Halaman

Kamis, 08 September 2016

Matahari Pagi dari Puncak Sikunir

Puluhan orang berjubel menunggu matahari terbit
Seperti pertaruhan menunggu matahari apakah akan terbit atau tertutup awan di puncak Sikunir hari ini. Sementara jam sudah menunjukkan jam enam lewat sepuluh menit, namun matahari tak kunjung muncul dari balik kabut yang justru makin tebal.Kemarin memang hampir seharian lebih sering gerimis dan hujan, hanya beberapa jam saja matahari muncul itu pun saat telah siang hari. Wajar saja jika aku masih diselumuti keraguan akan cuaca hari ini. Tapi keraguan itu langsung terpatahkan saat cahaya kuning memerah yang muncul diantara kabut benar-benar berubah menjadi bulatan kuning terang di balik selimut kabut.

Seakan berlomba, serangkaian bunyi tombol kamera saling bersahutan berlomba mengabadikan matahari pertama pagi ini. Beberapa cahaya blitz dari belakang tampak menyala. Itu masih ditingkahi dengan suara-suara 'centil' yang berteriak minta segera difoto. 

Dengan bertonggak batang bambu sebagai pengganti tripod, pengambilan foto dari puncak Sikunir pagi ini jadi agak merepotkan. Aku harus berjongkok setengah memiringkan kepala untuk menjangkau lubang bidik. Tak ada cara untuk mengatur ketinggian bambu sebagaimana jika aku menggunakan tripod.Untung posisiku dari awal sudah berada di pinggir tebing sehingga tidak mungkin diganggu mahluk-mahluk centil yang begitu 'heboh' berpose dan lalu lalang penuh semangat. Aku harus mengalah pada semangat muda mereka, merekalah produk 'kekinian' itu.

Saat Lokasi Wisata Menjadi 'Kekinian'

"Hei aku Wanda, dan mereka temen-temenku," sambil memutar tongkat selfie ke arah teman-temannya. Beberapa anak muda yang baru sampai di atas langsung mengerumuni 'Wanda' ini. Ada yang mengangkat tangan mengacungkan jari membentuk V sambil memajukan bibir, ada yang menyipitkan mata dengan mulut yang sama. Setelah itu aku mendengar celoteh 'Wanda' dengan segala cerita serunya perjuangan mereka menuju kesini layaknya host acara petualangan yang berhasil menaklukkan salah satu tantangan. Keriuhan itu berlanjut dengan rombongan lain yang dipenuhi suara teriakan-teriakan untuk foto selfie. Wabah tahun ini sejak hape yang menjadi 'smart' lengkap dengan kamera yang diklaim hasilnya jago. Tak berapa lama lampu kilat dari semua jenis kamera menyala untuk menerangi 'obyek centil' dalam foto.

Hilang sudah kesyahduan menikmati matahari terbit. Sikunir tetap menawarkan warna pagi yang luar biasa. Namun keheningan, ketertegunan karena rasa takjub, dan rasa kecil menjadi bagian dari semesta seakan hilang ditelan keriuhan suara-suara nan 'centil'. Entah mereka sedang membanggakan pencapaian mereka naik ke puncak Sikunir, atau sekedar kebanggaan karena bakalan bisa memajang foto diri entah di mana saja dengan wajah yang sama hanya berganti latar belakangnya.

Aku mungkin terlalu tua untuk pesta-pesta penuh teriakan seperti ini, aku juga mungkin datang di waktu yang tidak tepat karena Sikunir sekarang telah berubah menjadi tempat 'kekinian' yang didatangi untuk ajang pembuktian seperti kalimat sakti para host MTMA. Aku sendiri bukan mau mengkritik acara yang sudah kadung digandrungi banyak anak muda di negeri ini. Itulah 'kekinian' saat ini yang tidak dapat dipungkiri. Mungkin aku yang harus sedikit mengalah memberi ruang kegembiraan mereka yang 'kekinian' itu.

Perjuangan di Pagi Yang Beku
Menembus pagi menggunakan motor sungguh membuat jari-jari tanganku serasa membeku, apalagi aku hanya bersarung tangan kain. Sebenarnya Gita sudah menawarkan tumpangan aku dengan mobilnya hanya saja SMS yang dia kirim jam empat pagi tidak terbaca. Tidak mudah untuk bangun sepagi ini apalagi semalaman suhu udara di Dieng benar-benar dingin sekali. Aku bahkan selepas Maghrib sudah masuk ke dalam sleeping bag sebelum berlapis selimut di atas tempat tidur. Hawa bulan Juli memang membuat malas, untuk sekedar cuci muka saja.

