Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 17 Mei 2011

Re-visit: Oenesu dan Oehala

Tiga tingkat air terjun Oehala yang terletak sekitar 15 km dari kota Soe.

Kunjungan kembali, itulah yang kujalani. Belakangan ini jadi setengah guide yang kerjanya menemani temen-temen yang mau jalan ke tempat-tempat wisata tapi belum pernah sebelumnya.
Kali ini cerita kunjungan kembali-nya di dua tempat lama tapi sudah ada perbaikan fasilitas. Kedua tempat ini adalah air terjun di daratan Timor tapi di tempat dengan ketinggian yang berbeda: air terjun Oenesu yang terletak di dataran rendah (Kabupaten Kupang) dan air terjun Oehala yang terletak di dataran tinggi (Kabupaten Timor Tengah Selatan).


Air Terjun Oenesu


Suasana air terjun Oenesu dari bagian bawah (tingkat keempat)
 Beberapa waktu ini aku baru saja mendengar kabar tentang meninggalnya seorang anak SMA di air terjun ini. Agak terlambat mendengar berita ini karena pada waktu kejadian ini sedang ada penugasan di luar kota. Jika ingin membaca lebih lengkap cerita dan kronologis kejadian ini bisa berkunjung ke tempointeraktif.com atau di beberapa media lain.
Terus terang kejadian ini mau tidak mau akan mempengaruhi kunjungan ke tempat wisata air terjun satu-satunya di Kupang ini. Padahal pada saat ini air terjun Oenesu debit airnya lebih besar dan lebih jernih sehingga beberapa daerah yang dulu kering sekarang terkena luapan airnya.
Foto-foto di air terjun ini aku ambil sebelum ada kejadian di atas mungkin hanya berselang satu minggu sebelum ada kejadian naas itu. Rencana untuk foto model dengan konsep yang sudah dirancang jauh hari sebelumnya sekalian melakukan kunjungan kembali untuk melihat kondisi air terjun belakangan ini. Karena memang biasanya di musim-musim begini debit air terjun meningkat sehingga lebih enak dinikmati walau kadang sering naiknya debit air mengakibatkan air yang mengalir menjadi keruh.


Desi berpose di air terjun Oenesu
 Untungnya justru saat datang, debit air justru meningkat lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya dan tidak keruh. Sepertinya ada upaya pendalaman dan pembersihan di bagian atas dari sumber air terjun ini.
Lokasinya pun sudah banyak mengalami perbaikan, tempat parkir tersedia, rumah-rumah lopo dibangun, toilet pun juga sudah tersedia walaupun tampaknya petugas di sini belum bertugas optimal dan hanya bertugas kadang-kadang pada hari libur/kunjungan saja.
Dengan kondisi sekarang, tempat ini jauh lebih layak dikunjungi dibanding beberapa tahun lalu. Walaupun sebagian besar penikmat wisata air terjun ini sebagian besar warga lokal karena memang untuk wilayah-wilayah Timur Indonesia, wisata yang bisa mengundang wisatawan asing adalah wisata bahari dan wisata budaya.


Air Terjun Oehala


Dua teman duduk di atas batu di tingkat ketiga air terjun Oehala
 Re-visiting ke tempat ini diantara kesibukan tugas di tempat ini. Kondisi kabupaten Timor Tengah Selatan yang beribukota di SoE pada bulan-bulan begini memang kurang bersahabat bagi orang yang biasa tinggal di daerah panas. Sepanjang bulan Mei sampai dengan Juli hawa di kota ini begitu menusuk tulang, di samping karena berada di dataran tinggi juga karena pengaruh angin Australia yang sekarang sedang musim dingin.
Kabut tebal dan basah nyaris menjadi pemandangan sehari-hari. Kebetulan aku dan rekan kerja kesini menggunakan sepeda motor karena berharap lebih praktis dan mudah kalo mau kemana-mana dibanding kalau membawa mobil. Walhasil, begitu sampai di hotel, aku harus merasakan persediaan tangan ngilu semua gara-gara dipertengahan jalan kabut basah turun. Masih untung hari itu tidak ada hujan turun.
Perjalanan kembali ke air terjun Oehala kali ini aku lakukan bersama dua teman lain yang kebetulan belum pernah kesana sebelumnya. Rencana awal beberapa orang namun karena berbenturan jadwal sehingga hanya kita bertiga yang bisa kesana.
Perjalanan awalnya agak setengah hati karena menjelang keberangkatan tiba-tiba kabut basah turun. Akibat setengah hati ini pula makanya tripod yang sudah aku persiapkan malah tertinggal. Suhu udara turun drastis, tapi dengan pertimbangan sedikit tanpa akal sehat alias berharap kebetulan maka perjalanan dengan menggunakan dua motor kami lanjutkan.


View air terjun Oehala dari sisi seberang (view lopo untuk istirahat)
 Untungnya sampai disana justru cuaca membaik. Kabut tidak ada sama sekali di lokasi ini, padahal aku berharap ada kabut tipis disini.
Lokasi ini ternyata juga sudah dilakukan renovasi walaupun masih sebatas pemberian pagar pembatas di beberapa lokasi yang rawan orang tergelincir dan penambahan lopo-lopo untuk orang beristirahat. Kamar kecil juga telah disediakan walaupun belum pernah dicoba.
Air terjun Oehala masih bening seperti biasanya namun yang agak mengherankan debit airnya jauh berkurang padahal biasanya pada bulan-bulan begini debit air masih tinggi.
Yang juga mengherankan airnya tidak terasa dingin di kaki kami, entah memang airnya yang berubah ataukah memang cuacanya yang dingin sehingga air menjadi tidak terasa dingin.
Oehala juga masih sama, selalu sepi begitu menjelang senja entah kenapa padahal di luar bulan-bulan berkabut seperti ini mengambil gambar air terjun Oehala agak sulit karena sinar matahari yang masih menerobos ke air sehingga foto air jadi kurang pas. Hanya pada bulan begini kita aman untuk mengambil foto-foto disini karena sinar matahari nyaris tidak mampu memamerkan panasnya api miliknya.


Dua air terjun ini seperti menggambarkan bahwa daratan Timor bukanlah tanah gersang yang dipenuhi batu karang dan keberadaan air yang langka.

Jika anda mengunjungi ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur, mungkin bisa sekali waktu mengunjungi air terjun Oenesu. Tempat yang bisa membilas aroma matahari yang teriknya serasa membakar ubun-ubun.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 03 Mei 2011

Penfui: Menikmati Romantisme ala Kupang



Sepuluh tahun tinggal di Kupang, aku merasakan banyak perubahan dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. Kota yang panas, yang jika sedang dalam puncak teriknya terasa membakar kepala. Selain itu Kupang juga dikenal sebagai kota karang, karena memang sebagian daratannya banyak terdiri dari karang yang makin menambah panas kota Kupang. 


Mungkin baru disini, aku mengenal namanya sekolah diliburkan antara beberapa hari sampai 2 minggu saat cuaca panas sedang di puncak-puncaknya. Mirip di luar negeri saja, ada liburan musim panas :)

Jika mendekati puncak musim panas maka wajah Kupang jika diperhatikan dari jendela pesawat tampak menghitam dan coklat karena disana sini yang terlihat adalah batu karang dan sisa-sisa rumput yang telah mengering. Bahkan asap dari pembakaran dapat mudah ditemui di tengah hari karena sisa-sisa ilalang yang terbakar ataupun dibakar oleh masyarakat. Sebagian besar pohon-pohon di Kupang pun tinggal ranting karena pohon endemik yang tumbuh di Kupang memang pohon-pohon yang akan meranggas di musim kering untuk mengurangi penguapan.

Tapi suasana akan terasa kontras di musim hujan. Tiba-tiba saja seperti sebuah paduan suara yang sangat kompak, rumput-rumput segera memenuhi tanah-tanah di seluruh penjuru Kupang. Hijau seperti menutupi setiap jengkal tanah di Kupang, kadang jadi lupa panasnya Kupang.

Dan disaat seperti ini, ada satu tempat yang beberapa tahun lalu menarik perhatianku.
Bermula dari ketertarikanku pada pohon Gamal (latin:
Gliricidia sepium) yang bunganya suka muncul saat mendekati musim kering. Bunga pohon Gamal ini bunganya mirip bunga Sakura yang tumbuh bukan di pucuk pohon tapi di batang pohon. Jika masih muda, tanaman yang masuk tumbuhan perdu dari kerabat polong-polongan ini bunganya di batang banyak memenuhi seluruh batang.

Di daerah sekitar bundaran Penfui arah menuju bandara ternyata banyak tumbuh pohon ini. Namun sayang karena umurnya yang sudah tua sehingga jumlah bunganya sudah jauh lebih sedikit. Namun yang menarik di daerah ini bukan bunganya  tapi pepohonan yang berdiri disepanjang jalan yang membentuk kanopi hidup.

Dengan bentuk yang seperti ini, jalan di sini seperti membentangkan romantisme bagi pasangan yang berjalan-jalan disini.
Walaupun ada upaya pemerintah memulai gerakan penanaman untuk penghijauan kota Kupang, namun rasanya ruas jalan ini akan tetap punya kenangan tersendiri bagi insan-insan muda ataupun tua yang pernah menikmati suasana di sini.

Beberapa fotografer juga ada yang menggunakan lokasi ini untuk pemotretan, mungkin karena terinspirasi suasana romantis tempat ini.
Makanya permintaan teman yang ingin difoto prewedding tidak aku sia-siakan, kebetulan mereka maunya konsep sederhana pas banget sama suasana romantis yang terbangun di tempat ini


Keterangan: selain foto prewedding bebas didownload dan diupload
sepanjang mencantumkan sumber penulisan, khusus foto prewedding untuk upload di tempat lain harap meminta ijin pasangan yang bersangkutan
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 06 Maret 2011

Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah - True love monument


Mau nonton film yang nyaman? Disini tempatnya.Theater Imax Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah.

Kalau dulu orang tuaku mengajak aku kesini, sekarang giliranku mengajak para keponakan juga teman-teman dari Australia, Ukraina dan Korea berkunjung kemari. Well, this is my turn :)


Theater Imax Keong Emas ini dibangun atas prakarsa Ibu Tien Soeharto.Bangunan yang berbentuk cangkang keong mengambil inspirasi dari cerita-cerita panji yang berkembang pada jaman kerajaan Jenggala dan Kediri. 
Dikisahkan Panji Asmara Bangun terpisah dengan kekasihnya Galuh Candra Kirana oleh kekuatan jahat yang berusaha menculik dengan merubah Galuh Candra Kirana menjadi keong emas.Namun kekuatan cinta jualah yang akhirnya mempertemukan mereka kembali. Anyway, true love will finds the way.

Saat ini sedang diputar film Indonesia Indah, Journey to Mecca dan Africa the Serengeti. Penonton dapat menikmati film layar lebar dengan ukuran 21,5 x 29,3 meter yang diklaim sebagai World's largest screens. Dilengkapi suara sonik/Soundsystem Sonics yang dapat dioperasikan dengan 2 system (Maghnatech dan Digital CD).Benar-benar memanjakan mata dan telinga.Puas!




foto dan teks : Arum Mangkudisastro.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 02 Maret 2011

Saat Hijau Menyiram Bumi

Terus terang menuliskan suatu tempat yang kita kunjungi bukanlah hal yang gampang bagiku. Aku tidak bisa begitu saja menuliskan sebelum memperoleh secara lengkap persyaratan utama sebuah tulisan aku naikkan ke blog ini: (a) ada cukup foto-foto yang mewakili keberadaannya (b) ada informasi yang nyambung dengan lokasi, ini yang kadang-kadang sulit seperti tulisan tentang Waewini dan Legenda Sebuah Kampung yang Hilang yang meskipun mendapatkan bahan cerita tapi harus melengkapi nilai filosofis dan reason yang dapat diterima, (c) ada suasana batin yang mewakili sehingga saat orang mencapai lokasi ini dapat merasakan apa yang ada di foto.



Akhirnya kadang tulisan gak naik tampil hanya kadang-kadang faktor tertentu yang mungkin gak lebih dari 10%, karena yang sedikit itu kadang bisa membuat berantakan yang 90%-nya.
Seperti tulisan Menikmati Sawah dan Perbukitan merupakan tulisan yang masih ada di 90% yang aku paksa naik karena seperti wartawan aku pun dikejar target (pribadi) untuk bisa menulis minimal 1 tulisan tiap bulan. Padahal seharusnya di tulisan itu aku bisa lebih mengeksplore dangau-dangau dan gua-gua buatan jepang tapi rasanya kalau itu menjadi pelengkap maka Nagekeo gak pernah bisa aku tuliskan. Toh sampai saat ini aku juga belum bisa mengambil foto seperti itu (pembelaan ceritanya)


Tulisan ini adalah pelengkap tulisan Nagekeo yang sebenarnya sampai saat ini pun masih belum bisa dilengkapi. Belum lengkap karena rasanya aku belum mendapatkan daerah-daerah yang menarik yang biasanya justru kurang tereksplore karena sulitnya medan atau justru karena kurang diperhatikan.
Foto-foto ini terekam dari perjalanan selama dua minggu di Kabupaten Nagekeo. Cuaca sebenarnya kurang bagus, maklum bulan-bulan begini hampir tiap hari mendung enggan beranjak. Sekali-kalinya cerah juga tak selalu bisa diharapkan karena kadang cuaca berubah sedemikian cepat.

Rerumputan di arah jalan ke Maukaro
Seperti pernah saya rekam di tulisan sebelumnya, Nagekeo memiliki hamparan persawahan yang luas yang menjadikannya salah satu daerah penyangga pangan di Nusa Tenggara Timur. Nagekeo pun memiliki kawasan perbukitan yang banyak berupa padang savannah tapi dengan kontur yang kadang-kadang cukup terjal. Nah, sebenarnya mulai bulan-bulan Januari sampai saat-saat seperti ini perbukitan savannah di Nagekeo mulai tumbuh rumput yang bentuknya berjajar seperti ditanam karena tumbuh di sela-sela tanah keras berbatu.
Jika ditanya view apa yang menarik di Nagekeo, salah satunya adalah menikmati senja di atas perbukitan savannah. Kadang jika kita beruntung, puluhan bahkan ratusan ternak kambing atau sapi melintas pulang. Angin berdesau yang meniup rumput-rumput hijau yang meninggi, sementara di langit senja membentuk gradasi warna yang tak pernah bisa diperkirakan dan memang seharusnya tidak perlu diperkirakan.
Lenguhan-lenguhan sapi dan embikan kambing serta bunyi serangga pengiring malam seperti simponi senja menjelang malam. Burung-burung seperti burung walet, sri-gunting atau beberapa spesies lain mencuit melintas menuju sarang. Kadang pula bunyi tokek bisa terdengar begitu nyaring di kejauhan.
Jangan pedulikan bunyi raungan motor atau mobil yang kadang terdengar begitu mengganggu, mereka mahluk-mahluk yang jarang menampakkan suaranya di atas padang-padang ini walaupun sekalinya melintas membuyarkan semua suara yang ada.
Ada kalanya aku merutuk mendengar si mesin bising itu dan berharap di tempat dan waktu seperti ini mahluk-mahluk seperti itu ditidurkan sejenak. Biarlah ada rotasi suasana tapi siapa bisa memaksakan teknologi.

Senja di ambil dari belakang rujab Bupati
 Dari arah mulai masuk Nagekeo, mata sudah disuguhi deretan perbukitan savannah yang terhampar hijau. Dan deretan perbukitan hijau sendiri bukan hanya di arah masuk Nagekeo. Perjalanan yang pernah kulakukan menuju ke Maukaro juga banyak melintasi perbukitan savannah. Bahkan dari perbukitan di kawasan Maukaro ini langsung bisa dilihat laut.
Sedikit pemandangan berbeda aku temui saat kita melakukan perjalanan menuju ke Riung. Riung adalah tempat wisata 17 pulau yang masih masuk kabupaten Ngada namun memang lebih dekat ke Riung melalui jalur Nagekeo daripada dari Bajawa (ibukota Ngada).
Perjalanan ke Riung dengan kondisi sekarang aku tempuh sekitar dua jam, itu pun lebih karena faktor kondisi jalan yang tergolong rusak berat. Kira-kira separuh jalan dari Mbay menuju ke perbatasan Nagekeo-Ngada kondisinya cukup memprihatinkan, ruas-ruas jalan banyak ditemui lubang seperti kubangan kerbau. Perjalanan menuju sisi laut utara Flores ini juga banyak ditemui kawasan perbukitan savannah tapi entah kenapa banyak yang rumputnya belum cukup tinggi, besar dugaan di daerah ini karena dekat dengan laut jadi curah hujan kurang dibanding perbukitan di jalan masuk menuju Nagekeo.
Namun ada sebuah perbukitan yang dari jauh bentuk terjal dan unik dan setelah kita sampai di bawahnya juga memiliki pemandangan yang cukup unik. Menurut informasi, perbukitan ini ada di daerah Beke. Jika dibukit-bukit sebelah jalan banyak tumbuh padang savannah maka di bagian landai bukit ini di beberapa spot tumbuh tanaman liat berbunga kuning yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Aku sendiri kurang tahu persis tumbuhan ini, namun karena tumbuh merata bukit ini jadi tampak istimewa.

Bunga-bunga kuning di perbukitan Beke (perbatasan Riung-Nagekeo)

Lala eh Kadek in action....... (parental guidance)
Aku tidak tahu persis apa nama tempat dan bukit ini selain bahwa daerah Beke, namun karena warna hijau dan kuning yang begitu dominan serta bentuk yang begitu menarik maka kami sepakati menyebut bukit ini dengan dengan bukit Teletubbies hehehe... Kami berangkat berempat persis dengan jumlah Teletubbies sehingga tiba-tiba kami saling menjuluki sesuai umur kami, jika aku menjadi Twingkie-Wingki karena aku yang paling tua, berarti si Nyoman menjadi Gipsie, Sukoco rela menjadi Poo dan Kadek harus mau dipanggil Lala.
Ah.. hahahaha.... rasanya jadi aneh tapi menyenangkan juga. Setelah berpenat diri berhari-hari bisa melepaskan diri dan bercanda tanpa beban pikiran membuat pikiran menjadi segar.
Membiarkan alam masa kecil bermain, berfoto gila-gilaan... dan berimajinasi seolah-olah seorang Sun Go Kong ada di balik bukit ini dan berlatih menjadi kera yang paling sakti, atau tiba-tiba ingin memahat bukit-bukti ini menjadi wajah-wajah kita....
Ah, ternyata memang setiap pria menyimpan jiwa anak-anak dan di saat tertentu akan muncul kembali.
Bagaimana Riung sendiri? Ah, ternyata aku masih di angka 80% ... entah perjalanan ke berapa bisa menjadi 100%....
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 27 Februari 2011

Waewini: Legenda Sebuah Kampung Yang Hilang


Nenek Wini Tange, begitulah nama perempuan tua itu. Penduduk biasa memanggilnya nene' Wini tapi beberapa perempuan lebih suka menyebutnya nene' Tange. Nenek Wini sama seperti penduduk kampungnya yang hampir seluruh hidupnya mengandalkan dari usaha berkebun dan bertani. Nene Wini juga memiliki beberapa ekor ternak peninggalan suaminya seperti ayam, babi dan kambing. 

Seperti halnya rumah-rumah di kampung ini yang berbentuk panggung, kandang ternak-ternaknya ada di bawah lantai rumah. Selain untuk kandang ternak, bagian bawah rumah juga digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan peralatan-peralatan berkebun.

Mencari kayu bakar di hutan adalah kegiatan lain yang juga umum dilakukan penduduk kampung, demikian juga nenek Wini apalagi setelah suami yang dicintainya meninggalkannya sendiri.  Suaminya meninggalkannya saat umur nenek Wini belum tua dan hanya meninggalkan seorang anak perempuan. Karena ditinggal mati suaminya dalam umur yang belum tua, beberapa lelaki mencoba mendekatinya untuk menjadikannya istri. Namun kecintaannya pada suaminya tak pernah luntur di hati nenek Wini hingga ia memutuskan untuk tetap menjanda dan mengurus sendiri anak perempuan semata wayangnya. Hingga suatu ketika anak perempuannya menikah dan mengikuti suaminya, maka tinggallah nenek Winni sendiri di gubuknya.

Sepeninggal suaminya, nenek Wini mencurahkan kasih sayangnya pada seekor babi yang juga menjadi kesayangan suaminya. Kecintaannya pada sang babi karena nenek Wini percaya bahwa ruh suaminya tetap menjaga melalui babi yang dipeliharanya ini.

Namun ada seorang penduduk kampung yang mendendam kepada nenek Wini karena merasa keinginannya untuk memperistri nenek Wini dulu tidak kesampaian. Rupanya rasa malunya tidak tertanggungkan karena sebagai orang yang tergolong kaya di kampung ini rasanya pamali jika tidak bisa mengambil wanita yang disukainya. Hingga suatu hari saat nenek Wini pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, datanglah beberapa penduduk kampung suruhan orang yang memendam kebencian kepada nenek Wini dan mengambil babi nenek Wini. Orang ini merasa karena babi nenek Wini-lah yang menyebabkan nenek Wini rela menjanda dan justru mengasihi babinya serta menolak untuk dia peristri.
Setelah menangkap dan mengambil babi nenek, laki-laki ini memutuskan membunuh babi ini dan dia sengaja membagi-bagikan daging babi ini ke seluruh penduduk kampung.

Singkat kata, saat senja nenek Wini pulang dan mendapati di kandang babinya tidak ada lagi babi kesayangannya. Dengan kaki tuanya nenek Wini mencoba bertanya ke tetangganya, namun tidak ada satupun penduduk kampung yang bisa memberitahukannya. Sebenarnya waktu kedatangan nenek Wini yang mencari tahu babinya yang hilang muncul syak wasangka bahwa daging pemberian yang mereka terima adalah babi nenek Wini namun karena mereka tidak berani memberitahu karena mereka terlanjur telah memasak dan memakannya.

Takut jika babi kesayangannya hilang membuat nenek Wini tetap mencari tahu kesana-kemari ke hutan dan penduduk sekitar namun semua menggelengkan kepala dan tidak ikut membantu mencarinya karena merasa bersalah telah ikut memakan daging babi nenek Wini.

Hingga menjelang tengah malam nenek Wini sampai di ujung rumah nenek Kawena yang merupakan temannya. Dan nenek Kawena bercerita bahwa dia kedatangan salah satu laki-laki yang memberikannya daging babi yang dari laki-laki yang dia tahu memiliki kebencian dengan nenek Wini. Karena merasa sesuatu, nenek Kawena menolak pemberian daging itu. Dengan menahan perasaan yang tak karuan nenek Wini pergi menuju ke rumah lelaki yang dulu pernah memintanya menjadi istri selepas ditinggal suaminya.

Namun seperti diduga, lelaki itu menolak kedatangan nenek Wini dan bahkan dengan kasar mengusirnya. Nenek Wini pergi ke belakang pekarangan rumah lelaki itu dan menemukan tulang-tulang yang dengan perasaan kuat hatinya dia bisa merasakan bahwa tulang-tulang itu adalah dari babi kesayangannya.
Dengan hati remuk redam dan cucuran air mata kesedihan nenek Wini membawa tulang-tulang itu ke gubuknya dan menguburkannya di samping rumahnya.

Setelah peristiwa itu nenek Wini menghilang menyepi ke tempat sepi karena rasa hatinya yang gundah gulana. Dalam penyepiannya itulah nenek Wini kedatangan seorang marapu yang menanyakan keberadaannya. Setelah diceritakan kesedihannya itu akhirnya sang marapu menyanggupi untuk membalaskan rasa sakit hatinya. Maka berpesanlah sang Marapu: "Besok sebelum matahari keluar dari peraduannya, keluarlah kamu dari kampungmu. Bawalah bekal sekedarnya dan ingatlah, sekali engkau meninggalkan kampung ini jangan sekali-kali menoleh ke belakang apapun yang terjadi."
Nenek Wini kembali ke kampungnya dan dalam perjalanan dia ingat akan keberadaan nenek Kawena, maka didatangilah nenek Kawena dan diceritakanlah pertemuaannya dengan seorang marapu. Nenek Wini mengajak nenek Kawena untuk ikut dengannya. 

Akhirnya. pagi-pagi buta nenek Wini telah siap dengan bekalnya dan menuju ke nenek Kawena agar bersama-sama pergi meninggalkan kampung ini. Namun ternyata nenek Kawena salah memasak bekal, ternyata waktu sampai di rumah nenek Kawena bakal bekal berupa ubi hutan yang sangat keras belumlah masak. 

Matahari hampir muncul saat bekal itu selesai dan mereka buru-buru berjalan meninggalkan kampung mereka. Baru beberapa waktu mereka berjalan, sang surya mulai menampakkan cahaya paginya dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara gemuruh dari arah belakang mereka. Karena getaran dan suara yang sedemikian keras tanpa sadar nenek Kawena menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Maka pada saat itu berubahlah nenek Kawena menjadi sebuah batu. Menyadari hal itu betapa sedih hati nenek Wini namun dengan berat hati tetap dilangkahkan kakinya menjauh dari kampungnya.
Maka kampung nenek Wini tenggelam ke dalam tanah dan menjadi sebuah danau, dan sebuah batu berdiri menjulang di atas tanah yang agak tinggi, itulah yang disebut sebagai batu Kawena.



Demikian tutur yang aku dapatkan dari perjalananku ke sebuah danau Waewini. Sebuah danau yang berair payau yang tidak berada jauh dari pantai. Uniknya danau ini bukannya berasal dari sungai namun demikian air di danau ini tidak pernah kering.
Danau yang walau berair agak payau namun bening ini dikelilingi pepohonan besar yang membuat suasana di danau ini terasa rindang. Danau ini juga digunakan penduduk sekitar untuk diambil airnya bagi keperluan rumah tangga sehari-hari.
Ternak seperti sapi, kerbau atau kuda juga sering kemari untuk minum atau kadang dimandikan pemiliknya di danau ini.
Saya mohon maaf jika ada perbedaan cerita dari kisah ini, karena namanya legenda tentu dapat berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya. Tapi dari balik cerita ini kita bisa menemukan bahwa di banyak tempat kita bisa menggali kekayaan cerita yang dapat memperkaya batin kita.

Jika anda singgah di kabupaten Sumba Barat Daya, anda dapat menyinggahinya karena lokasi danau ini tidak jauh dari kota hanya memang kondisi jalannya masih buruk.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 01 Februari 2011

Eksotika Alam Sumba dan Marapu

Pantai Watumandorak, warna torquis (hijau kebiruan) begitu mendominasi warna air laut


Pantai Watumandorak dengan paduan alamnya yang eksotis

Menyebut Sumba seperti menyebut kata kuda itu sendiri. Begitulah kentalnya kuda sebagai bagian dari Sumba, seolah-olah semangat dan kekuatan kuda melahirkan putra-putra Sumba. Sebuah pulau yang keberadaannya berada di dekat perbatasan laut Indonesia-Australia, Sumba begitu identik dengan kuda dimanapun kaki menginjakkan kaki di tanah ini. Benak itu pula yang melingkupi setiap orang yang pertama menginjakkan kaki di Sumba.

Pantai Kita memiliki deretan pasir putih yang panjang

Tapi sesungguhnya Sumba melebihi dari itu, sekali kaki melangkah ke ujung-ujung tanah Sumba maka kita seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Kepercayaan Marapu yang masih kental melingkupi penduduk Sumba yang terutama tinggal di perkampungan seperti mencampakkan modernitas kita di tanah yang masih begitu asli. Ruh-ruh orang mati yang memiliki kemampuan untuk memberkati maupun mengutuk tanah Sumba menciptakan irama kehidupan yang kental bagi penduduk Sumba dalam berbagi keharmonisan dengan alam. Dari penampilan luar, akan terlihat bagaimana rumah-rumah dibangun, upacara-upacara dilakukan dan bentuk kubur batu yang berdiri menandakan bahwa kekuatan masa lalu masih memiliki akar dengan Sumba saat ini. Dan cobalah masuk lebih dalam, maka kekuatan bangunan, filosofi dan struktur hubungan masyarakat Sumba dengan alam begitu mewarnai jalan dan cara mereka beritndak.

Karang di Pantai Pero dan air laut berwarna torquis

Beberapa kali saya berkunjung ke kampung penduduk yang masih memegang kepercayaan Marapu namun mungkin perjalanan mengunjungi salah satu kerabat teman ke kampung Waikahumbu daerah Kodi terasa begitu berbeda karena membawa saya merasakan energi hidup orang Sumba.
Berjarak tempuh sekitar  satu jam ke arah utara dari kota Tambolaka sampai menuju pinggir laut di daerah Kodi Utara. Sebelum ke perkampungan, kendaraan mampir ke pantai Pero. Pantai Selatan daerah Sumba ternyata dipenuhi banyak karang namun juga hamparan pasir putih yang sama banyaknya.  Ombak yang tak terlalu besar memecah sebelum mencapai tepian, beruntung saat ini ombak selatan tidak terlalu besar.  Gugusan karang yang terjal ini menawarkan pemandangan lain, setidaknya anda bisa menikmati sunset berlatar semburan air laut yang masuk ke dalam celah lubang karang dan menyemprot saat menambrak dinding dalam. 
Bukan perjalanan yang pertama aku lakukan namun tetap saja memuntahkan decak setiap saya menginjakkan ujung-ujung tanah ini.  Hamparan pasir-pasir putih seperti melingkupi seluruh pantai Sumba, warna air laut hijau kebiruan bukanlah pemandangan langka. Karena terlalu terik dan mengingat tujuan sebenarnya, maka kami meneruskan perjalanan.

Rumah ada Sumba dan kubur batu tua di Waikahumbu

Menyusuri jalan aspal yang dipenuhi lubang-lubang dan sebagian jalan tanah di sepanjang  jalur pantai, kami melewati beberapa lokasi lapangan luas yang biasanya dipergunakan untuk pagelaran acara Pasola. Acara upacara adat berperang yang tiap tahun diadakan di Kodi sebagai bagian dari acara Pasola tahunan. Pasola adalah upacara untuk mengenang perang yang pernah terjadi antar kampung. Dalam pasola ini akan dapat disaksikan atraksi saling melempar tombak kayu dari atas kuda yang berlari. Tahun 2011 ini rencanya Pasola di daerah Kodi akan dilaksanakan tanggal 24 Februari sampai dengan 27 Februari yang biasanya diakhiri dengan acara Nyale.
Tengah hari kendaraan kami masuk ke kampung halaman teman. Beberapa rumah ada beratap ilalang dengan bentuk khas dan berdinding bambu tampak berdiri mengelilingi beberapa makam berbentuk persegi sedangkan bagian atasnya dipasangi batu persegi.  Satu bentuk penguburan yang berbeda dari orang Sumba adalah posisi orang mati. Jika umumnya orang mati dikubur tidur maka di penduduk Sumba yang masih memegang kepercayaan Marapu maka orang mati dikubur dengan posisi duduk dan kaki dilipat. Dengan bentuk seperti itu, satu kubur batu berbentuk persegi bisa diisi beberapa orang dalam satu keluarga.  Jika dikota kubur batu ini dari bentuk masih mempertahankan bentuk kubur batu persegi namun berasal dari semen maka di kampung masih bisa ditemui kubur-kubur batu yang masih menggunakan batu asli.

Anak-anak yang tinggal di kampung Waikahumbu

Saat mobil kami berhenti di depan salah satu rumah, beberapa anak berlarian mendatangi kami. Rupanya kami dikira penjual kredit yang biasanya mampir menawarkan dagangan. Suasana di rumah itu jadi terasa meriah. Dengan keramahan dan bentuk persahabatan yang tulus, tuan rumah menawarkan sirih pinang sebagai bentuk penerimaan dan perhargaan kunjungan tamu.
Di samping rumah ini terdapat rumah induk tapi secara adat hanya boleh dimasuki oleh keluarga besar adat dan orang dari luar tidak diijinkan sama sekali.
Rumah di Sumba ternyata tidak hanya memiliki atap yang unik tapi juga bentuk arsitektur yang unik dan menarik. Saya bahkan terkesan dengan cara mereka membuat tingkatan kamar-kamar dan ruang bersantai.  Bagian bawah tentu saja bagian yang digunakan untuk memelihara kuda dan babi serta persediaan kayu bakar. Bagian tengah adalah rumah tempat tinggal dengan kamar-kamar bagian pinggir sedangkan bagian tengah adalah dapur. Sedangkan tingkatan atas menjadi tempat menyimpan hasil kebun atau lumbung keluarga.
Disini penduduk sekitar belum menikmati listrik, jika ada rumah yang menikmati listrik biasanya berasal dari panel tenaga surya bantuan. Untuk kebutuhan minum juga biasanya masyarakat membangun sumur.

Pemiliki rumah bersama anak-anaknya

Setelah selepas melepas lelah sekaligus makan siang di sini, kendaraan kami melanjutkan perjalanan setelah singgah sebentar di pantai Waikahumbu. Menuju ke perjalanan ke arah Watumandorak kami menemukan kenyataan menyedihkan. Beberapa rumah adat yang hancur ditinggalkan pemiliknya. Dari informasi ternyata pemiliknya memilih membangun rumah ke kota dan meninggalkan rumah hingga hancur tanpa ada yang menjaga. Godaan modernitas secara pelahan mulai mengikis jiwa dari penduduk Sumba.
Melewati jalan bertanah yang tidak bisa dikatakan rata kami harus beberapa kali memutar balik kemudi karena terlewat. Perjalanan ini menjadi setengah petualangan karena ternyata tidak satu pun dari kami yang tahu persis tempat itu. Namun itu justru membuat perjalanan menjadi tambah menyenangkan. Kadang-kadang kita tidak perlu tahu dan membiarkan pikiran menebak sesuatu untuk membuat pengalaman kita lebih kaya.
Setelah lebih dari satu jam akibat kondisi jalan yang membuat kami menjalankan kendaraan dengna pelan akhirnya kami sampai di pantai Watumandorak. Sebuar pantai yang memiliki ceruk yang terhalang karang. Hamparan pasir putih dibalik ceruk begitu menawan berpadu dengan warna torquis yang begitu kental.

Salah satu rumah yang roboh ditinggal pemiliknya di Kodi

Sungguh kami harus mendecakkan bibir menemukan keindahan pantai ini. Sebuah bangunan khas Sumba berdiri anggun di atas karang di pinggir pantai dengan berpagarkan susunan batu putih. Menurut informasi, bangunan ini dimiliki oleh orang Perancis, bangunan yang sungguh elegan seakan melengkapi eksotika tempat ini.
Saat ini Sumba Barat Daya dalam gerakan membangun, sebagai sebuah daerah pemekaran baru. Napas pembangunan dan modernitas mulai bergulir. Entah apakah napas Marapu dari penduduk Sumba masih bisa dipertahankan terutama dalam filosofinya yang berdampingan dengan alam atau kah yang hadir adalah modernitas yang mengikis kekuatan hidup dan energi Marapu orang Sumba.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya