Halaman

Kamis, 18 Januari 2018

Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu

Danau Oemenu I yang airnya berwarna gelap
Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini , batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini . Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Rencana Nenda di Snaituka
Sore sekitar jam lima sore, kami bertiga baru masuk ke gerbang wisata Pantai Puru. Jalan dari desa Puru ke pantai ini yang paling memakan waktu. Tanah putih berdebu yang sudah tidak rata membuat motor tidak dapat dipacu. Jam lima namun cuaca masih terasa panas, maklum bulan Oktober seperti ini memang Kupang lagi panas-panasnya.

Pantai Snaituka rencana kami menginap
"Wah, pak Imam..." sapa ramah seorang pria berbadan gempal yang bertugas menjaga tempat ini sambil menyalamiku, "Eh, ada mbak Adis juga" senyumnya makin terbuka lebar saat mengetahui Adis juga datang.
"Mau nginep pak hari ini?" tanyanya. Namanya Pak Frengki, pria ramah ini memang sudah kami kenal lama, hanya Obet yang belum kenal dia karena memang baru sekali ini kesini.
"Iya, sudah sepi ya pak?" tanyaku sambil memandang sekeliling. Jika sudah terlalu sore seperti ini, sebagian besar pengunjung sudah kembali sehingga pantai Etiko'u tampak sepi.
"Iya biasa kalau hari begini. Nginap di tempat biasa kan pak," tanya pak Franki sambil menunjuk lopo yang biasa aku gunakan untuk menginap jika kesini.
"Mau ke pantai sebelah saja pak, bisa kan?"
"Bisa, tapi saya gak bisa temani. Ada acara malam ini."
"Nanti malam kalau sempat saya mampir ke tempat mas Imam," ujar pak Frangki sambil mulai membenahi beberapa barangnya. Katanya sih ada acara di tetangganya hari ini. Pak Frangki memang biasanya kalau pas kami menginap suka datang ke sini buat ngobrol-ngobrol sambil membakar api unggun.

Tanpa menunggu pak Frangki jalan, kami langsung berjalan masuk ke kiri menuju ke arah rerimbunan bakau. Kali ini tidak seperti biasa, kami berencana akan menginap di pantai Snaituka. Pantai Snaituka terletak disebelah pantai Etiko'u yang dibatasi pepohonan bakau dan bekas rawa yang mengering selama bukan musim hujan.

Sesampai di pantai Snaituka kami menaruh semua barang di dekat pepohonan yang pasirnya agak tinggi karena di bawah pohon kelapa masih terlalu banyak tanaman perdu yang batangnya banyak duri, tempat yang ideal untuk memasang tenda . Aku melihat matahari sudah mendekati batas horison dan pantai Snaituka bukan lokasi terbaik untuk menikmati pemandangan itu. Yap, tenda kami berencana tidur di pantai Snaituka tapi kami menghabiskan hari di pantai Eno'niu. Pantai terbaik untuk menikmati senja karena dari tempat itu matahari tampak tepat jatuh di horison air. Setelah berembuk, kami sepakat untuk menunda pasang tenda dan menikmati senja dulu di pantai Snaituka.

Aku bahkan memilih meninggalkan semua peralatan termasuk air minum karena aku pikir pantai Eno'niu yang cuma berjarak seratusan meter dari pantai Snaituka tidak praktis jika sambil membawa air minum. Walau jaraknya dekat tapi menuju pantai Eno'niu tidak mudah karena antara dua pantai ini dibatasi karang tinggi. Memang ada jalur yang dalam dilewati sesuai namanya yaitu Eno'niu (pohon asam), tapi tetap saja harus melewati karang tinggi yang tajam.

Kemalaman di Eno'niu
Pantai Eno'niu yang terlindung karang di kiri kanan
Karena terlalu asyik menikmati pantai Eno'niu, kami bertiga baru tersadarkan jika langit sudah terlalu gelap. Giliran mau balik ini lah yang menjadi masalah. Jalan kita masuk ke tempat ini sudah terlalu gelap padahal saat terang saja kita harus ekstra hati-hati.

