Pantai Air Cina sudah banyak dikenal orang Kupang terutama yang biasa memancing dengan perahu, menurut mereka di daerah itu banyak sekali ikan-ikan ukuran besar. Di bagian yang disebut daerah Ujung Lampu,
Perjalanan yang aku lakukan saat itu masih ada di bulan November, yang biasanya Kupang sedang dalam puncak panasnya. Berdua dengan sahabat dan juga istriku, kami menggunakan motor menuju ke sana. Berangkat sekitar jam empat sore, setengah jam kemudian baru kami sampai ke depan sebuah sekolah dimana terdapat pertigaan. Sesuai petunjuk arah beberapa orang yang kami temui, setelah melewati sekolah kami harus berbelok ke kanan memasuki kawasan perkampungan. Jalan menuju Air Cina punya jalur jalan dari tanah sehingga pada musim hujan harus hati-hati karena jalan bisa berubah menjadi kubangan-kubangan.
Beruntung sekarang baru musim kering, sehingga kami hanya berhadapan dengan debu-debu yang beterbangan terlindas roda kendaraan. Sekitar sepuluh menit kami sampai ke kawasan Pantai Cina yang biasa digunakan penduduk sekitar untuk bertanam rumput laut. Kawasan ini cukup sepi, hanya ada satu-dua nelayan yang pulang. Entah mereka habis memperbaiki dan mengecek tanaman rumput laut mereka ataukah pulang dari mencari ikan.
Kami memutuskan untuk mencari Pantai Air Cina yang terdapat lampu mercusuar, istilah penduduk sini adalah ujung lampu. Dari kawasan pantai ini tidak ada jalan pasir karena langsung berhadapan dengan karang-karang yang terjal dan runcing. Satu-satunya jalan kami harus mengikuti jalan menuju ke perkampungan di depan kami.
Perjalanan berikutnya walau tidak jauh tapi justru lebih sulit karena jalan menanjak banyak yang berupa batu lepasan dan batu-batu karang runcing menganga dimana-mana. Dua kali tanjakan terpaksa istriku harus turun supaya kendaraan bisa naik ke atas. Kami juga harus menerobos jalan kecil disamping rumah penduduk yang dipenuhi belukar untuk sampai pinggir pantai. Ternyata kami hanya bisa sampai di ujung dua buah pohon Beringin besar, karena jalan di depan tampaknya makin sulit.
Akhirnya kami memarkirkan kendaraan di bawah pohon dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Lima menit kemudian kami baru sampai ke pinggir pantai. Walaupun di sekeliling disuguhi batu-batu karang yang terjal, namun kondisi pantainya yang berpasir putih dan masih asli punya potensi yang menjanjikan. Seandainya semak-semak di sepanjang jalur ini dibersihkan, pantai ini akan memiliki view pasir yang makin menarik.
Pantani di depan landai dan berombak pelan karena beberapa ratus meter dari pantai terdapat barrier karang yang menhadang ombak sehingga ombak yang sampai ke pantai tidak kencang.
Pohon-pohon asam tampak unik berdiri karena daun dan batanya tumbuh berkembang ke arah darat layaknya bonsai yang dibentuk. Di genangan air yang terjebak di batu-batu karang beberapa anak lobster lari bersembunyi saat merasakan kehadiran kami. Di sepanjang pantai ini juga dengan mudah ditemukan tanaman laut dengan terumbu-terumbu kecil.
Beberapa ratus meter ke arah barat, kami melihat sebuah bangunan tinggi mercusuar. Di sini kami menemukan kawasan pasir yang bukan terdiri dari pasir tapi batu-batu bulat sebesar merica. Sayang matahari masih asyik bersembunyi di balik awan sampai senja tenggelam, hanya bias-bias kuning merah dan bayangan kemilau di air yang kami dapatkan hari ini.