atas perbukitan Kesidari, Nagekeo
Purnama di atas perbukitan Kesidari, Nagekeo
Jika tahan dengan gigitan nyamuk-nyamuk yang kecil namun gatal sekali boleh juga menaiki bukit-bukit di Kesidari, masih di Nagekeo. Hamparan rumput sabana dan beberapa batang pohon menjadi pelengkap sempurna menikmati bulan yang sedang menuju titik terdekat dengan bumi (supermoon). Senter tentu menjadi alat yang sangat berguna terutama waktu pulang nanti, atau kaki harus rela menginjak sesuatu yang empuk yang keluar dari pantat sapi. Masih hangat, sedikit bau (sedikit?) dan tentu saja menjadi bahan lelucon segar bagi teman-teman yang lain. Tak usah senewen, bukankah bukit-bukit ini telah menjadi taman bagi sapi, kerbau dan kambing dalam mencari makan. Jika sedang menghijau, rombongan sapi-sapi dengan mudah akan kamu temui, jadi kamu hanya tamu di sini.


Bintang-bintang di atas pantai Teddys Kupang
Bintang-bintang di atas pantai Teddy's, Kupang
Jika agak enggan, mungkin cukuplah berdiri di samping dermaga yang tidak terlalu banyak cahaya mengelilingi supaya bintang-bintang tidak bermuram terhalang cahaya-cahaya buatan manusia. Jika di Kupang, pantai Namosain atau pantai Teddy's bisa menjadi tempat yang asyik buat menikmati malam. Tak selalu bisa mengabadikan malam karena kedua tempat itu masih banyak bias sinar yang membuat langit tak tampak begitu berbintang. Tapi cukup menjadi obat bila rindumu pada malam sedang membuncah.


Kadang (sering kali) aku berdiri menhampiri malam tanpa teman yang berdiri di sampingku, benar-benar sendiri. Tapi waktu seperti itu pun tak pernah mengurangi keindahan pertunjukan malam. Kadang sendiri justru membuat kita mampu menyadari betapa kita tak selayaknya egois dengan segala yang hidup karena masing-masing membawa energi hidup yang saling melingkupi. Mungkin tampak menyeramkan harus melewati pekuburan sepi dan jalan yang masih tanah dengan hanya bersandar pada sebuah senter sendirian hanya untuk menikmati malam di tempat lain. Tapi semua akan berubah jika kamu mengalaminya sendiri, karena saat melewati semua itu kamu tahu bahwa kamu tak perlu ego dengan energimu sendiri, dan saling menyapa dan menghormati energi lain yang berpapasan denganmu.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 18 Juni 2012

Kawaliwu (lagi): Ketenangan Senja

Sebuah pohon bakau besar tunggal di Kawaliwu
Entah kenapa kalau ke Larantuka pasti cari kesempatan mampir ke Kawaliwu. Ada apa sih dengan Kawaliwu, paling cuma lihat matahari terbenam yang kadang kelihatan kadang hilang, atau paling juga nyemplungin kaki di cekungan tempat menampung air panas yang mengalir di sela-sela batu di pinggir laut. Atau bertingkah seperti remaja yang lagi galau duduk diam melihat ke laut sampai gelap.
Iya, memang iya cuma ada hal-hal seperti itu di Kawaliwu. Ada yang lain? Hmmmmm, ada tapi mungkin tidak penting. Tidak penting kan cerita salah ambil jalan sampai harus menerobos alang-alang tinggi sampai kaki gatal-gatal. Juga tidak penting kan aku cerita lagi duduk enak-enak tiba-tiba ada bangkai anak babi mengambang di pinggiran dengan perut kembung (kapan babi pernah kurus perutnya). Lebih tidak penting lagi kan menceritakan aku dan Kadek tiduran di batuan hanya untuk memotret jajaran kelapa yang tumbuh tinggi-tinggi di sepanjang garis pantai.
Mencari ikan dan kerang saat surut
Bebatuan tempat nokrong
Tapi meski cuma ada semua itu di Kawaliwu tetep rasanya tidak pernah bosan kembali ke sana. Apalagi dengan teman yang baru ke sini, pasti acara memperkenalkan Kawaliwu menjadi hal pertama yang aku lakukan sesampai di Larantuka. Lama-lama ini lebih seperti prosesi pembaptisan buat yang pertama ke Larantuka: mengunjungi Kawaliwu.
Tentu saja kesana untuk semua hal itu, tidak sama persis tapi ya tetap hal-hal itu semua (kita tidak selalu harus membuat berbeda suatu hal hanya karena tidak ingin sama). 
Acara pertama tentu saja acara mengejar matahari terbenam, apalagi kalau langit lagi banyak awan dan berharap bisa melihat cahaya yang keluar di balik awan. Tak selalu harapan itu terjadi, atau malah lebih sering gagal (kadang itu tidak penting). Seperti hari itu, matahari justru telah hilang sebelum sampai ke batas horison di telan awan tebal yang tak tampak dari pantai. Hanya menyisakan warna merah kuning selapis, yang terus menggelap. Kadang kamera harus menyerah dan membiarkan mata yang menjadi penikmat sesungguhnya. Dan batu-batu hitam yang bertumpuk menjorong ke laut tetap menjadi tempat yang menarik untuk menghabiskan hari menikmati malam yang menggeser senja.
Menikmati bintang-bintang dari pantai
Yang kedua tentu saja kegiatan merendam kaki di cerukan-cerukan air panas di beberapa tempat. Cerukan-cerukan ini hasil karya para penduduk asli yang digunakan untuk mandi baik menggunakan kayu atau tangan. Setelah sebuah cekungan selesai dibuat biasanya mereka menguras dulu beberapa kali untuk membuat air di cerukan yang mereka buat menjadi bersih. Waktu aku membuatnya ternyata menguras air pertama ini memang harus dilakukan untuk membuang lapisan tanah halus yang membuat air cepat kotor sehingga di cerukan tinggal batu dan pasir hitam kasar. Suhu tiap cerukan bervariatif, kali ini aku dan Arief 'mbah' agak kurang ajar. Setiap ketemu cerukan pasti ada kerjaan merendam kaki disitu entah berapa cerukan yang menjadi korban kaki kami, untungnya tidak ada yang korengan kakinya hehehehe.

