Halaman

Minggu, 17 Maret 2019

Benteng Tujuh Lapis di Fulan Fehan

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis

Kami celingukan di depan gerbang masuk Benteng Makes yang lebih dikenal dengan nama Benteng Lapis Tujuh. Sebuah bangunan yang berdiri di samping sebuah tiang dikitari pagar batu tampak kosong tak terurus, entah karena hari ini Minggu atau memang sudah tidak dipakai. Katanya untuk masuk ke dalam harus bersama penjaga yang akan melakukan ritual supaya kita diijinkan masuk.

"I believe that imagination is stronger than knowledge. That myth is more potent than history. That dreams are more powerful than facts. That hope always triumphs over experience. That laughter is the only cure for grief. And I believe that love is stronger than death." --- Robert Fulghum

Katanya, untuk memasuki benteng sampai ke pagar ke-tujuh yang disebut dengan Saran Mot ini, harus didahului dengan upacara adat yaitu meminta izin untuk membuka jalan menuju Saran. Ritual adat ini dilakukan oleh Tisi Antak Ne’an (kepala suku setempat). Ada lima tempat yang harus dilewati sambil membuat upacara adat untuk membuka jalan atau pintu menuju Saran Mot. Kalau niatnya berkunjung atau sekedar jalan-jalan menuju Saran, syaratnya bisa dengan beras yang dihambur – hamburkan sedikit demi sedikit di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh kepala – kepala suku, kemudian meletakkan sirih pinang dan uang kertas. Lain halnya kalau mau melakukan suatu upacara adat dalam Saran Mot itu sendiri, syaratnya adalah harus membawa beras, uang kertas, ayam jantan warna apa saja, tetapi khusus pintu terakhir masuk Saran harus ayam jantan warna merah dan sirih pinang.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Setelah beberapa saat bimbang, akhirnya kami masuk ke dalam setelah meletakkan beberapa uang koin dan sebatang rokok di samping pagar batu. Tentu saja dengan niat baik sekedar berkunjung. Lagian aku gak mungkin tebar-tebar beras, karena bisanya tebar-tebar mie instan hehehe.

Begitu masuk pagar batu pertama kami harus berjalan menyusuri pinggir untuk menemukan pintu pagar kedua, lalu setelah masuk pintu kedua kembali menyusuri gerbang kedua untuk menemukan pintu ketiga dan seterusnya. Hal ini disebabkan benteng memiliki lapisan-lapisan pagar dengan pintu yang tidak langsung. Entah mengapa dibuat seperti itu, kemungkinan itu adalah strategi supaya jika musuh masuk ke dalam tidak langsung bisa menjangkau pusat benteng sekaligus membingungkan musuh. Hanya perkiraanku saja.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Benteng Makes berada di bukit Makes yang masuk dalam wilayah Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ketinggian sekitar 1200 Mdpl. Jarak dari Kota Atambua menuju Desa Dirun kurang lebih 40 km, dengan waktu perjalanan ± 1,5 jam. Benteng ini berada satu wilayah yang sebut dengan Fulan Fehan, sebuha padang sabana yang telah berkembang menjadi objek wisata alam. Tempat ini sudah dikenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan Indonesia dan asing. Biasanya ramai kunjungan pada saat musim liburan. Bukit Makes dan padang sabana Fulan Fehan masuk ke dalam zona Hutan Milik Negara.

Cerita Singkat Benteng Lapis Tujuh
Benteng ini sebenarnya bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis Tujuh, karena berada di atas bukit Makes maka sering disebut dengan Benteng Makes. Benteng ini adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu, benteng perang yang pada saat itu di pulau Timor masih sering terjadi perang antar suku.

Menurut cerita masyarakat setempat Benteng Ranu Hitu/Makes sudah ada sebelum penguasaan Portugis dan beberapa kali berpindah tangan sampai akhirnya dijaga oleh tiga pahlawan lokal dari 3 suku yaitu suku Loos, suku Sri Gatal, dan suku Monesogo. Benteng ini dulu merupakan tempat para Meo, atau pemimpin perang. Di dalam benteng inilah tempat mereka mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong tubuh mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh sebelum maju ke medan perang.

Ada sebuah tradisi yang masih berlanjut dari Suku Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Suku Uma Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu. Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat berada di tempat ini.


Seperti apa Benteng Tujuh Lapis
  1. Seperti yang aku ceritakan di awal, benteng ini dibangun dari batu-batu yang disusun membentuk pagar dengan jumlah tujuh lapis pertahanan. Batu-batu yang disusun hanya diletakkan tanpa menggunakan semen atau bahan pengikat lain. Sampai saat ini bangunan ini masih kuat, pada musim hujan biasanya lebih berlumut namun mengering saat musim kemarau.
  2. Setiap lapisan pagar memiliki pintu letaknya yang tidak berada sebaris. Jadi untuk menuju ke pintu harus berjalan menyusuri gerbang lapis pertama sampai menemukan pintu kedua dan seterusnya.
  3. Di bagian pusat atau Saran Mot terdapat sebuah meriam tua yang diletakkan di depan pintu Saran Mot. Meriam tua itu katanya adalah peninggalan dari bangsa Portugis.
  4. Ada cerita yang mengatakan tentang Saran Mot, walaupun diameter lingkarannya tidak lebih dari 10 m, konon apabila melakukan upacara ritual adat dalam lingkaran kecil ini, walaupun ditempati lebih dari 500 sampai 1000 orang, akan tetap muat dalam lingkaran ini. Bagian ini cuma katanya lho ya, aku sendiri belum pernah membuktikannya.
Beberapa sumber tulisan yang aku gunakan untuk menulis ini:
  1. http://lopezdedhe22blee.weebly.com/benteng-makes.html
  2. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/situs-benteng-ranu-hitu-makes-desa-dirun-kecamatan-lakmanen-kabupaten-belu-provinsi-nusa-tenggara-timur

Selasa, 12 Maret 2019

Menyusuri Jejak Pangeran Diponegoro

Lukisan di museum/monumen Diponegoro
Sunyi dan sepi kesan pertama ketika aku dan keponakanku, Sekar memasuki komplek museum ini. Museum Sasana Wiratama atau lebih dikenal sebagai Monumen Diponegoro. Berlokasi di Jl. H.O.S Cokroaminoto TR III/430, Tegalrejo, Yogyakarta. Di depan gerbang gedung diletakkan patung tokoh pahlawan nasional, Jendral Oerip Soemohardjo dan Jendral Soedirman. 

Setelah aku melewati gerbang terlihat sebuah bangunan yang dindingnya terdapat  relief pertempuran Pangeran Diponegoro dan Belanda. Di depan gedung terdapat canon meriam.  Gedung inilah yang disebut Museum Monumen Diponegoro. Setelah aku mengisi buku tamu, kami memasuki ruangan tempat koleksi museum terpajang.

Menapaki selasar melihat display sisi kanan beberapa koleksi senjata perang berupa bedil senapan, pedang, perisai. Sebuah kereta kepangeranan di letakkan di tengah ruangan bersama seperangkat alat musik gamelan peninggalan Sultan Hamengkubuwono II dan patung Loroblonyo. Dibawahnya ada display senjata Kujang, Patrem (keris kecil), Candrasa, senjata berupa tusuk konde telik sandi (mata-mata) perempuan, batu akik/batu permata, koin kuno. Foto-foto Goa Selarong, Alibasyah Sentot Pawirodirjo, Kyai Mojo juga terpajang disini.

Paling ujung kiri ruangan diletakkan lukisan ilustrasi serangan Belanda di rumah Tegalrejo. Di sisi kiri display senjata tombak, sangkur, trisula, golok, pedang, beberapa keris yang berwarangka dan tidak berwarangka. Beberapa peninggalan rumah Tegalrejo yang terdiri dari tempat sirih, kecohan tempat ludah setelah menyirih, kacip alat pembelah pinang, cangkir, alat dupa ratus, kendi, vas bunga, bokor dan Dakon atau Congklak terbuat dari kayu berbentuk ular naga (alat permainan tradisional untuk anak-anak dengan mengisi cangkang kerang/keong laut dilubang kayu). Sekar wajahnya serius memperhatikan benda-benda peninggalan rumah Tegalrejo. Disebelahnya display senjata-senjata seperti keris, tombak, patrem. Ketika di bagian display senjata-senjata itu, aku mencium bau harum bunga. Padahal tidak ada bunga atau pengharum ruangan disini. Aku mencari-cari asal bau wangi itu tapi tak kutemukan. 

Aku bergegas ke bagian belakang komplek museum ini.  Di sisi kiri lokasi tembok jebol berada. Pangeran Diponegoro menendang dan kudanya menyepak tembok tersebut hingga jebol untuk melarikan diri dari kepungan Belanda. Ketika aku berada di lokasi tembok jebol, lagi-lagi aku mencium bau harum bunga. Bau wangi ini dari manakah asalnya?

Dari lokasi tembok jebol aku menuju pendopo. Di depan pendopo ada Padasan, tempat wudhu keluarga. Di samping pendopo ada Batu Comboran, tempat makan kuda-kuda yang terbuat dari batu. Dalam Pendopo ada dua lukisan Pangeran Diponegoro mengapit prasasti yang ditandatangani Mayjen Surono. Satu lukisan pangeran dengan kudanya dan satu lukisan koyak pada bagian wajah pangeran.  Aku melihat ada panggung tempat pelaminan pengantin, kursi-kursi lipat di sini. Sangat disayangkan bila Pendopo saat ini digunakan sebagai function hall yang disewakan untuk acara pernikahan. Aku takut bila situs sejarah ini menjadi rusak. Ketika aku sibuk memotret, tiba-tiba Sekar mengambil sapu yang tersandar di tiang Pendopo. Seperti di rumah sendiri, bocah perempuan itu tampak rajin membersihkan lantai Pendopo hehehe. Biarpun baru pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi aku merasa familiar alias tidak asing berada di sini. Hhmmm sebuah perasaan yang aneh. 

Pangeran Diponegoro adalah putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III, Raja Yogyakarta. Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar pada tanggal 11 Nopember 1785. Setelah menikah berganti nama menjadi Bendara Raden Mas Antawirya/Ontowiryo. Ketika ayahandanya menjadi raja, beliau berganti nama menjadi Pangeran Dipanagara/Diponegoro. Sang Pangeran memiliki sembilan istri. Salah satunya bernama Ratnaningsih yang setia menemani hingga akhir hayat. Selain perempuan Jawa, pangeran juga menikahi perempuan yang berasal dari Wajo bernama Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husein (bernasab dengan Husein Jalaludin Akbar sampai Fathimah Azzahra binti Muhammad SAW) yang dinikahinya selama menjalani pengasingan di Makassar.

Di rumah inilah awal Perang Jawa/ Perang Diponegoro bermula tepatnya tahun 1825. Dimulai dengan serangan pihak Belanda ke kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo sebagai reaksi karena pangeran membuang patok-patok untuk membuat jalan oleh Belanda yang kebetulan melewati tanah milik pangeran. Pangeran Diponegoro bersama keluarga besarnya melarikan diri dari rumah yang telah terkepung dengan menjebol tembok pagar samping rumah. Mengetahui Pangeran telah pergi, pihak  Belanda geram dan membakar rumah pangeran. Perang selama lima tahun yang membuat banyak kerugian di pihak Belanda. Pada tahun 1830 dengan taktik licik Belanda mengajak Pangeran Diponegoro berunding di Magelang, tetapi kemudian menangkapnya dan mengasingkannya ke Manado dan Makassar. Beliau pun wafat dalam pengasingan di Makassar 8 Januari tahun 1855.

Ketertarikan aku dengan kisah Pangeran Diponegoro berawal dari mimpi yang aku alami berturut-turut saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Saat aku tinggal bersama orang tua menempati rumah peninggalan mbah buyut di Purworejo, Jawa Tengah. Dalam mimpi itu beberapa orang berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kain hitam, berbadan tegap, gagah dengan kumis tipis layaknya pendekar silat datang menghampiriku. Mereka mengucap "Assalamualaikum!" dengan membungkukkan badannya padaku sambil memberi hormat. Mereka pun mengatakan beberapa hal yang tidak kumengerti. Setelah itu mereka pamit, mengucap salam dan membungkukkan badannya lagi, kemudian menghilang dari pandanganku. Dan esok malamnya mimpi itu terulang kembali. Siapakah mereka? Lalu siapakah aku? Pertanyaan demi pertanyaan menghantui pikiranku. 

Di malam-malam tertentu aku kadang mendengar suara derap langkah pasukan yang berbaris layaknya defile pasukan diselingi suara ringkik kuda dan gemerincing senjata logam seperti persiapan upacara atau hendak pergi berperang. Suara itu kadang samar terdengar bersama angin malam dari arah persawahan yang terletak di depan rumah. Waktu aku ceritakan mimpiku dan pendengaranku di malam hari itu kepada Mbah, beliau hanya bilang mungkin itu adalah Pasukan Pangeran Diponegoro yang makamnya ada dibelakang rumahku. Ternyata residual energy perang masih tersisa di sini.


Sejak itulah aku mulai mencari tahu kisah tentang Pangeran Diponegoro dan Pasukannya. Dimulai dengan membeli Buku Strategi menjinakkan Diponegoro karya Saleh A. Djamhari. Aku pun mengunjungi Benteng Rotterdam dan sempat ziarah ke makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan. Entah mengapa aku menangis terharu saat mengunjungi makamnya. Mungkinkah aku sebagai pembawa pesan dari pasukan itu kepada Pangeran Diponegoro sebagai salam terakhir? 

Foto dan tulisan oleh: Arum Mangkudisastro

jalan-jalan ga pake ribet klik aja http://befreetour.com/id?reff=X3KRF