Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 28 Desember 2015

Akhirnya Sampai ke Lembata

Anak-anak belajar menjaring ikan-ikan kecil di kampung nelayan Kuburan Cina
Akhirnya aku sampai ke Lembata... yieeeee.... Aku sudah dari tahun 1999 pindah ke bumi Nusa Tenggara Timur. Itu tiap jengkalnya udah aku tanami biji buah-buahan (kalo sempet) tapi paling tidak aku udah meninggalkan jejak (biasa lah urusan belakang pohon). Kamu boleh tanya semua tempat di Nusa Tenggara Timur ini, pasti aku bakal bisa jawab.. yah minimal jawabanku: tidak tahu hehehehe. Padahal dari kota kabupaten yang sudah ada swalayan besar sampai kota kabupaten tapi gak tau dimana itu kotanya sudah aku injak lho, cuma mukamu saja yang belum aku injak-injak.

Rumah di pinggir pantai kampung nelayan
Parahnya dari semua kabupaten yang aku datangi, ada satu kabupaten yang entah kenapa aku gak pernah ke sana sama sekali. Entah karena kena sumpah (serapah) atau emang yang kasih tugas sirik kok ya bisa-bisanya aku selalu terlewat kalau urusan kerjanya berhubungan dengan satu kabupaten ini. Betewe dulu pernah males sampai bilang: "Pokoknya gak mau ke Lembata kalau belum ada pesawat". Itu kalimat emang jamannya Lembata belum ada pesawat. Jadi kalau ke sana naik pesawat kecil Cassa ke Larantuka (Flores Timur). Itu pesawat yang tempat duduknya udah sekualitas angkot rombeng lengkap dengan suara baling-baling yang tidak berhasil diredam sehingga setiap naik pesawat telinga rasanya berdenging-denging terus. Jangan pernah naik pesawat ini kalau sedang pilek, itu kepalamu yang udah pusing rasanya jadi pengen meledak aja. Ditanggung abis naik pesawat ini pilekmu bakalan naik tingkat 3 level. Sampai Larantuka baru sambung naik kapal ke Lembata. Bayangin kerennya, abis kepala nyaris meledak gara-gara bising pesawat, belum reda langsung disusul ayunan gelombang selat Flores yang kalau sedang galau suka keluarin arus berputar yang bikin kapal ikutan mabok. Dan memang sumpah itu mujarab, bahkan surat tugas yang udah ditangan aja bisa-bisa tiba-tiba batal. Bukan karena aku deket trus nepotisme sama kepala kantor ya.. sorry gak lepel nepotisme gituan... tapi karena penerbangan dibatalkan. So, bahkan setelah Lembata buka bandara pun ternyata gak pernah aku kebagian tugas ke Kabupaten yang terkenal dengan rumah para pemburu ikan paus.
Jadi dari aku ngebet pengen liat para pemburu ikan paus sampai sumpah balik gak mau lihat atraksi perburuan ikan paus, tetep aja gak ada tiket gratis ke Lembata.

Tapi akhirnya Tuhan berbaik hati juga, kasihan juga ngeliat aku termenung sendiri, galau, sedih, bimbang, dan terpingkal-pingkal gara-gara gak ke Lembata akhirnya aku dikasih tugas ke Lembata. Kenapa gak cari tiket sendiri ke sana? Wah, kalau bisa gratis kenapa harus bayar kan. Sudah terlalu banyak yang harus kita bayar di dunia ini, jadi kalau ada yang gratis janganlah engkau sia-siakan sahabatku yang super #mariogalau. Yah walau cuma tiga hari, setidaknya tiga hari sudah cukup untuk mengakui bahwa Lembata sudah aku injak. Cuma mukamu saja yang belum aku injak-injak.

Tapi jangan tanya, gimana rasanya melihat perburuan ikan paus? Itu sungguh konyol, aku itu kesini bukan mau melihat ikan paus diburu terus jadi tontonan penuh decak kagum wal histeris. Perburuan ikan paus atau ikan lumba-lumba atau ikan apalah di Lembata sudah aku hapus dari daftar hal-hal yang ingin aku lihat di sana. Ada alasan yang aku gak ingin bagi disini walaupun sebagian kalian pasti bisa menebaknya. Curiga yang baca ada yang profesi tukang ramal.