"Mam, kita lewat jalan lain ya" Obet bertanya tapi aku tahu anak ini sebenarnya takut.
"Takut Bet?"
"Gak lah, aku cuma takut kalian kesusahan lewat.. Aku cuma pengen lewat jalan lain saja kok"
"Ya udah. lewat balik jalan tadi aja" 
"Jalan lain aja, aku gak suka jalannya kalau gelap. Bukan takut sih, tapi agak gimana gitu. Lewat jalan lain ya"
Tokek satu ini memang begini. Aku tahu dia sebenarnya takut dengan ketinggian, apalagi harus lewat melalui jalan masuk tadi saat gelap begini. Tapi tetap saja kelakuannya sok cool (baca: kedinginan).

Sebenarnya kalau sedang surut kita bisa berjalan menyusuri pinggir pantai. Tapi saat ini justru air baru setengah tinggi sehingga ombak bisa menjangkau sampai ke pinggir karang jelas bukan ide bagus. Masalahnya beberapa kali ke sini aku belum pernah ditunjukkan jalan lain selain lewat karang dan pinggir pantai. Aku sendiri tidak tahu ada apa dibalik pepohonan pantai Eno'niu. Aku pernah naik di salah satu karang bareng mas Beki tapi waktu itu yang tampak disekeliling hanya pepohonan dan karang-karang tinggi. Entah berapa jauh jarak ke perkampungan dari tempat ini.

"Dis, bawa minum?"
"Gak"
"Obet?"
"Gak lah, kan kita tinggal semua di tenda"
"Ah, sial!"

Salah satu jalan menuju ke pantai Eno'niu
Cukup lama aku harus menimbang. Tidak ada minuman, tidak ada pisau, dan tentu saja tak ada sinyal di sini. Cuma ada satu senter, dan itu aku saja yang bawa. Tidak ada pilihan untuk bertahan disini. Memang ada ceruk di salah satu tebing yang bisa kita gunakan untuk bermalam hanya bukan saat ini, bukan pada saat seluruh barang kami tinggal di dalam tenda.

Akhirnya aku memutuskan masuk ke dalam rerimbunan pepohonan dimana ada sebuah jalan kecil disitu. Aku melihat sebuah jalan kecil temukan saat langit masih cukup tadi sore. Aku sendiri tidak tahu pasti di balik pantai Eno'niu adalah sebuah hutan, hanya perkiraanku saja. 

Aku fikir setidaknya jika aku terus berjalan mengikuti arah kiri aku akan bisa sampai ke salah satu pantai entah pantai Etiko'u atau syukur bisa ke pantai Snaituka. Atau sesial-sialnya tetap akan ketemu jalan kampung.

Di depan jalan kecil yang tidak kami kenal ini kami terhenti sejenak. Ada secuil doa yang diam-diam aku panjatkan bahwa ini bukan keputusan yang salah. Aku di depan memimpin jalan dengan senter di kepala. Obet di belakangku dan yang paling belakang adalah Adis dengan mengunakan cahaya senter dari hape masing-masing. Kenapa justru Adis yang notabene cewek justru yang paling belakang? Kalian pasti tahu apa sebabnya.

Bertemu Danau Oemenu
Aku menyusuri jalan dengan hati-hati. Setiap ada kemungkinan ke kiri aku akan memilih jalan itu. Semakin dalam aku masuk, pepohonan semakin lebat, jalan pasir putih mulai digantikan dengan karang yang tidak rata. Semakin ke dalam jalan yang mulai tambah tak jelas, beberapa kali kakiku harus terantuk akar kayu yang menjalar di sepanjang jalan.

Danau Oemenu I menjelang tengah hari
Aku terus berjalan yang pelahan menanjak sampai pada titik tertinggi dan berhenti di antara bayangan tinggi karang yang menjulang dengan akar pohon yang menutupinya, mungkin pohon beringin.

Dalam keremangan malam, cahaya senterku menangkap bayangan gelap air jauh di bawah. Aku tidak terlalu yakin. Aku berhenti menunggu Obet dan Adis mendekat. "Itu dibawah air Bet?" tanyaku setelah Obet menjajariku.
Mata Obet menatap lekat-lekat ke bawah mengikuti arah pandanganku. Tak ada jawaban.
"Bet, kita cek ke bawah dulu?"
"Kamu aja cek mam, aku tunggu di sini jagain Adis," usul Obet disambut muka galak Adis yang merasa dimanfaatkan sama Obet.

