Halaman

Senin, 01 April 2013

Menatap Pagi di Bromo

Semburat warna pagi dari penanjakan: view gunung Bromo dan Semeru
Menunggu pagi memancarkan sinar matahari membuat jari-jari tangan kananku yang memakai sarung tangan terasa kaku dan dingin. Serba salah, jika aku memakai sarung tangan terus terang aku kesulitan untuk mengoperasikan tombol-tombol dan tuas kamera Canon EOS 550D. Suhu di Penanjakan memang masih belasan derajat, masih terbilang suhu biasa saja bagi penduduk di sini tapi tetap terlalu dingin bagiku meski telah menggunakan penutup kepala dan sarung tangan. Untung aku bisa menaruh tripod dan kamera persis di depan pagar walaupun di bagian bawah, di bagian atas orang sudah ramai berkerumun menunggu matahari pagi muncul dari sisi Timur. Beberapa kali setelah menjepretkan kamera aku mengibas-kibaskan tangan yang serasa kaku mengusir rasa kejang  dan beku.

Perjalanan yang tak kurencanakan pada awalnya, karena memang awalnya aku malah merencanakan untuk melakukan backpacking antar kota keliling Jawa dalam beberapa hari. Karenanya aku tidak membawa banyak pakaian toh pertimbanganku aku bisa beli beberapa baju di tempat yang aku singgahi. Namun karena perhitungan waktu yang bergeser sehingga akhirnya aku tidak jadi backpacking-an. Tapi ada sisa waktu yang jika kuperhitungkan bisa untuk mengunjungi Bromo.

Menunggu di stasiun Senin, cukup nyaman
Perjalanan dimulai dari rumah adikku di Cibubur, Jakarta Timur. Aku berangkat jam dua siang karena belum membeli tiket kereta api karena ternyata tiket kereta api tidak bisa dipesan setelah H-2, jadi harus dibeli langsung di stasiun. Dengan pertimbangan arus sore yang macet,  kakakku menyarankan untuk naik dengan commuter dari stasiun Depok.

Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di stasiun. Situasi stasiun Senin agak membuatku kaget karena walaupun gedung-gedungnya masih sama namun situasinya sudah berubah banyak banget. Aku buru-buru saja antri di bagian pembelian tiket namun setelah sampai depan baru tahu kalau harus menulis di lembar pemesanan tiket. Haduh, akhirnya aku balik ulang cari tempat mengambil lembar pemesanan tiket. Begitu dapet kertasnya gantian aku celingukan cari ballpoint... Ternyata beli tiket sekarang lebih ribet, cuma lebih aman juga sih jadi gak ada calo yang mondar-mandir tawarin tiket. 

Akhirnya jam enam aku bisa duduk di kursi nomor 7 di bagian Ekonomi AC. Awalnya aku mau ambil yang bisnis, tapi ibu yang menjual ballpoint dan membantuku menulis malah menuliskan kelas kereta api Ekonomi AC bukan Bisnis seperti mauku. Ternyata dia benar, walaupun suasana tempat duduk sama dengan kelas Ekonomi namun  lebih nyaman karena ada AC di dalamnya, dibanding dengan kelas Bisnis yang hanya mendapatkan kipas angin.

Setelah melewati 12 jam perjalanan dengan kereta api, paginya kereta api sampai juga di stasiun Pasar Turi, Surabaya. Setelah minum kopi dan sarapan pagi, aku melanjutkan perjalanan ke terminal Terboyo. Dari terminal Terboyo aku mengambil bis Patas AC jurusan ke Malang. Aku sebenarnya mengambil jurusan yang kurang pas, tapi jalur ini aku ikuti berdasarkan hasil pencarianku diinternet tentang rute perjalanan ke Bromo. Sekitar tiga perjalanan, sampailah aku di terminal Arjosari, Malang. Cuaca sampai di Malang mulai menunjukkan mendung. 

