Halaman

Senin, 16 Oktober 2017

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Rimbun pepohonan mengelilingi pinggiran danau. Hijaunya sungguh menyegarkan mata yang melihat. Hawa sejuk diselingi angin semilir membuat suasana teduh. Kicau burung-burung kadang terdengar bagai nyanyian semesta yang menentramkan.


Danau Ngade atau sering disebut Danau Laguna Ngade. Laguna dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti  danau air asin dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut yang dangkal, karena peristiwa geografi terpisah dari laut. Meski dekat dengan laut, air danau tetap tawar rasanya. 


Danau ini terletak di Desa Ngade, Kelurahan Fitu, Kota ternate, Maluku Utara.  Berjarak 40 kilometer dari Bandar Udara Sultan Babullah, atau 18 kilometer dari pusat Kota Ternate.

Danau Ngade adalah anugerah dari Tuhan yang tak ternilai. Masyarakat menjadikan danau untuk budidaya ikan air tawar seperti Nila dan Gurame. Hasil budidaya ikan air tawar bisa kita nikmati pada restoran/warung yang terapung di atas danau. Selain itu danau juga menjadi sumber air utama untuk mengairi perkebunan milik masyarakat sekitar.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Aku bergegas mendaki menuju titik pandang tertinggi. Penduduk sekitar telah menyediakan tempat di atas ketinggian agar kita lebih leluasa melihat keindahan danau. Bunyi suara gesekan ban mobil/bus dengan aspal jalan di kejauhan, saat pengunjung ingin parkir kendaraan. Letak tanah yang miring dan curam membutuhkan ketrampilan ekstra berkendara. Disini kita dipungut biaya masuk dan parkir kendaraan.

So, here I'am. Standing on the best photo spot. Tempat ini sering menjadi incaran para Fotografer. Biasanya mereka mengambil angle foto dari atas untuk foto aerial. Hutan pepohonan, Danau Laguna, Pulau Maitara, dan gugusan pegunungan Pulau Tidore tampak menakjubkan dari sini. Biasanya air danau berwarna hijau, tetapi karena semalam hujan air danau berubah menjadi berwarna kecoklatan.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Saat lelah kita bisa minum air kelapa muda yang banyak dijual di tempat ini. Sambil duduk santai menghalau haus yang datang. Sungguh menyegarkan di kala panas terik.

Merepih alam. Melepas pandangan pada bentangan alam di ketinggian. Bak seorang penyair mencari inspirasi untuk menyusun dan merangkai kata demi kata. Aahh, Danau Ngade keindahanmu tak mampu membuatku berucap.

Lokasi Danau Ngade:
Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro

Rabu, 04 Oktober 2017

Tohula, Benteng di Kota Hula Tidore

Aku berhenti di sela anak tangga untuk memotret pemandangan tebing di sebelah kanan tulisan Benteng Tohula. Di sebelah kiriku tampak lautan lepas dengan perahu-perahunya yang bergerak hilir mudik. Sebenarnya berhenti di satu spot foto juga sebagai salah satu cara rehat mendadak, di samping mengumpulkan pasokan oksigen agar memenuhi paru-paruku. Ratusan anak tangga yang menanjak cukup membuatku terengah-engah hehehe. 


Dibelakangku terdengar beberapa pengunjung remaja menyemangati satu sama lain. "Ayo cepat naik, masa kalah sama mereka!", seru salah seorang diantara mereka, seorang remaja berbaju putih berambut ikal sambil menunjuk sepasang suami istri paruh baya sedang menuruni anak tangga setelah selesai mengunjungi benteng. Pertanda suami istri itu sebelumnya telah berhasil mendaki. Rombongan remaja itu pun bergegas naik. Mungkin mereka merasa malu masih jauh lebih muda namun kalah stamina hahaha.


Akhirnya aku sampai juga di atas Benteng Tohula. Well, always good view from the top. Melepaskan pandangan ke kiri tampak rumah-rumah penduduk, pantai dan dermaga perahu yang ingin menyeberang dari Tidore ke Halmahera. Pulau Halmahera terlihat memanjang didepan. Rasanya aku ingin melompat ke sana. Wait for me! Aku menengok ke arah belakang,  Gunung Kie Matubu di kejauhan seperti menyembul dari balik benteng.

Benteng Tohula terletak di Desa Soasiu tidak jauh dari Kedaton Kesultanan Tidore dan pusat kota. Tohula/tahula dalam bahasa Tidore yang berarti Kota Hula. Mudah menemukannya karena berada di jalur jalan utama Tidore.  Mengunjunginya tidak dipungut biaya, baik tiket masuk, maupun parkir kendaraan. 

Adalah Sebastiano De Elaco, seorang pelaut berkebangsaaan Spanyol yang membangun benteng ini pada tahun 1512. Didirikan sebagai benteng pertahanan Spanyol ketika menduduki wilayah Tidore di awal abad 16. Persaingan dagang dan perluasan wilayah jajahan untuk menguasai jalur rempah (Cengkih dan Pala) antara Spanyol dan Portugal sebagai alasan utama dibangunnya benteng ini. Pembangunannya dimulai pada tahun 1610 sampai tahun 1662. Letak lokasi yang berada di atas bukit karang yang tinggi sebagai titik pandang terbaik untuk mengamati wilayah perairan/lautan maupun daratan Tidore.

Benteng ini kemudian ditinggalkan Spanyol setelah kekalahan dengan Belanda dalam perebutan wilayah jajahan pada tahun 1707. Rencananya benteng akan dibongkar, tetapi ditentang oleh Sultan Tidore yang bertahta saat itu, Sultan Hamzah Fahroedin dengan dalih benteng akan digunakan sebagai tempat tinggal Keluarga Sultan Tidore. Belanda pun memenuhi permintaan Sultan dengan syarat seluruh aktifitas dalam benteng tersebut dibawah pengawasan Belanda.

Undak-undakan dibuat untuk menghubungkan ruang satu ke ruang yang lain karena kontur tanah yang tinggi dan rendah. Tanaman hias berwarna-warni tumbuh di kanan kiri jalan setapak menambah keasriannya. Lampu-lampu pun ikut menghiasi taman benteng ini. Bangku-bangku juga disediakan di tiap sudut.

Sayang sekali seluruh bangunan ruangan telah roboh jadi yang tersisa hanyalah pondasinya. Tampak tangga bambu bersandar di dinding tembok benteng, mungkin untuk digunakan naik ke atas tembok. Selayaknya benteng, Bunker atau ruangan bawah tanah juga dibangun. Ada pintu gerbang yang tertutup/terkunci dibagian lain benteng. Aku tidak tahu ruangan itu berisi apa.

Sekitar lima belas menit cukup untuk mengelilingi benteng ini, tetapi bagi pecinta foto mungkin kurang untuk mengexplore hanya dalam waktu lima belas menit. Apalagi jika mengejar Sunrise/Sunset. Don't worry, My Friends, Gazebo sebagai gardu pandang disediakan bagi yang ingin santai berlama-lama disini. Jangan lupa membawa perbekalan. Sambil minum kopi, makan camilan Kue Pia ditambah menikmati pemandangan dari atas benteng. Mantap jiwa!



Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro