Halaman

Minggu, 28 Juli 2013

Antara Perbatasan Mota'ain dan Kolam Susuk

Orang memancing ikan di Kolam Susuk, tenang tapi banyak nyamuk
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman

Ada yang ingat tulisan ini? Ya, mungkin bagi yang pernah merasakan musik-musik di era 70-an yang juga masih terdengar di era 80-an masih bisa mengingat syair lagu ini. "Kolam Susu", itulah judul lagi yang diciptakan Koes Plus. Apa hubungan lagi ini dengan tulisanku? Nanti aku ceritakan lengkapnya.

Mota'ain: Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Gaya narsis anak jaman sekarang, orang tua gak mau ketinggalan :p
Tulisan buat bulan Juli ini... dari kemarin mikir terus mau nulis apa, padahal liat di list gak ada tulisan sama sekali untuk bulan Juli ini padahal tanggalnya udah tinggal menghitung hari (Krisdayanti mewek...). Lagian bulan puasa, emang bawaannya males mau bikin tulisan.
Untungnya tadi sore kerjaan dah kelar trus temen yang ngajak buat mampir buat liat perbatasan Indonesia-Timor Leste di Mota'ain. Ya udah, sambil ngabuburit buat buka, aku iyain aja ajakannya, lagian aku juga punya rencana sekalian mau ngeliat Teluk Gurita. Kebetulan dapet pinjem kendaraan buat jalan.
Sekitar jam setengah tiga abis kerja kita balik sebentar ke hotel buat ganti baju sekalian ambil kamera. Kali ini aku cuma bawa kamera yang udah terpasang lensa wide 11-16mm, lensa tele 90mm fix yang biasanya aku bawa kelupaan di rumah jadi gak kebawa.
Ups... buat informasi yang gak familiar dengan perjalananku. Saat ini aku ada di Atambua, Kabupaten Belu tempat biniku dilahirkan. Jarak dari Kupang-Belu jika ditempuh lewat darat cukup lama sekitar enam sampai tujuh jam perjalanan (sekitar 270 km). Kalau mau lebih cepet bisa pake pesawat yang biasa terbang tiga kali seminggu, tapi pesawat kecil lho yang cuma muat paling banyak 12 orang.
Membuktikan diri kalau sudah meninggalkan Indonesia :D
Belu ini merupakan daerah yang menjadi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Nah daerah Mota'ain itu desa di Timor Leste yang berbatasan dengan desa Motamasin Kabupaten Belu. Dari Atambua, pak Nyoman yang menemaniku mengambil jalur potong melalui Haliwen-Mota'ain yang lebih cepat yang dapat ditempuh hanya setengah jam perjalanan. Sayangnya sebagian kondisi di jalur ini banyak yang  kondisinya kurang baik bahkan ada beberapa titik terdapat jalan yang mengalami patahan yang mengakibatkan jalan amblas beberapa puluh senti, lumayan harus bikin kendaraan hati-hati. Tapi memang jalur ini yang sering juga digunakan kendaraan travel untuk sampai ke Mota'ain karena jarak yang paling pendek. 
Setengah jam kemudian, aku sampai di perbatasan. Setelah lapor ke pos polisi yang berada tepat di pertigaan masuk perbatasan, kendaraan belok ke kanan menuju sebuah gerbang selamat jalan milik Indonesia. Tadi di pos, polisi memberitahukan supaya kami tidak melangkah melebihi garis kuning karena beberapa hari ini sedang ada ketegangan di Timor Leste. Mobil terlebih dahulu diparkirkan di area pasar perbatasan yang sudah ditutup, pasar gagal padahal sudah menghabiskan banyak biaya, sayang sekali.
Ternyata garis kuning itu dekat sekali, persis di ujung akhir jembatan. Waduh, padahal gerbang Timor Leste masih kelihatan jauh. Tapi berhubung ada beberapa rombongan cewek yang cuek melewati garis kuning akhirnya kami juga ikut juga, sambil bertanya-tanya sampai dimana batas boleh lewat. Emang penyakit narsis itu gawat juga, sampai batas aman juga dilewati demi mendapatkan bukti otentik sudah sampai ke perbatasan. Sepertinya batas itu menunggu bunyi dor hahhahaha.... 
Untung, sepertinya kondisinya gak setegang seperti informasi di pos polisi sampai akhirnya kami bisa mendekat sampai di dekat pintu gerbang pos perbatasan Timor Leste. Di tengah-tengah gerbang itu, rupanya banyak kambing yang berkeliaran, tapi gak tau berkewarganegaraan mana (lumayan bisa diculik buat jadi kambing guling). 
Lokasi perbatasan ini juga sering disebut dengan nama Batu Gade (Batu Gede), waktu aku tanya pak Nyoman asal kata itu, katanya di laut ada sebuah batu besar yang kemudian dikenal masyarakat untuk menamai daerah perbatasan ini.
Sebuah pantai di sebelah dermaga TPI Atapupu
Gak lama setelah di perbatasan, kami melanjutkan perjalanan ke Atambua tapi lewat jalur Atapupu. Jalur ini lebih jauh untuk sampai ke Atambua tapi kondisi jalannya jauh lebih bagus. Sebenarnya dalam perjalanan itu ada dua lokasi wisata yang satu dimiliki pemda dan satu lagi dimiliki masyarakat. Nah yang dimiliki masyarakat ini sebenarnya lebih enak suasananya, tapi aku gak mampir karena pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan. Itu terjadi beberapa tahun lalu yang saat itu permasalahan pengungi dari Timor Leste masih hangat. Waktu itu kami berempat sedang mencoba melihat daerah Atapupu. Waktu melihat lokasi ini kami mau turun, eh tiba-tiba ada orang (sepertinya pengungsi Timor Leste yang membangun gubuk di lokasi ini) mencegat kami dan meminta bayaran 20ribu per orang dengan wajah yang galak. Bayangkan waktu itu di sebuah lokasi yang jauh dari kata memadai hanya tempat untuk menikmati pantai tanpa fasilitas minta biaya 20ribu per orang... bah karuan saja kami langsung kabur.
Kami juga sempat diajak mampir ke TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang sayang kondisinya sama seperti pasar perbatasan yang sama-sama sudah ditutup. Biaya milyaran yang berakhir tidak memberi manfaat apa-apa.

