Mendung kelam dan gerimis di atas langit Labuan Bajo |
View dari teras hotel Puncak Waringin |
Padahal view Labuan Bajo menarik sekali dari puncak ini. Dari Puncak ini akan tampak kawasan kota Labuan Bajo bagian bawah dan dermaga yang dipenuhi perahu-perahu berbentuk pinisi serta perahu-perahu kecil yang disewakan masyarakat untuk berangkat ke pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo.
Senja masih bisa mengintip di antara mendung kelam |
Hampir tiga hari yang setiap hari selalu ada hujan aku harus rela duduk manis di teras depan kamar menikmati langit Labuan Bajo yang kelam kala senja merangkak. Acara jalan-jalan juga harus di tunda karena langit tak pernah memberitahu kapan hujan akan datang.
View senja di pantai Bidadari yang berpasir putih |
Setengah jam perahu kami sampai ke pulau Bidadari, pulau yang setengahnya sudah dimiliki (sementara) oleh seorang bule. Kalau tidak salah namanya Mr. Ernest, seorang bule yang agak bawel kalau menyangkut kebersihan di wilayah pantai Bidadari. Jangan bakar ikan sembarangan apalagi buang sampah sembarangan kalau tidak ingin melihat dia murka. Tapi sayangnya masih ada orang-orang yang tidak menghargai kebersihan dan membuang sampah seenaknya.
Di atas perahu meninggalkan pulau Bidadari menjelang senja |
Walaupun matahari terhalang awan, kami masih bisa berdecak melihat gugusan terumbu karang dan ikan-ikan karang berwarna-warni berukuran besar. Cukup besar sampai aku dan teman ngiler ingin menangkap satu untuk dibakar hahahaha. Apalagi kalau ada sinar matahari, maka terumbu karang makin tampak cemerlang dan indah. Sayang sekali lagi aku hanya bisa menikmati dengan mata saja, kamera Canon D10 yang aku punya sudah rusak saat snorkling di Tenau dulu gara-gara kecerobohanku sendiri. Jam enam lewat baru perahu kami kembali ke Labuan Bajo. Pak Arman sengaja membelokkan perahu ke arah dalam menyusuri Labuan Bajo dari sisi utara melewati pantai Binongko. Di beberapa titik tampak cahaya-cahaya hidup dari balik rerimbunan perbukitan, itulah cafe-cafe yang berdiri di sepanjang bukit di daerah Binongko yang terjal. Perbukitan ini justru memiliki nilai jual karena dari bukit-bukit itu bisa menikmati pemandangan senja berlatar pulau-pulau yang juga tak kalah eksotisnya.
Setelah itu nyaris aku berdua dengan teman lebih sering membenamkan diri di hotel, sesekali turun menikmati dan memotret senja yang kelam dari aula Puncak Waringin.
Hari terakhir sebelum berangkat, bertiga aku, Kadek dan pak Joko pagi-pagi sekali menyempatkan jalan kaki ke pantai Binongko, rencananya mau mampir saja ke dermaga pendinginan ikan.
View dermaga pendinginan ikan pagi hari |
Sedikit cerita tentang bangunan rekreasi untuk orang cacat yang dibangunan oleh SVD di Cancar ini, aku pernah mendatanginya sekali waktu saat mengantarkan bu Emil, seorang teman yang bekerja di Kemetrian PDT waktu kesasar di tempat ini. Mungkin aku lain kali bisa cerita tentang perjalananku dengan bu Emil tapi singkatnya saat ke mau ke dermaga ini pula bu Emil minta aku mampir ke sana. Bisa di tebak, sepanjang ngobrol-ngobrol dengan beberapa anak-anak yang kebetulan sedang tinggal di situ bu Emil harus menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Yah, namanya juga ibu-ibu, bawaannya mau mewek saja kalau ada gambar mengharukan seperti ini.
Menikmati pagi di ujung dermaga |
Karena ada mereka pula, aku beruntung bisa mengisi perut yang kosong sedari pagi. Sebuah minuman serela panas menghangatkan perut kami pagi itu.
Masih tertinggal di otakku untuk ke sini lagi lain waktu. Masih banyak tempat yang harus aku kunjungi. Ada air terjun Cunca Wulang yang jaraknya satu jam perjalanan kendaraan dan satu jam jalan kaki, atau ke perkampungan adat Wae Rebo yang ada jauh di ujung selatan pulau. Masih ada pantai merah yang berpasir merah yang sebagian bule menyebutnya dengan nama Pink Beach, atau ke pulau-pulau seantero Manggarai Barat yang begitu mempesona dengan pasir putih dan terumbu karannya seperti pulau Saporo, pulau Kanawa, pulau Seraya Kecil, dan banyak yang lain. Dan tentu saja tak pernah hilang dari ingatanku adalah untuk mengunjungi langsung pulau para melata prasejarah yang masih hidup sampai sekaran, apalagi kalau bukan pulau Komodo.
Thanks buat teman-teman yang ikut dalam perjalanan ini:
Wow kakah, wow :D hehehe... Btw thanks udah mampir ke blog saya. Pantai Koka itu kalo saya liat kayak Pangandaran, bisa liat sunrise dan sunset. Kemarin kami pulang duluan... mungkin www.ilhamhimawan.com (akun twitternya @ilhamhimawan) bisa jawab soal sunset di Pantai Koka... dapat nggak yah? Hehehe soalnya dia yang bertahan hingga sunset di sana, kakah :)
BalasHapusThanks tuteh... iya sepertinya menarik sekali ke Koka apalagi katamu seperti Pangandaran.. kalau memang bisa dapat dua2nya berarti lebih sip kita bisa pilih ke sana pagi atau sore... thanks buat infonya
BalasHapusKeren banget
BalasHapusMakasih mas Pras sudah berkunjung
Hapus