Halaman

Senin, 19 Desember 2011

Senja Bulan Desember di Labuan Bajo

Mendung kelam dan gerimis di atas langit Labuan Bajo
Dua kali aku mendapatkan penugasan ke Labuan Bajo jatuhnya kok pas selalu akhir tahun. Tahun 2010 kemarin, penugasan terakhir bulan Desember juga penugasan sekarang. Akibatnya rencana ke pulau Komodo masih menjadi sekedar angan, apalagi kalau bukan masalah arus laut yang lumayan kuat di selat Sape. Itu pertama, yang kedua ya masalah langit yang sering mendung yang imbasnya rencana jalan-jalan sering berubah jadwal semau-maunya.
View dari teras hotel Puncak Waringin
Karena masalah itu pula makanya untuk penugasan kedua ini aku memilih menginap di hotel Puncak Waringin. Hotel yang dimiliki oleh Pemda setempat namun pengelolaannya oleh pihak swasta. Sebuatan Puncak Waringin sendiri dulunya ada karena di daerah itu ada gundukan bukit yang agak tinggi dan berdiri satu pohon Beringin besar yang setiap sore ramai dikunjungi wisatawan untuk melihat senja. Sekarang ini pun pohon Beringin itu masih gagah berdiri tapi masih kalah tinggi dengan bangunan berbentuk persegi enam yang awalnya digunakan untuk resto. Entah karena desain bangunan yang kurang menarik atau pelayanannya, sekarang bangunan itu hanya digunakan sebagai aula saja.
Padahal view Labuan Bajo menarik sekali dari puncak ini. Dari Puncak ini akan tampak kawasan kota Labuan Bajo bagian bawah dan dermaga yang dipenuhi perahu-perahu berbentuk pinisi serta perahu-perahu kecil yang disewakan masyarakat untuk berangkat ke pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo. 
Senja masih bisa mengintip di antara mendung kelam
Pulau-pulau terhampar di sepanjang pantai Labuan Bajo, saling menutupi sehingga kawasan pantai Labuan Bajo ini berombak tenang. Paduan view ini sangat menawan, entah lokasi mana aku bisa menemukan view yang luar biasa seperti ini. Padahal kota ini belumlah bersolek sebagaimana sebuah kota pariwisata, geliatnya pun baru terasa belakangan ini termasuk upaya pemerintah untuk menghidupkan Labuan Bajo. Salah satunya menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya gerbang untuk masuk ke pulau Komodo, hal ini menjadikan perahu-perahu pinisi dari Bali maupun dari Lombok harus singgah ke Labuan Bajo dan tidak bisa langsung singgah ke pulau Komodo. Namun tidak bisa dipungkiri, geliat kota yang memiliki pulau Komodo ini sedemikian terasa, berdirinya beberapa hotel berbintang empat menunjukkan bahwa ke depan Labuan Bajo akan terus tumbuh menjadi kota industri pariwisata.
Hampir tiga hari yang setiap hari selalu ada hujan aku harus rela duduk manis di teras depan kamar menikmati langit Labuan Bajo yang kelam kala senja merangkak. Acara jalan-jalan juga harus di tunda karena langit tak pernah memberitahu kapan hujan akan datang.
View senja di pantai Bidadari yang berpasir putih
Masih untung pada hari pertama aku sempatkan untuk acara jalan. Karena tidak banyak acara selain setting untuk acara besoknya akhirnya aku berdua dengan teman merencanakan perjalanan ke pulau Bidadari untuk sekedar snorkling. Dengan menggunakan perahu milik pak Arman, kami berangkat sekitar pukul empat sore. Waktu perahu mulai menderu meninggalkan dermaga langit di atas tampak kelam, itu pula salah alasan pak David yang rencananya mau bersama kami membatalkan ikut.
Setengah jam perahu kami sampai ke pulau Bidadari, pulau yang setengahnya sudah dimiliki (sementara) oleh seorang bule. Kalau tidak salah namanya Mr. Ernest, seorang bule yang agak bawel kalau menyangkut kebersihan di wilayah pantai Bidadari. Jangan bakar ikan sembarangan apalagi buang sampah sembarangan kalau tidak ingin melihat dia murka. Tapi sayangnya masih ada orang-orang yang tidak menghargai kebersihan dan membuang sampah seenaknya.
Di atas perahu meninggalkan pulau Bidadari menjelang senja
Ternyata di pulau Bidadari arus laut sedang kuat sehingga pak Arman meminta kami snorkling di sisi Utara pulau yang agak menjorok ke dalam dan tidak terlalu dalam. Di beberapa titik apalagi yang sebelah Selatan dan Barat memang lautnya miring agak curam.
Walaupun matahari terhalang awan, kami masih bisa berdecak melihat gugusan terumbu karang dan ikan-ikan karang berwarna-warni berukuran besar. Cukup besar sampai aku dan teman ngiler ingin menangkap satu untuk dibakar hahahaha. Apalagi kalau ada sinar matahari, maka terumbu karang makin tampak cemerlang dan indah. Sayang sekali lagi aku hanya bisa menikmati dengan mata saja, kamera Canon D10 yang aku punya sudah rusak saat snorkling di Tenau dulu gara-gara kecerobohanku sendiri. Jam enam lewat baru perahu kami kembali ke Labuan Bajo. Pak Arman sengaja membelokkan perahu ke arah dalam menyusuri Labuan Bajo dari sisi utara melewati pantai Binongko. Di beberapa titik tampak cahaya-cahaya hidup dari balik rerimbunan perbukitan, itulah cafe-cafe yang berdiri di sepanjang bukit di daerah Binongko yang terjal. Perbukitan ini justru memiliki nilai jual karena dari bukit-bukit itu bisa menikmati pemandangan senja berlatar pulau-pulau yang juga tak kalah eksotisnya.
Setelah itu nyaris aku berdua dengan teman lebih sering membenamkan diri di hotel, sesekali turun menikmati dan memotret senja yang kelam dari aula Puncak Waringin.
Hari terakhir sebelum berangkat, bertiga aku, Kadek dan pak Joko pagi-pagi sekali menyempatkan jalan kaki ke pantai Binongko, rencananya mau mampir saja ke dermaga pendinginan ikan.
View dermaga pendinginan ikan pagi hari
Jam enam pagi kami berjalan kaki turun ke bawah sampai ke pertigaan lalu naik ke atas arah ke Binongko. Jika dulu yang aku kenal di kawasan Binongko adalah sebuah hotel resto bernama Golo Hill Top, maka sekarang ini sudah mulai banyak berdiri cafe-cafe dan hotel di sepanjang kawasan ini bahkan sebagian dibagian di kemiringan bukit yang terjal. Selain di jalur ini di bagian atas juga tampak jalur yang baru dibangun pemerintah, tentu jalur baru itu akan makin diminati investor karena bisa mendapatkan view senja yang lebih indah. Setelah melewati sebuah bangunan yang menjadi tempat rekreasi penyandang cacat, kami sampai ke dermaga pendinginan ikan.
Sedikit cerita tentang bangunan rekreasi untuk orang cacat yang dibangunan oleh SVD di Cancar ini, aku pernah mendatanginya sekali waktu saat mengantarkan bu Emil, seorang teman yang bekerja di Kemetrian PDT waktu kesasar di tempat ini. Mungkin aku lain kali bisa cerita tentang perjalananku dengan bu Emil tapi singkatnya saat ke mau ke dermaga ini pula bu Emil minta aku mampir ke sana. Bisa di tebak, sepanjang ngobrol-ngobrol dengan beberapa anak-anak yang kebetulan sedang tinggal di situ bu Emil harus menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Yah, namanya juga ibu-ibu, bawaannya mau mewek saja kalau ada gambar mengharukan seperti ini.
Menikmati pagi di ujung dermaga
Kembali ke perjalanan kami, ternyata begitu sampai di sana dermaga pendinginan ikan tinggal sebaris dermaga, dua cabang dermaga yang tahun kemarin masih ada sekarang sudah karam. Dermaga yang sekarang tersisa ini pun di beberapa tempat tampak sudah rusak, ada beberapa paku yang masih baru menunjuukan bahwa ada papan-papan yang baru saja diperbaiki. Di dermaga pagi itu nyaris tidak ada kegiatan satu pun karena memang dermaga ini sudah tidak digunakan untuk pendinginan ikan lagi, dan hanya digunakan untuk nelayan-nelayan mendaratkan perahu setelah menjala atau memancing. Mesin-mesin besar yang biasanya menderu untuk menciptakan es batu sudah lama tidak digunakan, namun pekerja di pabrik itu sebagian masih tinggal di sana untuk menjaga mesin-mesin itu.
Karena ada mereka pula, aku beruntung bisa mengisi perut yang kosong sedari pagi. Sebuah minuman serela panas menghangatkan perut kami pagi itu.
Masih tertinggal di otakku untuk ke sini lagi lain waktu. Masih banyak tempat yang harus aku kunjungi. Ada air terjun Cunca Wulang yang jaraknya satu jam perjalanan kendaraan dan satu jam jalan kaki, atau ke perkampungan adat Wae Rebo yang ada jauh di ujung selatan pulau. Masih ada pantai merah yang berpasir merah yang sebagian bule menyebutnya dengan nama Pink Beach, atau ke pulau-pulau seantero Manggarai Barat yang begitu mempesona dengan pasir putih dan terumbu karannya seperti pulau Saporo, pulau Kanawa, pulau Seraya Kecil, dan banyak yang lain. Dan tentu saja tak pernah hilang dari ingatanku adalah untuk mengunjungi langsung pulau para melata prasejarah yang masih hidup sampai sekaran, apalagi kalau bukan pulau Komodo.


Thanks buat teman-teman yang ikut dalam perjalanan ini:

  1. Arman Armansyah
  2. Joko Mulyono
  3. Kadek Maharta Kusuma

4 komentar:

  1. Wow kakah, wow :D hehehe... Btw thanks udah mampir ke blog saya. Pantai Koka itu kalo saya liat kayak Pangandaran, bisa liat sunrise dan sunset. Kemarin kami pulang duluan... mungkin www.ilhamhimawan.com (akun twitternya @ilhamhimawan) bisa jawab soal sunset di Pantai Koka... dapat nggak yah? Hehehe soalnya dia yang bertahan hingga sunset di sana, kakah :)

    BalasHapus
  2. Thanks tuteh... iya sepertinya menarik sekali ke Koka apalagi katamu seperti Pangandaran.. kalau memang bisa dapat dua2nya berarti lebih sip kita bisa pilih ke sana pagi atau sore... thanks buat infonya

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!