Danau Oemenu II yang airnya berwarna hijau
Sambil mencari pijakan pelahan aku turun ke bawah meninggalkan mereka berdua menunggu di atas. Beberapa langkah turun, samar aku bisa mencium bau anyir. Aku diam agak ragu, aku melihat ke atas melihat apakah mereka berdua juga membaui hal yang sama. Semakin turun ke bawah bau anyir semakin tercium kuat. Jalan menurun agak curam tapi terbantu dengan sulur-sulur yang melintang sepanjang jalan bisa untuk membantu pijakan atau pegangan.

Sekarang di depanku tampak sebuah kubangan air sebesar rawa yang airnya yang tampak pekat kehitaman. Pepohonan besar yang mengelilinginya tampak seperti bayangan mahluk hitam besar penjaga rawa. Hawa dingin menerpa sebelah kananku begitu halus. Refleks aku menolehkan pandangan ke kanan dan sebuah jalan kecil samar dan di depannya ada ............

Tak ada apa-apa.. hanya hitam gelap....

"Dis.. Bet.. turun, kayaknya ada jalan di depan sini," aku berteriak ke arah Adis dan Obet berdiri menungguku di atas.

========
Malam terasa begitu sunyi sehingga bunyi-bunyian dari binatang malam sangat jelas terdengar seperti bersahut-sahutan. Aku bahkan dengan jelas bisa mendengar kaki Imam merosot turun ke bawah. Satu-satunya yang membantu mengusir sunyi pada saat ini adalah celotehan Obet yang tidak jelas. Cukup membantuku mengabaikan kelebatan-kelebatan suara kaki yang bergerak cepat di belakangku.

"Dis, kita turun," Obet menoleh kepadaku. Sebelum aku mengiyakan ternyata Obet sudah turun duluan, padahal kukira dia mau meminta aku turun duluan. Mahluk satu ini dalam situasi tertentu kadang kelihatan kampretnya.

Mas Eko menuju ke danau Oemenu II
Kami berdua turun mengikuti jejak Imam sambil menjangkau sulur-sulur pohon untuk dijadikan pegangan. Tak berapa lama Obet sudah berdiri menjajari Imam. Aku yang masih beberapa meter di belakang Obet dan Imam saat tiba-tiba merasakan beberapa langkah kaki bergerak mendahuluiku.  

Saat aku menoleh ..... pandanganku terpaku pada sosok pendek bergerak turun di sampingku. Wajahnya terlihat samar gelap seperti muka yang bersembunyi di balik bayangan. Satu satunya tiba-tiba berhenti dan seperti menyadari sesuatu tiba-tiba menengok ke dan menatapku. Mata bulat menyudut berwarna merah sesaat membuatku diam terpaku. Lalu dia bergerak menghilang di kegelapan hutan. Mata itu mengingatku pada mata seekor rusa.

Seperti tersadar kalau tanganku sudah tidak memegang hape yang aku gunakan sebagai pengganti senter, sontak aku meraba-raba tanah mencarinya. Untung cahaya hape menyala sehingga sebentar sudah aku temukan lagi. Aku memejamkan sejenak, pengalaman tadi membuat jantungku berdetak kencang. Sepertinya ini adalah permulaan, batinku.

Aku mendengar Imam dan Obet memanggil-manggil namaku. "Iya, gak pa-pa!" sahutku supaya mereka tidak merasa kuatir.

Pelahan aku kembali turun ke arah mereka. Tak berapa lama kemudian aku sudah berdiri beberapa meter di depan mereka. Ada kelegaan di mata mereka melihatku.

Tiba-tiba ada hembusan angin dingin dari belakang mereka ke arahku. Aku menahan diri untuk tidak melihat. Sedetik.. dua detik.. tidak ada apa-apa. Tiba-tiba ada beberapa kali yang melintas di sampingku yang membuatku tanpa sadar melihat ke arah mereka.

Mataku mengikuti arah mereka hingga akhirnya tertumbuk ke arah dimana angin dingin tadi bertiup dan di balik bayangan pepohonan aku melihatnya.....
=========

Aku dan Obet menoleh ke arah Adis karena tiba-tiba merasakan suasana senyap. Aku melihat Adis terdiam. Karena tidak melihat gerakan gadis itu akhirnya aku dan Obet bersamaan teriak memanggilnya. Untung tak lama kemudian Adis menjawab. Ah aman, pikirku.

