Halaman

Senin, 24 Oktober 2011

Melukis Keindahan Mbay - Bukit dan Pantai Kita


Sebuah tulisan yang sedikit basi. Dalam arti beberapa visualisasi dalam tulisan ini sudah di buat pada beberapa waktu yang lalu. Beberapa bahkan sudah cukup lama. Hal yang memicu semangat saya untuk menuliskan narasi ini adalah karena saya merasa, saya berpikir dan saya kemudian berkesimpulan, bahwa saya harus membagi apa yang saya sendiri rasakan seakan tidak pernah puas-puasnya menatap keindahan tanah Mbay, Nagekeo.

Menurut saya ada dua hal yang paling menarik, pertama adalah pemandangan bukit dan pantai. Menatap Mbay dari perbukitan daerah Penginanga saja saya tak pernah bosan. Hamparan sawah hujau, kuning dan coklat selalu membuat segar mata ini. Apalagi menikmati keindahan pesisir pantai di daerah Marapokot dan Nangadhero. Walaupun kurang tertata dan terawat dengan baik, guratan keindahannya tetap meneduhkan mata dan pikiranku. 



Bersapa dan bercanda dengan penduduk yang bermukim di daerah persawahan dan perkampungan nelayan senantiasa menjadi agenda rutin saat trekking dan hunting. Dan semuanya itu membuatku semakin tidak bosan untuk ‘menggauli’ keindahannya. Gambar dan cerita pada tulisan ini pun sebenarnya hanya sebagian kecil dari indahnya pengalamanku selama berada di Mbay ini. Masih ingin jalan-jalan mengelilingi seluruh tanah Mbay ini.


Sudah 6 bulan saya tinggal di Mbay. Bersama teman-teman sesama pencinta fotografi dan indahnya pemandangan alam disini, kami bentuk Nagekeo Photographer Club (NPC). Guru yang selalu memberi masukan positif dalam hal fotografi, mas Baktiar Sontani tak henti-hentinya memberikan suntikan semangat bagi kami untuk terus berkarya dan menceritakan keindahan Mbay lewat lensa kami. Pos Kupang pun turut mendukung kami atau bahasa kerennya turut mengapresiasi terhadap kegiatan kami dengan mengulas tentang keberadaan NPC ini di beberapa edisinya.


Kesibukan kadang menghalangi niat saya untuk mengabadikan keindahan Mbay ini. Tapi saya sadar, pekerjaan tetap yang utama sedangkan kegiatan ini selalu yang pertama hehehehehe... artinya sesibuk apapun kerjaan saya, trekking dan hunting tetap must go on, di sela-sela kesibukan tentu. Pandai-pandai membagi waktu serta mengikuti feel and sense.

Selain teman-teman dari NPC, mas Baktiar, mas Kadek, mas Nyoman, mas Koco, dan mas Arief Papat pernah bersama-sama dengan saya mengabadikan keindahan bukit dan pantai. Mas Baktiar sering pula menulis cerita menarik tentang Mbay ini, di blog Indonesia Sungguh Indah ini dan di Facebook di timpali dengan foto-fotonya yang joss gandossss.

Hal-hal baik dan buruk juga akrab menemani langkah saya saat mengelilingi bukit dan pantai di Mbay ini. Kamera kesayanganku pernah rusak terbentur permukaan tanah saat hunting ke Pantai Watundoan. Mungkin saya tidak ‘permisi’ dahulu sebelum memotret di sana. Kadang kita memang harus menghargai alam kita walau dengan ucapan permisi dalam hati kita. Manjadi doa bagi karya kita. Nyamuk sering menjadi sahabat dalam kegelapan saat pulang trekking dan huntingnya sudah cukup malam. Di gigit semut dan tabuhan juga mewarnai kegiatan trekking dan huntingku. Di suguhi minum dan makan dalam persinggahan perjalanan juga sering terjadi. Suatu tradisi keramahtamahan asli Indonesia. Mendapatkan cerita-certa dan ilmu kemasyarakatan jadi bagian pemanis dari trekking dan hunting. Membuka wawasan saya tentang Mbay dan adat istiadatnya, Mbay dan masyarakatnya, serta yang utama adalah Mbay dan keindahannya.


Bukit yang gersang ternyata bisa tampak indah di mata kamera. Walau sering menjadi keluhan saat panas menyengat. Komposisi awan dengan ROL-ROL cantik memberi warna. Pohon-pohon kering dan ilalang memberi kesan. Kontur tanah dan bentuk bebatuan hasil pahatan alam sangat berkarakter. Semuanya begitu indah. Sangat indah malah.
Pantai yang masih asri walau kurang terawat juga sering menjadi indah dan bernilai dalam mata kamera. Komposisi awan, pantulan cahaya, garis pantai yang luas dan panjang, batu-batu karang hitam, perahu, penduduk dan pemukimannya telah menjadi lukisan yang berkanvaskan kawasan pantai. Sunrise, sunset dan purnama menjanjikan kepuasan bathin untuk di nikmati dan diabadikan.


