Halaman

Selasa, 24 Juli 2012

Labuan Bajo: Melangkahi Daratan

Kembali lagi ke Labuan Bajo paling tidak selama seminggu harus mendekam di hotel lagi. Waktu yang cukup singkat mengingat jadwal kegiatan yang padat sehingga sampai beberapa belum tahu mau merencanakan perjalanan kemana yang tidak mengganggu jadwal. Jangan bilang berenang atau melihat Komodo deh.
Sepertinya bakal menghabiskan waktu seminggu ini di hotel saja sampai kemudian teman-teman dari Manggarai menawarkan perjalanan ke air terjun Cunca Wulang, sebuah air terjun yang terletak tidak begitu jauh dari Labuan Bajo. Namun sebelum ke air terjun, aku dan Kadek sempat juga mengunjungi Gua Batu Cermin walaupun kedua tempat itu kita kunjungi pada waktu yang kurang tepat.

Gua Batu Cermin
gua batu cermin
Pintu masuk ke atas menuju Gua Batu cermin
Sekitar hari Sabtu acara selesai jam 4 sore, Vian menawarkan jalan ke Gua Batu Cermin yang letaknya masih di sekitaran Labuan Bajo. Sebenarnya sudah beberapa kali aku ingin ke gua itu hanya entah kenapa belum-belum juga. Kesempatan baik walau secara waktu kurang tepat. Sebelumnya aku sudah mendapat cerita bahwa waktu terbaik ke gua itu adalah siang hari tepat dimana sinar matahari dapat masuk dari lorong bagian atas dan dinding-dinding gua yang berkilauan memantul-mantulkan cahaya layaknya cermin. Tak apalah, setidaknya aku mengenal dahulu seperti apa gua itu nanti baru bisa kembali lagi di waktu yang tepat.
Dari Labuan Bajo, kendaraan pak Vian berjalan ke Utara sampai melewati rumah jabatan Bupati dan di pertigaan berbelok ke Timur masuk ke jalan lebih kecil. Tak sampai 15 menit kami menemui sampai di lokasi.
Setelah membayar tiket masuk dan biaya untuk tour guide kamu mulai masuk ke dalam area. Jalan setapak ini menerobos semak-semak bambu berduri. Seekor ular kecil sempat menghalangi langkah kami. Melihat ukuran kepala yang lebih besar dibanding tubuhnya, aku memperkirakan ular berwarna coklat kemerahan ini jenis berbisa.
gua batu cermin
Di bagian atas gua
Sebuah batu tinggi tampak menjulang keras ditutupi rimbunnya pepohonan. "Itu pintu keluar pak, kita masuk lewat sana," tunjuk Tony sang guide menunjuk ke arah jalan lebih ke dalam. Tony yang ditunjuk menjadi guide kami berpenampilan rambut gimbal ala Bob Marley, dia masih bersekolah di SMK jurusan pariwisata sementara ini dalam rangka magang.
Dari depan pintu masuk menuju gua tampak tampak tangga menuju ke atas mengitari sebuah batu yang katanya terus tumbuh tinggi sepanjang tahun. Penambahan tinggi batu itu diakibatkan tetesan air yang membawa material dari atas.
Beberapa wisman asing tampak berdiri di depan sebuah ceruk gelap pendek, aku tidak bisa memastikan darimana wisman ini berasal namun sebagian mereka boleh aku katakan tua.
Rupanya gua Batu Cermin bukanlah gua bawah tanah, namun lebih ke adanya ruangan dari batu-batu yang bersusun.
Untuk menuju ke tempat dimana lokasi batu cermin itu berada kita harus masuk ke dalam ceruk di depan para wisman itu. Rombonganku sempat tertahan karena Tony hanya membawa dua senter dan itupun yang satu mati. Untung aku sendiri selalu membawa senter kecil di rompiku. 
Guide dari rombongan wisman asing sempat mengomel kepada kami. Ternyata itu karena kurang suka dengan keisengan salah satu wisman tua yang nakal menaruh tempat sampah di depan ceruk gua yang kecil ini. Katanya mereka tidak berani karena ceruknya terlalu kecil lalu memilih berdiri di depan ceruk itu.
gua batu cermin
Fosil kura-kura di atap gua
gua batu cermin
Kelelawar berukuran kecil

Setelah menyingkirkan tempat sampah Tony mulai merunduk masuk ke dalam ke dalam ceruk gua. Dengan tinggi ceruk tak lebih dari satu sepermpat meter dan lebar yang pas badan memang bisa menciutkan nyali apalagi yang berbadan besar. Diujung ceruk pertama Tony menunjukkan baru seperti payudara wanita yang dikatakan sebagai simbol ibu. Setiap pengunjung diharuskan mengelus batu ini, karena konon yang tidak mau memegang batu ini tidak bisa kembali. Setelah beberapa meter masuk kami harus melewati lubang ke bawah lebih sempit dengan ketinggian satu meter dan stalagtit-stalagtit runcing. Kali ini aku harus merangkak. Tony mengarahkan senternya ke arah salah satu stalagtit yang patah dan ada bekas darah. Katanya seorang wisman asing baru-baru ini terluka kepalanya sampai berdarah  dan mematahkan stalagtit itu.
Setelah melewati cerukan kedua tadi kami sampai di ruangan yang agak lebar. Ruangan ini benar-benar gelap, tanpa senter bener-bener hanya pekat. Itu dibuktikan Tony waktu kita kembali dengan mematikan semua senter, betul-betul pekat karena tak ada celah cahaya bisa masuk disini.
Laba-laba di gua batu cermin
Laba-laba di dalam gua
Batu berbentuk wanita di gua batu cermin
Batu berbentuk wanita di atas dinding gua
Setelah itu aku kembali harus memasuki celah yang lebih pendek, perkiraanku tingginya tidak sampai satu meter dengan lebar yang lebih sempit daripada cerukan pertama. Dengan merangkak kami masuk ke celah itu, selain stalagtit ternyata ada juga stalagmit walau tidak runcing.
Tebing di gua batu cermin
Tebing batu tinggi gua batu cermin
Sekeluarnya dari celah kami sampai ke dalam ruangan lebar dengan ketinggian sekitar dua meter sehingga tangan kami bisa menjangkau beberapa bagian langit-langit gua. Menurut Tony, gua ini dulunya ada di kedalaman laut dan itu dibuktikan dengan beberapa fosil yang terperangkap dalam gua ini. Sebuah tonjolan seperti kura-kura yang menurut Tony memang fosil kura-kura tampak di atas atap gua. Beberapa fosil dari terumbu karang juga jelas terlihat di samping kanan gua dan masih utuh, benar-benar bahwa itu adalah fosil terumbu karang. Untuk ikan memang harus memperhatikan dengan jeli baru kita bisa mengenali bahwa itu adalah fosil.
Aku juga ditunjukkan seekor laba-laba hidup dengan sebuah belalai seperti bulu di depan muka laba-laba itu. Kalau menurut ilmu pengetahuan, binatang yang bisa hidup dan tinggal dalam kegelapan total seperti ini tidak akan memiliki mata karena memang tidak ada manfaatnya bagi pertahanan hidup. Entah, mungkin bagian belalai seperti bulu itu yang menjadi indera penglihatannya.
Kami terus berjalan ke dalam sampai di ujung gua. Dibagian ujung gua dibagian atas terbuka celah sehingga cahaya dari atas bisa menerangi bagian dalam gua. Karena cuma dari ataslah cahaya yang bisa masuk maka hanya pada saat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala. Saat itu keindahan gua ini bisa terlihat karena dinding-dingding gua yang berwarna putih dan berkilat-kilat seperti kristal akan memantulkan cahaya ke segala arah dalam gua. Menurut Tony, walau tampaknya putih Sungguh saat bukan waktu yang tepat.
Kami harus kembali karena memang gua ini buntu alias tempat masuk keluar dari arah yang sama.
Setelah kembali keluar dari gua, ternyata kami harus berjalan ke arah sebaliknya untuk keluar dari kawasan gua ini.


Air Terjun Cunca Wulang
Meloncat di air terjun cunca wulang
Seorang cewe bule (Ivanna katanya) meloncat dengan semangat
Hari Minggu jam delapan pagi rombongan kami mulai berangkat, terlambat satu jam dari jadwal yang disepakati awal karena menunggu Beny selesai ibadah minggunya. Perjalanan ke arah Timur menuju ke arah Manggarai. Satu jam awal kami masih berkendara di jalanan utama yang kondisinya masih baik walaupun sepanjang jalan dipenuhi kelokan dan tanjakan tajam, khas jalan di Flores. 
Jalan terus menanjang sampai ke daerah Kecamatan Sano Nggoang. Kendaraan kendaraan kami masuk ke pertigaan arah Warsawe. Saat itulah aku baru merasakan jalanan yang kecil rusak dan berkelok-kelok.
Setelah melewati sebuah kecamatan baru yang bahkan lebih kecil dibanding sebuah dusun, kendaraan harus melewati jalan yang baru dibuka masih berupa hamparan tanah merah. Untung kendaraan yang digunakan ketiganya cukup tangguh untuk medan disini.
Seorang penduduk bertindak menjadi guide kami karena ternyata kami harus melalui kawasan hutan negara.
Setelah perbekalan di atur cara mengangkatnya (kebetulan aku kebagian mengangkat minuman) kami mulai menerobos hutan menelusuri jalan kecil dengan akar-akar melintang menghadang jalan. Akar-akar ini sering kali bermanfaat menahan kakiku karena daerahnya yang cukup berbukit-bukit dan bertanah rawan membuat kaki terpeleset. Sebuah tongkat adalah pilihan bijak terutama untuk menahan langkah supaya tidak tergelincir. Menurut penduduk yang menjadi guide kami, jarak dari tempat berhenti menuju air terjun sekitar satu kilometer.
Genangan air terjun cunca wulang
Genangan air sungai dari air terjun
Cukup melelahkan dengan medan seperti ini, tapi suara air menunjukkan bahwa air cukup dekat memacu kembali semangat kami. Sayang ternyata itu hanyalah bunyi air sungai karena ternyata kami harus menyusuri sungai dulu untuk sampai di air terjun. Guide dengan lincah berjalan di antara batu-batu dan mengarahkan kami tempat menyeberang. Di beberapa titik terdapat genangan air yang tampak tenang dan dalam, itulah titik akhir dari air terjun Cunca Wulang.
Air terjunnya sendiri tidak bisa dilihat dari sisi bawah karena terhalang dari dinding-dinding batu terjal yang mengapit aliran airnya. Untuk bisa melihat air terjun maka kita harus naik kembali dari sisi kanan dimana terdapat batang-batang kayu saling diikat sebagai pegangan untuk naik ke atas, dan itu sangat membantu sekali karena tanahnya yang sangat terjal menjadi sulit untuk dinaiki. Setelah sampai di atas, kami baru bisa menyaksikan bentuk air terjun itu.
Ternyata air terjun Cunca Wulang bagian atasnya jatuh tepat di sebuah kawasan bukit batu berbentuk melingkar sehingga sulit untuk dilihat penuh. Aku dan Kadek hanya bisa memotret bagian atas saja. Menurut penduduk, cara melihat utuh air terjun ini adalah berenang dari sungai menuju ke cerukan air terjun itu tapi sayang kamera kami bukan kamera tahan air.
View air terjun cunca wulang
Dua bule mau berenang
Sekembalinya di bawah, terdapat rombongan tiga cewek bule datang disusul rombongan lain. 
Jika rombongan kami hanya berani loncak dari sisi bawah yang tidak terlalu tinggi maka cewek-cewek bule itu lebih berani. Setelah didahului oleh guide dari rombongan itu yang meloncat di ujung batu setinggi enam meter, dua cewe bule itu ikut menyusul. Adegan yang tentu saja tak terlewatkan kami.
Air dibawahnya yang berwarna hijau gelap langsung berdebum begitu tubuh-tubuh mereka mendarat di air. Menurut guide, kedalaman air sungainya sekitar tiga puluh meter entah benar atau kira-kira saja. Tapi memang melihat air yang permukaan bening namun didalamnya berwarna gelap bisa menjadi petunjuk bahwa di sini airnya dalam.
Sayang kami datang terlalu siang sehingga cahaya matahari kuat sekali. Walaupun suasana
di pinggir sungai yang terhalang pepohonan tetap terasa sejuk tapi tidak dengan hasil foto. Kontras yang tinggi sangat menyulitkanku mengambil foto-foto di air terjun ini.
Perjalanan yang cukup melelahkan ternyata membuat selera makan jadi meningkat tak pelak nasi bungkus yang kami bawa habis tandas dimakan dan terasa enak sekali. Apalagi makan di pinggir air terjun seperti ini.
air terjun cunca wulang
Air terjun dilihat dari atas, tidak terlihat sepenuhnya
Sayangnya saking asyiknya mengeksplore lokasi ini aku justru lupa untuk berenang, pas habis makan siang mau berenang semua sudah selesai berenang. Ada sebuah spot air terjun kecil yang sepertinya tergantung pada musim. Saat musim kering seperti ini memang hanya debit air kecil yang keluar
Perjalanan kembali menjadi perjalanan yang menantang, apalagi kalau bukan bayangan harus berjalan menanjak. Beberapa teman kembali dengan membawa beberapa tanaman pakis yang mereka diperoleh di pinggir hutan. Jika awalnya ke sini lebih bawah lokasi jalan yang menurun sekarang untuk kembali harus menapaki jalan menanjak. Cukup capek, untunglah masih ada minuman yang kami sisakan untuk kembali.
Sepertinya kami harus melakukan perjalanan kembali ke sini pada waktu yang tepat, semoga..


Selain lokasi-lokasi ini, masih terdapat beberapa lokasi lain di daratan Manggarai Barat yang layak dan harus dikunjungi seperti Danau Sano Nggoang yang sangat besar dengan kondisi airnya panas dan asam, kemudian ada juga air terjun Cunca Rami yang pernah digunakan untuk syuting salah satu iklan yang menunjukkan keindahan Indonesia Timur, serta kampung adat yang sangat menarik, Wae Rebo.

4 komentar:

  1. wah wah indahnya... kapan y bisa ke situ...

    BalasHapus
  2. Ayo mas Agus... masukkan di wish list dulu... semoga bisa sampai kesini

    BalasHapus
  3. Air Terjun Cinca Luwang ? keren abis itu !!!!!!

    lihat foto bule yang lagi loncat, gila itu kerennya sob!!!

    dulu udah ke Lab Bajo, tapi nggak sempet ngapa2in, keterbatasan dana dan tenaga, hehehe, semoga nanti bisa sedikit eksplore lab bajo ! amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perlu balik ke Bajo lagi berarti ya buat memenuhi hasrat yang belum selesai... tenang saja, Labuan Bajo masih banyak lokasi yang menunggu untuk dikunjungi kok

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!