Bukit Cinta
Entah siapa yang memberi nama semesum itu. Aku bahkan berpikir jangan-jangan di sana aku akan menemukan celana dalam atau beha yang tertinggal di semak-semak begitu. Tapi tidak, bukit cinta ternyata bukanlah bukit orang bercinta atau bukit yang jika melihatnya orang jadi pengen bercinta.. bukan... bukan begitu sayang. Jadi ceritanya, bukit cinta itu berasal dari legenda. Legenda itu.. ah sudahlah aku ceritakan saja nanti kalau udah dikasih bocoran.
Suasana senja di bukit Cinta
Tapi memang suasana di Bukit Cinta ini asyik lah, seasyik kalau bukit-bukit ini tidak dibakar sehingga tinggal menyisakan warna hitam. Dari bukit ini kita bisa menyaksikan 'indahnya' matahari terbenam. Sebenarnya mengatakan indahnya matahari terbenam itu kayak orang agak galau ya. Apalagi kalau disebelahmu ada orang yang kalau ditanya itu jawabnya: biasa aja.. Bayangin saat kita melihat rerumputan yang coklat tertiup angin menurun dari perbukitan dan menimbulkan suara khas rumput-rumput yang tertiup. Kita duduk santai melihat warna-warna rumput memudar oleh matahari yang berangsur-angsur tenggelam di ufuk barat. Trus kita sampai bayangin bawa kopi panas, ubi goreng hangat dan sebuah gitar yang mendentingkan alunan nada lagu-lagu romantis. Tapi buyar seketika saat temen sebelah kita bilang kalau pemandangannya: biasa aja. Tiba-tiba saja aku bayangin ada tutup panci dua biji di tangan.
Bukit cinta bahasa kerennya bukit padang savana, letaknya ini persis berhadapan dengan pulau Adonara. Kalo padang savana biasanya paling keren itu setelah musim hujan masuk jadi mulai Januari. Kalau pas bulan aku datang begini ya gitu deh, padangnya lebih banyak sudah dibakar warga. Jadi bukit-bukitnya yang separo masih ada yang warna coklat, sebagiannya udah item kebakar.
Bukit cinta lengkap dengan penampakannya
Sudah mulai bangun beberapa lopo untuk bersantai dari Pemda dengan jalan setapak yang menyusur terus ke bawah ke arah pantai. Lagi-lagi aku sayangin karena bangunan yang dibuat justru tidak menambah cantik tempat ini. Entah kenapa, jarang aku menemukan bangunan tempat wisata yang dibangun oleh pemerintah di NTT ini yang bikin tempat jadi makin bagus.  
Juga lagi dibangun satu penanda di dekat pintu masuk yang belum selesai juga tertulis huruf kapital L O V E. Nah lho, ini namanya bukit Cinta atau bukit Love??? Wah gak jelas banget nih. Ini mungkin maunya biar kelihatan keren ya namanya tempat ya tulis aja namanya aja gak usah pakai ke-ingrisingris-an gitu. You underrock man!!
Saran terbaik kalau kalian ke tempat ini ambil waktu sore di bulan-bulan yang rumputnya lagi subur atau pas rumputnya lagi menguning. Berarti waktu yang tepat antara bulan Januari sampai dengan pertengahan Agustus, itu juga kalau warga lagi gak kumat bakar-bakar padangnya lho ya. Ada satu lagi, dalam perjalanan ke bukit cinta itu ada beberapa spot pantai yang layak dikunjungi juga kalau gak salah namanya pantai Waijarang.
Aku gak sempet eksplore tempat ini, hal biasanya aku lakuin kalau ke tempat yang baru. Padahal dari bukit cinta tampak dua bukit kecil di bagian bawah yang berbatasan dengan laut dan keliatannya menarik buat dieksplore.
Maklum karena kesini gak sendirian alias bareng cewe-cewe berapa biji gitu lupa gak ngitung lagi. Jagain anak orang gini nih yang bikin orang, kalau hilang terus orang tuanya minta tanggung jawab gimana coba? Kalau cuma jawab doang asal gak tanggung sih bisa. 