Banyak tempat yang masih ingin saya datangi. Banyak kesempatan yang sering terlewatkan. Banyak keindahan yang belum tertangkap mata dan kameraku. Dan semuanya mematri kerinduan yang dalam untuk dapat mengabadikannya lewat kamera, mata dan hati ini.
Bersama teman-teman NPC dan teman-teman fotografer dari luar daerah kerinduan saya akan selalu bisa di wujudkan. Tentu dengan semangat kebersamaan dan tulusnya niat untuk bercerita kepada dunia tentang Mbay yang indah ini.
Melihat Indonesia dari Timur. Harus dapat kita wujudkan bersama. NTT sungguh indah. Flores Nusa Bunga. Terima kasih Tuhan.

------>Mbay, 24 Oktober 2011

Senin, 17 Oktober 2011

Hamparan Batuan di Pantai Kolbano

"Tempatnya mantap bro, gak menyesal lah sampai sana walau jaraknya jauh",  kata-kata yang memancing adrenalin itu muncul beberapa hari lalu. Sebenarnya aku sama seorang temen pernah kesana pakai, tapi tinggal tujuh km kita dipaksa mundur gara-gara lubang di jalan sebesar kubangan kerbau membuat beberapa kali bagian bawah mobil terhantam.
Pantai Kolbano, ya itu yang diceritakan beberapa teman yang sudah pernah singgah ke tempat ini. Jaraknya memang cukup jauh, dari titik percabangan di daerah Noelmina menuju arah Batu Putih masih harus ditempuh lebih dari 65 km lebih. Dari percabangan ke Kupang sendiri jaraknya juga sekitar 60 km lebih jadi kalau ditotal sekali jalan lebih dari 125 km.


Hari Minggu sebenarnya ada rencana mau ikut acara bersih-bersih pantai Kupang, tepatnya di kawasan Lai Lai Besi Kopan sekitar jam 3 sore. Karena mempertimbangkan bahwa aku jarang lama di Kupang juga karena adrenalin lagi naik, maka kuputuskan untuk berangkat hari ini. Dua orang teman yang rencana mau jalan juga ternyata batal, katanya sih yang satu kurang banyak orang (lagi mikir supaya lain kali kalo mengajak dia bawa rombongan pake truk saja) yang satu lagi katanya ada kegiatan (sebenarnya karena lagi malas tu). Ah, sebodo teuing.... The show must go on, perjalanan harus tetap terjadi. Jalan kaki saja kalau memang harus jalan ya jalan kok, apalagi ini bisa pakai motor, tidak ada yang bisa menghalangi.

Sebotol air minum, sebuah senter (kalau kemalaman), pisau lipat (siapa tahu dapat buah gratis) dan yang lain nanti bisa cari di jalan. Kalau peralatan fotografi: kamera dan sebangsanya jangan ditanya, udah nangkring duluan sebelum yang lain disiapkan. 

Jam satu siang persis aku jalan. Aku belum tahu persis berapa lama perjalanan kesana, daripada salah set waktu dan cuma dapat malam lebih baik aku berangkat lebih awal. Kalau sampai lebih cepat ya berarti bonus bisa jalan-jalan lebih lama. Namun dengan kendaraan roda dua yang perhitunganku masih bisa mengatasi kondisi jalan, setidaknya dalam waktu tiga jam lebih-lebih sedikit bisa sampai.

Aku melarikan kendaraan melalui jalur lingkar luar Kupang, perhitunganku melalui jalan ini lebih cepat juga aku bisa melaju lebih enak karena jalurnya terpisah. Tapi sedikit meleset karena ternyata sisi jalan balik sedang dalam pembangunan sehingga sekarang satu jalur arah keluar menjadi jalan dua arah. Kurang lebih sepuluh menit kemudian aku berhasil sampai di percabangan Manikin dan langsung kuarahkan motor ke Timur arah ke SoE.

Perjalanan sempat tegang karena sebelum memasuki Camplong, penunjuk bensin sudah ke tanda merah. Motor matic macam Vario memang boros bensin tambah lagi tempat bensin kecil lagi. Tapi karena lagi kumat adrenalinnya bukannya cari bensin nekat saja menerobos hutan, untung-untungan saja kalau tidak sampai ya tinggal dorong motor hahaha..... Tapi mungkin sugesti, kadang-kadang kendaraan seperti ada yang tidak beres walau ternyata sukses juga sampai diturunan menuju ke Takari. Kali ini aku tidak berani nekad, akhirnya ada juga penjual bensin eceran yang mendapatkan anugerah aku beli. Tapi acara bensin jadi lebih lama gara-gara yang jual bensin gak punya kembalian uang 50 ribu yang aku kasih. Kalau ada jerigen aja sepertinya aku milih uang kembalian ditukar sama bensin semua saking lamanya. Akhirnya lega setelah seorang anak kecil lari-lari dari warung di bawah bawa uang kembalian. Ternyata pepatah sedia receh sebelum ngoceh berlaku juga (pepatah karangan sendiri hahaha). Jalan Takari lumayan enak buat menarik gas kendaraan lebih kencang karena kontur jalan yang lumayan tidak banyak tikungan tajam. Hanya di dekat tikungan sungai besar yang harus ekstra hati-hati karena memang daerah itu daerah yang sering longsor dengan tikungan yang tajam. Satu jam lewat sedikit akhirnya aku berhasil memasuki jembatan Noelmina, jembatan terpanjang di pulau Timor yang menyeberangi sungai Noelmina. Sungai ini yang menjadi pembatas antara SoE dan Kupang.

Persis setelah lewat jembatan Noelmina terdapat percabangan ke kanan ke arah Batu Putih. Aku mampir sebentar ke warung untuk membeli sebotol minuman dan sebungkus kue kering. Dari cabang sampai beberapa kilometer di depan ternyata sedang ada kegiatan pelebaran dan perbaikan jalan sehingga jalan menjadi sangat berdebu. Sialnya di depan ada truk yang dengan seenaknya melaju meninggalkan debu-debu berterbangan untuk kuhirup. Aku sedikit menjaga jarak dari truk tapi juga tidak bisa jauh karena dibelakang juga ada truk, siapa mau dapat debu dua kali.

Untunglah selepas jembatan truk berbelok kek kiri sehingga aku terlepas dari debu-debu yang membuat jaketku yang berwarna hitam jadi putih dipenuhi debu. Selepas debu sekarang aku harus menghadapi jalan berkelok-kelok naik turun. Perjalanan terasa lancar, beberapa kendaraan yang ada justru arah balik. Selepas Kualin yang merupakan percabangan berikutnya, motorku bisa melaju di jalan yang lurus dan panjang. Aku sempat berhenti di kawasan persawahan yang kering karena tertarik gumpalan-gumpalan awan yang bergerak cepat ke Timur.

Lewat dari satu jam belum ada tanda-tanda sampai, ketegangan melewati jembatan kayu yang membuat motor harus jalan di atas tiga balok kayu sempat membuat perasaan putus asa. Aku sempat berpikir jangan-jangan perjalanan masih jauh dan baru bisa sampai setelah sore lewat. Ngomong jembatan kayu, pengalaman lewat dengan mobil di jembatan ini membuat aku menahan napas. Jembatan kayu disini bukan gelagarnya yang melintang dibawah justru gelagarnya yang melintang di atas, jadi roda kendaraan harus lewat tepat di atas gelagar melintang di sisi kiri-kanan dengan ukuran sekitar 40 cm dan jangan sampai geser dari posisi itu karena dijamin mobil langsung akan terperosok. Sekalinya terperosok akan sulit naik karena kayu-kayu balok akan menghalangi. Dan untuk sampai ke Kolbano harus melewati dua jembatan kayu seperti ini.

Sekitar tujuh km menuju ke Kolbano, kendaraanku melewati jalan menyusuri pantai selatan. Sepanjang jalur jalan menuju pantai tampak tumpukan-tumpukan batu bulat yang dikumpulkan penduduk Kolbano. Sebagian penduduk Kolbano memang saat ini punya mata pencaharian sampingan mengumpulkan batu-batu laut yang berbagai warna ini untuk dijual ke pengumpul-pengumpul batu. Kegiatan ini cukup membantu membuat dapur penduduk Kolbano terus mengepul.

Sesampainya di kawasan wisata pantai Kolbano, kesan pertama yang aku tangkap adalah pantai yang indah dan punya ciri-ciri unik untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata yang bagus. Hamparan batu-batu bulat pipih yang berwarna warni namun sebagian besar putih menghampar memenuhi seluruh  kawasan pantai yang memanjang menghadap langsung pantai selatan. Samudera Hindia yang membentang di depan sepertinya memuntahkan butiran-butiran baru pipih ini sehingga tidak pernah habis walau puluhan truk tiap minggu singgah disini untuk mengambil batu-batu yang dikumpulkan penduduk. Salah satu pengumpul batu-batu ini adalah kedua orang tua Jefrit. Jefrit adalah seorang anak yang membantu membawa peralatanku saat aku memotret. Tubuhmu yang kecil dengan rambut warna merah keriting ini tampak kontras saat mengangkut tripodku yang ukurannya cukup besar. Kata Jefrit, mata pencaharian orang tuanya adalah petani, saat ini ladangnya sedang ditanami jagung. Sebagai petani yang mengandalkan curah hujan untuk bercocok tanam, pekerjaan mengumpulkan batu menjadi berkah tersendiri. Mereka sendiri bangga bahwa batu-batu dari daerah mereka telah diekspor sampai ke Jepang. Hihihi batunya sudah sampai terlebih dahulu sebelum orangnya.

Jefrit kecil ini dengan setia membawa peralatanku berjalan-jalan seperti kebiasaanku kalau mengunjungi daerah baru. Dari dia aku juga tahu kalau pengunjung ramai biasanya hari Minggu namun mereka datang pagi hari dan sudah pulang saat siang hari. Sebagian besar pengunjung adalah wisatawan lokal, walaupun pantai indah dengan hamparan batu-batu pipih bulat ini telah banyak disampaikan namun rupanya jarak yang jauh dan akses lokasi yang tidak mudah menjadi halangan utama.

