Anak-anak yang ikut kami berenang di pulau Kepa berpose sebelum pulang |
Pak Sueb bersama anak2 yang baca buku sumbangannya |
Aku gak nyangka juga idenya, coba kalau aku tahu mungkin aku bisa ikut nyumbangin buku untuk mereka. Masalahnya bukuku udah jarang yang buku anak-anak. Koleksi buku cerita Tintin dan Donald Bebek udah raib entah kemana. Kan gak mungkin aku kasih buku "Pemikiran Kirim di Indonesia" atau novel macam "Da Vinci Code", bisa-bisa buku-buku itu jadi tambahan untuk masak air. Aku lupa di desa mana saja buku-buku itu dibagikan, tapi perkiraanku ini masih di pertengahan antara Kalabahi dan Alor Kecil.
Begitu melihat antusiasme anak-anak seperti ini, beberapa buku yang dibawa jadi terasa tampak kurang. Pak Sueb sendiri bersemangat untuk lain kali membawa lebih banyak buku-buku seperti ini. Semangat pak! Kalau perlu nanti bawa satu kardus, aku bagian bawain aja deh hahaha.....
Alor Kecil: Al-Qur'an Tertua di Asia Tenggara
Hari ini Jum'at, pak Sueb sudah bilang dari kemarin kalau kita hari ini mau sholat Jum'at di Alor Kecil sekaligus mau membuktikan tentang keberadaan Al-Qur'an tua dari kulit kayu yang masih tersimpan rapi di sini. Karena jarak dari Kalabahi tidak terlalu jauh, baru sekitar jam setengah sebelas kita berangkat. Langit terbilang cerah, walau gumpalan-gumpalan awan masih juga berserakan di langit. Semoga hari ini tidak hujan seperti dua hari kemarin.
(1) Mushab Al-Qur'an tua dari kulit kayu yang masih utuh tersimpan (2) Gambar perahu layar Tuma Ninah di salah satu lembar Al-Qur'an |
Kami masuk ke jalam samping masjid dan memarkirkan kendaraan persis di belakang masjid. Jalanan disini terbilang kecil sehingga jika kendaraan roda empat saling melintas harus mengurangi kecepatan, jadi tidak bijaksana memarkirkan kendaraan di pinggir jalan.
Di seberang samping masjid terdapat sebuah rumah kecil dan di depannya ada sebuah kamar kecil, disitulah tempat diletakkan sebuah Al-Qur'an tua itu.
Empunya rumah keluar dan menyambut kami. Setelah kami berbasa basi sejenak, pak Sueb menyatakan tujuannya. Empunya rumah masuk ke bilik kecil itu dan tak lama kemudian membawa sebuah Al-Qur'an yang telah terbuka. Di bawahnya ada sebuah kotak kayu yang menjadi tempat untuk menaruh Al-Qur'an. Al-Qur'an ini terbuat dari kulit kayu berwarna putih kekuningan.
Menurut cerita, pada tahun 1523 lima orang bersaudara dari Ternate pada masa Kesultanan Babbullah bernama Iang Gogo, Ilyas Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo dan Kimales Gogo disertai seorang mubaligh lainnya bernama Abdullah. Mereka memiliki misi yang sama dengan Mukhtar Likur, yaitu menyebarkan ajaran Islam di kepulauan Alor.
Masjid jami masyarakat Alor Kecil |
Keempat Gogo lainnya berlayar kembali dan menunaikan tugas penyebaran Islam di beberapa tempat, yaitu: Ilyas Gogo menetap di Tuabang, Djou Gogo menetap di Baranusa, Boi Gogo menetap di Solor, dan Kimales Gogo menetap di Kui, Lerabaing.
Menurut cerita, ada gambar perahu di dalam Al-Qur'an yang merupakan perahu layar yang mereka tumpangi untuk berlayar yang mereka namai Tuma Ninah yang berarti "Singgah/Berhenti Sebentar".
Aku sempat menanyakan adanya sedikit warna gelap (agak gosong) di beberapa halaman awat dan pinggiran Al-Qur'an. Menurut empunya sekarang, tahun 1982 pernah terjadi kebakaran yang memusnahkan seluruh pondok dan isi rumah termasuk seluruh benda-benda peninggalan Iang Gogo yang dibawa dari Ternate (Maluku Utara), tetapi anehnya Al-Qur'an tua ini tidak terbakar dan utuh.
Katanya ini Al-Qur'an tertua di Indonesia bahkan di Asia Tenggara karena diperkirakan usia Al-Qur'an ini sudah sekitar 800 tahun. Cukup awet juga mengingat penyimpanan barang ini tidak seperti penyimpanan di perpustakaan yang untuk benda-benda berharga seperti ini.
Menatap Senja di Alor Kecil
Candra tertawa denganku, tangannya mengacungkan huruf V saat aku memotret rombongan yang sedang mengangkat peti mati menuju perahu. Candra Saleh, nama lengkapnya dan sekarang dia sudah kelas satu di SMP dekat sini. Dia bersama Andika dan Saleh menemaniku menikmati senja di pinggir dermaga.
Sore itu tidak banyak aktivitas perahu, hanya ada satu rombongan beberapa orang yang mengangkut peti mati itu. Katanya mereka mau membawanya ke pulau Pantar. Cuma Andika yang masih kelas empat SD, namun dialah yang paling semangat bercerita. Orang tua Andika tinggal di samping dermaga yang membuka warung untuk para penumpang yang akan dan ke pulau Pantar dan pulau Pura.
Candra, Andika dan Saleh: anak-anak Alor Kecil |
Ada beberapa pulau lain yang dengan fasih disebutkan oleh Andika yang aku sendiri sudah susah mengingatnya. Andika juga bercerita tentang bagaimana pulau-pulau ini membentuk bagian-bagian tubuh naga. Ada satu pulau Ternate yang ditunjuk oleh Andika. Nama ini berbeda dengan nama Ternate yang kita kenal, namun punya sejarah yang berhubungan dengan orang-orang yang menemukan pulau ini. Asyik juga bercerita dengan mereka. Anak-anak yang masih polos ini bercerita banyak hal tentang kampung mereka, tentang cita-cita dan keinginan mereka suatu waktu nanti saat mereka besar.
View pulau Kepa senja hari, bukit di belakang adalah Pulau Pura |
Rumah dan warung Andika di samping dermaga |
Di bawah dermaga tampak air yang berwarna bening berkecipak, namun di pinggir dinding dermaga banyak sekali mahluk laut berwarna hitam dengan duri-duri panjang yang menyeruak memenuhi seluruh badan mereka. Mahluk laut inilah yang biasa disebut Bulu Babi. Jangan meremehkan mahluk itu, jika sampai kalian tertusuk maka sangat mungkin kamu akan merasakan rasa pegal dan kebas beberapa hari. Mungkin ada semacam racun tertentu yang mengakibatkan rasa itu, sangat berbeda dari sekedar tertusuk benda runcing. Banyaknya binatang seperti ini juga pertanda kalau terumbu karang di daerah itu sudah banyak mengalami kerusakan.
Namun Candra dan Andika menyakinkanku, kalau masih banyak tempat yang memiliki terumbu karang yang bagus. Salah satunya pulau Kepa di depan kami. Bahkan tak jauh-jauh, di seberang kanan dermaga ini juga masih banyak terumbu karangnya.
Berenang di Pulau Kepa Dengan Mereka
Pak Darto berhati-hati menaiki perahu yang masih suka oleng kecil kekiri kanan dihempas riak-riak kecil. Jangan tanya dengan Danu, Candra dan beberapa anak lain yang dengan lincah meloncat ke atas perahu. Perjalanan ke pulau Kepa bukan cuma kami sendiri. Selain kami berempat, anak-anak dari pulau Kepa juga turut. Tak kurang dari tujuh anak ikut, termasuk Candra dan Danu. Suasa perahu menjadi ramai oleh anak-anak. Sayang Andika dan Saleh tidak bisa ikut, padahal kemarin rencananya mereka juga mau ikut. Perahu yang aku gunakan ini milik ayah Candra yang kami sewa dua ratus ribu untuk pulang balik. Sebenarnya kalau mau menawar masih bisa mendapatkan harga seratus sampai dengan seratus lima puluh ribu rupiah.
Anak-anak di atas perahu yang sudah rusak |
Perjalanan tak lebih dari sepuluh menit dan langsung merapat ke dermaga yang berada di sisi berhadapan dengan dermaga Alor Kecil. Begitu perahu mendekati dermaga, air berwarna biru tosca langsung menyambut mataku. Pemandangan terumbu karang jauh di bawah air terlihat jelas, mungkin karena airnya sangat jernih dan laut mulai surut.
Pak Sueb di pantai masih di bagian kepala Alor |
Aku dan teman-teman mengikuti anak-anak, mereka menelusuri sisi utara hingga bertemu dengan sebuah resort dengan rumah-rumah berbahan kayu dan atap ilalang dan berpagar kayu. Resor ini katanya milik seorang bule yang telah lama menjadi pemandu wisatawan asing yang ingin melakukan penyelaman di Kepa.
Sekedar informasi, Alor ini punya lokasi penyelaman yang disebut-sebut salah satu terbaik di dunia. Tentu saja hal ini tidak bisa aku buktikan sendiri karena aku tidak punya lisensi dan pengalaman menyelam. Bule ini sangat ketat persyaratan, mereka tidak akan pernah mengijinkan kita menyelam jika tidak punya lisensi. Apalagi di beberapa titik penyelaman yang viewnya sangat indah juga terkena berbahaya.
Kegembiraan anak-anak yang begitu polos |
Akhirnya kami dibawa disebuah pantai yang menurut mereka menjadi favorit para bule untuk menyelam. Sayangnya tidak untuk snorkling karena karang landainya jauh, jadi kami harus berjalan beberapa puluh meter sebelum menemukan kawasan terumbu karang.
Akhirnya kami balik lagi ke tempat semula. Memang di tempat semula kami tidak bisa berenang terlalu jauh karena kondisinya pantainya curam, beberapa meter ke depan langsung laut dalam. Aku juga sempat merasakan air tiba-tiba berubah dingin, hal yang menjadi kan Pak Sueb mengalami kram kaki sehingga berpindah ke pinggir. Yang paling asyik adalah Danu, dia berkesempatan banyak menikmati alam bawah laut dengan kacamata pinjaman kami. Anak-anak tampak begitu tertarik, padahal kami kira mereka sudah sangat biasa dengan pemandangan seperti ini.
wahhhh keren tuh musaf alqurannya....wah tuh Alquran harusnya disimpan dimusium tuh..bersejarah...atau masjidnya dijaga dengan baik...ya sebagai aset daerah gituw...
BalasHapusWah kalau museum punya pemda belum tentu terurus der, tau sendiri kinerja pemda kayak apa... jangan2 malah nanti hilang.. mungkin museum nasional bisa tuh karena emang berharga sekali tuh alquran
HapusFoto anak-anak di atas perahu manis sekali...ini dalam rangka dinas ya mas?
BalasHapusAku memang sering jalan diantara waktu dinas kok mbak, asal gak mengganggu jadwal kantor aja
Hapusaloooooooooooooooooorrrr #antusian sayang bgt kmrn aku ke alor besar singgah di mesjid tapi gak singgah di tempat alquran itu :( alor bener2 keren :D
BalasHapusTinae: sayang tuh, padahal di sebelah mesjid tuh tempat alquran disimpan
HapusAlqurannya bagus walaupun rapuh... memang sih lebih baik disimpan pihak mesjid agar terus dibaca daripada disimpan di musium hanya menjadi pajangan semata.... btw gradasi lautnya bagus banget tapi kelihatan sekali kalau arusnya dewa...
BalasHapussepertinya memang tidak boleh sering dipegang supaya gak cepet rusak.. sayang karena itu benda yang berharga sekali
HapusSaya dari ternate salam kenal ya...
BalasHapusSalam kenal mas Fikri, semoga saya bisa ke Ternate juga suatu saat nanti. Salam hangat dari bumi NTT
Hapus