Aku berjalan beberapa langkah ke depan untuk memastikan jalan yang akan kami lewati. Saat aku menimbang arah tiba-tiba mataku tertumbuk pada pandangan Adis di belakangku. Sontak aku mengikuti arah pandangnya dan ...........  

Hanya ada kegelapan kosong, selain bau anyir air lumpur rawa ini tentu saja. "Dis," panggilanku pelan seperti tidak didengarkannya, pandangannya tetap seperti semula seperti terpaku.
"Dis," aku memanggil sedikit lebih keras. Adis tidak menjawab tapi buru-buru bergerak ke arahku disusul dengan Obet kemudian. "Kita jalan," katanya seperti menghindari sesuatu.

Milkyway di atas langit Puru
Kami kembali berjalan menembus hutan yang tidak tahu kapan berakhirnya. Perjalanan berikutnya bukan makin mudah karena kami justru harus melewati karang yang lebih tajam-tajam dibanding sebelumnya. Beberapa sulur ternyata ada duri. Aku tak tahu kalau beberapa sulur yang mirip akar itu sebenarnya pohon tuba yang memang tumbuhnya menjalar, cuma bedanya sepanjang batangnya banyak duri. Aku sudah mengabaikan rasa perih yang beberapa kali kurasakan saat salah memegang sulur.

Aku selalu mencoba memilih ke kiri berharap untuk setidaknya bertemu dengan pantai. Namun entah mengapa selalu ada dinding karang terjal yang membuat aku harus berjalan memutarinya. Ada suara ombak yang aku dengar tapi sulit menentukan di sisi mana karena suara itu bisa jadi dari pantulan bukit-bukit karang. Suara ombak itu seperti berasal dari beberapa sisi. Beberapa kali aku coba mengikuti suara ombak tapi berakhir di dinding karang yang tidak bisa dilewati.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tidak ada tanda-tanda bakal menemukan pantai. Rasa kuatir mulai merambati hatiku. Celotehan Obet bahkan sudah tidak terdengar lagi, hanya sekali-kali. Tapi cukup membantu mengurangi beban, apalagi berjalan tak tentu arah selama tiga jam membuat kerongkongan kami kehausan.

Dalam langkah dengan keyakinan yang makin goyah, langkahku seperti menemukan titik terang saat aku bisa mendengar lamat-lamat di depanku. "Bet, itu suara ombak dari depan kan?" aku coba mencari pendapat lain. Obet menganggukkan kepada enggan, semangatnya mulai patah.
Aku cuma berharap dia tidak benar-benar kehilangan semangat. Satu-satunya yang tetap membuat kami bertahan di saat seperti ini. 

Dengan sebagian semangat yang masih tersisa, aku mulai baik pelahan ke atas batu karang menembus sulur-sulur yang makin rapat. Makin ke atas, asal suara ombak makin terdengar jelas, sehingga aku makin yakin kami makin mendekati pantai.

=========
Aku tidak peduli betapa tenggorakanku sudah mengering dari tadi, aku hanya mengikuti langkah mereka berdua yang terus berputar-putar di hutan ini. Bahkan saat Imam mulai tampak semangat mengikuti bunyi ombak yang diyakini telah dekat pantai.

Aku hanya ingin keluar dari hutan ini, tidak ada yang lain. Perkenalan dua kali tadi cukup membuatku yakin bahwa mereka tidak menyukai kami di sini.

Beberapa kali aku harus merelakan kakiku terluka terkena ujung karang yang tajam. Awalnya memang terasa pedih namun karena terlalu sering aku justru malah mengabaikannya. Lain dengan Obet, tiap kali kakinya terkena sulur atau tersangkut karang masih saja sumpah serapahnya keluar. Mujur masih ada suara dia, setidaknya keheningan hutan ini tidak segera membunuh semangatku.

Aku sempat berfikir untuk mengajak mereka turun ke danau itu, tapi lagi-lagi aku memilih diam. Walaupun aku bisa melihatnya belum tentu perjalanan ke bawah mudah. Sambil terus berjalan mataku mencuri lihat ke arah danau berharap ada jalan mudah turun ke sana.

Tiba-tiba di ujung danau aku melihatnya......... Dia hanya menatapku, tidak hanya satu...
==========


(bersambung ke Danau Oemenu: Gelombang Tinggi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!