Sayangnya pengunjung lokal sering bersikap kurang baik. Kemauan mereka untuk menjaga tempat wisata sangat kurang. Lihat saja sampah plastik bekas minum dan makan yang berserakan di depan tempat parkir kendaraan, banyak sekali. Belum lagi aku juga banyak menemukan bekas sampah potongan kayu bakar dan buah kelapa, walaupun sampah-sampah ini bersifat organik namun sangat tidak bijak membiarkan tergeletak begitu saja tanpa membersihkannya. Waktu aku menunjuk beberapa grafiti dengan cat berwarna hitam dan hijau yang terpampang besar di batuan bukit yang menjorok ke daratan lagi-lagi Jefrit menunjuk para pengunjung lokal. Sangat menyedihkan, kreatifitas yang tidak pada tempatnya yang justru menunjukkan kerendahan etika mereka dalam berkunjung, bukannya bersikap santun justru mengumbar diri dan menunjukkan kehebatan yang tidak semestinya.

Cerita tentang sebuah bukit tegak yang berdiri menjulang menjorok ke pantai, itu salah satu obyek menarik yang ada di sini. Itulah obyek besar satu-satunya yang jadi tampak menonjol sendiri. Bukit yang berdiri itu membuat tempat ini makin indah walau dirusak oleh guratan-guratan grafiti dari tangan-tangan yang tidak bertanggun jawab. Tamparan ombak demi ombak dari laut berwana biru muda menghempas ke pasir membawa bebatuan. Karena keberadaannya yang langsung berhadapan dengan Samuderan Hindia memang membuat laut  Kolbano ini berombak keras sehingga kegiatan orang nelayan tidak bisa dilakukan saban waktu namun menunggu saat ombak tidak keras seperti saat ini. Orang tua dan kakak Jos, seorang anak kecil berumur empat tahun dengan hiasan ingus kering dibawah hidungnya, membawa sebuah jala tangkap segi empat menggunakan bambu.

Aku juga sempat berkenalan dengan mas Ihsan dan rombongannya. Bedanya kalau aku sendiri melakukan perjalanan kesini, mereka datang berombongan menggunakan pickup. Katanya sehabis melakukan pekerjaan pemasangan spanduk iklan di kota SoE pulangnya mereka mampir kesini. Jadi satu mobil ini semuanya adalah karyawan mas Ihsan yang kantornya ternyata dekat dengan kantorku di Kupang. Karena rombongan ini semuanya karyawan, mas Ihsan menyebut acara hari ini sebagai "Employee Weekend". Lumayan juga hasil perkenalannya, aku jadi bisa numpang makan saat malam. Dengan membawa sebuah kompor kecil, mas Ihsan memasak ayam goreng. Lumayan lezat, malam-malam di pantai dalam kondisi lapar mendapatkan menu makanan hangat ayam goreng, tak ada piring maka selembar daun pisang sangat memadai untuk menggantikannya. Hanya yang lucu saat berikutnya mau memasak air panas untuk membuat kopi ternyata gasnya habis, rupanya gasnya memang tinggal sedikit sehingga dan tidak disiapkan cadangannya. Wal hasil, kopi panas nihil dari daftar. Mas Ihsan ini ternyata penyuka fotografi yang jauh lebih lama, perkenalanku dengannya juga dimulai saat dia hendak meminjam lensa wide untuk memotret ramai-ramai karena kebetulan dia salah membawa lensa. Kalau tidak salah lensa yang dia bawa Canon EF 50mm f/1.8 yang memang lebih tepat untuk memotret model, sepertinya itu juga tujuan dia makanya ada dua mahluk wanita dirombongannya.

Karena ingin menikmati malam sendiri aku menolak ikut rombongan sehingga aku mendahului rombongan setelah terlebih dahulu mengantar Jefrit pulang ke rumah.

Diantara perjalanan pulang aku menyempatkan diri berhenti di daerah yang memiliki jalan lurus dan kosong. Dengan keadaan yang gelap gulita aku duduk menikmati jutaaan titik-titik cahaya di langit yang berada simponi jagat raya luar biasa, jutaan bintang itu begitu cemerlang berada di kawasan galaksi Bima Sakti yang malam ini terasa sangat terang menunjukkan kegagahannya.

Perjalanan pulang sendiri melewati perbukitan yang gelap dan berkelak-kelok terasa menyenangkan, ternyata disepanjang jalan aku banyak bertemu orang-orang kampung yang berjalan-jalan seperti biasa. Mata yang biasa di kampung ternyata lebih tajam sehingga santai saja berjalan malam di tempat yang gelap seperti ini.

Minggu, 09 Oktober 2011

Ilalang Semusim

Langit tampak begitu biru dan matahari masih saja garang menyala-nyala walau bayangan telah lebih panjang dari badan. Angin menerabas di sela-sela ilalang yang telah kuning mengering. Sekarang udara panas mulai menerjang, hamparan sabana yang biasanya hijau membentang kini dipenuhi onggokan-onggokan ilalang mengering. Sebagian batang ilalang saling berpilin kala ujung-ujung batangnya yang berbulu dan dipenuhi bulir-bulir saling melekat satu sama lain. Lalu saat angin kencang menerjang mereka terbang menghilang entah kemana.

Bukit-bukit yang biasanya menghijau telah bermetamorfosis setelah melewati satu musim menjadi padang batu dengan warna kecoklatan yang mendominasi. Ilalang sedang tertidur sekarang. Di beberapa titik bukit tampak warna kehitaman pertanda sabana-sabana itu telah habis dibakar. Masih ada satu dua bukit yang berwarna kuning karena ilalang belum sepenuhnya mengering tapi itu pun tidak akan lama, paling lama dua minggu aku akan pastikan bukit-bukit itupun akan berwarna sama.

Harusnya aku di rumah, panas seperti tak terkira di bulan begini. Bahkan sekalipun aku sekarang berteduh di bawah pohon akasia yang masih menyisakan daun-daunnya yang terus gugur. Aku berharap hari ini awan akan datang, dan sore disini menjadi sedikit teduh namun panas rupanya masih belum mau berkompromi. Tapi aku menikmati duduk disini di sebuah bangku kayu panjang yang tersusun dari batang-batang kayu kecil. 

Bangku ini dibuat oleh penggembala-penggembala yang suka menggembalakan ternaknya disini, karena selain bangku ini aku juga melihat sebuah rumah gubuk kayu kecil beratap daun lontar yang dibangun di cerukan bukit tak jauh dari bangku ini. Jika kamu ada pada saat itu, maka di waktu sore menjelang kamu akan melihat mereka yang menggiring ternak. Akan kau dengar lenguhan-lenguhan sapi yang berjalan rombongan dengan satu atau dua orang penggembala dibelakangnya. 


Aku suka dengan simponi senja hari di atas bukit ini, menikmati suara-suara ternak yang melenguh dan teriakan-teriakan penggembala yang menggiring ternaknya. Rombongan burung-burung kecil yang berkicau ramai mencari tempat bermalam, kadang singgah satu pohon ke pohon lain sampai menemukan tempat yang pas untuk beristirahat malam. Kadang-kadang aku juga masih mendapati bunyi pokok-pokok pohon ditebang berdentang-dentang disusul bunyi kerosak saat sebuah pohon tumbang. Tapi yang sering kulihat ditebang disini adalah pohon lontar, mungkin karena sudah tua dan tidak produktif. 

Sebenarnya dari sini tak lebih dari 5 rumah yang tampak, namun karena sepi sehingga bunyi-bunyi kecil itu terdengar riuh rendah memenuhi udara. Anak-anak yang berlari-lari pulang mandi, ibu-ibu yang sibuk di belakang rumah berkelontangan dengan alat-alat dapurnya dan suara grak-grok babi yang dikandangkan terpisah tak jauh dari rumah. Sekali dua tokek juga ikut menambah simponi senja hari disini.

Tapi sepertinya saat-saat seperti ini tak akan lama. Di balik beberapa bukit di seberang mata sudah banyak rumah yang dibangun. Jalan aspal sebentar lagi juga akan melewati sisi bagian bawah bukit ini, artinya akan semakin mudah orang-orang membangun disini.
Bahkan bukit-bukit yang pada musim hujan hanya tampak hijau sekarang terdapat jajaran pokok kayu kecil yang menjadi pagar pembatas kepemilikan.


Aku tahu, suatu ketika nanti aku akan rindu simponi ini. Rindu yang tak tahu kapan akan kembali saat tanah-tanah di bukit ini terjamah diaroma kota. Rindu ini seperti rinduku padamu di kala ilalang menghilang seperti ini. 

Aku masih mengingat dengan jelas denting-denting nada yang keluar dari senar gitarmu. Ada kalanya engkau bersenandung mengiringi nada lagu itu namun lebih sering kau biarkan denting-denting itu menyanyikan syairnya sendiri. Engkau mengajak nada-nada itu menggembara sendiri melintasi sabana-sabana layaknya angin yang menyisir celah-celah rerumputan. Tapi ada satu yang pasti, kau akan menghentikan denting itu kala senja mulai mengarak awan-awan di langit. Dan itulah saatnya kita diam dan menjadi pendengar dan pengamat alam yang sedang melakukan simponi dengan pencahayaan luar biasa di langit.

Kini, saat rinduku padamu mulai mendekat pasti justru aku seperti dibayangi kehilangan segala bukit sabana yang ilalangnya hanya semusim ini. Jika aku pergi besok, entah apakah saat aku kembali masih akan kutemui segala simponi alam ini ataukah aku harus menjenguknya di tempat lain.

Tiba-tiba aku menjadi ragu, rindu ini terlalu besar untuk kubayangkan. Baiklah ia kulepaskan hingga tak menjadi beban perjalanan. Dan aku juga menjadi ragu padamu, apakah denting-denting itu masih kau simpan bersamamu ataukah mengering seperti ilalang semusim ini.

Nagekeo - September 2011

Rabu, 05 Oktober 2011

Rote Ndao - Tiang Bendera (Bagian 3)



Rencana perjalanan ke Batu Termanu masih belum berhasil, dan ternyata aku justru berhenti di Tulandale seperti yang kuceritakan pada catatan sebelumnya.
Pagi hari aku naik ke lantai paling atas hotel, aku berniat mau melihat posisi Batu Termanu. Ternyata justru malah tidak terlihat, setahuku kalo di Pelabuhan Ba'a posisi dari Batu Termanu terlihat.
Tapi saat perhatianku kuarahkan ke barat aku justru melihat view lain di ujung yang biasanya dari sini aku bisa menyaksikan matahari tenggelam. Di ujung barat tampak deretan warna putih dan beberapa batu karang  terjal di laut serta adanya beberapa bangunan kecil berbentuk kerucut. Dugaanku kerucut ini seperti lopo-lopo yang biasanya digunakan orang untuk duduk. Apakah itu tempat wisata atau tempat pribadi, entahlah. Tapi rasanya aku belum pernah mendapatkan informasi ada tempat wisata disana.


Siang hari aku menunda perjalanan ke Batu Termanu dan memutuskan untuk mencoba ke tempat itu walaupun aku tidak tahu persis seberapa jauh sebenarnya. Pokoknya asal masih bisa dilihat mata berarti masih bisa dijangkau, itu prinsipku. Kecuali lihat bulan lho, hehehe.
Jam setengah tiga aku mulai berjalan ke arah dermaga namun tidak turun di dermaga karena setauku di sana terhalangi dengan kawasan bakau yang lebat.
Dari pinggir pantai, aku menemukan ternyata kawasan di balik dermaga view pantai yang menarik. Dengan kondisi pantai yang rata-rata berpasir putih, kawasan di Rote Ndao memang cukup bagus. Rata-rata nyiur tumbuh di sepanjang alur pantai kecuali untuk daerah-daerah yang terdapat hutan bakau.
Sepuluh menit kemudian aku sampai ke Mokdale. Beberapa anak kecil yang sebagian bertelanjang dada asyik bermain bola. Sekali lagi aku menemukan daerah dengan nyiur berderet yang membuat kawasan pantai tetep enak untuk bermain biar pun siang hari.
Aku duduk mengamati mereka bermain bola, melihat aku duduk dengan kamera yang siap sedia tampaknya membuat mereka makin semangat. Kiper kecil berambut jigrak itu menunjukkan atraksi menangkap bola beberapa kali. Seorang nona manis yang berdiri tampak malu-malu menyemangati.
Yang juga menarik ternyata ada juga seorang anak perempuan kecil yang juga bertelanjang dada ikut bermain. Tapi karena badannya yang paling kecil anak perempuan ini kebagian menjadi kiper di bagian seberangku.
Dari Mokdale aku menelusuri kawasan hutan bakau yang masih asri hingga memasuki kawasan perbukitan yang agak kering. Setelah melewati dua hutan bakau aku terjebak dengan batu karang yang menjulang tegak lurus dengan karang-karang yang sangat tajam. Sekarang aku punya pilihan apakah mau tetep maju atau mundur, perjalanan masih setengah jalan. Akhirnya dengan merayap dan berpegangan akar-akar pohon yang tumbuh di sepanjang karang aku merangkak naik, untungnya aku sudah mengemasi dulu peralatan kamera. Batu-batu yang nyaris tegak 90 derajat ini untungnya karang terjal jadi banyak pegangan walau kadang terasa sakit.
Aku melewati celah yang telah ditutup, tampaknya celah ini ditutup untuk menghindari binatang lewat sini karena rawan terperosok. Sekalinya terperosok dipastikan akan ditangkap oleh jajaran karang terjal di bawah.
Dari atas bukit karang aku menelusuri jejak jalan yang pernah digunakan orang. Beberapa kali burung-burung sebesar burung dara berwarna hijau dan jenis lain yang tidak kukenal. Semoga disini masyarakat tidak punya hobi berburu burung sehingga burung disini tidak akan bernasib sebagaimana burung Kakatua Jambul Putih asli Sumba yang sekarang justru sudah tidak ditemukan lagi di Sumba.
Melewati dua bukit terjal keringat mulai bercucuran, minuman yang aku bawa tinggal separuh. Untungnya di turunan berikutnya aku menemukan daerah pantai landai, beberapa burung laut berdiri di tepi pantai dan segera terbang menjauh saat aku menuju ke sana. Di bawah aku menemukan rumput laut berwarna hijau yang terhempas ke pinggir pantai. Aku mengambil yang masih segar dan setelah kucuci kumakan. Rasanya enak khas rumput laut cuma agak asin karena aku mencucinya pakai air laut, tapi lumayan membantu aku mengisi perut yang jadi lapar.
Dari sini aku kembali harus naik bukit karang yang lebih terjal, aku sempat kehilangan  jejak namun untungnya kebiasaan mengenali medan ini membuat aku kembali menemukan jalan setapak. Namun kali ini aku harus lebih hati-hati karena jalan dibawah sepenuhnya karang terjal. Untungnya tak jauh kemudian aku sudah sampai di tempat itu. Wah lokasinya memang menarik sekali.
Lokasi ini ternyata memang ternyata telah dibangun menjadi lokasi wisata, tampak dari lopo-lopo yang masih baru. Pantai berpasir putih dengan beberapa gugusan karang yang beberapa tumbuh terpisah sungguh sebuah lokasi yang pas. Dari tempat ini kita bisa melihat matahari terbit maupun matahari terbenam.
Beberapa lama setelah aku sendiri mengitari daerah ini datang rombongan sekitar 5 motor yang rupanya anak-anak Malang yang sedang PKN di Kabupaten Rote Ndao. Dari salah satu rombongan ini aku mendapatkan informasi kalau daerah wisata baru ini dikenal sebagai Tiang Bendera. Asal usulnya berasal dari sebuah bangunan seperti kerucut panjang yang atasnya terpenggal di salah gugusan karang sisi barat.
Aku masih menunggu senja habis untuk mendapatkan foto-foto slowspeed. Saat mulai gelap aku berkemas kembali. 
Aku memutuskan menggunakan jalan karena menurut informasi salah satu rombongan tadi kalau menggunakan motor sekitar 15 menit. Dari sini perjalanan langsung menanjak dan dari atas ternyata ada beberapa spot lain yang mirip. Ternyata jalur jalan yang baru dibangun dari tanah putih tidak ada penerangan sama sekali sepanjang hampir dua kilometer, deretan pohon besar dan karang-karang besar mengapit sepanjang jalan, untung bulan setengah muncul tidak tertutup awan. Cahaya bulan dan jalan tanah berwarna putih cukup membantuku berjalan sampai aku menemukan rumah pertama.
Dari rumah pertama ini aku menemukan informasi arah menuju kembali ke Ba'a. Tiba di bukit atas aku baru mengetahui jika lewat jalan jauhnya lebih jauh dua kali lipat dibanding menelusuri pantai. Untungnya rumah-rumah yang walaupun jaraknya berjauhan satu sama lain namun sudah berpenerangan listrik. 
Di pertengahan jalan aku ditawari untuk naik ojek, hanya karena sudah setengah jalan aku memilih meneruskan dengan tetap berjalan kaki. Aku harus beberapa kali bertanya kepada setiap penduduk yang aku termui di jalan karena banyaknya percabangan di daerah ini.
Aku sampai di Ba'a sekitar jam 7.30 malam. Perjalanan hari ini walaupun capek tapi sangat menyenangkan.

Senin, 03 Oktober 2011

Rote Ndao - Pantai Tulandale (Bagian 2)


Gawat, kameraku tampaknya error. Layar display dan viewfinder pada saat kutekan remote shutter setengah menunjukkan indikator speed shutter yang berbeda. Dan seperti dugaanku, beberapa hasil foto menjadi gelap. Kupegang body kamera yang ternyata terasa panas. Duh pantas saja ini terjadi, kenekatanku memotret siang hari.
Aku segera meringkasi peralatan foto dan berjalan cepat menuju ke belakang hotel. Sambil duduk di lantai tiga aku merasa keningku yang terasa perih, tampaknya jidatku terbakar lagi. Inilah akibat aku tidak segera mencari topi pengganti, untung aku sudah terbiasa begini.

Beberapa malam ini aku juga punya kebiasaan naik ke lantai paling atas yang terbuka. Suasananya yang gelap pas sekali untuk melihat bintang. Beruntung beberapa hari ini baru saja memasuki bulan baru sehingga tak ada gangguan sinar bulan, begitu jam sembilan tampak sebuah kabut memanjang melintang miring dari utara ke selatan yang biasa dikenal orang sebagai galaksi Bima Sakti (Milky Way)
Hari Minggu pagi aku tidak merencanakan apapun karena rencana hari ini mau jalan ke Nemberala. Pagi-pagi aku hanya turun sebentar mengikuti seorang bapak tua yang menggendong keranjang mencari ikan dengan jala jika laut surut.
Namun rencana yang gagal kembali terjadi, pemilik kendaraan tidak datang sesuai janjinya. Entahlah kali ini apa lagi alasannya. 
Untungnya sewaktu mengikuti bapak tua penjala aku jadi melihat sebuah tanjung karang yang kutahu kemudian namanya Tulandale.
Jam empat sore aku mempersiapkan sesuatunya, aku memutuskan untuk jalan kaki menyusuri pantai untuk sampai ke Tulandale. Aku tidak tahu persis jarak dari Ba'a ke Tulandale tapi untuk amannya aku membawa dua botol minuman.
Kawasan pantai sepanjang perjalanan cukup menarik, pasir putih kekuningan membentang sepanjang pinggir pantai. Beberapa anak yang bertemu denganku menyapa, beberapa memancing perhatianku dengan tingkahnya. Tapi ada juga yang justru diam dengan tatapan heran melihatku walaupun aku sudah memamerkan gigiku, mungkin penampilanku dengan segala bawaan membuat mereka merasa aneh hehehe.
Begitu sampai ke tanjung karang itu baru aku tahu kalau di sana telah dibangun menjadi PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan). Break water (pemecah gelombang) yang dibangun tampaknya akan sampai disini.
Dermaga PPI tampak kesibukan perahu-perahu nelayan dan lalu lintas beberapa motor yang membawa keranjang-keranjang untuk memuat ikan. Ada tiga perahu ikan yang datang dan segera menurunkan ikan-ikan hasil tangkapan. Aku sempat melihat transaksi ini, melihat ikan-ikan yang dijual ingin beli juga sayang pasti tidak ada yang memasakkan.
Matahari sudah mendekati cakrawala, cahaya sudah berubah menjadi kuning keemasan. Aku segera berjalan menuju mendekat ke arah tanjung karang itu. Ternyata dua tanjung karang ini mengapit sebuah cerukan. Di bagian atas aku melihat beberapa perahu yang rusak dan sudah lama tidak dipakai. Besar dugaanku tempat ini dulu digunakan para nelayan untuk menyimpan perahu saat gelombang besar sebelum dermaga PPI ini dibangun. Bentuknya yang ceruk cukup membantu menghalau gelombang yang pada bulan-bulan tertentu bisa sangat kencang.
Tempatnya menarik walau airnya agak berlumpur. Tonjolan karang-karang yang khas menarik perhatianku. Tempat ini punya potensi untuk dikembangkan menjadi lokasi wisata apalagi kontur tanah bagian atasnya yang juga datar.
Karena sudah terlalu sore hanya beberapa jepretan yang bisa aku hasilkan, cahaya kuning dalam waktu tak lama berubah menjadi merah pusat keunguan dan tak lama kemudian langit sudah menjadi biru gelap.
Setelah menghabiskan satu botol minuman aku mengemas kembali peralatan fotoku. Kali ini aku memutuskan berjalan kaki lewat jalan karena malam agak sulit untuk jalan melalui pantai. Tadi sore aku menandai beberapa tempat yang berbatu dan licin yang agak sulit untuk jalan jika malam hari, aku tak mau bertaruh kehilangan kamera karena terjatuh.
Perjalanan pulang jadi sedikit lebih jauh karena kontur jalan yang lebih naik turun tapi perjalanan pulang lebih cepat, hanya sekitar setengah jam aku sudah sampai Ba'a.



Sabtu, 01 Oktober 2011

Menikmati Rote Ndao (Bagian 1)

Tarian awan senja hari berlatar Pelabuhan Ba'a
Masih terlalu untuk Pelabuhan Tenau, gerbang masuk penumpang masih terkunci saat mobil Avanza yang aku tumpangi masuk ke Pelabuhan. Untung 15 menit kemudian seorang petugas pintu masuk dan petugas karcis membuka gerbang masuk. Setelah mendapatkan tiket kapal feri cepat Kupan-Ba'a aku masuk ke ruang tunggu dengan beberapa penumpang yang juga datang awal pagi ini.


View pantai dari lantai atas hotel Grace
Kurang dari jam 9 aku sudah masuk ke dalam feri setelah menunggu orang-orang yang berdesakan masuk feri mereda. Setelah mendapatkan tempat duduk dan menaruk tas-tas di belakang aku berniat untuk menikmati perjalanan ini di luar sehingga kuputuskan kembali ke bagian belakang. Di belakang aku menemui sedikit keributan karena feri agak terlambat berangkat, ternyata ada masalah dengan sebuah motor yang dinaikkan ke dalam feri namun belum selesai diurus surat ijinnya. Untunglah insiden itu tidak berlangsung lama, jam 9 lewat sedikit feri sudah menarik sauhnya. Sebelum kapal feri aku tersenyum menikmati obrolan beberapa pedagang yang keluar dari kapal.
Anak-anak bermain-main berlatar senja
Beberapa saat aku menikmati laut di buritan kapal kuputuskan masuk saja kembali ke dalam karena angin kali ini terasa sangat keras, dalam beberapa saat saja mukaku terasa menebal. Di samping itu buritan juga menjadi tempat orang-orang merokok.
Mendekati jam 12 feri mendarat di Pelabuhan Ba'a. Pelabuhan ini pendek karena sisi kanan dermaga telah hancur tinggal menyisakan tiang-tiang saja, beberapa tahun yang laut ombak yang besar tidak sanggup ditahan beton-beton ini. 
Pagi hari di Pelabuhan Ba'a
Panas menyengat langsung menyergapku begitu keluar dari feri. Ini adalah kali ketiga aku mengunjungi Ba'a, ibukota Kabupaten Rote Ndao, semuanya dalam rangka tugas. Aku langsung meminta sopir mengantar ke hotel Grace yang terletak di pinggir pantai.
Aku sengaja memilih tempat ini, karena dari hotel ini aku bisa menikmati senja berlatar Pelabuhan Ba'a walaupun tentu saja lebih nikmat jika menikmati langsung dari pinggir pantai.
Saat ini di sepanjang pantai baru ada pekerjaan pemasangan beton-beton pemecah gelombang juga tembok penahan gelombang karena memang pada bulan-bulan tertentu ombak di pantai ini bisa sedemikian kerasnya.
Beton-beton pemecah gelombang
Beberapa kendaraan macam excavator dan dump truk beberapa hari ini terdengar meraung-meraung menumpahkan dan meratakan batu pasir di saat laut sedang surut.
Kebetulan pula posisi bulan sedang bulan baru sehingga pagi dan sore hari pasti laut surut, jadi walaupun agak terganggu dengan suara berisik besi-besi bermesin itu aku masih sempatkan turun ke bawah menikmati suasana senja yang sering ramai dengan anak-anak yang bermain atau orang-orang yang mencari kerang dan ikan.
(bersambung .......................)