Kolam Susuk
Sebuah tulisan Kolam Susuk besar di atas bukit sebelah pintu masuk
Beberapa kilo mendekati jalur masuk ke arah kolam susuk ternyata ada jalan tampak melambat, ternyata ada rombongan yang sedang ada acara memindahkan patung Maria. Untungnya pertigaan ke kolam susuk sudah dekat jadi kami tak harus berlama-lama di dalam kendaraan yang bergerak seperti siput. Jalan kolam susuk sedang dalam perbaikan jadi kondisinya baru sebatas batu dihampar namun telah dilakukan perkerasan. 
Nah, syair yang ditulis Koes Plus ini ada hubungannya dengan tempat ini. Untuk informasi, kolam susuk ini pernah dikunjungi salah satu anggota Koes Plus, Yok Koeswoyo pada tahun 1971 yang kemudian menginspirasinya menciptakan sebuah lagu berjudul Kolam Susu pada tahun 1974 dan menjadi salah satu lagu hit yang pada intinya menceritakan keindahan dan kayanya bumi Indonesia (tapi masyarakatnya tetep miskin.. hiksss ). Tapi kolam susuk bukan artinya kolam susu lho, jauh... justru susuk itu artinya nyamuk, jadi kolam susuk itu jelas maksudnya kolam yang banyak nyamuknya hehehehe....


Tambak di sekitar Kolam Susuk
Kolam Susuk saat ini sudah ada kegiatan pemugaran walau kesannya hanya sekedar proyek menghabiskan uang yang tidak direncanakan dengan matang. Kendaraan tidak bisa masuk walau gerbangnya besar karena dibangun di tengah-tengah sebuah prasasti pendirian kolam susuk. Dan yang lebih lucu lagi ada tulisan besar keren yang dipasang di atas bukit macam seperti tulisan Hollywood. Kenap lucu, karena penempatannya yang jadi malah tidak terbaca. Jika tulisan itu dibuat besar kan pasti tujuan awalnya supaya bisa terbaca dari jauh, nah tulisan ini justru dibuat di atas bukit kolam susuk namun justru tulisan kolam susuk menghadap ke dalam bukan keluar jadi orang yang mau melihat tulisan ini harus masuk ke dalam kolam susuk. Apakah setelah masuk bisa membaca tulisan ini? Tidak, karena pohon-pohon akan menghalangi kita membaca tulisan itu. Jadi satu-satunya jalan anda harus naik bukit dan persis di depan tulisan kolam susuk itu baru bisa terbaca. Jadi buat apa dibuat besar-besar tulisannya hahaha.... Di foto itu, agar bisa terbaca kolam susuk, aku harus memotret dari belakang lalu aku baik fotonya karena kalau difoto dari depan susah terhalang pepohonan, lensa wide 11 mm membantu membuat tulisan ini bisa terbaca tapi kalau anda hanya memotret dengan kamera dengan panjang fokal biasa atau kamera hape, aku gak menjamin bisa mendapat foto seperti itu.


Matahari menjelang senja di Kolam Susuk
Tapi di luar itu suasana kolam susuk sebenarnya cukup menyenangkan. Aku melihat beberapa orang sedang asyik memancing di kolam ini. Katanya sih mereka memancing mujair, walau sebenarnya ada juga bandeng. Pada hari seperti ini memang kolam susuk cenderung sepi, hanya pemancing saja yang datang. Biasanya suasana menjadi ramai kala hari libur. Daerah sekitar kolam susuk adalah kawasan tambah bandeng, dan udang. Bandeng dari daerah ini dikenal enak rasanya karena tidak bau lumpur seperti umumnya bandeng di tempat lain. Jadi kalau kesini jangan lupa untuk mencari ikan bandeng sebagai oleh-oleh. Pernah satu kali aku makan bandeng yang dibakar langsung disini beberapa tahun lalu saat lebaran bareng saudara-saudara istriku waktu itu.

Teluk Gurita
Salah satu sudut lain dari teluk Gurita
Dari kolam susuk, karena satu arah jadi kendaraan sekalian melaju menuju ke teluk Gurita. Menurut informasi dari pemda, teluk Gurita akan digunakan sebagai tempat persinggahan para peserta Sail Komodo yang akan mampir ke Atambua. Teluk Gurita ini sebenarnya digunakan dermaga feri dahulunya tapi katanya sekarang sudah tidak dipakai lagi. Jika jalan dari pertigaan sampai ke kolam susuk sedang dalam peningkatan, maka jalan dari kolam susuk sampai ke teluk gurita masih belum ada perbaikan. Selain kondisi jalan yang sudah bolong disana-sini, ada satu titik dimana jalan di tepi pantai separo sisi sebelah pantai amblas termasuk tembok penahan pantainya.
Letaknya di teluk jadi suasana lautnya tenang, dan menurut pak Nyoman di teluk ini cukup dalam jadi cocok jadi tempat persinggahan peserta sail komdo karena umumnya kapal layar yang digunakan peserta punya ekor ke bawah yang cukup dalam yang berfungsi sebagai penyeimbang perahu.
Terdapat sebuah dermaga dan bangunan penumpang serta rumah penjaga yang sudah terbengkalai. Suasana di teluk gurita sepi, hanya ada beberapa rumah nelayan di ujung sisi teluk. 

Aku dan temanku kembali sekitar jam lima sore berharap dapat kembali ke Atambua sebelum waktu berbuka puasa. Perhitungan kami dari teluk Gurita sampai ke Atambua sekitar setengah jam saja atau paling telat 3/4 jam. Tapi ternyata di luar dugaan kami, kami harus bertemu kembali dengan rombongan pembawa patung Maria yang ternyata sedang prosesi akhir penyerahan kepada pihak penjemput sebelum dibawa masuk ke dalam gereja. Aduh ternyata prosesi ini cukup panjang, hingga akhirnya kendaraan harus berhenti di tepi jalan sampai prosesi berakhir sekitar jam enam sore. Lewat sudah kesempatan berbuka, karena memang aku tidak menyiapkan berbuka. Aku membatalkan puasa dengan memakan sedikit buah kom. Bagi yang tidak kenal buah kom, buah ini berasal dari pohon kom, pohon berduri dan berdaun kecil-kecil yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Buahnya yang mentah berwarna hijau, sedang yang tua berwarna merah. Rasanya asam manis dan ada juga rasa sepatnya.
Akhirnya kendaraan baru bisa masuk Atambua jam setengah tujuh dan langsung kami menuju ke tempat makan untuk berbuka tanpa kembali ke hotel.

Catatan: Perjalanan dari Kupang ke Atambua bisa ditempuh lewat darat dengan naik bus biasa (bus mini) sekitar 60 ribu atau naik travel (Timor Travel) dengan biaya 95ribu yang berangkat pagi sekali atau siang hari. Kalau naik travel memang lebih mahal tapi tidak perlu ke pool-nya cukup telepon nanti ada yang jemput dan juga di tempat tujuan akan diantar sampai ke tempat yang kita tuju. Kalau dari Kupang langsung ke Dili biaya sekitar 200ribu, siapkan passpor kalau mau kesana.