Halaman

Jumat, 21 Juli 2017

Air Terjun Mauhalek: Juara!

Mauhalek Waterfall
Aku duduk di atas sebuah batu sambil menatap ke atas, ke arah sumber suara gemuruh bunyi air yang jatuh ke bawah membentuk sebuah pemandangan yang orang bilang air terjun. Mataku bisa menangkap beberapa pria muda dengan hanya celana pendek mencoba naik dari sela-sela batu menuju ke atas. Pria-pria muda sedang menikmati memacu adrenalinnya. Terlalu berbahaya sebenarnya, tapi siapa yang bisa melarang mereka naik ke atas. Penjaga hanya ada di pintu masuk di tepi jalan yang jaraknya masih 800-meteran jauhnya. Aku mulai bersiap-siap saat awan mulai bergerak pelan menutupi matahari. Momen siang seperti ini memang repot untuk memotret air terjun karena terlalu banyak spot yang bocor. Maka untuk mendapatkan gambar yang tidak terlalu buruk, aku bergantung sama kebaikan awan yang mau menutupi sebentar sinar pagi. Walau tetap saja, tidak akan mengalahkan cantiknya cahaya pagi matahari yang kekuningan. Itulah alasan aku lebih suka mendatangi lokasi-lokasi seperti ini saat pagi atau sore: golden moments.

Foto bareng di air terjun Mauhalek, Belu
Dari atas sini aku bisa jelas melihat Deva yang sangat menikmati mandi di air terjun. Bahkan beberapa kerabat istriku ikut menemani bermain air bersama Deva. Gara-gara dia berendam, akhirnya anak-anak kecil yang lain ikut nyebur juga. Dinginnya air terjun yang berada dikaki gunung Lakaan pasti tidak dirasakannya, maklum cadangan lemaknya banyak. Tidak terlalu ramai menurutku, mungkin karena lokasi tempat ini yang belum banyak dikenal orang. Atau cerita banyak orang yang masih menganggap kalau ke air terjun Mauhalek itu susah medannya.

Perjalanan naik ke atas saat mau makan siang itulah yang bikin barisan mak-mak nafasnya tinggal satu-satu padahal jaraknya tidak jauh. Bahkan dari tempat parkir kendaraan, air terjun Mauhalek masih dapat jelas dilihat. Berbeda saat turun ke air terjun yang pada semangat karena jalan setapak yang telah dibeton menurun terus, maka saat kembali artinya harus menikmati jalan naik terus. Deva yang turun semangat pun, harus disemangati untuk naik ke atas. Perut gendutnya sekarang jadi beban tambahan.. Ayo nak, semangatttt...

Suasana riuh pengunjung masih terdengar di bawah, semakin siang semakin ramai yang datang. Untung lopo utama sudah tidak ada penghuninya jadi bisa kami pakai. Lopo bulat dengan empat tiang khas lopo pulau Timor pun gak kalah ramai dengan suasana di bawah. Gemuruh air dan pemandangan air terjun masih tampak dari tempat aku duduk menjerang air yang tak kunjung memanas. Senang aku melihat Deva menikmati perjalanan kali ini, walaupun komunikasinya masih kalang kabut. Dia bicara dengan bahasan dan logat Inggris-nya sementara yang lain dengan bahasa Indonesia dan logat Belu-nya.

Ya, hari ini aku wisata bareng keluarga kakak perempuan istriku di Atambua. Salah satu alasan aku tidak membawa tripod saat diajak mudik ke Atambua, kupikir kita hanya akan pergi ke tempat-tempat biasa. Bakar ikan, sekedar duduk-duduk di pantai atau kolam susu yang penuh orang, atau apalah. Bagaimana dengan tempat wisata? Kalau ingin sekedar jalan okelah.. kalau ingin mendapatkan gambar bagus lupakan saja. Saat libur lebaran seperti ini, rasanya tidak akan ada tempat yang sepi selama masih bisa dijangkau mobil. Itu salah satu sebabnya aku kurang berminat mengunjungi tempat wisata saat libur lebaran. Kalaupun tiap tahun aku mengunjungi tempat-tempat wisata memang cenderung lebih untuk kepentingan anak-anak.

Lokasi Air Terjun Mauhalek
Air terjun Mauhalek adalah salah satu dari sedikit air terjun yang ada di pulau Timor. Mungkin karena faktor geografis dan kontur yang membuat pulau Timor tidak banyak ditemukan keberadaan air terjun. Berbeda halnya dengan pulau Flores atau Sumba yang memiliki lokasi air terjun lebih banyak.

Informasi keberadaan air terjun Mauhalek sendiri belum lama. Mungkin pula karena itu tak banyak orang yang tahu saat aku menanyakan keberadaan air terjun Mauhalek ke masyarakat Atambua. Untung ada keponakan yang kerjanya di PLN bagian lapangan yang ngurusi tower-tower tegangan tinggi jadi banyak tahu wilayah-wilayah terpencil.

