Halaman

Minggu, 22 September 2019

Matahari Terbit di Puncak Kelimutu

Sunrise dari puncak KelimutuCahaya kekuningan tengah menghiasi langit timur, tapi matahari tak juga menunjukkan diri. Matahari dan kabut tipis di pagi ini seakan sedang bermain-main dengan harapan puluhan pasang yang sedang menanti detik-detik keajaiban pagi dari sang surya. Beberapa detik kemudian... momen itu terjadi. Sepotong cahaya bulat kuning muncul dari balik horison langit timur. Pendaran kuning cahaya matahari berpadu harmoni dengan warna biru hijau danau Kelimutu di depanku. Segelas kopi panas di tangan tertahan diseruput, sepasang bule saling mempererat genggaman tangan dengan senyum merekah, dan seorang jomblo yang duduk terdiam di atas tugu dengan sebotol air ditangannya. Tak lama kemudian kesunyian sesaat ini dipecahkan dengan bunyi klik.. klik.. kamera yang dijepretkan, pertunjukan sesaat telah selesai.


"Matahari pagi adalah keajaiban yang mengingatkan kita bahwa hari ini kita telah diberikan keberkahan satu hari lagi untuk menghirup segarnya udara dan kidung alam yang indah"


Segelas kopi instan panas diserahkan kepadaku oleh seorang bapak tua penjual minuman. Aku menarik kerah jaket lebih tinggi menghindari rasa dingin dari angin yang berhembus. Duduk sebentar setelah beberapa waktu berjongkok menghadap layar kamera di depan pagar untuk memotret, ada kelegaan setiap kali momen seperti ini. Sesuatu yang tak bosan kulakukan berulang kali dimanapun.

Cahaya kuning sesaat mulai berubah lebih terang, bayangan pepohonan yang menghitam sudah berubah menjadi hijau. Bambang dan Adhyt yang sebelumnya bareng aku sudah berjalan entah kemana. Masing-masing kita bercanda dengan benaknya sendiri. Aku sendiri masih sibuk berbagi dengan segelas kopi panas dan kabel shutter yang terhubung di kamera Fuji di atas tripod kecil.

Perjalanan Tengah Malam Buta
Jam setengah dua dini hari aku sudah membangunkan Adhyt dan Bambang, rencana untuk dapat menikmati matahari terbit di Kelimutu tidak boleh gagal. Mereka masih setengah mengantuk sebenarnya, maklum rombonganku baru sampai kemarin. Sekitar jam dua aku sudah meluncur dari Ende ke arah Timur menggunakan mobil mas Tommy. Pemilik hotel Satarmese ini asli baik banget, makanya kalau aku ke Ende selalu nginep di sana. Bukan promo lho, kalian bisa buktikan sendiri kalau kebetulan bermalam di Ende.

Jalan malam hari dari Ende ke Moni memang harus hati-hati karena kondisi jalannya berkelak-kelok menyusuri punggungan bukit. Sebelah kanan didominasi oleh jurang sementara sebagian besar jalan belum ada penerangan jalan yang memadai. Adhyt sendiri sudah njiper (baca: kecut) untuk menyetir dengan kondisi seperti itu di malam hari, plus ini baru pertama kalinya dia ke Kelimutu. Jadi perjanjiannya, untuk berangkat aku yang nyetir sedangkan pulangnya gantian Adhyt yang nyetir.

Dalam perjalanan dari Ende ke Kelimutu ini ada pemandangan unik yaitu di pasar Nduaria yang berada di sepanjang pinggir jalan. Malam itu pasar tentu tutup dan tidak ada yang menjual. Namun mereka membiarkan sayur-sayuran, buah-buahan dan barang-barang jualan lainnya di atas meja terbuka begitu saja. Kok tidak takut diambil orang? Hal itu menggambarkan bahwa di daerah ini masih sangat aman. Kalau di tempat lain, haduh jangan-jangan besok tinggal meja kosong.


Jam setengah empat pagi aku sudah sampai di Moni, tentu saja masih terlalu sepi. Tak lebih dari setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan gerbang masuk Kelimutu. Angin terasa dingin menusuk tulang. Bambang yang lupa tidak membawa jaket tenang saja menggulung badannya dengan selimut yang dia bawa dari hotel.

Ternyata palang pintu masih terpasang dan tak ada petugas, di samping gerbang ada sebuah papan petunjuk yang menjelaskan jika jam buka Danau Kelimutu 05.00 - 17.00 WITA. Fix, kita harus nunggu setengah jam lebih. Untung di samping gerbang ada sabuah warung yang memang buka 24 jam. Dih kebayang kayak apa rasanya buka warung di tempat seperti ini. Lumayan sambil menunggu palang dibuka kami dapat menikmati minum kopi dan mie instan.

Sunrise di Puncak Kelimutu
Beberapa rombongan telah berangkat naik terlebih dahulu mendahuluiku, karena aku masih sholat Subuh dulu di salah satu ruangan kantor yang jagawana yang ada di area parkiran. Bulan Mei memang mulai memasuki musim dingin di Nusa Tenggara Timur, ditambah Kelimutu sendiri berada di ketinggian.

Dalam remang kegelapan kami berjalan masuk ke jalan setapak di dalam yang cukup lebat menuju ke puncak Kelimutu. Saat itu sedang bulan purnama, cahaya bulan yang menyinari balik pepohonan cemara cukup membantu terutama di area yang tidak ada penerangan.

Karena masih gelap, aku memutuskan untuk langsung menuju tugu yang merupakan titik pandang tertinggi untuk bisa melihat ketiga danau dengan leluasa sekaligus merupakan titik terbaik untuk melihat matahari terbit.


Dari pengalamanku selama ini memang yang lebih niat datang pagi-pagi buta untuk melihat matahari terbit biasanya para bule. Wisatawan lokal sering kali datang ke Kelimutu setelah terang. Namun kali ini aku melihat beberapa rombongan yang datang justru turis dari negeri China. Ada rombongan bis segala yang didominasi golongan tua. Ada juga beberapa muda-mudi yang memisahkan diri dari rombongan tua, entah mereka rombongan yang sama atau mereka datang sendiri.

Selain turis dari China, ada pemandangan unik lain saat itu. Danau Kelimutu yang berdiri sendiri yang disebut "Tiwu Ata Mbupu" tidak tampak airnya karena dipenuhi kabut di bagian dalamnya. Ini berbeda dengan kedua danau lainnya: "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan justru cerah tanpa kabut. Tulisan tentang cerita perjalananku ke Kelimutu sebelumnya sudah kutuliskan di sini.

Mampir di Air Terjun Murundao
Aku turun sekitar jam setengah tujuh kurang dan sempat mampir sebentar ke dua danau yang saling berdekatan "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang saat itu berwarna biru tosca dan hijau. Tak lain untuk memenuhi permintaan Adhyt yang ingin melihat lebih dekat kedua danau. Di depan titik pandang yang telah dibangun pembatas itu telah ramai rombongan anak sekolah yang mungkin sedang ada acara Darma Wisata.

Karena hanya makan mie tadi pagi tentu saja kami kelaparan dan memutuskan mencari tempat makan di sekitar Moni. Ternyata tak seperti yang aku bayangkan, nyaris tidak ada tempat makan yang sudah buka sepagi ini. Untunglah setelah menyusuri kawasan Moni akhirnya menemukan sebuah tempat makan yang letaknya dekat dengans sebuah air terjun. Namanya air terjun Murundao. Dari pinggir jalan ada jalan turun sekitar seratus meteran tangga menurun sudah akan melihat air terjun itu. Pemandangannya? Yah so-so gitulah. Lagian kalau ada pemandangan air terjun sebagus itu di pinggir jalan besar pasti sudah ramai dikunjungi orang dari dulu.


Tips-tips untuk yang ingin ke Danau Kelimutu:
  1. Patuhi larangan-larangan yang ada di kawasan Danau Kelimutu seperti dilarang membuang sampah, dilarang mengambil pohon-pohon yang dilindungi, dilarang berdiri di luar pagar (terutama yang ada di dekat dua danau berdekatan).
  2. Jika ingin melihat matahari terbit disarankan menginap di daerah Moni. Namun jika menginap di Ende, usahakan sudah berangkat sebelum jam 3 pagi karena jalur Ende-Kelimutu merupakan jalan Trans Flores yang seringkali dilewati truk-truk besar.
  3. Bawa senter, karena jalur perjalanan menuju puncak Kelimutu melewati hutan yang penerangannya kurang memadai. Mungkin sekarang bawa hape sudah bisa menggantikan senter, tapi lebih nyaman jika menggunakan senter tersendiri.
  4. Bawa pakaian hangat termasuk jaket karena Danau Kelimutu berada di ketinggian yang tentu saja udaranya dingin. Apalagi saat naik ke atas saat pagi buta tentu akan terasa lebih dingin. Akan lebih bagus jika memakai topi yang bisa menutup telinga, kaos tangan dan kaos kaki.
  5. Jika perjalanan bersama teman, pertimbangan waktu yang dibutuhkan untuk naik. Walaupun jalur perjalanan ke atas Kelimutu tidak terlalu sulit mungkin beberapa orang akan merasa kecapean terutama saat menaiki anak tangga menuju tugu tertinggi.
Teman perjalanan kali ini: Adhyt dan Bambang

Kamis, 12 September 2019

Singgah ke Sade

Gerbang masuk Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

"Terimakasih atas kunjungannya!", ucap Pak Mesah usai mengantar kami keliling dusun. Aku bergegas menuju Bandar udara untuk kembali ke Jakarta.

Mengunjungi Lombok rasanya tidak lengkap bila tidak ke Dusun Sade. Sade adalah salah satu Dusun di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Berlokasi di pinggir jalan raya yang hanya berjarak 13 km atau sekitar 30 menit ke arah Bandar Udara Praya. Dusun ini masih mempertahankan Adat Suku Sasak. Mereka memegang teguh tradisi sejak pemerintahan Kerajaan Pejanggik di Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Diperkirakan dusun ini ada sejak tahun 1907, dihuni kurang lebih 150 kepala keluarga dan telah 15 generasi berlangsung.


Rumha Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Setelah mengisi buku tamu, kami diajak keliling dusun mengunjungi salah satu rumah penduduk. Bangunan rumah mirip dengan Joglo, rumah Adat Khas Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Rumah adat ini bernama Dalam Bale Tani.Rumah perpaduan bilik dinding bambu dan pintu dari kayu yang menyangga rumah. Pintunya terlihat pendek dan kecil. Menurut penuturannya, ketika kita masuk rumah dengan menundukkan kepala untuk menghormati tuan rumah. 


Dalam rumah di Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Ruangan depan/ Bale Luar sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur laki-laki. Bale dalam diperuntukkan sebagai tempat tidur perempuan dan juga tempat melahirkan. Menuju Bale dalam kita akan menaiki tiga anak tangga yang mencerminkan tahapan-tahapan kehidupan. Tangga pertama, kelahiran. Tangga kedua, berkembang sebagai manusia. Tangga ketiga, tahap akhir atau kematian.

Atapnya terbuat dari alang-alang kering yang tersusun padat dan rapi. Tiap lima atau limabelas tahun sekali alang-alang keringnya diganti. Lantai dari tanah liat. Seminggu sekali lantai tanah dibersihkan dengan kotoran kerbau sebagai upaya mencegah nyamuk/serangga dan menjaga rumah agar tetap hangat.

Berpose Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

Masjid yang bersedia hanya digunakan untuk tiga waktu sholat, karena penduduk Dusun Sade menganut "wetu tilu". Ada delapan bentuk bangunan di dusun ini, yaitu Bale Tani, Jajar Sekeran, Benter, Beleq, Berugak, Tajuk, Bencingah, Lumbung.


Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara BaratLumbung padi berbentuk lengkung terbuat dari kayu atau anyaman bambu. Disangga tiang kayu beratap alang-alang. Ada jendela kecil diatas yang berfungsi sebagai pintu masuk lumbung. Lumbung terbagi menjadi dua bagian. Bagian Atas tempat penyimpanan padi/gabah. Bagian bawah sebagai bale tempat duduk dan berkumpul. Lumbung padi hanya boleh dimasuki oleh orang yang telah kawin, menikah. 

Di kanan-kiri jalan setapak berjajar rumah-rumah penduduk yang juga menjual bermacam cenderamata, kerajinan khas Lombok, berupa kain tenun, syal, ikat kepala, topi anyaman, gelang, kalung dengan warna-warna yang cerah. Ibu-ibu sibuk menenun benang-benang agar menjadi kain.

Sejak usia sembilan tahun seorang gadis harus belajar menenun. Seorang gadis tidak boleh menikah kalau tidak bisa menenun, karena hasil tenunannya akan diberikan kepada suaminya kelak. Di sudut jalan depan rumah, tampak seorang nenek sedang menumbuk biji-biji kopi dengan alu. Hhmm harum wangi kopi menyegarkan. Aku jadi ingin membeli kopi khas Sasak ini.

Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Salah satu keunikkan Dusun Sade yaitu tradisi kawin culik. Kawin culik adalah tradisi pernikahan yang dilakukan pihak laki-laki dengan menculik perempuan calon istrinya tanpa sepengetahuan keluarga pihak perempuan. Setelah pihak laki-laki mengungkapkan isi hatinya kepada keluarga pihak perempuan, maka diadakan pernikahan dengan membawa calon pengantin perempuan kembali ke rumahnya.

Prosesi arak-arakkan pengantin disebut "Nyongkolan". Setelah acara Nyongkolan mereka akan menempati sebuah rumah kecil yang disebut Bale kodong sebagai tempat bulan madu. Kebetulan aku sempat melihat acara Adat Nyongkolan di jalan arah ke Sukarara. Wah meriah banget!

"Ini adalah pohon janji!" ujar Pak Mesah sambil menunjukkan sebuah pohon yang meranggas dan hanya tersisa batang, cabang ranting tanpa dedaunan. Biasanya pohon ini digunakan sepasang kekasih yang berjanji bertemu saat tradisi kawin culik. So sweet, aku rela diculik aahhaayyy!

Foto dan tulisan oleh Arum Mangkudisastro