Halaman

Sabtu, 17 November 2018

Kabut Pagi Danau Situ Gunung


Menunggu matahari terbit bagaikan menunggu anggukan seorang gadis yang sedang dipinang. Yakin kalau si gadis tidak akan menolak tapi tetap saja rasanya deg-degan. Ah tidak persis seperti itu sebenarnya, hanya saja ada perasaan kuatir bahwa hari ini pemandangannya tidak seperti yang aku harapkan. Ini hari kedua aku kembali pagi-pagi ke danau Situ Gunung, setelah hari sebelumnya aku gagal mendapatkan gambar danau Situ Gunung yang menawan. Namun saat cahaya pagi muncul dari balik pepohonan dan bersambut dengan kabut pagi yang naik dari air danau, Uereka!! Aku mendapatkan pemandangan yang sungguh tak pernah terlupakan. Tidak sia-sia aku kembali lagi ke danau ini esok harinya.

Danau Situ Gunung yang terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memang sudah terkenal di kalangan fotografer lansdskap. Suasana pagi berkabut dan sinar mataharinya selalu menghasilkan gambar-gambar yang dramatis. Walaupun memiliki pesona alam yang ciamik, namun sebenarnya Danau Situ Gunung ini bukanlah danau alam namun danau buatan.

Menurut cerita. Danau Situ Gunung ini dibuat oleh seorang buronan saat Belanda berkuasa yang dikenal dengan nama Mbah Jalun atau Rangga Jagad Syahadana. Mbah Jalun ini konon adalah seorang bangsawan Mataram yang menentang Belanda. Beliau melarikan diri bersama istrinya dari Mataram menembus jalur Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang akhirnya membawa mereka sampai di sebuah lembah.

Lembah yang dialiri air yang sangat jernih ini dijadikan tempat tinggal sekaligus persembunyian Mbah Jalun dan istrinya sampai mereka mempunyai seorang anak. Mbah Jalun kemudian membuat sebuah danau kecil sebagai wujud syukur atas kelahiran anaknya. Danau ini diberi nama Situ Gunung yang mempunyai arti danau yang ada di sebuah pegunungan.

Menuju Sukabumi
Danau Situ Gunung, nama itulah yang terpatri di kepalaku saat aku memperpanjang waktu penugasanku dengan menambah cuti dua hari. Keindahan danau Situ Gunung yang bertebaran di hasil pencarian Google membuatku semakin bersemangat, walau kali ini aku harus melakukan perjalanan sendiri.

Dari Ciawi, aku naik kendaraan Elf yang biasa nongkrong di pertigaan Ciawi ke arah Sukabumi yang melalui jalur Caringin-Cigombong-Cibadak dan turun di Cisaat. Keuntungan naik Elf ini salah satunya lebih cepat, karena rata-rata supirnya agak berani mengambil jalan begitu ada kesempatan. Yah sedikit terkesan ugal-ugalan. Masalahnya karena jalur Bogor-Sukabumi ini bisa menjadi macet parah menjelang sore. Asal kalian kuat mental dan sudah siap apapun yang terjadi. Jalur Bogor-Sukabumi yang jalannya tidak terlalu lebar dan banyak titik berbahaya bisa dilahap sampai mepet jurang dengan santainya.

Sesampai di pertigaan Cisaat, aku turun untuk mencari makan. Karena sudah terlalu sore akhirnya aku memutuskan untuk mencari penginapan. Aku naik ojek ke arah jalur Kadudampit untuk mencari penginapan di sana. Banyak hotel/penginapan di sekitar tempat itu antara 100-150ribu. Jangan mencari hotel atau penginapan di sekitaran kawasan wisata Situ Gunung karena harganya cenderung lebih mahal. Hasil tanya-tanya ojek akhirnya aku diantarkan untuk menginap di Wisma Panineungan.