Air terjun Mauhalek ini terletak di dusun Fatumuti, desa Raiulun. Desa Raiulun ini masuk kecamatan Lasiolat yang artinya wilayah ini terletak di wilayah kantong yang dikelilingi oleh wilayah Timor Leste. Berada di bawah kaki gunung Lakaan, daerah sekitar air terjun Mauhalek tergolong sejuk. Gunung Lakaan adalah gunung tertinggi kedua di Tanah Timor setelah gunung Mutis.

Gunung Lakaan sebenarnya tujuanku jika bukan libur Lebaran, tepatnya di daerah Fulan Fehan yang terkenal dengan lokasi Benteng Tujuh. Mungkin lain waktu aku akan kembali mengunjungi Fulan Fehan sekaligus mengunjungi kembali air terjun Mauhalek.

Kondisi jalan ke Mauhalek tidak terlalu sulit walau perjalanan selama satu jam penuh dengan tikungan dan tanjakan karena sudah sebagian besar jalan sudah beraspal. Tapi memang saat ini separo jalan sisi kanan dan kiri di banyak ruas sedang digali hampir sedalam satu meter untuk pemadatan dan pelebaran jalan. Beberapa bukit juga sudah mulai dipotong untuk mengurangi tinggi tanjakan. Tanah kecoklatan akhitnya membuat jalanan penuh debu. Balik dari Mauhalek itu mobil sudah sama warnanya dengan tanah. Mungkin kalau pekerjaan jalan sudah selesai, lokasi Mauhalek bisa ditempuh tak lebih dari setengah jam karena jaraknya tak lebih dari 30km.. beberapa orang mengatakan kalau jaraknya hanya 24km. Ah di tanah Timor itu bukan kilometer yang penting tapi berapa lama sampainya.

Pendapatku tentang Tempat Ini
Aku datang dalam kondisi air terjun sudah tidak terlalu besar debitnya. Airnya dari atas tidak langsung jatuh lurus tapi tapi jatuh ke lapisan batu di bawahnya sehingga pecah menjadi aliran-aliran yang lebih kecil. Kondisi itu membuat air terakhir jatuhnya tidak kencang. Karena itu batu-batu diantara air terjun ditumbuhi lumut dan tanaman-tanaman kecil.

View ini membuat pemandangan air terjun Mauhalek jadi indah dan mudah untuk diambil foto bahkan dari dekat sekalipun. Ini beda dengan tempat-tempat yang air terjunnya jatuh lurus ke bawah yang biasanya menciptakan uap air yang naik jauh ke udara membuat kamera mudah terkena uapnya. Sepertinya saat debit air terjunnya lebih kencang juga tidak akan membuat uap air yang terlalu tinggi.

Jika bersedia datang pagi sepertinya bisa menghasilkan foto air terjun yang juara.. sepertinya aku harus datang lagi kesini pagi-pagi sekali untuk mendapatkan momen terbaik. Apalagi saat pagi biasanya masih jarang orang yang datang. Paling-paling penduduk sekitar yang mau ambil air.

Jadi untuk pemandangan air terjunnya juara lah apalagi untuk difoto. Lain lagi dengan fasilitas pendukungnya. Jalan dari parkir menuju air terjun memang sudah dirabat beton, juga sudah ada sekitar tiga lopo yang dibangun, dan satu tolilet umum yang lebih sering terkunci. Yang agak mengganggu adalah bangunan toilet yang diletakkan pas di depan air terjun sehingga mengganggu pemandangan dari kejauhan. Di beberapa belokan juga harus hati-hati karena tidak dibangun pagar pengaman.

Rabu, 19 Juli 2017

Overland ke Tana Toraja

"Bu, packing baju buat tiga hari ya besok kita berangkat", kataku.
"Emang mau kemana? Ke tempat siapa?", tanya ibuku.
"Kita ke Makassar dan Toraja, jalan-jalan saja. Ibu sudah Arum belikan tiket", jawabku.

Ibuku tentu saja kaget karena beliau baru saja tiba di Jakarta setelah mengunjungi kakaknya di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Landing di Makassar larut malam. Disambut teman kami, Kartini yang menjadi tuan rumah selama kami di Makassar. Kami pun segera beristirahat karena besok pagi berangkat ke Toraja.

Pukul 6 pagi kami telah dijemput Bang Ancu, pemilik mobil yang kami sewa. Dalam perjalanan menuju Toraja, kami melewati Maros. Dari jendela mobil terlihat sinar Matahari pagi menyembul dari sela-sela hamparan batuan karst yang berjajar di kejauhan. Wah pendaran cahayanya bagus banget! Di tengah perjalanan kami melihat Jeruk Bali yang dijual dipinggir jalan. Kami mampir untuk membeli beberapa buah sebagai bekal diperjalanan.

Sampai di Pare-pare kami mampir ke sebuah warung makan untuk sarapan Coto, daging sapi/kerbau dengan kuah dari air beras yang dimakan dengan ketupat/buras. Rasanya lebih enak daripada yang biasa aku makan di Jakarta. Pare-pare kota pesisir pantai barat yang juga dikenal sebagai kota kelahiran BJ Habibie, Presiden ketiga RI.


Belakang adalah Bukit Enrekang Di depan gerbang Maros
Kami istirahat di Enrekang untuk sekedar minum kopi, makan pisang goreng dan camilan jagung goreng atau Marning biasa orang Jawa bilang. Jagung goreng ini menjadi cemilan khas Enrekang. Itu sebabnya aku lihat banyak tanaman Jagung di lereng bukit kawasan Enrekang ini.

Warung kopi yang juga menjual cenderamata/souvenir ini berada tepat di muka pegunungan. Dari sini kita bisa minum kopi sambil melihat pemandangan Gunung Bambapuang atau lebih dikenal sebagai Gunung Nona. Landscape gunung yang mengundang berbagai imajinasi. Ada yang bilang bentuknya menyerupai area pribadi kaum hawa.Tergantung persepsi masing-masing mata yang memandang. Hohoho.

Akhirnya kami sampai di gerbang Tana Toraja. Setelah menempuh perjalanan selama 7 (tujuh) jam! Wajarlah karena jarak dari Makassar ke Toraja 350 km. Pastinya kami foto-foto dulu di gerbang sebelum lanjut menuju Pallawa.

Gerimis mengiringi kami menuju Pallawa. Butiran air hujan yang disinari matahari menjadi semburat pelangi. Melihat Pelangi sebagai pertanda keinginanku terkabul. Yes! Keinginan ke Tana Toraja.

Saat tiba di Pallawa, begitu aku membuka pintu mobil, gerimisnya langsung berhenti. Ajaib! Mungkin hujannya memberi kesempatan aku untuk foto-foto.

Suasana dalam rumahDesa adat Pallawa
Desa adat Pallawa berada di kawasan Rantepao adalah desa yang masih memegang kuat tradisi dan memiliki Tongkonan  tertua di Tana Toraja. Ada 11 Tongkonan yang ada di Pallawa.

Tongkonan, adalah rumah tradisional Toraja. Bentuk bangunan yang menyerupai sebuah kapal, beratap bambu yang ditutup rumbia. Bagian atap banyak ditumbuhi tanaman liar pertanda tua/lamanya bangunan itu berdiri. Tongkonan dihiasi ukiran khas dan didominasi warna hitam, oranye, merah. Tanduk kerbau di depan Tongkonan sebagai simbol pemilik rumah telah melakukan upacara Rambu Solo/ Aluk Rampe Matampu.

Penduduk desa sebagai pemandu wisata banyak memberikan keterangan tentang bangunan Tongkonan dan adat istiadat mereka. Konon tradisi kanibal pernah dilakukan saat perang antar kampung dengan memakan dan meminum darah lawan yang kalah. Perkembangan jaman telah merubah tradisi itu dan menggantinya dengan memakan ayam yang disebut Pallawa Manuk.

Bercengkrama dengan penduduk desa yang ramah, sambil sesekali memotret kegiatannya. Anak-anak suka sekali difoto meski tampak malu-malu. Tidak lupa kami membeli cenderamata hasil buah tangan mereka, berupa asbak yang berbentuk miniatur Tongkonan, patung kakek nenek dan gelang-gelang.

Meneruskan perjalanan kami ke tebing Lemo. Lemo adalah tebing yang dijadikan makam.Di depan dinding dipasang Tau-tau, yaitu boneka-boneka kayu yang diukir sebagai personafikasi orang yang telah meninggal dan dimakamkan di sana. Patung ini hanya dibuat untuk para bangsawan.

Biasanya sebelum dimakamkan, diadakan Upacara Rambusolo/Aluk Rampe Matampu.Terlihat pintu pada tebing Lemo terbuka. Sepertinya sedang ada persiapan untuk upacara Rambu Solo. Rambu Solo dalam bahasa Toraja berarti asap yang arahnya ke bawah. Maksudnya upacara ritus persembahan ini dilakukan saat matahari mulai bergerak menurun sesudah pukul 12 siang. Rambusolo selain sebagai penghormatan kepada jenasah, juga sebagai penghantar menuju gerbang arwah.

Sayang kunjunganku hanya singkat jadi tidak bisa memotret Rambu Solo. Semoga aku bisa kembali mengunjungi Tana Toraja.

Teks dan foto: Arum Mangkudisastro