Mengendarai motor pagi buta menembus kabut membuat gigiku bergemeretak. Stang motor serasa baru keluar dari freezer membuat sendi jari tanganku terasa ngilu saat memegangnya terlalu lama. Walhasil dalam perjalananku menuju desa Sembungan, aku harus berhenti tak kurang dari lima kali untuk melepaskan rasa dingin ngilu di tangan.
Untung jalan yang aku lewati mulus walau tidak lebar. Jarak dari Dieng Plateau Homestay (tempat aku menginap) sampai ke desa Sembungan memakan waktu hampir setengah jam dengan jarak tak lebih dari 9 km (kalau menurut peta sih cuma 8,1 km).


Untungnya kondisi jalan masih sepi, ada beberapa kendaraan yang searah. Aku pikir yang sedang berkendara saat ini satu tujuan denganku untuk ke desa Sembungan.
Desa Sembungan adalah desa terakhir dan start point untuk naik ke puncak Sikunir. Menurut informasi, desa Sembungan adalah desa tertinggi di pulau Jawa. Suhunya? Jangan ditanya deh. Kedatanganku di bulan Juli memang tergolong salah waktu karena saat ini memang lagi puncak dinginnya kawasan Dieng.


Di pelataran parkir Telaga Cebongan, aku melihat mobil Gita. Mungkin mereka telah naik terlebih dahulu. Di pintu masuk, aku tertarik dengan kentang kecil-kecil yang mengepul di atas meja. Ternyata kentang rebus itu dijual 5 ribu saja per bungkus. Cukuplah untuk mengisi tenaga sebelum naik ke atas. Ternyata baru beberapa meter aku berjalan selepas gerbang masuk, aku berpapasan dengan Gita CS yang lagi asyik makan di dalam warung.
Just info, rombongan Gita ini ada 3 orang termasuk dia. Gita ini teman yang baru temui karena kebetulan menginap di tempat yang sama. Gita barengan 2 orang cewek, satu istrinya yang baru dinikahinya (ceritanya mereka penganti baru) dan satunya temen dia waktu kerja di Batam.


Akhirnya aku bareng mereka berjalan menuju puncak Sikunir. Sayang si Tiara (istri Gita) ini ternyata punya riwayat asma sehingga baru di pertengahan jalan dia kepayahan. Hawa pagi yang sangat dingin dan medan menanjak membuat dia kesulitan bernafas. Sayangnya dia justru menggunakan celana jeans yang membuat hawa dingin tembus ke badan. Dia mencoba tetep bertahan untuk terus naik walaupun aku sendiri kasihan melihatnya. Jalanan dari tanah dengan sekat-sekat kayu memang tidak mudah dilewati apalagi kalau sedang basah. Apalagi saat itu kabut tebal basah seperti gerimis membuat kita harus lebih hati-hati melangkah.
Akhirnya Gita dan istrinya memilih berhenti di titik pandang pertama. Aku sendiri memilih naik terus sampai di titik pandang kedua. Temannya Gita sendiri memilih ikut aku naik sampai ke puncak kedua.


Golden Sunrise
Berbeda dengan titik pandang pertama yang sempit sehingga tidak dapat menampung orang banyak, di puncak pandang kedua kondisinya lebih lapang. Banyak orang yang telah berdiri di atas puncak bukit menunggu pagelaran matahari terbit.

Sikunir ini memang salah satu tempat terkenal untuk melihat matahari terbit yang terkenal dengan warnanya keemasannya. Cerita tentang warna dramatis matahari terbit itulah yang mungkin menarik mereka untuk mendatanginya. Deretan pegunungan dari Sindoro, Merbabu, Merapi, Ungaran, Telomoyo, Pakuwaja dan deretan pegunungan Nganjir berjajar menunggu panggilan sang matahari.

Seandainya aku tidak mendengar celoteh para 'centil' ini, mungkin keindahan puncak Sikunir makin lengkap. Suara burung-burung yang berciut nyaring pun harus berkelahi dengan teriakan-teriakan mereka.
Untung ada beberapa perbukitan lain yang tidak segaduh di puncak yang ada bangunan pandang itu. Di titik itulah aku lebih nyaman karena tidak lagi mendengar suara-suara 'centil. Walaupun di sana ada beberapa tenda yang dipasang, namun mereka cenderung tidak ramai. Penjelajah sungguhan memang lebih bisa menyatu dengan alam.


Aku sempat berkenalan dengan dua orang bule kakak dan adik dari Selandia Baru saat minta bantuan aku memotretnya. Yang besar punya nama Satria dan satunya Nanggala. Nah lho, ternyata mereka berdua itu bule namun bapaknya masih asli Indonesia.

Waktu kembali aku sudah tidak bertemu lagi dengan Gita cs, mungkin mereka telah turun terlebih dahulu. Aku menyempatkan mampir di sebuah kedai terbuka yang menjual kopi dan mie rebus. Bapak tua penjual makanan itu memang setiap pagi berjualan ke sini. Hari ini dia datang tidak terlalu pagi. Hanya kalau pas hari libur beliau biasa datang lebih pagi karena antrian yang mau naik lebih banyak. Sebenarnya aku berharap mendapatkan secangkir purwaceng panas, pasti akan sanggup mengusir dinginnya udara Sikunir. 

Banyak yang sudah turun, aku mungkin termasuk rombongan terakhir yang turun. Lucunya justru saat turun aku bertemu rombongan beberapa orang tua dan keluarganya yang baru mau naik. Mereka tentu kesulitan mengajak anak-anak datang pagi-pagi buat sehingga mengalah mendatangi Sikunir saat matahari sudah terang benderang.

Sampai di bawah, aku baru menyadari jika motor yang aku parkir ada di dekat sebuah telaga. Namanya telaga Cebongan. Ada beberapa tenda yang terpasang di pinggir danau. Aku menyempatkan memutari danau Cebongan beberapa saat sebelum kembali.

Catatan:
  1. Puncak Sikunir adalah spot favorit di Dieng untuk melihat matahari terbit. Jika ingin mendapatkan tempat datangnya pagi-pagi sekali. Sebaiknya sudah sampai di lokasi ini pagi sebelum jam setengah lima atau kurang. Hindari datang saat liburan panjang karena sangat mungkin terjadi antrian panjang.
  2. Jika memungkinkan naiklah sampai ke puncak kedua karena tempatnya lebih lapang untuk menikmati matahari terbit. Jika di puncak pertama, daerah untuk bisa melihat matahari terbatas.
  3. Jika tidak menggunakan jaket yang tahan air, sebaiknya membawa persediaan jas ponco atau sejenis. Kadang-kadang kabut yang tebal membawa air yang membuat pakaian kita basah tidak terasa. Di Dieng, hujan tidak dapat diprediksi. Kalau bisa hindari menggunakan celana berbahan jeans karena lebih mudah menyerap dingin.

20 komentar:

  1. Dari lomba tombol kamera itu, siapa yg menang ??? Nikon, canon, samsung, fuji atau siapa kah ???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang menang Canon karena beta pegang itu, nanti kalau ganti Fuji baru Fuji yang menang :D :D :D

      Hapus
  2. gak kebayang dinginnya, apalagi sepagi itu,, kalau aku mungkin masih jadi kanguru di dalam sleeping bag hahaha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wee musti belajar bangun subuh2 bar, karena justru momen-momen pagi itu yang seringkali keren abis.. kayak danau, bukit gitu paling pas ya ambil pagi

      Hapus
  3. dulu udah pernah mau kesana, tapi karena sampai wonosobo kurang pagi, jadinya gagal deh.. heuheuheu
    padahal keren abissssss

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dari wonosobo berarti sebelum jam 3 harus udah jalan ya.. wah kebayang malesnya kalo harus jalan jam segitu, tapi pernah juga sih jam 2 pagi jalan demi ginian :D

      Hapus
  4. Fotonya bagus, jadi seperti lukisan. Kagum sama Mahakarya Sang Pencipta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lokasinya emang photograbble banget apalagi buat sunrise...

      Hapus
  5. gw belon pernah ke dieng om, sumpah deh.. curhaaat.. "nangis dipojokan"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah nanti om ajak ke sana *pukpuk pake raket biar gak nangis lagi*

      Hapus
  6. Belum kesampaian ke sini.

    Foto2nya apik yo mas, suka dengan tonenya, enak dilihat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tone Canon yang cenderung warm memang pas buat foto sunset atau sunrise yang goldie... ayo bang Rico, segera dibuat ulasan tempat ini

      Hapus
  7. Sayang suhu di Dieng belum sampai minus 4 derajat karena walaupun musim kemarau tetapi masih sering hujan :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaaaa... kalau suhu segitu mending balik kanan tidur lagi tutup selimut rapat-rapat gak kebayang suhu sampai -4 derajat

      Hapus
  8. kurang banyak mas fotonya. he biar saya makin ngiler liatnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. HAhaahaha jangan nanti kalau kebanyakan malah ngadat blog-nya.. ini aja sering bikin galau kalau loadingnya jadi lama

      Hapus
    2. Bagi-bagi ilmu fotografer lah. hehe

      Hapus
    3. Wah kayaknya udah banyak artikel tentang trik-trik fotografi gak enak kalau nulis lagi.. masih belum kepikiran buat nulis artikel fotografi

      Hapus
  9. Smartphone, media sosial, dan tayangan televisi bener-bener mengubah wajah Sikunir....

    Tentang pemotretan di Sikunir, aku ngerasa ada banyak spot-spot yang menarik di sana. Tapi ya kayaknya butuh berhari-hari buat motret. Selain karena tempatnya yang beda-beda, juga cuaca cerahnya kan ya tergantung sama kehendak Yang Maha Kuasa. :D

    Sebulan gitu lah mendekam di puncak Sikunir cuma buat motret gitu kurang kerjaan nggak ya? Wekekekeke...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha sepakat banget, emang perlu mendekam di Sikunir lama untuk menjelajah spot2 terbaiknya btw kalo sebulan gak lumutan tuh.. mungkin kalo sebulan untuk Diengnya

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!