Halaman

Sabtu, 23 Januari 2016

Mengejar Pasir di Kepulauan Mekko

Bersandar di pulau Meko Adonara
Bersandar di pulau Keroko salah satu  pulau di Kepulauan Meko, Adonara
Gosong lagi gosong lagi... dan lagi-lagi perjalanan kali ini bikin gosong kulit, bahkan rasa terbakar di tengkuk, tangan dan kaki masih terasa lebih dari dua hari. Tapi itu sepadan dengan perjalanan seharian yang aku lakukan di pulau Adonara. Apakah karena lokasinya bagus? Ya emang lokasinya bagus tapi bukan karena itu. Saat kita memilih berjalan, sebenarnya perjalanan itu sendiri tujuannya. Lokasi yang dituju itu hanya persinggahannya toh akhirnya juga balik bukan menetap di lokasi itu kan.


Perjalanan kali ini yang punya hajat temen pak Dib yang sudah dikenal dengan sebutan 'pakde'. Pakde ini yang lagi ngotot-ngototnya pengen ke Adonara, mau kemana aja asal udah menginjakkan kaki ke Adonara. Lah waktu aku tanya di Adonara mau kemana juga dia gak tau pokoknya sampai Adonara. Aku curiga Pakde nih lagi menggenapkan nadzar-nya buat menginjakkan semua pulau di Nusa Tenggara Timur sebelum balik ke Surabaya. Menurutku sih posisi bulan yang baru separo bukan waktu yang tepat karena posisi puncak surut pasti terjadi tengah hari. Semangat Pakde memang udah diubun-ubun jadi kita ngalah aja, yah tapi tetep happy lah.. siapa sih yang gak happy jalan-jalan biar pun udah kebayang panasnya saat bulan-bulan begini. 
Buat yang belum tau, di wilayah NTT saat ini sedang dilanda badai el Nino yang kata para ahli di BMKG mengakibatkan penurunan curah hujan dan itu bisa terjadi sampai akhir Februari. Bayangin aja gilanya kalau NTT yang udah pasti lebih panas saat musim penghujan bakalan tambah lebih panas kalau hujannya juga ogah turun. Padahal matahari di NTT itu lebih deket dari pada di Jawa, iya beneran.. bulan Desember-Januari kan posisi matahari lagi di puncak miring ke Selatan. Ah lagian ngapain aku ngurusin panas yang emang dari sono begitu.. pokoknya kita jalan...

Gagal Nyeberang ke Waiwerang
View laut di salah satu tiang dermaga di Waiwerang
Hari Sabtu pagi, setelah sarapan nasi goreng di hotel kita berempat: aku, Pakde, Idil dan Yudha meluncur ke Pelabuhan Larantuka sekitar jam tujuh lewat pakai motor pinjeman: tanpa plat dan gak ada esteneka. Udah kuatir aja sih karena ke dermaga musti melewati kantor polisi. Belum lagi cuma dapet pinjeman dua helm, artinya cuma yang di depan yang pakai. Yang depan pakai helm, yang belakang pakai doa "moga-moga selamat". Sempat mampir cari topi karena serba dadakan jadi gak ada yang bawa topi. Aku yang bahkan kemana-mana selalu pake topi jelajah pun gak tau kemana tuh topi tiba-tiba hilang saat dibutuhkan seperti ini. Emang gitu, saat dicuekin nongol melulu, giliran dibutuhin sok jual mahal pakai menghilang segala.
Pas nyampe di Pelabuhan untungnya kapal yang jadwalnya dari Larantuka - Waiwerang - Lewoleba masih ada yang memang jadwalnya berangkat jam setengah delapan pagi. Sayangnya bagian dek kapal dua lantai sudah penuh dengan motor jadi hanya orang yang bisa masuk. Daripada menunggu kapal berikutnya yang baru tiba nanti siang, akhirnya kami memutuskan naik perahu lebih kecil menuju ke Tobilota. Kalau dari Pelabuhan Larantuka menuju Waiwerang sekitar satu setengah jam, dari Pelabuhan ke Tobilota hanya sekitar sepuluh menit. Ya jauh lebih dekat karena cuma menyeberang saja, berbeda dengan Waiwerang yang letaknya di Adonara Timur jadi harus memutari setengah pulau Adonara. 

Menyeberang dari Larantuka ke Tobilota
Duduk di depan perahu yang menuju dermaga Tobilota
Cuma ya itu, dari Tobilota menuju ke Meko itu sama dengan perjalanan membelah Adonara. Ada yang menyarankan kita dari Tobilota ke Waiwerang lewat Terong yang bisa ditempuh satu jam tapi kondisi jalannya katanya jelek (akhirnya kami buktikan saat kembali). Karena arah tujuan kami Meko, seorang bapak-bapak yang ngajak ngobrol kami di kapal menyarankan kami menuju Witihama karena kebetulan bapak itu juga tinggal di Witihama.
Perjalanan dari Tobilota ke Witihama kita tempuh sekitar hampir tiga jam, karena walaupun beberaa ruas jalan sudah diperbaiki tapi jalan-jalan di perkampungannya masih banyak yang sudah rusak. Ada jalur menurun yang paling sulit dari kampung Kelubagolit ke Witihama karena itu jalan hanya bisa dilewati satu arus karena kondisinya yang sangat rusak. Kami harus menunggu kendaraan dari bawah naik semua baru kendaraan searah arus kami bisa lewat. Aku sampai minta Idil untuk turun karena kondisi jalan yang sulit seperti itu.
Dalam perjalanan kami terus bertanya ke penduduk jika sudah mulai kebingungan. Kami bertemu seorang pria muda yang asli dari Adonara yang katanya kerja Larantuka di penagihan kredit. Untungnya dia dengan suka rela mengantar kami bahkan sampai masuk ke dalam. Di pertigaan, dia tunjukkan arah jalan ke Meko tapi dia menyarankan tidak lewat kesana karena walau bisa ditempuh pakai motor tapi kondisi jalannya parah banget. Dia lebih menyarankan aku ke arah Waiwuring yang tidak seberapa jauh lagi.

Pasir Putih di Kepulauan Meko
Narsis di Nuha Pasir Putih di wilayah Adonara
Narsis ria di pulau pasir putih yang kepulauan Meko
Kami diantarkan ke seorang nelayan di kampung Waiwuring yang menyebut namanya Mat, katanya berasal Sulawesi di daerah Wakatobi. Karena perjalanan ke sana sekitar memakan satu jam jadi kita sepakat harga 250ribu. 
Sekitar jam sebelas lewat kami berangkat dengan perahu kecil milik pak Mat. Supaya seimbang, dua harus di depan dan dua lagi di belakang. Untuk perjalanan berangkat, aku dan Pakde kebagian di depan, kata pak Mat biar gampang buat ngambil foto. Pakde pakai jaket sementara aku pake rompi dan baju lengan pendek. Gara-gara pakaian ini dan duduk di depan perahu saat terik yang akhirnya sukses membakar kulit lenganku sampai gelap naik 5 level dari gelap menjadi guelaaaap bangeeeeetttt.
Perjalanan pakai perahu dari Waiwerang sampai ke kepulauan Meko memakan waktu 50 menitan. Tanning 50 menit memang joss, mau coba? Sepanjang perjalanan itu aku menemukan beberapa pasir putih yang timbul di tengah laut dan dipenuhi burung belibis dan bangau.

View dari satu-satunya bukit di pulau Keroko
Di kepulauan Meko ini terdapat 4 pulau, dua pulau yang pertama tampak yaitu pulau Konawe dan Ipet. Kedua pulau ini tampak seperti satu pulau yang terpisah dengan dibatasi bakau. Sedangkan dua pulau kecil di bagian luar yaitu pulau Keroko dan Watupeni. Nah diantara pulau ini ada sebuah daratan pasir putih yang hanya muncul saat laur surut yang mereka sebut "Nuha Pasir Putih". Pulau ini di foto teman termasuk pulau yang sering dipenuhi burung-burung seperti belibis dan bangau berkumpul. Dan benar saja, justru siang ini pas puncak surut sehingga pulau pasir itu jadi tampak luas, sayangnya minus burung-burung itu. Mungkin perahu yang datang terlebih dulu sebelum rombonganku yang membuat burung-burung di pulau itu kabur. Disekeliling pulau ini dipenuhi warna toska dan kehijauan menunjukkan daerah ini banyak yang merupakan perairan dangkal. Tapi memang kami gak bisa berlama-lama, gak tahan merasakan panasnya di pulau yang hanya berupa pasir putih tanpa ada satu tumbuhan pun. Tak lama kemudian setelah Pakde bernarsis kekinian kami naik kembali ke perahu. 

Bersandar di salah satu pulau di kepulauan Meko
Bersandar di pulau Keroko yang jernih
Saya minta ke pak Mat supaya ke pulau depan yang juga berpasir putih yang ternyata bernama pulau Keroko. Karena perairan dangkal sekali kami tidak bisa langsung lurus tapi berputar keluar di perairan yang lebih dalam. Setelah agak dekat barulah mesin perahu dimatikan dan dari depan pak Mat menggunakan galah bambu untuk mendorong perahu ke tepi. Mendekati pulau, kawasan ini tampak berserakan di bawah air terumbu-terumbu karang yang masih cantik. Memang di daerah yang sangat dangkal banyak kumpulan warna hitam yang berisi puluhan bulu babi yang kalau terinjak serasa ditusuk sengat lebah.
Di sini pun kami tidak lama karena sekarang harus mengejar kapal dari Lembata-Larantuka yang singgah Waiwerang. Sesuai jadwalku sebelumnya, biasanya kapal terakhir menuju Larantuka itu jam setengah tiga. Perjalanan pulang sempat kena gerimis, untungnya tak berubah menjadi deras, aku gak bisa membayangkan asyiknya perjuangan perahu melewati selat yang dikenal arusnya ini jika ada hujan lebat di tengah lautan.

Mampir ke Pantai Inaburak Sebelum Pulang
Pantai Inaburak saat mulai pasang kembali
Kamu sudah balik ke Waiwerang jam hampir mendekati jam jarum tiga. Awalnya mau mampir ke rumah pak Mat supaya bisa duduk-duduk, solat dan makan siang sebentar namun karena itu berarti kita tidak akan mendapatkan kesempatan mengejar kapal di Waiwerang. Akhirnya kita berempat sepakat langsung berangkat ke Waiwerang. Kata pak Mat ke Waiwerang tidak sampai satu jam karena kondisi jalan sekarang sudah bagus.
Sebenarnya ada jalan potong yang pernah aku gunakan dulu waktu ke Waiwuring tapi sayangnya medannya lewat perkebunan kelapa dan lewat sungai. Terus terang aku sendiri tidak bisa mengingatnya. Akhirnya kami memilih jalur balik Witihama sampai Kelubagolit baru belok ke kiri menyusuri jalan aspal yang kadang-kadang bagus, kadang-kadang jelek, dan sebagiannya lagi jelek sekali.

Di atas puncak salah satu karang pantai Inaburak
Di atas puncak salah satu karang pantai Inaburak
Walaupun sudah dikejar, ternyata kami baru sampai sekitar jam dua lewat 50 menit. Dan itu artinya kami kehilangan kesempatan naik kapal. Duh harus jalan darat lagi ke Tobilota untuk sampai ke Larantuka. Gak ada pilihan, kami tetap harus ke Larantuka karena besok Minggu pagi-pagi kami harus naik pesawat untuk kembali ke Kupang. Kata penduduk setempat, kalau di Tobilota ada banyak kapal sampai jam tujuh malam.
Karena sudah terlanjur akhirnya aku menyarankan supaya bisa mengunjungi satu lokasi lagi sebelum ke Tobilota dan itu adalah pantai Inaburak yang pernah aku tulis disini: Pantai Ina Bura di pulau Adonara.. Pantai ini kalau dari Waiwerang tidak terlalu jauh mungkin sekitar 20-30 menit saja. Jadi kita bergerak balik ke arah Witihama, nanti ada pertigaan jalan aspal pilih ke kanan ke arah kecamatan Ile Boleng. Sekali lagi tanya penduduk saja karena tidak papan petunjuk ke sini. Jika nanti melihat papan petunjuk jalan lokasi Pantai Watutena nah berarti satu percabangan di depan itu setelahnya itulah pantai Inaburak. Kedua pantai ini sebenarnya bersebelahan cuma dipisahkan batu karang.

Suasana pantai Inaburak, Adonara
View Inaburak yang aku foto sebelumnya
Perjalanan balik ke Tobilota melewati Lamahala dan Terong memang lebih dekat sekitar satu jam lebih sedikit. Cuma jalannya emang hancur banget, aku yang sekarang jadi pembonceng harus merasakan bijiku rasanya mau lepas saat motor yang seenaknya melibas jalan yang aspalnya udah berantakan terkelupas tanpa rem. Untung bijiku cuma dua, kalau bijiku banyak kayak anggur jangan-jangan juga rontok semua. Biji apa sih kaka? Biji mata ..... :D
Untungnya kapal terakhir yang ternyata kapal yang sama mengantarku ke sini masih ada. Emang jodoh, dia katanya juga nunggu-nunggu motor untuk naik. Akhirnya memang kapal itu cuma angkut dua motor punya kita makanya minta 70rebu untuk dua motor dan penumpangnya. Udahlah, yang penting kita bisa jalan balik biar gak ketinggalan pesawat.
Kalau dihitung jumlah kecamatan yang kami singgahi ternyata sudah enam: Adonara Barat, Adonara, Adonara TImur, Klubagolit, Witihama dan Ile Boleng. Hahaha sungguh perjalanan asyik hari itu bisa mengelilingi Adonara selama seharian.