Kampung Nelayan Kuburan Cina
Lokasi ini awalnya informasi dari temen yang sebelumnya udah kesini. Awalnya dari hotel yang kami tempati jika melihat ke belakang hotel tampak sebuah pulau pasir putih. Kata temen yang pernah ke sana, pulau itu cuma muncul saat surut aja.
Penasaran aja sama yang suka muncul hilang gitu, mirip-mirip kayak hantu. Gak jauh dari hotel sih lokasinya jadi aku sama temen-temen sengaja agak sore-an biar matahari gak terlalu panas. Bulan November ini memang di NTT memang lagi gila-gilanya panas. Kayaknya matahari memang kayaknya lagi dideketin sama yang Diatas beberapa centi. Mau tabis surya dari SPF10 sampai SPG juga gak mempan buat halangin panasnya. Makanya kalau jalan bareng gini enaknya sore karena.. apalagi kalau bukan karena cewe-cewe yang umumnya phobia sama matahari.

Nah, buat ke pulau pasir putih yang nongol itu kita harus naik perahu dari kampung Kuburan Cina. Gak tau sih namanya yang bener, tapi anak-anak yang aku tanyain bilangnya begitu. Kampung Kuburan Cina ini merupakan perkampungan nelayan, asalnya mereka sih macem-macem, ada yang dari Bugis, dari kampung Adonara, sebagian juga masyarakat Lamalera sendiri. 
Asik melihat anak-anak belajar menjaring
Trus kenapa aku gak nulis tentang pulau pasir itu justru nulis kampung ini. Ya karena akhirnya aku batal ke pulau pasir itu. Udah dapat perahu sih, cuma gak bisa langsung jalan karena masih menunggu dua mahluk kucel lain yang udah janjian tapi gak nongol-nongol batang hidungnya. Karena nungguin itu aku milih turun ke pantai karena ngeliat suasana kampung yang lagi rame anak-anak, alamat banyak spot foto. Pas mereka berdua datang eh langit lagi di puncak warna yang bagusnya. Karena perhitunganku gak mungkin aku ngejar pemandangan senja di pulau pasir itu akhirnya aku milih tinggal di kampung Kuburan Cina ini. Sayang juga sih, cuma aku juga ngerasa sayang kalau hanya buat sekedar pernah mampir. Mungkin lain kali aku kalau kesini punya waktu khusus buat jelajah ke pulau pasir itu.
Tempatnya sih jorok, banyak sampah seperti biasa dengan warna pasir hitam. Tapi suasana kampung dan perilaku anak-anak yang sedang mencari ikan yang terjebak di darat asik buat diperhatikan.
Sempat diajari sama bapak-bapak dan anaknya cara mencari kerang. Ternyata kerang itu gak langsung keliatan ya, harus dikorek-korek dulu. Lumayan hasil belajar dapat sekitar lima biji kerang. Bapak itu bilang kalau yang di pulau depan itu yang banyak kerangnya. Ah satu alasan lagi ke pulau itu, buat cari kerang. Berarti kalau kesini lagi musti bawa kompor biar bisa langsung masak kerang.
Dari senja mulai gelap, dari kejauhan aku bisa melihat temen-temenku baru sampai ke pulau pasir. Ah benar saja dugaanku, waktunya gak cukup untuk dapat menikmati sunset dari pulau itu.
Pas coba nunggu mereka balik di situ mulai gak enaknya. Ternyata air yang naik kental sekali bau solar, padahal waktu surut aku gak mencium bau solar seperti ini.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 19 November 2015

Ada Pulau Pasir di Pantai Meting Doeng

Pulau pasir di pantai Meting Doeng Larantuka
Yudha dan Winner lupa diri di pulau pasir Meting Doeng
Sebuah daratan pasir kecil menyembul saat air laut surut jauh menciptakan pulau kecil berpasir putih yang dikelilingi air laut biru terang, duh asli cakep banget dah. Kalau kamu cewe bawa kursi dan payung trus tiduran pake bikini (mata menyala terang), maka kamu serasa ada di sebuah pulau pribadi yang tidak ada siapapun kecuali dirimu dan samudera yang luas. Dan pulau pasir itu aku temukan dari tempat yang sering kali aku datangi tapi tidak kusadari adanya pulau pasir itu. 

Pantai Meting Doeng, itulah nama yang dikenalkan masyarakat kepadaku. Jika ke Larantuka dengan pesawat, pantai berpasir putih ini yang akan terlihat pertama kali saat perjalanan dari bandara menuju kota Larantuka. Pasir puithnya tidak terlalu luas dan langsung berada di tepi jalan. Dulu di tempat ini pernah dibangun beberapa pondok dan restoran yang cukup bagus. Saat itu restoran ini bisa dibilang tempat yang menjadi favorit untuk menjamu tamu. Sekarang nyaris sudah tidak ada bangunan yang berdiri di tempat ini namun masih ada beberapa bangunan sisa yang tampak sudah hancur dibiarkan begitu saja.

Melewati air menuju pulau pasir Meting Doeng
Meski tidak ada restoran lagi, namun tempat ini tetap menjadi salah satu lokasi penduduk lokal Larantuka berakhir pekan. Minggu sore aku pernah melihat orang tua beserta anak-anaknya berenang atau sekedar bermain di lokasi ini. Dan yang pasti, disinilah salah tempat yang sering digunakan masyarakat untuk mencari ikan saat laut surut. Kata 'meting doeng' sendiri arti katanya adalah surut jauh. Jadi saat surut, perairan yang dangkal di sini bisa sampai ratusan meter makanya tak heran jika kamu melihat orang-orang berdiri memancing atau mencari ikan di tengah laut jauh dari pantai.

Nah saat hari Minggu kemarin aku lagi bingung mau kemana. Ini gara-garanya pas hari Sabtu mau ke pantai Kawaliwu batal padahal sudah full persiapan. Sudah jalan sampai di pertigaan desa Oka pas masuk beberapa ratus meter terhadang dengan jalan yang sedang diperbaiki. Awalnya masih mencoba ikut antrian buat bisa lewat namun karena kendaraan yang menunggu sama sekali tidak bergerak karena kecilnya jalan yang tersisa akhirnya aku memutuskan berbelok balik. Karena itu aku mencoba mengajak Yudha dan Winner untuk sedikit mengendurkan otot-otot ke pantai Meting Doeng. Saat sampai di pantai ternyata aku melihat ada sebuah tonjolan pasir putih di tengah pantai, yang selama ini tidak pernah terperhatikan olehku. Karena penasaran aku dan teman-temanku mencoba berjalan ke sana. 

Berpose di pulau pasir Meting Doeng Larantuka
Foto-foto wajib hukumnya
Pantai saat itu memang lagi surut tapi belum puncak surut. Meski begitu, jauh di tengah laut termasuk beberapa puluh meter dari tonjolan pasir putih itu berdiri orang-orang yang sedang mencari ikan.
Entah karena pengaruh surut yang ekstrim atau juga kebiasaaan masyarakat, keberadaan terumbu di sini hanya tinggal sisa-sisa. Beberapa terumbu yang ada banyak yang posisinya terbalik, artinya ada orang yang sengaja membalik terumbu ini dan kemungkinan besar saat mencari ikan atau kerang. Aku juga pernah melihat cara mencari ikan seperti ini juga di Kupang. Malahan kadang mereka juga membawa racun ikan yang biasa dikenal dengan nama potas. Dengan memberi potas, ikan-ikan yang bersembunyi di karang biasanya akan mabuk sehingga mudah ditangkap. 

