Pantai Batu Burung, nama itu tidak akan terdengar akrab bagi banyak orang di Kupang jika kau cobakan menanyakannya. Bahkan jika kamu menggunakan internet untuk memandu, maka yang akan muncul adalah pantai Batu Burung di daerah Singkawang, Kalimantan. Tapi coba tanyakan tentang pantai Oebali, mungkin ada yang bisa memberitahukanmu arahnya. Mungkin? Iya, karena memang pantai Oebali juga tidak banyak dikenal oleh masyarakat disini. Tidak dikenalnya Oebali oleh masyarakat bukan berarti pantai ini tidak menarik tapi lebih karena kondisi jalannya yang cukup parah.
Aku sendiri kurang familiar menyebut pantai Batu Burung, aku lebih suka menyebutnya pantai Oebali. Pantai Oebali berada di lekukan yang dibatasi bukit yang tidak terlalu tinggi. Sebagian besar dipenuhi bebatuan, yang sebagian besar berupa batu berwarna putih, dari bentuk batu sepertinya berasal dari laut. Aku jadi membayangkan, jika sekarang masih nge-tren batu akik mungkin pantai ini salah satu pantai yang akan diserbu pencari batu akik dan akan menjualnya dengan berbagai macam nama.
Secara keseluruhan, aku bisa mengatakan pantai ini punya reputasi: layak dikunjungi. Selain bebatuan yang tersebar di pantai ini bervariasi, kondisi pantai yang berada di cekungan juga masih sangat bersih. Pasir pantainya memang tidak seputih pasir di pulau Semau misal, warnanya cenderung coklat cerah yang mengingatkanku pada pasir di pantai Lasiana. Kondisi pasirnya landai, artinya pengaruh pasang surut akan sangat terasa. Jika datang pas waktu laut surut, pasir pantainya akan sangat panjang dan jauh. Jika pun pasang, air lautnya pun masih tampak jernih jadi asyik juga untuk mandi dan berenang terutama saat ombak tidak terlalu besar seperti saat aku kesini.
Pantai Oebali ini terletak di sisi selatan pulau Timor, salah satu daerah yang akan disasar proyek jalan trans-selatan pulau Timor. Karena di berada di sisi selatan, tentu saja setenang-tenangnya ombak di pantai Oebali akan lebih kencang dibanding pantai di wilayah kota Kupang yang berada di sisi utara perariran pulau Timor. Pada saat-saat tertentu terutama jika pasang, sangat mungkin kamu akan melihat ombak yang besar. Aku bahkan berfikir jika tempat ini bisa dikembangkan untuk pariwisata yang berhubungan dengan olahraga selancar air.
Tempat ini sebenarnya baru terfikirkan sehari sebelumnya, karena dari awal aku masih memenuhi otakku untuk melakukan perjalanan ke gunung Mutis. Teman-teman dari Nekad Team yang sudah pernah ke gunung Mutis memang berencana ke sana lagi tapi nanti selepas puasa. Sementara si anak gunung dan si anak Toba yang tangguh buat teman jalan di medan begini lagi ke Solo buat cari beasiswa. Mungkin mereka sudah semakin tersesat maka butuh jadi mahasiswa lagi biar dikembalikan ke jalan yang benar. Karena itu, akhirnya aku mencoba mencari lokasi yang bisa dijangkau tanpa harus menginap. Untung aku dapat informasi lewat foto-foto teman fotografer yang sudah kesana. Foto slowspeed-nya cukup menggoda walaupun aku yakin tambahan pemandangan milky way di langit akan makin bikin foto sempurna. Lupakan milky way yang harus menyiapkan makanan seabrek buat cemilan, sarung buat penghangat, bahkan kesabaran untuk menunggu. Aku butuh jalan, dan itu yang penting.
Tak perlu banyak rencana, hanya berbekal seadanya dan dua buah hammock yang akhirnya cuma nangkring dalam tas tanpa pernah keluar maka perjalanan ke pantai Oebali dimulai. Menggunakan dua motor, kami berempat (aku, pak Sulih, Rei, pak Kus) berangkat sekitar jam setengah empat. Harusnya memang kami berangkat lebih awal sekitar jam dua siang, apalagi dengan waktu tempuh dan lokasi yang belum pernah ketahui. Seharusnya memang kami sudah jalan sebelum jam tiga. Dipertengahan jalan melihat matahari sudah setengah menuju ke ufuk barat membuat aku kuatir, jangan sampai kita keburu dikejar gelap. Apalagi saat melewati jalanan berbatu yang membuat motor kita merangkak pelan. Ternyata memang ada ruas yang kondisinya lumayan parah. Tidak terlalu panjang namun jalan masih berupa timbungan batu-batu saja. Mungkin dulunya jalan ini pernah dihampar batu, cuma hamparan timbunan penutup batu tampaknya sudah hilang terkikis hujan. Bahkan ada satu titik jalan ada gorong-gorong melintang di jalan yang sudah banyak bolong. Terus terang aku sendiri tidak merekomendasikan menggunakan kendaraan roda empat. Memang ada kendaraan roda empat yang sampai ke tempat ini, namun aku justru kuatir penggunaan kendaraan-kendaraan itu akan memperburuk kondisi jalan.
Di jalan menurun ke arah pantai sempat melihat sebuah cabang jalan ditutup kayu-kayu dan peringatan yang tidak membolehkan orang masuk. Belakangan aku baru tahu kalau ada yang membangun semacam rumah atau villa di tempat ini. Ujung pantai Oebali adalah sebuah hamparan tanah yang agak tinggi dengan sebuah bangunan kayu bertingkat. Salah seorang penjaga sempat bertanya jika kami mau menginap di sini. Rupanya bangunan ini disewakan, sayang aku lupa menanyakan berapa harga sewa bangunan ini per malam. Kami ditarik biaya 10ribu per orang entah untuk biaya parkir atau biaya masuk ke lokasi. Akibat terlalu sore sampai ke sini, akhirnya hammock cuma gak pernah keluar dari tas.
Bagaimana Cara Kesana
Untungnya pantai Oebali sudah dapat dicari menggunakan Google Map jadi kalau kesulitan saat dijalan bisa langsung dipantau. Namun, tak selalu informasi dari Google Map nyambung kalau misalnya kalian bertanya kepada penduduk. Penduduk lokal umumnya mengenal daerah dengan nama desa/kampung bukan nama jalan. Pantai Oebali jelas tidak bisa menggunakan kendaraan umum, karena jalur bis terjauh yang saya tahu itu bus Damri jurusan Kupang-Oemofa. Dari Kupang-Oemofa saya gak tahu apakah ada ojek di daerah itu. Kendaraan yang aku sarankan motor tapi jangan motor matic karena terlalu rendah jarak terendah ke tanah (ground clearance). Jika menggunakan mobil, kesulitan utama ada jalur yang pas satu mobil bahkan jika berpapasan antara mobil dan motor maka motor harus mau masuk ke semak-semak sementara agar mobil bisa lewat.
Gak usah panjang lebar lagi, ini rute yang kami lewati dan kondisi jalannya:
- Titik poin perjalanan adalah perempatan Polda, ambil ke jalan Badak (menuju ke Bakunase/Oenesu/Tablolong). Ikuti jalan sampai bakunase terus sampai ketemu perempatan dengan jalan besar 2 arah yang biasa disebut jalur 40, tetap ambil lurus ke arah Oenesu. Kondisi jalan aspal yang cukup bagus.
- Ikuti jalan terus sampai bertemu pertigaan ke arah Tablolong. Jika ke arah Tablolong belok ke kanan, tetap ke arah kiri. Kondisi jalan sampai dengan ke arah pertigaan ini sebagian besar sudah bagus karena baru saja diperbaiki. Hanya perhatikan di beberapa titik ada beberapa lubang di pinggir jalan.
- Selepas jalan ini nanti banyak bertemu dengan jalan tanah berbatu dan jalan beraspal yang sudah rusak sampai jalan mendekat ke arah pantai. Secara umum kondisi jalan masih bisa dilewati dengan motor matic sekalipun.
Setelah itu akan bertemu dengan jalan besar yang masih bagus, ikuti terus sampai dibatas jalan bagus dan melewati sungai kering yang cukup lebar. - Selepas melewati sungai lebar dan beberapa ratus meter jalan bagus selanjutnya melewati jalan tanah berbatu menanjak sampai ke arah pertigaan yang ada tugu. Dari tugu tersebut belok ke kanan, kondisi jalan ini yang paling parah karena batu-batunya cukup besar dan tajam. Jalan ini tidak terlalu jauh hanya memakan waktu karena harus pelan. Hati-hati, ada satu gorong-gorong melintang di jalan yang sudah berlubang besar.
- Selepas jalan ini akan bertemu dengan pertigaan belok ke kanan menurun sampai bertemu dengan sebuah papan kecil bertuliskan "Pantai Batu Burung". Kondisi jalan ini berupa jalan tanah hitam yang menurun agak curam. Pada musim hujan jalur ini akan sulit dilewati. Di ujung jalan itulah pantai Oebali yang sekarang coba diperkenalkan dengan nama Pantai Batu Burung.