Halaman

Senin, 02 April 2012

Hamparan Putih Pantai Mananga Aba (Kita Beach)

Matahari mulai bergerak menuju ke cakrawala


Sekelompok anak mudah duduk saling berkeliling bernyanyi dan seseorang dengan gitarnya mengiringi nyanyian. Sebagian bersuara indah sebagian lagi bagai suara ke tujuh, lebih banyak lagi yang tergelak tertawa lepas dan semuanya bagai nyanyian burung gereja yang tak indah namun tetap nyaman dinikmati. Sekelompok jajaran pohon cemara di tepi pantai menjadi pelindung tepat matahari yang mulai menampakkan sinar senja namun masih menyilaukan mata.
Tak ingin mengganggu acara kebahagiaan mereka, aku memilih memarkirkan motor beberapa puluh meter dari mereka dibawah sebatang pohon cemara yang agak besar namun daunnya telah jarang.
Suasana Sabtu pagi di pantai Mananga Aba
Pantai dari sisi timur menjelang sore 
Begitu aku dan Edo turun ke pantai, pemandangan yang terbentang tampak memukau mata. Hamparan butiran pasir bagai bedak begitu luas terbentang memanjang. Warna pasirnya yang putih bersih tak pelak bagai pelengkap lanskap pantai menjadi tampak sempurna. Tampak beberapa batang pohon yang berserakan di pantai entah karena tumbang atau dipotong. 
Jika ada yang mengganggu mata, ya maka tentu saja sampah plastik jawabannya. Botol-botol plastik dan barang-barang plastik sisa tampak tertumpuk di beberapa sudut, mungkin di hempaskan ke pinggir pasir oleh ombak. Untungnya sampah itu tak terlalu banyak, tapi entah jika nanti tempat ini benar-benar menjadi tempat wisata utama. Jika tak ada kesadaran orang-orang yang berwisata ini untuk menjaga lingkungan pantai ini mungkin suatu ketika kita akan melihat pantai Mananga Aba lebih dipenuhi aneka sampah plastik di setiap jengkal pasir putihnya.
Suasana pagi yang tenang dan cemara di pinggir laut


Namun semua itu tidak mengurangi keindahan hamparan pasir putih membentang dan deretan cemara yang seolah menjadi pembatas kawasan pasir dan rumput. Air laut yang bening berwarna hijau tosca, ombaknya yang tidak besar menarik-narik pasir dan memancing aku untuk melangkah memasukinya sampai tanpa sadar celana pendekku setinggi lutut tiba-tiba harus basah terendam. Suasana begitu tenang dan hening, hampir tanpa suara kecuali angin, ombak dan burung-burung yang mencuit lemah di atas langit biru. Suara sekelompok anak-anak muda itu pun tidak terdengar karena tertelan bunyi debur ombak. Awan-awan di langit ujung barat mulai berubah warna saat matahari mulai mendekat ke garis cakrawala di antara deretan pohon cemara. 
Kami pulang saat langit memerah mulai menghilang, aku tahu aku kehilangan blue hour yang biasanya terjadi sesaat setelah golden hour muncul. Tak apalah karena aku berniat untuk kesini lagi pagi-pagi untuk menikmati matahari terbit dari cakrawala laut.


Perjalanan pulang sekarang lebih hati-hati karena senja begini biasanya jam binatang serangga mulai keluar sehingga aku harus mengendarai motor dengan kecepatan lebih lambat dibanding saat berangkat. Tak heran perjalanan darat dari Weetabula-Mananga Aba sejauh 15 km yang pada saat berangkat tak sampai 20 menit berubah menjadi lebih dari 30 menit. Bahkan beberapa kali saat ngobrol di jalan, aku harus rela binatang itu masuk ke mulut. Wuih rasanya aneh sekali.....


Hari Sabtu pagi-pagi sekali kami sudah janjian untuk berangkat jam 5 pagi, namun seperti yang saya duga waktu pagi-pagi ternyata Edo masih tidur. Aku memutuskan berangkat terlebih dahulu sementara Edo menunggu Ronald dan Detty. Sore sebelumnya Ronald yang mengantar aku dan Edo melihat sunset di Pantai Oro karena memang kalau dari Pantai Mananga Aba sunset tidak jatuh ke laut tetapi serong ke darat. Perjalanan ke pantai Oro akan aku ceritakan di lain kisah.


Langit masih gelap saat aku di atas motor. Dengan hanya mengenakan pelapis rompi, udara pagi yang dingin dan lembab membuat jari-jariku terasa agak kaku memegang stang motor. Untung aku mengendarai motor matic pinjaman dari seorang teman yang tinggal dan bekerja di sini. Jalan sangat lenggang, lampu-lampu merkuri di sepanjang jalan masih menyala. Di pertengahan jalan aku mulai kuatir akan kehilangan momen pagi karena langit tampak mulai berubah memerah. Aku mulai agak sedikit memacu motor berharap masih dapat menyambut datangnya sang mentari dari balik laut, beberapa burung tekukur yang sedang asyik dipinggir jalan terbang menghindar saat roda motorku menghampirinya. Bahkan saat kembali aku tidak bisa menghindar dari menabrak seorang ular sawah yang sedang melintasi jalan, untunglah waktu kulihat ke belakang ular itu masih bisa melata masuk ke persawahan.


Pohon yang tumbuh unik di tepi pantai
Sesampainya di pinggir pantai aku sedikit menelan kekecewaan karena sepotong awan berbentuk limas menutupi matahari. Namun suasana tetap terasa menyenangkan karena warna pagi dan karena suasana yang hening dan sepi. Aku punya kesempatan berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai lebih jauh sekaligus mencoba mengeksplorasi titik menarik untuk aku foto. Sayang sinyal sedang tidak bagus sehingga Edo tidak tahu aku berada dimana, waktu aku sebuah pesan masuk dari Edo masuk ternyata dia dan Ronald telah berada di dermaga Waikelo yang lama. Praktis sekarang aku berjalan-jalan sendiri, merasakan butiran-butiran pasir yang begitu halus di telapak kaki, ombak yang menarik-narik pasir dan merayuku untuk mencumbunya. Sebuah perahu nelayan melintas pelan sepertinya hendak menangkap ikan. Di beberapa tempat tampak bangunan-bangunan kecil dan pendek dari kayu dan atap ilalang yang tampaknya dibuat oleh beberapa nelayan-nelayan dari tempat lain untuk singgah sementara.


Matahari mulai tampak keluar dari persembunyian awan saat jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Terlalu siang untuk dilakukan perburuan foto sehingga aku memutuskan untuk kembali lagi.


Thanks buat temen-temen yang udah mau nemeni acara jalan-jalan 
dan mau minjemi motor: Edo, Ronald dan Detty

14 komentar:

  1. Buzz Buzzz Buzzz
    lam kenal

    Nice posting, photo n tulisannya keren

    Salam Madu Juga sengat

    BalasHapus
  2. Salam kenal juga Lebah Jakarta.... senang mau datang berkunjung

    BalasHapus
  3. ingin ikutaaaaaaaaaaaaaannnn!!!!!! .. tapi ga termasuk yg makan orong2 eh apaan itu yg masuk mulut Mas? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Busyet emang siapa yang makan orong-orong, palingan kalajengking yang masuk mulut hahahahhaha..... sekali-kali coba naik motor di daerah sawah sore2 pas maghrib sambil buka mulut nanti kalau udah baru boleh cerita hahahahaha

      Hapus
  4. Hadeuhhh Mas Bro,ko cantik amat sig gambarnya.yo opo rek carane ???hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Babe Dede, ini memang alamnya yang indah... kalau saya mah hanya kebagian mengabadikan saja hahahhaha

      Hapus
  5. Uwik...uwik...cuantik tenan ini mas Bakhtiar....

    BalasHapus
  6. keren sekali foto-foto mas Baktiar Sontani :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih bro Yunaidi... semoga foto2 sederhana ini bisa menambah minat wisatawan domestik mengunjungi daerah ini

      Hapus
  7. Mas, mau minta ijin ngelink ke blog ini, boleh? soalnya fotonya bagus-bagus...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo mas... suwun buat apresiasinya

      Hapus
  8. nice posting..., salam kenal:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal Sarah....... thanks udah mampir

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!