Kali kedua aku kesini aku mendapatkan matahari bersinar terang, warna kuning dan bulat tampak sampai di batas cakrawala. Arief agak keranjingan merendam kaki, penyakit kalau mau spa gratis seperti itu.
Tempat menikmati senja yang paling menenangkan
Sebenarnya ingin kembali menikmati matahari tenggelam di bebatuan seperti biasa tapi di bagian atas terdengar suara yang ramai sekali. Ada rombongan muda-mudi yang sedang berliburan. Kami bukan terganggu dengan jumlah mereka tapi suara-suara yang terdengar ribut sekali macam orang yang bertengkar. Padahal salah satu kesukaan kami dari Kawaliwu adalah suasana yang terasa begitu tenang, bukan suara lagu yang terdengar keras dari salah satu peralatan elektronik anak-anak muda itu. Aku pikir mereka salah tempat menuju kesini, ada baiknya mereka duduk di cafe yang hingar bingar.
Untung mereka segera pulang tak lama setelah kami duduk-duduk di tepi laut. Suasana kembali tenang, Kawaliwu kembali menjadi begitu nyaman, suara perahu menyibak air laut memotong bayangan matahari begitu berpadu dengan kecipak dayung perahu kecil yang mengoyak air laut yang tenang. Suara tokek dan burung-burung seperti harmoni yang tak boleh dilewatkan.
Mungkin ini sebenarnya hal yang tak pernah membosankan, Kawaliwu sungguh menawarkan ketenangan dan harmoni yang sungguh melenakan. Sehingga seperti apapun kondisi matahari yang terlihat, melihat gradai-gradasi warna langit senja dan harmoni segala sesuatunya seperti memanggil untuk kembali menikmatinya, setiap kali aku kesini.


Boat room untuk menikmati matahari pagi
Oh iya, ada satu tempat yang ingin aku bagi siapa tahu ada salah satu kalian kesini dan tertarik menginap kesini. Namanya hotel Asa, tempat aku menginap pertama kalinya karena biasanya aku tidak menginap di sini. Tapi ini bukan tentang hotel itu tapi salah satu kamar hotel yang unik, namanya Boat Room. Satu-satunya kamar yang unik dan paling murah, harga terakhir adalah 325.000/malam. Boat room ini adalah kamar yang dibangun dari bekas perahu/kapal kecil yang sudah tidak dipakai. Boat room ini otomatis adanya di tepi pantai, jadi jalan masuknya ke perahu melewati blok-blok semen di sepanjang pasir pantai. Anda akan menikmati kamar dengan suara ombak yang terdengar berdebur sepanjang malam, dan kerennya lagi anda akan bisa menikmati matahari terbit sambil menikmati secangkir kopi panas di ujung kapal karena kapal ini menghadap ke arah timur.



Baca keseluruhan artikel...