Suasana sekitar bukit pasir pantai Meting Doeng Larantuka
Suasana sekitar bukit pasir pantai Meting Doeng
Tapi untuknya sepanjang kami berjalan tidak banyak bulu babi yang durinya jika tertusuk di badan dijamin akan bikin nyeri berhari-hari. Bulu babi ini salah satu tanda untuk mengukur kerusakan ekosistem laut. Makin banyak bulu babi berarti daerah tersebut bisa dibilang sudah rusak ekosistemnya. Bagi yang belum tahu bulu babi, bulu babi itu bentuknya seperti bola namun diseluruh tubuhnya diselimuti duri panjang berwarna hitam pekat. Di bagian atas bahkan durinya bisa tumbuh lebih dari 30 cm, jauh lebih panjang dari ukuran tubuhnya yang bulat pekat. Duri-duri ini walaupun sangat tajam tapi juga sangat getas (mudah patah).

Justru yang banyak aku temukan adalah bintang laut yang ukurannya besar-besar dengan warna yang sangat komplit, dari yang warna kunin biru ungu, sampai kuning terang bercak merah hitam di tengah. Yang berwarna biru pekat yang berbentuk jari-jari panjang pun banyak ditemukan.Beberapa meter sebelum sampai di gundukan pasir putih, kami sempat melewati butiran-butiran putih mengambang entah itu apa namanya aku tak tahu.Yang pasti sih bukan telur ikan apalagi telur orang.

Yudha tiba-tiba narsis abis di pulau pasir Meting Doeng
Gundukan pasir yang berbentuk pulau kecil ini memang cantik walaupun mungkin hanya muncul sebentar saja. Luasnya yang tidak lebih dari dua puluh lima meter persegi ini bisa menjadi lokasi untuk pemotretan, ayo siapa yang berminat foto di sini? Cukup bawa kursi santai dan payung dan dipotret dengan drone dari atas. Lebih keren lagi kalau bawa pohon kelapa sebiji di sini, itu kalau udah kalap mau foto yang bener-bener beda ya silahkan.

Tapi sayangnya aku gak bisa lama di sini karena ternyata air sudah selesai surut sedari siang, artinya sekarang air naik terus. Jika sebelumnya kami menyeberangi pantai ketinggian air masih dibawah lutut, waktu balik sekarang ketinggian sudah sedikit lebih tinggi dari lutut bahkan ada tempat yang tingginya mendekati paha atas. Karuan saja celanaku jadi basah semua, terpaksa saat menyeberang menaikkan semua peralatan elektronik ke atas biar tidak ikutan basah.
Lagi pula matahari juga terasa sangat menyengat, sebentar saja di pulau pasir putih kecil itu sukses membuat kulitku gosong empat tingkat. Untung aku memakai topi sehingga terlindungi bagian leher. Beberapa kali aku kelupaan bawa topi di tempat seperti ini dan berakhir harus merasakan perih beberapa hari pada kulit leher yang terbakar. Kalau kulit di bagian tangan dan kaki sepertinya sudah cukup kebal dengan sinar matahari.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 16 November 2015

Kopi dan Senja: Pantai Walakiri

Bermain kerjar-kejaran di  Pantai Walakiri
Pasir putih berlekuk-lekuk memanjang, jajaran pohon kelapa, air laut yang bening berwarna biru kehijauan. Tiga alasan itu cukup menjelaskan mengapa pantai Walakiri layak dikunjungi. Kalau gak ada sampah sama sekali, aku rela kasih tunjuk jempol tangan, kalau perlu naikkan jempol kaki juga biar kalian yakin kalau tempat itu potensial banget buat dikembangkan. Dan pastinya, pantai Walakiri tidak jauh dari kota Waingapu plus kondisi jalannya yang udah bagus (ada juga yang jelek tapi lagi ada perbaikan,nanti kalau sudah selesai di jamin ke lokasi ini mulus luuusss..

Suasana menjelang senja di pantai Walakiri
Dan satu lagi, sampahnya belum banyak. Entah kalau setelah ini wisatawan ramai-ramai membuang sampah di sana. Memang sorenya, aku dan Trysu sempat bersihin lokasi dari sampah plastik bekas air minum. Biasalah, sampah dari wisatawan kelas jelata yang cuma pintar datang sok menikmati pantai trus dengan seenak udel (itu pun kalau udelnya masih ada) ke sekitar pantai. Dan gara-gara bersihin sampah itu aku malah justru ketinggalan keong lima jari yang aku dapetin dari sekitar pantai. Pantai Walakiri ini justru menjadi lokasi pamungkas yang baru aku ketahui sehari sebelum balik. Kok bisa? Ya itulah kalau pikirannya muluk-muluk mau ke tempat-tempat yang jauh-jauh seperti pantai Watu Parunu, pantai Tarimbang sama air terjun di kawasan cagar alam Wanggameti, akhirnya justru melewatkan lokasi-lokasi bagus yang ada di sekitar Waingapu. Untungnya saat lokasi lainnya batal, ada usul dari salah satu temen di Dinas Pendapatan buat mengunjungi pantai Walakiri. Padahal kalau udah bingung mau kemana lagi ya ujung-ujungnya nanti ke pantai Puru Kambera lagi. Ya gak bosen juga biarpun udah ulang-ulang ke pantai Puru Kambera, tapi kan sayang kalau ada lokasi lain yang bisa dijelajahi kok cuma kesitu-kesitu lagi.. lagi-lagi kesitu...situ kelagi-lagi.. gila-gila situ ke... mbuh...
 

Asyik bermain di pantai Walakiri
Pokoknya kalau mau ke tempat wisata di daerah Sumba ya begitu.. begitu gimana? Ya gitu itu, musti tanya terus sama penduduk. Pokoknya kalau mulai gak yakin benar apa gak jalannya, mulailah cari penduduk yang kamu temui di jalan untuk cari tahu.. bisa tahu goreng, tahu bacem, apa sajalah. Kok bisa? Ya bisa, gak ada papan petunjuk, jalan juga gak punya tanda khas. Aku saja kalau mau ke tempat ini tetep harus nanya lagi kok.
Akhirnya sekitar jam empat, aku dan Trysu sampai di tempat ini. Lho kok akhirnya trus permulaannya gimana nih. Harus cerita permulaannya gitu ya, gak boleh langsung akhirnya gitu? Bete ah cerita pakai permulaan segala, terlalu mainstream. Permulaannya sama saja kok: dari ketiadaan dan kegelapan pekat lalu buumm!!! terjadi bigbang yang menciptakan jagat dan segala isinya. Halah...


Pohon bakau di pantai Walakiri senja hari
Jalan masuk dari jalan raya gak lebih dari satu kilometer, gak percaya hitung sendiri. Suasana pertama yang kami tangkap ya sejuk karena jajaran pohon kelapa di sepanjang pantai. Aku lewat di samping sebuah bangunan kayu masih tahap konstruksi. Kalau melihat desainnya yang atapnya unik memanjang, kelihatannya bakal dibangun semacam pondokan wisata. Suasana pantai sendiri tampak ramai. Ada rombongan wisatawan entah dari mana (nanti waktu dari ngobrol aku tahu kalau mereka dari Jakarta).

Begitu melewati pepohonan kelapa, barulah tampak pemandangan pasir putih memanjang. Karena sekarang baru surut, pasir putih tampak lebih jauh ke tengah, dan menariknya pasir putih ini tidak berbentuk rata memanjang sepanjang pantai. Ada beberapa titik yang pasir putihnya menjorok ke arah laut. Lekukan-lekukan pasir itu lah yang menjadi tempat bermain banyak orang. Pantai ini rupanya dangkalnya jauh sehingga di sepanjang pantai, air yang tampak berwarna biru cerah kadang kehijauan.


Pasir putih berlekuk-lekuk yang khas di pantai Walakiri
Wih, pokoknya kalau orang bule di kasih pondok di sini pasti demen banget.. Iyalah, aku juga kalau dikasih pondok gratis di sini juga mau.. goblok banget kan nolak gratisan.
Coba jalan-jalan ke arah Timur eh nemu bule cewe sedang berjemur.. sendirian lagi. Eh bukan sendirian ding tapi ada temennya. Gak usah dibahas bule berjemur ah, pakaian dijemur aja juga gak pernah dibahas kok kecuali nanti kalau dijemur musim hujan. Mulai sore mulai tuh pengunjung pada menghilang. Nah itu bedanya kita sama pengunjung umum, justru sore itu yang ditunggu. Sialnya pas saat balik ke tempat semula ternyata cuma pengunjungnya yang balik tapi sampahnya ditinggal. Bukannya di tinggal di tempat sampah tapi di sekitar pantai. Pasti mereka lapar makanya gak fokus jadi lupa tempat sampah. Atau jangan-jangan mereka amnesia sesaat, entahlah.. yang pasti aku dan Trysu akhirnya melakukan kerja bakti sebentar buat bersih-bersih pantai.
 

Pepohonan bakau saat senja
Matahari mulai menghilang di balik pepohonan bakau, karena surut aku mengajak Trysu ke arah batas luar bakau karena aku melihat anakan pohon pakau yang tumbuh unik. Akarnya tampak seperti bakau yang sudah besar namun daunnya sedikit seperti bakau yang baru tumbuh.
Sempet disapa cewe yang kayaknya guide dari rombongan yang masih tersisa. Katanya sebagian rombongan sudah balik tinggal beberapa orang yang masih tinggal. Orangnya ramah dan asyik, sayang aku lupa nanya namanya. Kebiasaan nih, aku gampang banget ngobrol asyik sama orang yang sama sekali baru tapi sering gak nanya hal-hal simpel kaya nama.

Tak lama tuh cewe sempet ikut ke arahku sama ngajak gang-nya, yang ternyata para mak-mak... hahaha bukan mak-mak pake sirih pinang lho, lebih tepatnya cik-cik yang udah mateng.. sebagian mateng pas petik pohon sebagian kematengan dah udah jatuh di pohon hihihihi... Kalau aku sibuk moto pohon bakau berlatar sunset, kalau cewe itu sibuk moto mak-mak pengganti pohon bakau berlatar sunset.
 

Kalau kira-kira aku ikut foto bareng mereka, kira-kira kayak brondong lagi dijepit tante-tante gak ya? Udah gak usah dipikirin, aku sendiri males mikirin kok.
 

Langit mulai gelap, jadi aku dan Trysu mulai deh gelar dagangan nyiapin kompor dan sejenisnya buat masak air. Segelas kopi dan senja.. dan semangkuk mie rebus, oooo... hidup menyenangkan itu simpel kok ternyata. Apalagi tinggal kita berdua, selaksa pantai ini milik pribadi. Pikiran mesum? Gak lah, Trysu itu jelas mahluk cowo kategori asli tanpa campuran.. najis berpikiran mesum sama cowo hueeekk...


Galaksi bimasakti di pantai Walakiri
Dan malemnya, duh lagi-lagi aku bersyukur menikmati malam di tempat-tempat seperti ini. Bintang-bintang jadi kelihatan jelas, bahkan galaksi Bima Sakti begitu jelas terlihat memanjang memotong utara dan selatan. Walau kalah di kamera minimal mata bisa sepuasnya menikmati momen langit seperti ini.
 

Oh iya lupa.. Pantai Walakiri itu terletak di Sumba Timur ya, kira-kira 26km dari kota Waingapu. Arahnya ikuti aja jalan menuju ke Bandara, nanti sampai di sana tinggal beli tiket pulang.. bukan ding, ambil jalan samping bandara ikut terus ke arah timur, itu arahnya sama dengan jalan menuju pantai Watu Parunu. Kalau pakai motor kayak aku paling setengah jam udah nyampai, tapi nanti jalan udah full bagus semua sekitar dua puluh menit juga udah bisa nyampai kok. Patokannya setelah melewati tiga jembatan nanti akan ketemu bangunan sekolah, belok ke arah kiri ya. Cuma kalau ketemu sekolah jangan sok yakin langsung belok kiri takutnya itu sawah nanti malah masuk ke parit. Jangan lupa tanya penduduk untuk memastikan kalau mereka itu penduduk bukan hantu, eh bukan tanya lokasinya...
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya