Halaman

Rabu, 11 Desember 2013

Pecicilan di Kawah Putih

Danau yang berasal dari kawah berwarna kuning kehijauan: Kawah Putih
Gerimis mulai turun saat aku keluar dari gerbang Situ Patengang, kumasukkan tanganku ke saku sweater hijau kutarik lebih dalam sambil melangkah lebih cepat. Dari tadi tak satu pun ada angkutan yang berjalan balik ke arah Ciwedey. Jika sial, berarti aku harus berjalan kaki tak kurang dari lima km untuk sampai ke Kawah Putih. Sebenarnya ke dua tempat, Kawah Putih dan Situ Patengang, sempat membuatku bimbang. Dimanakah di antara keduanya yang ingin kunikmati saat kabut pagi masih tebal. Akhirnya aku memang memilih Situ Patengang karena lebih mudah dijangkau dengan angkutan umum, sedangkan ke Kawah Putih hanya bisa dijangkau dengan angkutan dari pengelola yang pasti belum ada pagi-pagi begini. Dengan jarak tempuh sekitar lima km, paling sedikit aku membutuhkan waktu setengah jam dan bisa jadi aku kehilangan momen kabut pagi.

Tangga menurun menuju Kawah Putih
Untung sampai di pertigaan ada seorang pengendara motor melintas. Karena arah yang sama mau ke Kawah Putih akhirnya aku ikut dengannya. Melintasi jalan sepanjang jalur Situ Patengang sampai ke Kawah Putih ternyata cukup membuat aku kedinginan. Apalagi di daerah Rancawalini sempat ada kabut berair yang membuat sweater-ku basah sehingga terasa lembab. Untung juga aku tak membawa dua lensa, sehingga tak iseng gonta ganti lensa yang dalam situasi seperti ini punya kans buat kamera cepet almarhum. Perjalanan seperti ini memang biasanya aku lebih suka membawa satu lensa Tamron 17-55mm f/2.8 supaya aku tidak ribet dengan alat-alat fotografi. Termasuk tripod yang biasanya selalu aku bawa, kali ini absen. Bukan karena aku gak mau, tapi karena hilang hehehe. Wal hasil aku memang harus menghindari penggunaan kecepatan rendah.
Dibelakang view ini terdapat gua Belanda
Sekitar sepuluh menit kemudian aku sampai ke area Kawah Putih. Tak ingin terburu-buru jalan, aku memilih mampir dulu ke sebuah warung yang ada disekitaran gerbang masuk Kawah Putih. Warung masih tampak sepi, mungkin belum lama buka sehingga permintaan semangkuk soto ayam dan teh panas segera tersaji beberapa menit kemudian. Sambil makan, aku mengamati suasana sekitar
Suasana sudah tampak ramai, beberapa bis wisata mulai masuk ke area. Ada juga rombongan motor yang datang, kalau gak salah sih motor Honda CBR. Sebenarnya aku salah tas ransel, seharusnya aku membawa tas ransel yang lebih kecil. Namun entah kenapa, kemarin aku justru memilih tas ransel yang agak besar untuk kubawa dan menitipkan tas yang lebih kecil ke Rey untuk dibawa pulang. Padahal aku hanya membawa sedikit barang.
Batang pohon santigi yang mati mengering
Tiga puluh ribu rupiah, itu biaya yang harus dibayar per orang untuk masuk ke Kawah Putih. Gak mahal lho, karena itu sudah termasuk harga ontang-anting (angkutan khusus untuk mengangkut pengunjung ke dan dari Kawah Putih). Tapi bagi yang hendak foto pre-wedding disini, tercantum biaya sebesar 500ribu rupiah, cukup mahal atau sangat mahal?
Aturan di sini, selain mobil pribadi semua pengunjung harus menggunakan jasa ontang-anting untuk naik ke atas termasuk juga bis-bis wisata harus menggunakan jasa ini. Ontang-anting ini sepertinya angkutan dengan tiga lajur tempat duduk plus satu penumpang di bagian depan. Masing-masing lajur punya bisa diisi sampai dengan tiga orang, jadi jumlah penumpang penuhnya sekitar 10 orang. Yang berbeda, ontang-anting ini tidak punya pintu seperti halnya bajaj kecuali untuk penumpang yang di depan (sebelah sopir).
Rupanya naik ontang-anting menjadi sensasi tersendiri, dengan kondisi jalan yang naik turun berliuk-liuk justru sopir sering dengan sengaja melarikan kencang sehingga di beberapa tikungan dan turunan yang tiba-tiba beberapa penumpang menjerit, antara ketakutan dan senang. Tapi jangan tanya penumpang yang duduk di persis pintu, mereka akan mencengkeram kuat besi pegangan bahkan saat ontang-anting melaju di tempat yang lurus. Saranku bagi yang takut, sebaiknya jangan duduk di ujung pintu. Bisa-bisa perjalanan menyenangkan itu malah menjadi trauma. Jaraknya memang tidak jauh, seperti lain kali aku bisa memilih untuk berjalan kaki.
Kumpulan pohon santigi di dekat Kawah Putih yang mati terbakar
Akhirnya ontang-anting sampai di pelataran luas, ujung dari perjalanan naik ke Kawah Putih. Pengunjung sudah sangat banyak sehingga aku cukup mengikuti arah jalan mereka. Papan penunjuk sebenarnya cukup jelas terbaca tapi kadang kita malas membacanya. Padahal sebenarnya itu diperlukan sekali, apalagi di tempat-tempat yang punya potensi bahaya seperti disini. Aku lihat ada papan petunjuk bertuliskan arah "Evakuasi", papan ini menjadi urgen sekali untuk diketahui karena memang ada kondisi tertentu dimana kawasan Kawah Putih menjadi sangat berbahaya terutama jika ada aktivitas berlebihan dari kawah Gunung Patuha ini. Yang paling umum adalah naiknya kandungan kadar belerang di udara yang dapat menyebabkan rasa pusing, mual bahkan jika dalam kandungan berlebihan dan tidak segera ditangani bisa mengakibatkan kematian. Sebaiknya baca papan petunjuk jalur evakuasi, ini akan bermanfaat jika tiba-tiba Kawah Putih iseng menjadi tidak bersahabat sehingga bisa menolong diri sendiri atau orang-orang disekitarnya.
Hanya beberapa meter setelah melewati tangga menurun, telaga kawah berwarna kuning pucat kehijauan menyapaku. Itulah warna dari telaga Kawah Putih ini. Tidak ada warna putih saat itu, warnanya lebih ke warna belerang, sementara warna kebiruan lebih karena pantulan warna langit. Bau belerang telah muncul saat mulai turun tangga. Banyak orang telah datang ke tempat ini, dengan lokasi yang mudah dicapai seperti ini tentu banyak orang yang ingin mengujungi tempat ini.
Selain pohon-pohon mengering, longsor juga rawan terjadi
Aku memilih berbelok ke kiri setelah melewati ujung tangga karena memang tidak banyak orang yang menuju ke arah itu. Beberapa pohon santigi yang dekat telaga telah menjadi onggokan batang kering. Batang-batang kering ini bahkan bukan hanya di tempat yang dekat dengan kawah, bahkan di tanah-tanah tinggi beberapa meter dari telaga juga tidak luput dari sergapan belerang sehingga juga menjadi mati meninggalkan kayu kering yang menghitam. Hanya ada dua rombongan lain yang mengikuti arah kesini, sementara banyakan yang lain lebih memilih berada di kawasan di dekat tangga turun, setidaknya mereka cepat untuk dievakuasi. Mungkin hanya aku pejalan sendirian disini, sementara yang lain berombongan atau paling tidak berpasangan. Beberapa pakis baru tumbuh di areal bekas pohon-pohon santigi yang terbakar, pertanda beberapa waktu tidak ada aktivitas kawah yang terlalu berbahaya. 
Sayangnya selain kabut yang sudah tidak ada lagi, matahari juga lebih sering bersembunyi di balik awan kelabu. Ini lah risiko datang di bulan-bulan saat hujan mulai datang. Sepertinya memang datang ke tempat ini pagi hari menjadi pilihan tepat, tentunya jika menggunakan kendaraan pribadi atau kalau rela mau berjalan kaki. Karena menurut informasi, kawasan wisata Kawah Putih mulai dibuka setelah jam tujuh, kadang juga lebih. Tentu saja belum ada ontang-anting yang bisa kita gunakan, entah kalau kita sewa.

Narsis menjadi hal yang tidak pernah dilupakan para pelancong
Satu jam kemudian aku kembali ke arah tangga turun dan coba melihat ke sisi kanan tangga. Beberapa meter baru melangkah aku melihat gua belanda, begitu yang tertulis di papan petunjuk. Bau menyengat belerang keluar dari gua itu, sangat menyengat. Pantas saja di depan gua terdapat petunjuk agar tidak berlama-lama di depan gua. Sebenarnya dari areal ini dapat melakukan trekking hutan namun aku memutuskan menunda untuk kesempatan lain karena berburu dengan waktu.
Keindahan danau Kawah Putih memang tidak diragukan, pantas saja walau biaya untuk foto prewedding di tempat ini cukup mahal namun banyak yang menginginkan bisa foto prewedding di tempat ini. Kalau kata teman, bahkan sang calon mempelai wanita bisa berpose dengan baju dengan bahu terbuka dipagi hari. Padahal yang menggunakan jaket dengan dua lapisa baju di dalamnya saja masih merasa kedinginan. Untung foto, kalau video pasti ketahuan kalau setelah pemotretan mereka bakalan menggigil ketakutan.
Kembali dari Kawah Putih, aku sempetin beli buah strawberry yang ada di tempat ini, katanya lebih manis walau ukurannya lebih kecil. Tapi setelah mencoba, menurutku strawberry yang pernah aku beli di SoE, NTT jauh lebih manis.