Senin, 28 Mei 2012

Catatan Kecil: Sisi Lain Sunset di Labuan Bajo

Suasana senja dari lokasi trekking sunset di bukit belakang hotel
Hari-hari di Labuan Bajo ternyata disapa dengan mendung yang menggelayut tebal di langit padahal sekarang bulan Mei. Beberapa kali mendung tebal itu tak sanggup menahan diri dan menumpahkan hujan di tengah siang yang semestinya terik. Musim hujan kali ini memang bergeser agak jauh sehingga bulan Mei pun hujan masih sering turun.
Praktis dari satu minggu di Labuan Bajo lebih banyak diisi dengan mendekam dalam kamar atau  atau kalau sedang suntuk dengan kamar maka restoran menjadi tempat nongkrong yang strategis. Padahal penugasan kali ini ada juga ada tim lain yang juga datang sehingga jumlah kami ada tujuh orang, cukup banyak untuk membuat acara.
Suasana malam beranda hotel
Untung hotel kami menginap cukup nyaman untuk bersantai setelah seharian berkutat dengan laporan dan angka-angka yang kadang sulit untuk dihubungkan. Hotel Centro Bajo ini dibangun dibawah bukit sehingga bangunannya bertingkat di bagian depan namun tidak dibagian belakang. Lokasinya bukan di pinggir pantai atau memiliki view pantai seperti halnya hotel-hotel lain di daerah Labuan Bajo ini, namun suasana rindang terasa sekali dibantu dengan dengan ornamen etnik dan bangunan-bangunan bergaya etnis dengan bahan bambu dan kayu.
Namun tentu saja hujan dan mendung yang terus memenuhi langit membuat jenuh juga, karena mau jalanpun kami ragu karena hujan bisa datang sewaktu-waktu.
Sebenarnya ada view sunset yang bisa kami nikmati dibelakang hotel namun kami harus trekking naik ke atas bukit sekitar 250 meter seperti tertulis di papan kayu yang dipasang di sebelah kolam air. Bunga teratai yang tumbuh memenuhi kolam menjadi korban kameraku yang tak bisa kupakai untuk berburu sunset. 

Bunga teratai putih dan ungu memenuhi kolam
Waktu sudah di atas jam setengah enam saat aku lihat warna awan di langit mulai tampak membara, jajaran awan mulai tersibak rupanya mulai bosan jika terus menutupi matahari. Mencoba peruntungan aku mempersiapkan peralatan dan mulai trekking ke belakang hotel. Ternyata jalan awal menanjak curam dan itu menguras tenagaku, di setengah puncak jalan aku mulai terangah-engah. Hahahaha ternyata umur tidak bisa dibohongi. Sayang di daerah agak landai aku melihat matahari sudah terlanjur masuk ke dalam, rona awan telah kembali gelap. Akhirnya aku kembali ke hotel dan berharap besok bisa lebih awal, tentu jika mendung tidak memenuhi langit.
Suasana beranda hotel malam hari
Besoknya sepertinya lagi berpihak, walau seharian mendung datang tapi sore langit mulai kembali tersibak sehingga aku dan Angga kembali mencoba jalur trekking. Menurut penjaga hotel, jalur trekking sudah lama tidak dibersihkan. Dan itu ternyata benar, setelah sampai di tempat landai yang aku harus melewati jalan yang kanan kiri mulai dipenuhi oleh semak-semak. Untung jalur trekkingnya masih tampak, namun ternyata saat mendekat ke arah lokasi ada sebuah jalan tanah berbatu yang cukup lebar memotong jalur trekking sehingga kami jadi bingung apakah harus mengikuti jalan ini atau tidak. Namun karena melihat kondisi jalan yang masih baru artinya ini bukan jalur trekking semestinya dan kami memutuskan mencari jalur trekking yang lama di seberang jalan. 

Melihat sunset di Pulau Bidadari
Saat kami melihat jalur kecil kami memutuskan mengikutinya, jika beruntung kami sampai ke lokasi jika tidak yah apa boleh buat. Ternyata arah kami benar, setelah melewati beberapa pohon yang tumbang kami sampai dilokasi yang tepat untuk melihat matahari terbenam. Beberapa bangku dari kayu yang dibuat oleh pihak hotel sebenarnya pas di lokasi ini, sayang tempatnya dipenuhi semak-semak dan bengku-bangku itu nyaris tak tampak jika kita tidak mendekat.
Dari lokasi ini kami bisa melihat hotel La Prima, sebuah hotel berbintang empat yang baru dibangun persis di bawah bukit di depan bukit tempat kami melihat sunset. Labuan Bajo tetap begitu indah, hamparan pulau-pulau yang perahu-perahu yang mulai menambatkan diri di pelabuhan membuat panorama senja yang menarik. Yah setidaknya ini hiburanku karena tidak bisa kemana-mana selama seminggu ini.
Tentu waktu seminggu ini bukanlah perjalanan yang kurencanakan, aku masih berharap bisa mengunjungi danau kawah Sano Nggoang atau air terjun Cunca Wulang
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 02 April 2012

Hamparan Putih Pantai Mananga Aba (Kita Beach)

Matahari mulai bergerak menuju ke cakrawala


Sekelompok anak mudah duduk saling berkeliling bernyanyi dan seseorang dengan gitarnya mengiringi nyanyian. Sebagian bersuara indah sebagian lagi bagai suara ke tujuh, lebih banyak lagi yang tergelak tertawa lepas dan semuanya bagai nyanyian burung gereja yang tak indah namun tetap nyaman dinikmati. Sekelompok jajaran pohon cemara di tepi pantai menjadi pelindung tepat matahari yang mulai menampakkan sinar senja namun masih menyilaukan mata.
Tak ingin mengganggu acara kebahagiaan mereka, aku memilih memarkirkan motor beberapa puluh meter dari mereka dibawah sebatang pohon cemara yang agak besar namun daunnya telah jarang.
Suasana Sabtu pagi di pantai Mananga Aba
Pantai dari sisi timur menjelang sore 
Begitu aku dan Edo turun ke pantai, pemandangan yang terbentang tampak memukau mata. Hamparan butiran pasir bagai bedak begitu luas terbentang memanjang. Warna pasirnya yang putih bersih tak pelak bagai pelengkap lanskap pantai menjadi tampak sempurna. Tampak beberapa batang pohon yang berserakan di pantai entah karena tumbang atau dipotong. 
Jika ada yang mengganggu mata, ya maka tentu saja sampah plastik jawabannya. Botol-botol plastik dan barang-barang plastik sisa tampak tertumpuk di beberapa sudut, mungkin di hempaskan ke pinggir pasir oleh ombak. Untungnya sampah itu tak terlalu banyak, tapi entah jika nanti tempat ini benar-benar menjadi tempat wisata utama. Jika tak ada kesadaran orang-orang yang berwisata ini untuk menjaga lingkungan pantai ini mungkin suatu ketika kita akan melihat pantai Mananga Aba lebih dipenuhi aneka sampah plastik di setiap jengkal pasir putihnya.
Suasana pagi yang tenang dan cemara di pinggir laut


Namun semua itu tidak mengurangi keindahan hamparan pasir putih membentang dan deretan cemara yang seolah menjadi pembatas kawasan pasir dan rumput. Air laut yang bening berwarna hijau tosca, ombaknya yang tidak besar menarik-narik pasir dan memancing aku untuk melangkah memasukinya sampai tanpa sadar celana pendekku setinggi lutut tiba-tiba harus basah terendam. Suasana begitu tenang dan hening, hampir tanpa suara kecuali angin, ombak dan burung-burung yang mencuit lemah di atas langit biru. Suara sekelompok anak-anak muda itu pun tidak terdengar karena tertelan bunyi debur ombak. Awan-awan di langit ujung barat mulai berubah warna saat matahari mulai mendekat ke garis cakrawala di antara deretan pohon cemara. 
Kami pulang saat langit memerah mulai menghilang, aku tahu aku kehilangan blue hour yang biasanya terjadi sesaat setelah golden hour muncul. Tak apalah karena aku berniat untuk kesini lagi pagi-pagi untuk menikmati matahari terbit dari cakrawala laut.


Perjalanan pulang sekarang lebih hati-hati karena senja begini biasanya jam binatang serangga mulai keluar sehingga aku harus mengendarai motor dengan kecepatan lebih lambat dibanding saat berangkat. Tak heran perjalanan darat dari Weetabula-Mananga Aba sejauh 15 km yang pada saat berangkat tak sampai 20 menit berubah menjadi lebih dari 30 menit. Bahkan beberapa kali saat ngobrol di jalan, aku harus rela binatang itu masuk ke mulut. Wuih rasanya aneh sekali.....


Hari Sabtu pagi-pagi sekali kami sudah janjian untuk berangkat jam 5 pagi, namun seperti yang saya duga waktu pagi-pagi ternyata Edo masih tidur. Aku memutuskan berangkat terlebih dahulu sementara Edo menunggu Ronald dan Detty. Sore sebelumnya Ronald yang mengantar aku dan Edo melihat sunset di Pantai Oro karena memang kalau dari Pantai Mananga Aba sunset tidak jatuh ke laut tetapi serong ke darat. Perjalanan ke pantai Oro akan aku ceritakan di lain kisah.


Langit masih gelap saat aku di atas motor. Dengan hanya mengenakan pelapis rompi, udara pagi yang dingin dan lembab membuat jari-jariku terasa agak kaku memegang stang motor. Untung aku mengendarai motor matic pinjaman dari seorang teman yang tinggal dan bekerja di sini. Jalan sangat lenggang, lampu-lampu merkuri di sepanjang jalan masih menyala. Di pertengahan jalan aku mulai kuatir akan kehilangan momen pagi karena langit tampak mulai berubah memerah. Aku mulai agak sedikit memacu motor berharap masih dapat menyambut datangnya sang mentari dari balik laut, beberapa burung tekukur yang sedang asyik dipinggir jalan terbang menghindar saat roda motorku menghampirinya. Bahkan saat kembali aku tidak bisa menghindar dari menabrak seorang ular sawah yang sedang melintasi jalan, untunglah waktu kulihat ke belakang ular itu masih bisa melata masuk ke persawahan.


Pohon yang tumbuh unik di tepi pantai
Sesampainya di pinggir pantai aku sedikit menelan kekecewaan karena sepotong awan berbentuk limas menutupi matahari. Namun suasana tetap terasa menyenangkan karena warna pagi dan karena suasana yang hening dan sepi. Aku punya kesempatan berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai lebih jauh sekaligus mencoba mengeksplorasi titik menarik untuk aku foto. Sayang sinyal sedang tidak bagus sehingga Edo tidak tahu aku berada dimana, waktu aku sebuah pesan masuk dari Edo masuk ternyata dia dan Ronald telah berada di dermaga Waikelo yang lama. Praktis sekarang aku berjalan-jalan sendiri, merasakan butiran-butiran pasir yang begitu halus di telapak kaki, ombak yang menarik-narik pasir dan merayuku untuk mencumbunya. Sebuah perahu nelayan melintas pelan sepertinya hendak menangkap ikan. Di beberapa tempat tampak bangunan-bangunan kecil dan pendek dari kayu dan atap ilalang yang tampaknya dibuat oleh beberapa nelayan-nelayan dari tempat lain untuk singgah sementara.


Matahari mulai tampak keluar dari persembunyian awan saat jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Terlalu siang untuk dilakukan perburuan foto sehingga aku memutuskan untuk kembali lagi.


Thanks buat temen-temen yang udah mau nemeni acara jalan-jalan 
dan mau minjemi motor: Edo, Ronald dan Detty
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 Maret 2012

Kampung Adat: Bodo Ede, Weeliang, Weetabar, dan Tarung

Ama Soli dan Kampung Bodo Ede
Jalan setapak menanjak dan berlumut menuju ke kampung Bodo Ede
Duduk di atas balai depan rumah berlantai batang bambu yang di'geprak' bahan yang sama dipakai untuk dinding rumah, sementara ikatan-ikatan ilalang bersusun di atas rumah menjadi atap yang tetap sejuk walau terik sekalipun. Ama Soli asyik sekali bertutur tentang masa mudanya, tentang perjalanannnya keliling ke pulau-pulau bermodalkan sirih pinang dan alasan kepulangannya kembali ke tanah leluhur dan tinggal di rumah ini. Yang agak mengherankan adalah giginya yang tidak memerah, dan ternyata jawabannya seperti dugaanku bahwa dia sudah tidak memakai sirih pinah dan rokok beberapa tahun ini. 
Mulut dan gigi penuh warna merah adalah hal jamak di sini, karena sirih dan pinang sudah menjadi kebiasaan dan bagian tradisi seperti halnya parang, kerbau dan kuda. Jadi kadang melihat seseorang seperti Ama Soli menjadi pertanyaan tersendiri. 
Kaget juga waktu menengok jam tangan saat hendak pamit balik ke hotel, ternyata sudah jam setengah sembilan berarti sudah dua jam aku duduk disini. Ternyata ngobrol-ngobrol dengan Ama Soli, salah satu warga kampung Bodho Ede ini dan menikmati suasana pagi di kampung yang nyaman ini tidak terasa waktu berlalu. Tidak enak hati juga karena tentu saja mengobrol selama itu bisa mengganggu aktifitas Ama Soli sendiri. Untungnya karena ini hari Minggu sehingga tidak banyak kegiatan yang dilakukan, istrinya sudah terlebih dahulu ke pasar semntara dia sendiri mau menyusul siang nanti.

Batu kubur menjadi pemandangan umum di perkampungan
Kampung Bodho Ede adalah salah satu kampung adat yang ada di tengah kota Waikabubak. Letaknya berada di belakang hotel Pelita yang aku tempati selama tugas seminggu di sini. Kampung-kampung adat di sini mudah terlihat karena letaknya biasanya di atas tanah yang lebih tinggi dari tanah sekelilingnya dan pohon-pohon besar yang mengelilingi perkampungan.
Berjalan sekitar 200 meteran dari lapangan Waikabubak, nanti akan menemui sebuah gerbang batu di pinggir jalan. Memasuki area jalan kecil ini di samping kanan kiri adalah kubur batu, beberapa ukurannya sangat besar. Kubur-kubur batu yang besar-besar ini bukanlah dari semen tapi dari batu besar yang di potong langsung. Menurut penuturan Ama Soli, untuk memasang penutup batu terbesar itu bahkan butuh ribuan orang yang ditarik dengan tali dari pilinan akar kayu tertentu. Satu batu kubur dapat digunakan berulang-ulang dalam satu keluarga sedarah. 
Di ujung jalan tampak undakan tangga semen selebar jalan orang menanjak ke atas di apit pohon-pohon besar seperti beringin dan beberapa pohon lain. Undakan tangga ini di beberapa sudut telah ditumbuhi lumut-lumut hijau karena kota Waikabubak memang udaranya sejuk karena terletak di ketinggian sekitar 500 meter dpl.
Sesampai di ujung undakan tangga paling atas maka akan tampak rumah-rumah adat yang masih kental tradisional dengan bentuk khas, bagian tengah yang tinggi. Seluruh rumah di kampung ini masih menggunakan atap ilalang.

Keramahan Pak SGR di Kampung Weeliang
Pak SGR di depan dapur rumahnya
Pensiunan penilik sekolah, menyebut dirinya dengan nama SGR. Bapak tua yang ramah ini menjadi teman cerita yang menyenangkan. Informasi-informasi tentang kampung-kampung di sini dan adat-adat yang menyertainya dengan mudah ia tuturkan.
Pak SGR sedang asyik duduk di beranda dapur saat kami datangi. Pria baya berperawakan sedang ini sedang asyik ngobrol dengan keluarganya waktu kami datang. Dapur yang menjadi tempatnya duduk justru yang menarik perhatian kami karena di antara dua pintu itu dipajang banyak tengkorak dan tanduk kerbau dengan ukuran yang panjang-panjang yang disusun berjajar dari bawah ke atas, sementara rahang babi di taruh di berjajar di bagian atas. Beberapa tanduk bahkan panjangnya melebihi satu meter. 


Salah satu tanduk paling panjang menurut penuturan pak SGR jika dijual mencapai harga ratusan juta rupiah. Kerbau tanduk terpanjang itu baru dipotong beberapa bulan lalu pada saat meninggalnya ibunya. Kerbau itu dipelihara sendiri oleh keluarga pak SGR dan umurnya waktu dipotong adalah 26 tahun. Mereka memotongnya sendiri dengan alasan kalau untuk diserahkan ke orang lain dalam acara perkawinan atau yang antaran yang lain nanti bisa memberatkan orang lain. 
Selain banyak bercerita tentang adat istiadat Sumba dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, pak SGR juga mengajak kami melihat kampung Weeliang.
Anak-anak Weeliang yang awalnya bermain bola langsung beramai-ramai ikut foto


Memang kampung Weeliang ini kurang terlalu kental suasananya karena sebagian rumah sudah dipugar seperti halnya rumah pak SGR sendiri yang menjadi bangunan tembok berlantai keramik. Hanya ciri rumah Sumba yang masih dipertahankan yaitu bagian tengah meruncing ke atas, namun atapnya pun sudah berganti atap seng bukan jerami.
Dibagian tengah kampung Weeliang masih terdapat kubur batu yang ukurannya besar dari batu putih asli. Namun di samping kirinya telah ada sebuah antena parabola. Walau sebagian sudah berubah, masih ada juga rumah-rumah yang berdiri masih mempertahankan bangunan lama. Suasana agak ramai karena beberapa anak sedang asyik bermain


Pak SGR menyarankan kami mengunjungi kampung Weetabar dan Tarung yang letaknya bersebelahan jika ingin melihat suasana perkampungan yang masih kental adat Sumbanya. Pak SGR menunjukkan perbukitan dibelakang pasar yang dari kampung Weeliang tampak hanya pohon-pohon besar saja.


Kampung Tua: Weetabar dan Tarung
Jalan menuju ke kampung Weetabar dan Tarung dipenuhi pohon besar
Pagi sekali aku dan Andri berjalan kaki ke arah kampung Weetabar dan Tarung, kami sudah membuat janji dengan salah seorang tetua kampung sore kemarin. Hanya karena sudah terlalu sore jadi kami membatalkan jalan dan memilih pagi ini. Lesu Djaga, begitu bapak satu ini menyebutkan namanya waktu kami berpamitan pulang.
Kampung Weetabar dan Tarung merupakan kampung induk dari kampung-kampung lain masyarakat Loli. Pada bulan-bulan Oktober-November selama sebulan penuh masyarakat Loli melakukan acara Buru dimana masayarakat tidak boleh pergi ke sawah, jika ada orang meninggal tidak boleh ditangisi dan dipukul gong (salah satu bagian upacara pemberitahuan orang mati), serta tidak boleh ada acara-acara. Lelaki biasanya berburu dan mempersembahkan sebagian hasil buruan ke kampung induk di sini. 


Kubur batu di tengah lapangan dikelilingi perkampungan
Dari percabangan jalan menuju kampung Weetabar tampak beberapa kubur batu berukuran besar, lebih besar dari yang terpasang di dua kampung sebelumnya. Mungkin yang mengangkat batu ini lebih banyak daripada di dua kampung lainnya. Setelah melewati areal persawahan yang tidak terlalu besar kami sampai di rumah pak Lesu Djaga, beberapa meter dari jalan menanjak naik ke kampung.
Jalan menanjak di kampung Weetabar benar-benar rindang, jika pagi atau sore kabut kadang datang. Bagi yang tidak terbiasa suasana seperti ini mungkin akan merasa seram jika berjalan sendiri di malam hari. Setelah melewati tikungan, tampak undakan-undakan tangga dari semen yang sudah berlumut. Diujung undakan adalah perkampungan Weetabar.


Deretan rumah yang berbentuk khas Sumba saling berhadapan menghadap lapangan yang dipenuhi dengan batu-batu kubur berbagai ukuran. Selain beberapa batu kubur juga biasanya ada beberapa tiang-tiang batu berbentuk tabung empat buah sebagai penyangga dan bagian atasnya dipasang lempengan batu kotak. Menurut pak Lesu Djaga, batu itu bukan kubur hanya dipakai untuk semacam meja atau menaruh daging kerbau atau babi yang dipotong pada perayaan.
Keluarga pak Lesu Djaga, dari kiri: Lesu Djaga, mama dan cucu perempuannya


Kami sempat mampir di rumah orang tua pak Djaga yang disambut oleh ibunya, seorang wanita yang sudah tua namun masih tergambar kecantikan waktu mudanya. Ngobrol-ngobrol seputar adat di sini, aku tertarik menanyakan satu tanduk terbesar dan terpanjang yang terpasang di dinding rumah. Pak Djaga bercerita bahwa tanduk kerbau terpanjang itu dipotong waktu acara meninggal ayahnya, dia juga mengatakan kematian ayahnya akhirnya juga membuatnya tidak meneruskan pendidikannya di bidang hukum di Kupang karena sepeninggal ayahnya mamanya tidak ingin ditinggal. Sewaktu bercerita ini, aku melihat mata mama berkaca-kaca sepertinya kenangan tentang almarhum suaminya bermain di pelupuk matanya. 


Aku dan Andri mencoba berjalan terus menelusuri perkampungan sampai ke kampung Tarung. Suasana menjadi ramai saat kami menemui seorang mama yang sedang asyik membuat keranjang tempat menyimpan barang dari daun pandan hutan yang langsung di sambut dengan beberapa mama-mama yang menawarkan barang jualan seperti kain tenun, kalung dan gelang tangan serta keranjang kotak penyimpan.
Mama Bobo yang paling ramai dan lucu di antara pada mama
Tak kalah menggelikan adalah tingkah mama Bobo, oma satu ini memang paling lucu. Saat Andri tak mau lewat di jalan karena ada seekor babi yang sedang tiduran di jalan justru mama Bobo mau mengambil babi itu supaya dipegang Andri. Karuan saja Andri menolak.
Bahkan untuk merayu kami agar mau membeli barang dagangannya, mama Bobo mau menari, tak pelak acara pagi itu menjadi acara tertawa. Tak kalah lucunya melihat mama Bobo tertawa terpingkal-pingkal sendiri setelah dia menari dan bernyanyi.
Kami sempat mampir ke rumah mama Bobo sekedar membeli oleh-oleh tangan. Suasana hari itu mencairkan seluruh cerita-cerita yang berkembang tentang masyarakat Loli. Walau kadang wajah-wajah keras dan mata yang tajam menyurutkan langkah kami, tapi ternyata setiap senyum kami selalu berbalas senyum yang lebih lebar. Mereka tak segan berbagi cerita penuh kehangatan, apalagi para mama-mama itu yang sepertinya tak ada hari yang perlu dipikirkan selain ceria dengan hari tua.
Menjadi pejalan tidak berarti menjadi orang asing di tengah tempat menakjubkan, ternyata senyum dan sapa mudah bertemu dan menhilangkan sekat saat seorang pejalan tidak membuat sekat-sekat itu.

Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 24 Maret 2012

Sumba Barat (1): Pasir Putih, Gelombang dan Batu Kubur

View pantai Marosi sebelah kanan dan ombak dikejauhan


Pantai Kerewee di sebelah pantai Marosi
Bagi sebagian orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Sumba, mendengar kata Sumba seperti mengingatkan pada daerah padang yang panas kering berdebu dengan kuda-kuda yang besar. Tapi tidak ketika anda mengunjungi Tambolaka, ibukota dari Kabupaten Sumba Barat. Daerah Sumba ini terletak di ketinggian sekitar 500 meter dpl, itu menurut perhitungan jam yang aku pakai. Dengan ketinggian seperti itu, Sumba Barat memiliki dataran dan perbukitan yang cukup hijau sepanjang tahun.

Namun tiga hari di Tambolaka nyaris menghabiskan hari dengan suasana kantor-hotel-jalan malam cari makan. Mendung nyaris tak pernah bergeser dari langit, rintik hujan sering lebih lama.  Dan itu masih ditambah lagi koneksi internet yang nyaris tidak bisa digunakan. 
Sebenarnya di belakang hotel Pelita yang aku tempati ada sebuah perkampungan adat yang bisa kudatangi tapi informasinya kalau musim hujan begini becek sekali karena kondisi tanahnya berlumpur.


Untung hari Minggu masih ada kesempatan jalan-jalan. Aku, Andri dan Aris yang menjadi guide lokal kami selama perjalanan. Peranakan Sabu-Rote dan terdampar di Sumba ini pula yang mengajak aku dan Andri mengunjungi Pantai Marosi. Pantai berpasir putih tentu saja, nyaris seluruh kawasan pantai di wilayah Sumba ini adalah pantai berpasir putih, tentu saja karena di Sumba tidak memiliki daerah gunung aktif.
Batu kubur di atas perbukitan Lamboya
Jam satu siang sesuai dengan janji, kami bertiga ditemani salah seorang staf di Sekretariat Daerah meluncur ke arah Lamboya. Kami sempat mampir di lapangan Lamboya yang sudah sepi. Acara Pasola (merupakan acara perang lempar tombak dengan menaiki kuda) sudah diadakan beberapa hari lalu di lapangan ini, tinggal dua lagi kegiatan Pasola yang tersisa, di Wanokaka dan Dhaura. Menurut agenda, hari Rabu depan ada acara Pasola di kampung adat Wanokaka padahal hari Selasa aku sudah harus balik ke Kupang. Belum keberuntungan, ungkap hatiku untuk mengurangi rasa kecewa.


Perbukitan hijau ini masih dipenuhi dengan sampah-sampah plastik baik bekas makanan dan minuman bekas penonton yang dibuang sembarangan. Kesadaran masyarakat tentang sampah masih kecil, masih perlu upaya lebih untuk membudayakan hidup bersih dan tidak membuang sampah sembarangan. Sayang, padahal kalau tidak ada sampah suasana tempat ini lumayan menyenangkan. Menurutku, tempat pertandingan Pasola yang paling bagus viewnya adalah disini karena di lapangan ini hanya rerumputan dan tidak ada bangunan lain, kubur batu hanya ada beberapa yang letaknya di gundukan atas pinggir lapangan.
Sekumpulan kerbau asyik berkubang tidak terganggu dengan kehadiran kami. Dari ujung lapangan tampak lautan yang ombaknya bergulung-gulung. Aris menunjuk beberapa pantai yang tampak di kejauhan.


Ombak dan hamparan pasir kehitaman di sepanjang pantai Kerewee
Karena ingin menikmati pantai Marosi sampai sore jadi kami memutuskan untuk mengunjungi dulu pantai Kerewee (baca: kerewe'i). Pantai Kerewee yang kami tuju rupanya pantai berpasir hitam walau warnanya tidak terlalu hitam. Mungkin di sini satu-satunya pantai yang berpasir hitam karena di deretan ini, pantai Nihiwatu, Nautil dan Marosi adalah pantai berpasir putih.
Dataran pasir kehitaman harus terhampar datar panjang sepanjang pantai. Tampak sebuah gugusan pulau karang kecil di sebelah kanan dan seperti sebuah bekas muara yang airnya telah kering. Waktu aku mendekati ternyata karang itu agak unik karena ternyata karang yang berlubang. Mendung di kejauhan pantai tampak garang menutup celah langit dari warna biru. Bener-bener waktu yang kurang tepat.


Pulau karang berlubang di pantai Kerewee
Suasana masih terasa tenang di sini, beberapa anak kecil datang membawa kelapa muda dan menawarkan kepada kami. Tentu saja penawaran yang sulit ditolak, untuk urusan tawar menawar maka Aris sangat bisa diandalkan. Dengan sigap, anak kecil ini memapaskan parangnya ke kelapa yang aku pesan. Wah kecil-kecil mereka sudah piwai memainkan parang. Tidak mengherankan, mengingat pasang seperti barang yang wajib mereka bawa tiap hari.


Beberapa pasangan tampak berdatangan di pantai ini selain juga ada rombongan namun suasana masih tidak ramai. Potensi pantai ini sekarang memang belum banyak dikenal, namun aku juga mendengar informasi yang masih kabur kalau ada beberapa investor yang berminat untuk membangun lokasi wisata dan peristirahatan di tempat ini seperti halnya lokasi Nihiwatu yang tidak jauh letaknya dari pantai Kerewee.
Hamparan pasir di sebelah kiri setelah muara pantai Marosi
Dari pantai ini kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Marosi tujuan awal kami. Ternyata letaknya tidak jauh dari pantai Kerewee, karena saat kami sampai ternyata anak-anak kecil yang menjual kelapa di pantai Kerewee kembali kami temui. Hamparan pasir putih di pantai Marosi memang panjang dan cukup lebar apalagi saat pantai tidak terlalu pasang tinggi. Karena letaknya di di daerah lepas pantai Selatan maka tidak heran jika ombak dipantai ini cukup besar walau pada musim-musim tenang sekalipun.
Karakter pantai yang pasti menarik kalangan wisaatawan mancanegara. Sepertinya pantai-pantai disini hanya tinggal menunggu investor untuk membuat kawasan pantai disini menjadi kawasan wisata kelas dunia. Nihiwatu telah membuktikan reputasinya sebagai tempat yang banyak orang terkesan dengannya.


Di sebelah kanan pantai Marosi terdapat sebuah gugusan karang dan muara yang airnya tidak dalam namun keras. Beberapa ratus meter dari muara itu adalah Sumba Nautil Resort. Ombak di kawasan sana memang terasa lebih kencang, tampak sekali karang-karang seperti tertutup kabut tipis akibat tempias ombak yang kencang. Jika di pantai Marosi ini ombak tidak terlalu keras karena beberapa ratus meter ke depan ada gugusan karang yang menjadi penghalang alami gelombang.


Kami pulang lebih awal dari rencana karena matahari tidak muncul seperti yang kami harapkan. Sumba masih tetap dengan mendungnya. Sebelum pulang Aris membagi-bagikan makanan yang kami bawa ke anak-anak karena tersisa banyak sekali. Acara bagi-bagi makanan cukup seru, ada saja akal Aris.
Besoknya, kami sempatkan mengunjungi kampung adat yang ada di kota Tambolaka yang merupakan kampung tertua dan menjadi pusat acara orang Loli yaitu kampung Weetabar dan kampung Tarung.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya