Kami celingukan di depan gerbang masuk Benteng Makes yang lebih dikenal dengan nama Benteng Lapis Tujuh. Sebuah bangunan yang berdiri di samping sebuah tiang dikitari pagar batu tampak kosong tak terurus, entah karena hari ini Minggu atau memang sudah tidak dipakai. Katanya untuk masuk ke dalam harus bersama penjaga yang akan melakukan ritual supaya kita diijinkan masuk.
"I believe that imagination is stronger than knowledge. That myth is more potent than history. That dreams are more powerful than facts. That hope always triumphs over experience. That laughter is the only cure for grief. And I believe that love is stronger than death." --- Robert Fulghum
Katanya, untuk memasuki benteng sampai ke pagar ke-tujuh yang disebut dengan Saran Mot ini, harus didahului dengan upacara adat yaitu meminta izin untuk membuka jalan menuju Saran. Ritual adat ini dilakukan oleh Tisi Antak Ne’an (kepala suku setempat). Ada lima tempat yang harus dilewati sambil membuat upacara adat untuk membuka jalan atau pintu menuju Saran Mot. Kalau niatnya berkunjung atau sekedar jalan-jalan menuju Saran, syaratnya bisa dengan beras yang dihambur – hamburkan sedikit demi sedikit di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh kepala – kepala suku, kemudian meletakkan sirih pinang dan uang kertas. Lain halnya kalau mau melakukan suatu upacara adat dalam Saran Mot itu sendiri, syaratnya adalah harus membawa beras, uang kertas, ayam jantan warna apa saja, tetapi khusus pintu terakhir masuk Saran harus ayam jantan warna merah dan sirih pinang.
Setelah beberapa saat bimbang, akhirnya kami masuk ke dalam setelah meletakkan beberapa uang koin dan sebatang rokok di samping pagar batu. Tentu saja dengan niat baik sekedar berkunjung. Lagian aku gak mungkin tebar-tebar beras, karena bisanya tebar-tebar mie instan hehehe.
Begitu masuk pagar batu pertama kami harus berjalan menyusuri pinggir untuk menemukan pintu pagar kedua, lalu setelah masuk pintu kedua kembali menyusuri gerbang kedua untuk menemukan pintu ketiga dan seterusnya. Hal ini disebabkan benteng memiliki lapisan-lapisan pagar dengan pintu yang tidak langsung. Entah mengapa dibuat seperti itu, kemungkinan itu adalah strategi supaya jika musuh masuk ke dalam tidak langsung bisa menjangkau pusat benteng sekaligus membingungkan musuh. Hanya perkiraanku saja.
Benteng Makes berada di bukit Makes yang masuk dalam wilayah Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ketinggian sekitar 1200 Mdpl. Jarak dari Kota Atambua menuju Desa Dirun kurang lebih 40 km, dengan waktu perjalanan ± 1,5 jam. Benteng ini berada satu wilayah yang sebut dengan Fulan Fehan, sebuha padang sabana yang telah berkembang menjadi objek wisata alam. Tempat ini sudah dikenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan Indonesia dan asing. Biasanya ramai kunjungan pada saat musim liburan. Bukit Makes dan padang sabana Fulan Fehan masuk ke dalam zona Hutan Milik Negara.
Cerita Singkat Benteng Lapis Tujuh
Benteng ini sebenarnya bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis Tujuh, karena berada di atas bukit Makes maka sering disebut dengan Benteng Makes. Benteng ini adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu, benteng perang yang pada saat itu di pulau Timor masih sering terjadi perang antar suku.
Menurut cerita masyarakat setempat Benteng Ranu Hitu/Makes sudah ada sebelum penguasaan Portugis dan beberapa kali berpindah tangan sampai akhirnya dijaga oleh tiga pahlawan lokal dari 3 suku yaitu suku Loos, suku Sri Gatal, dan suku Monesogo. Benteng ini dulu merupakan tempat para Meo, atau pemimpin perang. Di dalam benteng inilah tempat mereka mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong tubuh mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh sebelum maju ke medan perang.
Ada sebuah tradisi yang masih berlanjut dari Suku Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Suku Uma Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu. Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat berada di tempat ini.
Seperti apa Benteng Tujuh Lapis
- Seperti yang aku ceritakan di awal, benteng ini dibangun dari batu-batu yang disusun membentuk pagar dengan jumlah tujuh lapis pertahanan. Batu-batu yang disusun hanya diletakkan tanpa menggunakan semen atau bahan pengikat lain. Sampai saat ini bangunan ini masih kuat, pada musim hujan biasanya lebih berlumut namun mengering saat musim kemarau.
- Setiap lapisan pagar memiliki pintu letaknya yang tidak berada sebaris. Jadi untuk menuju ke pintu harus berjalan menyusuri gerbang lapis pertama sampai menemukan pintu kedua dan seterusnya.
- Di bagian pusat atau Saran Mot terdapat sebuah meriam tua yang diletakkan di depan pintu Saran Mot. Meriam tua itu katanya adalah peninggalan dari bangsa Portugis.
- Ada cerita yang mengatakan tentang Saran Mot, walaupun diameter lingkarannya tidak lebih dari 10 m, konon apabila melakukan upacara ritual adat dalam lingkaran kecil ini, walaupun ditempati lebih dari 500 sampai 1000 orang, akan tetap muat dalam lingkaran ini. Bagian ini cuma katanya lho ya, aku sendiri belum pernah membuktikannya.