Hari Pertama Situ Gunung
Jam setengah lima pagi, langit masih gelap gulita. Bayangan pohon Damar (Agathis Alba) yang tinggi menjulang di sepanjang jalan bagai raksasa hitam penjaga danau. Lutung-lutung yang biasa berloncatan di pohon Damar pun belum memulai aktivitasnya. Jalan yang meliuk turun makin terasa gelap oleh rerimbunan pohon. Sangat sepi, bahkan langkah kaki pun terdengar jelas saat menjejak tanah kering yang berdebu. Hanya ada satu motor yang lewat di depanku yang membuat aku menepi sebentar. Tanah yang kering dan tidak tersiram air hujan beberapa lama membuat roda motor dengan mudah menerbangkan debu ke udara.

Sesampainya di tepi danau mataku disambut serombongan muda mudi yang sedang memasang tenda dan tikar di dekat danau. Sambil bermain gitar dan bernyanyi, suara mereka menjadi pengisi alam yang masih tidur. Katanya mereka rombongan yang langsung datang pakai motor jam 2 malam dari Bekasi. Setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka, aku pamit menuju ke arah bangunan yang persis berdiri di depan danau. Aku tak ingin mengganggu pasangan muda-mudi itu, toh aku juga tak punya kepentingan dengan mereka.

Sambil merapatkan jaket untuk menepis dingin, aku mencoba berjalan-jalan di seputar danau untuk menghangatkan badan. Danau masih tampak hitam, ah aku rupanya salah waktu. Seharusnya aku tak sepagi ini di danau yang berada di ketinggian. Matahari tidak mungkin terbit pagi karena pasti terhalang perbukitan di sekitarnya.

Hari pertama ternyata tidak sesuai dengan dugaanku, cuaca yang sangat cerah membuat danau tidak diselimuti kabut sedikitpun. Pandangan yang jelas seperti ini memang enak buat dinikmati namun tidak menciptakan momen pencahayaan yang dramatis. Akhirnya aku banyak berjalan-jalan berkeliling di sekitar. Beberapa anak kecil yang kemungkinan anak kampung sekitar sedang mencari udah menggunakan jaring kecil yang dibuat terbuka dengan melengkungkan dua buah bambu yang diikat di tiap ujung jaring.

Dari pinggir danau, aku mencoba masuk lebih dalam kebalik rerimbunan pepohonan. Di dalam rerimbunan pepohonan itu aku baru tahu jika ada sekumpulan rumah-rumah yang sudah rusak terbengkalai. Malahan dari beberapa rumah yang rusaknya parah ada pohon yag tumbuh menerobos tembok yang sudah terbelah.. Kemungkinan besar dulu ini adalah tempat penginapan yang dibuat oleh pengelola langsung dekat dengan danau. Entah alasan apa sehingga rumah penginapan ini tidak laku, padahal di sekitar kawasan ini mulai dibangun hotel dan penginapan baru. Mestinya penginapan yang dekat danau justru lebih laku. Entah kalau justru lebih horror hiiiii...

Aku menerobos bekas jalan yang sudah mulai ditumbuhi tumbuhan di kiri kanan sampai bertemu jalan setapak lain. Yakin kalau ini jalan satu-satunya dan tidak mungkin tersesat aku terus berjalan menyusuri jalan tanah. Semakin ke dalam aku masuk, suasana jalan semakin redup karena tertutupi oleh pepohonan. Aku ikuti terus hingga akhirnya selepas beberapa puluh meter melewati sebuah jembatan kecil, aku sampai diujung jalan.. dan sebuah air terjun kecil.

Curug Cimanaracun, sebuah curug yang airnya mengalir kecil. Sepertinya curug ini sangat mengandalkan curah hujan. Sangat mungkin pada saat musim hujan air yang jatuh di curug ini sangat melimpah dan menarik untuk dinikmati. Tapi tentu saja ada konsekuensi lain, di sepanjang jalan menuju ke Curug ini akan banyak lintah yang bertebaran.

Hari Kedua Situ Gunung
Pagi pertama di Danau Situ Gunung bisa dibilang aku gagal mendapatkan suasana pagi yang terkenal itu sehingga aku memutuskan menambah satu hari untuk kembali ke danau ini.

Pagi-pagi jam lima aku sudah keluar dari hotel, hawa hari kedua ternyata tidak sedingin hari pertama. Kali ini aku mendapatkan sebuah angkot yang bersedia mengantarkan naik sampai ke pintu gerbang Kawasan Wisata. Lumayan cukup membayar 5ribu rupiah saja. Setelah membayar tiket masuk, aku kembali memilih berjalan kaki menuju ke danau Situ Gunung. Bagi yang tidak kuat berjalan kaki, ada pilihan untuk menggunakan jasa ojek yang akan mengantar dari pintu masuk sampai ke tepi danau. Tapi itu jelas bukan pilihanku, menukar berjalan kaki dengan naik ojek sungguh rugi.

Beruntung di hari kedua ini, tampaknya suasana danau telah berpihak kepadaku. Tampak kabut pagi yang menyelimuti hutan di sekitar danau. Sementara tukang perahu sudah banyak yang mulai menunggu di tepi kolam berharap ada wisatawan yang akan menggunakan jasa mereka. Ada tiga jenis perahu yang mereka sewakan: petahu biasa, rakit bambu, dan perahu fiber berbentuk bebek-bebekan.

Mungkin karena hari ini Minggu sehingga jumlah pengunjung jauh lebih banyak daripada hari kemarin. Waktu yang banyak aku hindari di tempat wisata seperti ini. Sayangnya walaupun pengunjung lebih ramai tapi tidak ada satupun yang menyewa perahu.

Adakah momen wanita cantik tinggi semampai bergaun merah panjang dengan belahan sampai ke pangkal paha dan sebuah payung yang warnanya senada sedang naik rakit sendiri dengan latar suasana magis Danau Situ Gunung? Aku tepok jidat sambil tertawa.. tentu saja momen seperti itu tidak akan ada. Momen seperti itu pastilah hasil foto konsep.. menunggu momen seperti itu rasanya seperti menunggu keajaiban.. atau kecelakaan..

Semakin lama semakin ramai pengunjung yang datang sehingga aku memutuskan kembali, toh momen cahaya pagi telah lewat. Untungnya tempat-tempat wisata umumnya tidak terlalu ramai saat pagi bahkan di hari Minggu sekalipun, karena memang tidak mudah orang untuk rela bangun pagi hanya demi mendapatkan secarik momen cahaya pagi. Bahkan oleh orang-orang yang menginap di sekitar tempat ini sekalipun.

8 komentar:

  1. Balasan
    1. Lho padahal aku sedang sendirian.... hahahaha.. eh suasananya ya #jadisalting

      Hapus
  2. Wah, foto-fotonya keren. Kayaknya seru nih ke sini. Terus di artikel ini dijelaskan pula cara ke situ gunung pakai kendaraan umum. Catet dulu, ah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di Jawa mah kendaraan umum malah bisa jadi sarana yang efektif untuk berkunjung ke banyak tempat wisata terutama karena kepadatan jalan yang bikin capek lahir batin kalau pake kendaraan sendiri.

      Hapus
  3. Fotonya menggambarkan suasananya hahaha kalau ke sini bareng seseorang seruuuuu kali yaaaa Bang Bahtiar ... sayang abangnya jalan sendiri #eh *dikeplak sapu* qiqiqiqi. Becandaaaa ... btw nice trip.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho aku udah tunggu lama di pinggir danau mbak Tuteh gak datang-datang.. kasiean tukang perahunya nunggu sampe ketiduran eh ternyata emang kita gak janjian ya hihihihi

      Hapus
    2. Yaaaaah japri donk Bang ... japri :p qiqiqiqiq.

      Hapus
    3. Aih beta su japri lama pake kentongan #japrigayalama

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!