Setelah mengisi perut lagi di terminal Arjosari, aku mencari informasi ke orang-orang. Dari mereka aku mendapatkan arahan supaya naik bis jurusan Malang-Probolinggo. Kembali perjalanan hampir tiga jam aku lalui di atas bis untuk sampai ke Probolinggo. Hujan turun deras sekali waktu bis melewati daerah Lawang, sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena aku saat itu belum tahu sejauh mana Probolinggo.

Setengah empat, bis masuk ke terminal Probolinggo. Dari terminal Probolinggo, aku keluar dan berjalan beberapa meter ke sebelah kiri terminal. Di depan warung makan ada mobil angkutan jenis Colt warna biru jurusan terminal Probolinggo-Bromo. Karena menurut penjelasan mas Suhan yang menyupiri, baru enam orang yang siap ke Bromo. Semangkuk bakso dan kopi kedua kembali mengisi perutku menunggu penumpang lain.

Tunggu punya tunggu, baru tambah satu orang yang datang. Karena sudah sore, aku coba tanya mas Suhan gimana caranya supaya kita bisa berangkat lebih cepat. Mas Suhan menawarkan alternatif, angkutan miliknya bisa muat sampai dengan 15 orang dengan biaya 25ribu  per orang. Kalau mau berangkat sekarang mas Suhan mau kalau tiap orang mau bayar lebih menjadi 50ribu per orang. Aku coba sampaikan hal ini ke teman-teman baru seperjalanan, namun ada sedikit kendala satu orang bule cewek yang keberatan membayar 50ribu. Dia sendiri tetap menolak meskipun yang lain bersepakat membayar lebih untuk selisih lebih sehingga bule itu tetap membayar normal 25ribu. Menurutnya itu gak fair. Dia bahkan lebih memilih untuk ditinggal dan berangkat besok. Setelah merayu sekitar sepuluh menit (asli yang ini ngarang, gak ada orang lihat jam cuma buat tahu berapa lama proses merayu hihihi) akhirnya si bule cewek itu mau juga ikut dan dia mau bayar 50ribu. Nah lho, giliran mau ikut maunya harganya tidak dibedakan... (icon bingung)

Ternyata setelah dihitung ada tambahan satu orang bule lagi. Wah mas Suhan lagi beruntung, artinya mas Suhan dapat 350ribu untuk keberangkatan hari ini.

Cemoro Lawang berselimut kabut
Colt yang dikendarai mas Suhan akhirnya melaju menyusuri Probolinggo sampai kemudian masuk ke kanan. Jalan yang semula datar mulai berubah menanjak, penunjuk ketinggian di jam tanganku menunjukkan kenaikan ketinggian yang begitu cepat. Di kendaraan, kami mulai saling berkenalan. Ada Sarah yang datang sendiri, rencana awalnya dia mau ke Bromo bersama teman-temannya. Katanya, dua orang temannya nanti datang menyusul menggunakan kendaraan sendiri. Ada pasangan yang awalnya kukira keduanya peranakan China, apalagi yang pria mengaku dengan nama Achlung (siapa yang tidak mengira kalau nama Achlung itu peranakan China?) dengan teman perempuannya bernama Dinda. Yang bule terus terang aku lupa namanya, karena yang paling sering ngobrol sama bule itu ya si Sarah. Jarak sejauh kurang lebih 65km ditempuh dalam waktu hampir satu setengah jam. Jalan sempit dan berkelok-kelok dengan jurang-jurang yang dalam tampak di depan mata menuju ke Cemoro Lawang. Itu adalah tempat tujuan kami, yang merupakan desa terakhir yang berhadapan langsung dengan gunung Bromo.

Setengah enam kami sampai di Cemoro Lawang. Memasuki beberapa desa terakhir ke arah Bromo, mata kami disambut pemandangan sawah-sawah yang ditanami kol, wortel dan beberapa tanaman khas daerah ketinggian. Masyarakat yang berjalan rata-rata menggunakan jaket tebal dan bertopi rajut. 

Sesuai dengan arahan mas Suhan dan cocok dengan informasi yang kuterima, maka kami menuju ke Wisma Yog. Ternyata sewa di Wisma ini sudah naik dari informasi terakhir yang aku terima. Namun pak Yogi yang sendiri menyambut kami menunjukkan kami bangunan baru di bagian belakang yang ada kamar mandi di dalam. Kalau di bagian depan yang tidak punya kamar mandi di dalam harganya 125ribu sifatnya sharing kamar mandi. Kalau di bangunan belakang harganya 200ribu yang ada air panasnya.

Hamparan pasir dan Bromo di senja  hari
Cemoro Lawang suhunya terasa dingin, walaupun perkiraanku masih di sekitar belasan derajat. Namun ketinggian desa ini telah menunjukkan 2200 meter dpl. Untungnya jika datang pada bulan-bulan seperti ini suhunya tidak terlalu dingin hanya hujan sering terjadi. dari Cemoro Lawang, gunung Bromo telah nampak karena memang Cemoro Lawang tepat berada di pinggi jurang dari kawasan Bromo. Karena kabut belum turun, tanah berpasir tampak jelas mengelilingi gunung Bromo. Dari sini tampak sebuah bangunan di kejauhan yang kata pak Suhan adalah sebuah pura.

Untuk perjalanan esok hari kita sepakat akan menyewa Jeep yang memang biasa digunakan untuk mengunjungi Bromo. Namun terjadi sedikit permalahan karena jumlah orang yang akan ikut angkanya tidak genap hanya sembilan orang. Satu buah Jeep dapat digunakan maksimal untuk enam orang, dua di depan dan empat di belakang. Biaya sewa Jeep dipatok 450ribu untuk dua lokasi yaitu Penanjakan dan Bromo. Kalau ingin menambah lokasi harus menambah biaya langsung ke sopir Jeep-nya, menurut mas Suhan sekitar 100ribu per lokasi tambahan. Akhirnya aku sepakat dengan Achlung, Dinda dan Sarah untuk menyewa Jeep karena kami rencana akan sampai ke dua lokasi tambahan selain Penanjakan dan Bromo yaitu lautan pasir dan padang savannah.

Di sepanjang jalan menuju kesini sudah banyak berdiri wisma dan hotel, demikian di daerah Cemoro Lawang sehingga fasilitas-fasilitas tambahan dengan mudah ditemui seperti jika lupa membawa jaket tebal bisa menyewa di sini dengan sewa sekitar 25ribu. Topi rajut dan kaos tangan juga barang harus disiapkan. Topi-topi ini banyak dijajakan oleh masyarakat sekitar dengan harga 10ribu per topi, sedangkan kaos tangan seharga 5ribu.

Hari ini kami berangkat tidur lebih awal karena rencananya kami berangkat setengah empat pagi untuk melihat sunrise. Jam setengah empat saat kami bangun sudah banyak aktifitas dari Wisma ini dan beberapa wisma di sebelahnya. Achlung dan Dinda bersiap dengan sebuah tas kecil di belakang. Aku sendiri menebak-nebak apa isi tas backpack kecil itu. Sementara yang lain tidak membawa tas lain kecuali tas kamera termasuk aku. Setelah perlengkapan seluruh siap kami mulai meluncur. Dari Wisma Yog, Jeep kami berputar ke kanan menuju jalan ke arah bawah. Setelah melewati pos penjagaan, kendaraan kami mulai menurun tajam melewati jalan yang sebagian telah di beton. Dalam suasana yang terasa gelap, Jeep menderu membelah lautan pasir, beberapa kerlip lampu yang bergerak menunjukkan ada kendaraan jeep lain yang telah berjalan di depan kami. Setelah melewati lautan pasir, kendaraan kembali naik menanjak ke arah perbukitan dengan jalanan yang sempit dan berkelok-kelok tajam. Setengah jam sampailah kami di ujung Penanjakan. Suasana sudah ramai sekali, banyak Jeep yang telah terparkir. Sepanjang jalan menuju ke atas juga sudah banyak warung-warung makan dan souvenir yang dibuka. Semangkuk mie dan segelas kopi kembali mengisi perutku sebelum kami naik ke atas, lumayan untuk mengusir hawa dingin. Maklum dengan ketinggian yang lebih dari 2250 meter dpl dan sepagi ini, suhu yang mungkin sudah di bawah belasan membuat tangan kaku jika tak bersarung tangan.

View Bromo saat matahari pagi tertutup awan
Sesampai di atas, suasana masih tampak gelap. Namun rupanya sudah banyak orang yang berdiri menunggu matahari terbit. Aku lihat beberapa fotografer ada yang sudah mencoba memotret mungkin ingin mengabadikan suasana malam. Ruangan terbuka mulai penuh sesak terutama di bagian pinggir pagar. Nyaris tak mungkin aku bisa mendapatkan spot jika disini. Aku coba berkeliling melihat-lihat apakah ada lokasi nyaman untuk memotret pemandangan berlatar Bromo. Aku berjalan ke samping kiri ke arah sebuah menara pemancar. Dari samping  terdapat jalan menurun ke bawah, dan ternyata tak ada seorang pun yang berdiri di situ, entah alasannya apa. Akhirnya aku putuskan turun ke sana sehingga bisa memasang tripod dan kamera tepat di pinggir pagar. Tapi ternyata itu tak lama, melihat aku berdiri sendirian di bawah, beberapa orang mulai ikut turun tapi tetap tak berani dekat dengan kameraku. Beberapa fotografer bahkan ada yang keluar pagar agar tidak terhalang oleh adanya pagar.

View Bromo saat matahari mulai meninggi
Akhirnya pagi yang ditunggu pelahan mulai datang, sayang awan masih ingin bermanja-manja tak menghilang. Dikejauhan di hamparan pasir Bromo, kabut putih mulai datang menutupi dataran. Tanganku yang tidak bersarung tangan membuat rasa kebas, dingin seperti makin parang menjelang pagi. Bromo mungkin hari ini tidak memberikan pertunjukan terbaik, namun tetaplah rasanya menyenangkan sekali bisa berdiri di Penanjakan memperhatikan sang surya mau berbaik hati menampakkan sinarnya membasuh lekuk-lekuk Bromo dan Semeru di kejauhan menjadi prasasti gambar yang menawan. Sebenarnya posisi matahari terbit kurang terlalu pas di atas Penanjakan karena pada posisi ini Bromo ada di sebelah Selatan sehingga posisi matahari terbit dan Bromo sekitar 90 derajat, artinya tak memungkinkan mendapatkan gambar kedua obyek itu bahkan dengan lensa 11mm sekalipun (17mm kalau di kamera bersensor APS-C). Mungkin kalau aku ke Bromo lagi aku akan mencari lokasi dimana Bromo dan matahari bisa berdampingan.

Seorang penunggang kuda berlatar Pura Luhur Poten Bromo
Sekitar jam tujuh kami mulai turun ke bawah. Jeep kembali menderu membelah jalan menuju ke bawah. Achlung menawari kue, dan ini sudah yang ketiga. Artinya tas backpack kecil mereka rupanya isinya makanan semua. Pantas saja mereka berdua subur hahaha... Sesuai urutan track, setelah dari Penanjakan kami akan menuju ke kaldera Bromo. Karena matahari sudah muncul, kami sekarang bisa melihat dengan jelas kepulan debu yang ditinggalkan Jeep saat melintasi pasir Bromo. Paduan yang eksotis, hamparan pasir yang tampak menggambarkan suasana panas berpadu dengan kabut tipis yang turun menutupi bukit-bukit sebagai gambaran hawa dingin. Kami berhenti beberapa ratus meter dari tangga menuju ke puncak Bromo. Beberapa orang dengan sigap menawari kami untuk naik kuda. Karena terus terang aku ingin menikmati suasana begini aku memilih untuk berjalan kaki. Beberapa wanita tampak memilih naik kuda, cukup menyenangkan sebenarnya. Dari titik pemberhentian sampai ke depan tangga Bromo dan mengantar kembali mereka biasanya meminta harga 100ribu. Perjalanan ke puncak Bromo melewati pura yang tampak di kejauhan dari Bromo. Pura yang disebut dengan Pura Luhur Poten Bromo inilah yang menjadi pusat lokasi waktu acara Kasada yang biasanya diselenggaran pada hari ke-14 bulan Kasada dalam kalender masyarakat Hindu Tengger. Jelas saat ini aku tak bisa mengikutinya karena kemungkinan Kasada tahun ini jatuh pada bulan Agustus-September. 

Jalan menanjak menuju Kaldera
Cukup capek juga untuk bisa sampai di bawah tangga gunung, dari sini terdapat anak tangga naik menuju kaldera bromo, jumlahnya sekitar 250 anak tangga dengan bentuk yang curam. Perjalanan ke atas cukup menguras tenaga tapi bukankah itu bagian dari perjalanan? Sesampainya di atas, aku disuguhi pemandangan lubang kaldera yang tertutup asap putih yang keluar terus menerus. Di sisi lain sebuah bendera Malaysia sedang berkibar di pegang dua ibu-ibu gemuk yang rupanya bangga bisa sampai di atas Bromo. Perjalanan kembali, aku dan teman-teman mampir lagi ke  tempat ibu-ibu yang sedang menjajakan makanan. Sebungkus mie lagi-lagi bersemayam di perut kami. 

Acara turun semuanya bersepakat naik kuda, tentunya setelah acara tawar harga disepakati. Sepertinya harga 20ribu untuk turun dengan kuda cukup masuk akal. Wal hasil, hanya akulah satu-satunya yang berjalan kaki bolak-balik. Hehehe... lumayan hemat 20ribu. Lagian sayang kan kalau bisa naik jalan kaki masak turun gak kuat jalan kaki (pembenaran atau irit ya?.. )

Dari puncak Bromo, Jeep kembali meluncur menyusuri pasir mengantar kami ke track berikutnya, Pasir Berbisik. Ternyata lokasi lautan pasir yang sekarang dikenal dengan nama pasir berbisik ini berada di sebelah selatan Bromo. Lokasi ini terkenal dengan sebutan itu sesuai dengan film yang pernah dibuat berlatar Bromo dengan judul yang sama, Pasir Berbisik. Sesampai disana kami disuguhi view lautan pasir yang luas sekali, yang cocok untuk dibuat set film padang pasir. 

Kepulan debu dari Jeep di lautan pasir Bromo
Tak lama kemudian kami di antar ke track terakhir: Padang Savanna. Jika sebelum kami disuguhi pasir maka di padang Savannah ini kami disuguhi pemandangan hamparan rumput dan bunga-bunga khas daerah dingin yang sedang berbunga. Warna-warna putih bunga rumput, bunga kuning dan ungu tampak mendominasi pandangan termasuk beberapa perdu yang telah mati berwarna coklat.

Seharusnya sesuai dengan perhitungan, kami sudah harus menyelesaikan semua track sebelum jam setengah sepuluh agar bisa menuju ke satu lokasi lagi yang dari kemarin sudah diincar oleh Achlung, namanya air terjun Madakaripura. Tapi ternyata perhitungan kami meleset karena kami baru selesai dan mau kembali ke Cemoro Lawang jam 10 lewat. Saat kami kembali, cuaca yang semula cerah mulai tampak mendung. Kabut mulai turun pelahan sehingga jalan menjadi temaram.

Sesampainya di Wisma Yog kami kembali berunding apakah akan melanjutkan ke air terjun Madakaripura ataukah langsung kembali ke Probolinggo. Mas Suhan yang mau mengantar kami sebenarnya mengingatkan kondisi yang tidak tentu dari Madakaripura terutama jika cuaca sedang hujan dan berkabut terus menerus seperti ini. Selesai berkemas-kemas dengan semua barang, dengan Colt yang dikendarai mas Suhan kami meluncur turun. Kami sepakat jika cuaca seperti sekarang ini terus menerus kami akan langsung kembali ke Probolinggo, namun jika di percabangan arah Surabaya dan Probolinggo cuaca cerah kami akan melanjutkan ke lokasi Madakaripura.

Achlung dan Dinda di Pasir Berbisik
Ternyata sepanjang jalan cuaca makin pekat, tak lama kabut yang makin gelap berubah menjadi hujan sehingga nyaris aku hampir membatalkan perjalanan ini. Apalagi setelah melewati pasar Sukapura dan mendekati ke arah cabang pertigaan hujan masih juga turun walau kabut mulai berkurang. Namun ternyata di pertigaan cuaca justru cerah sehingga walau ada kemungkinan tak bisa sampai ke Madakaripura kami mencobanya. Dari percabangan, kami turun ke arah jalur ke Pasuruan/Surabaya. Kami turun terus ke bawah sampai bertemu papan petunjuk bertulis arah ke Madakaripura. Dari percabangan kendaraan kami masuk ke dalam sekitar empat kilometer ke dalam sampai bertemu di pintu masuk bertuliskan nama lokasi air terjun Madakaripura. Di depan tampak patung Gajah Mada sedang dalam posisi semedi. Menurut cerita, di bawah air terjun Madakaripura terdapat sebuah gua yang menjadi tempat pertapaan maha patih Gajah Maja. Sayang cuaca gerimis. Karena sudah merasa tanggung kami dengan menyewa jas hujan dengan ditemani guide tetap masuk ke dalam lokasi air terjun yang jaraknya sekitar satu kilometer ke dalam. Perjalanan ke dalam tidak mudah karena jalan setapak yang pernah dibangun telah banyak yang hancur diterpa banjir bandang yang kerap datang. Itu lah kenapa saat kondisi cuaca tidak bagus, lokasi air terjun ini sering kali ditutup untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan seperti kejadian beberapa hari lalu. 

Kalau aku hitung lebih dari delapan kali kami harus bolak balik menyeberangin sungai yang penuh batuan. Kadang-kadang kami berjalan di sisa jalan setapak yang masih bagus namun pada jalan yang telah hancur dan tidka menyisakan apapun mau tidak mau kami harus melintasi sungai kembali. Cukup melelahkan, sementara hujan gerimis terus membasahi jas hujan. Beberapa orang mulai menunjukkan keputusasaan karena rasanya sudah jauh berjalan namun tidak bertemu dengan air terjun yang dimaksud. Sampai kemudian kami melihat puncak dari air terjun yang begitu tinggi hingga semangat kami kembali. setelah melewati sungai terakhir yang agak dalam yang membuat celanaku basang sampai di atas lutut maka di tepi batu besar kami disambut air terjun kecil-kecil yang turun seperti gerimis. Ternyata untuk sampai ke air terjun kami harus melewati beberapa air terjun yang jatuh. Akhirnya kami sampai di depan air terjun Madakaripura. Kelelahan kami terbayar.... namun sayang kamera tetap harus diam tenang di dalam ransel, tempias air yang terbentur di tanah terlalu kuat apalagi dengan kondisi gerimis seperti ini. Pantas saja setiap orang yang telah sampai ke air terjun ini pasti pulang dengan kondisi basah kuyup. Sepertinya payung menjadi properti yang tidak boleh tidak harus dibawa jika ingin datang dan memotret disini, syukur-syukur jika kamera dan lensa yang dibawa berbodi tahan cuaca (weather seal) karena sepertinya tempias air yang halus rawan merusak kamera yang tidak didesain di kondisi seperti ini.



Sebelum pulang, kami mampir di satu-satunya warung yang buka tak jauh dari air terjun. Lagi-lagi mie rebus kembali kami santap, tapi sekarang tersedia gorengan yang baru selesai diangkat dari penggorengan. Madakaripura sepertinya harus aku kunjungi lagi lain waktu tentu dengan persiapan yang lebih matang.

Akhirnya kami kembali kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Rencana Achlung dan Dinda akan sehari menginap ke Malang sebelum kembali ke Jakarta. Sedangkan Sarah akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan malam hari ini sehingga aku dan Sarah sepakat kembali ke Surabaya.

Ini adalah jejak pertamaku memulai petualangan ke tanah Jawa dengan catatan perjalanan yang melibatkan foto... semoga jejak pertama ini akan berlanjut ke jejak selanjutnya.